Mencari Data di Blog Ini :

Friday, December 31, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)

Sebaliknya, jika kita senantiasa di jalan-Nya dalam kehidupan ini, insya Allah kita akan siap ketika ajal menjemput. Adz-Dzahabi mengisahkan bahwa ketika Abu Zar‘ah dalam keadaan sakaratul maut, tiba-tiba Abu Zar‘ah pingsan. Murid-muridnya ingin mentalqinnya dengan kalimat “Lâ ilâha illallâh,” namun mereka tidak tahu bahwa gurunya pingsan. Mereka ternyata juga malu untuk mentalqin gurunya, karena Abu Zar‘ah adalah seorang syaikh imam muslimin. Akhirnya mereka menemukan cara. Mereka berkata,


“Kami ingat sanad (susunan periwayat) hadits tentang Lâ ilâha illallâh. Jika kami mengingatkannya pada sanad tersebut, maka guru kami akan mengingat isi hadits, karena beliau adalah orang yang meriwayatkan hadits dan merupakan bencana besar jika yang meriwayatkan hadits tidak tahu sanadnya.”


Maka, seorang di antara mereka berkata,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan.” Lalu dia diam. Yang lain berkata,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan dari Fulan,” lalu terpotong. Maka, berkatalah Abu Zar‘ah,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan hingga lengkap sanadnya pada Muadz bahwa Rasulullah bersabda, ‘Siapa akhir ucapannya di dunia Lâ ilâha illallâh, maka dia masuk surga’.”


Kemudian, Abu Zar‘ah pun meninggal dunia. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita sehingga kita bisa seperti Syaikh Abu Zar‘ah, amin.


Dari cerita di atas, apakah kita sudah menyiapkan diri kita untuk menghadapi tamu kita yang pasti datang, yaitu Malaikat maut? Sudahkah kita membiasakan diri dengan hal-hal baik? Apa kita juga sudah bersiap-siap untuk menolak tawaran Iblis, tatkala rasa haus begitu mendera? Juga mengingkari perintahnya walaupun ia menyerupai orang yang kita segani?


Kita memang bertabiat sering GR (Gede Rasa). Ketika ada pembahasan tentang kebaikan, entah dari guru, ustadz, kyai, da‘i atau buku, kita merasa diri kita sudah melakukan itu semua.
Kita merasa sudah melaksanakan semua jenis shalat selain lima waktu, yaitu Dhuha delapan rakaat, Hajat, Rawatib (Qabliyah dan Ba‘diyah), Ba‘dal Wudhu, Tahajud, Tahiyyatul Masjid, Taubat, Tasbih, Witir dan shalat Mutlak yang tak ada batasan jumlah rakaatnya.


Kita merasa sudah banyak bersedekah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.


Kita merasa sudah banyak menolong orang secara non materi, bantuan moril, dukungan atau nasihat.


Kita merasa sudah baik dalam pergaulan dengan orang lain, karena kita menerapkan prinsip simpati dan empati dalam keseharian.


Kita merasa sudah sering berpuasa sunnah, misalnya Senin-Kamis, yawm al-bîdh (tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariyah), enam hari di bulan Syawal, Tasu‘a (9 Muharram), ‘Asyura (10 Muharram) dan ‘Arafah (9 Dzulhijjah).


Kita merasa sudah menjalankan puasa Ramadhan dengan sangat baik, bahkan khatam Al-Qur’an minimal sekali dalam bulan itu.


Kita merasa sudah mendapatkan lailatul qadar karena kita i‘tikaf di sepuluh hari terakhir pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhan.


Kita merasa sudah banyak berdzikir menyebut asma Allah. Bahkan, karena bilangan dzikir kita sudah mencapai ribuan, maka kita mengganti tasbih dengan alat hitung yang bisa mencapai angka 9999.


Kita merasa sudah melaksanakan umrah berkali-kali bahkan haji juga lebih dari sekali, sehingga kita merasa haji kita adalah haji mabrur.


Kita merasa yakin bahwa hidup kita sudah baik, benar dan pasti masuk surga.


Sebaliknya, tatkala ketidakbaikan diceritakan, serta merta kita berkata pada diri sendiri bahwa pelaku ketidakbaikan itu bukanlah diri kita. Malah, kita sibuk mencari siapa yang melakukan ketidakbaikan itu. Sungguh, kita memang mudah terjangkit penyakit ‘ujub (membangga-banggakan amal ibadah sendiri). Na‘ûdzubillâh.


Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Kita sering membawa tasbih atau sejenisnya, untuk menghitung berapa banyak dzikir yang sudah kita ucapkan. Pernahkah dengan tasbih itu, kita menghitung berapa banyak kata-kata yang tidak berguna apalagi sia-sia yang telah kita katakan?”


Sebuah nasihat yang lain berbunyi, “Kita ini memang kapitalis sejati. Kalau kita menuduh negara-negara lain sebagai kapitalis, maka yang lebih pantas mendapat menyandang gelar ‘Kapitalis Sejati’ adalah diri kita sendiri. Kita selalu hitung-hitungan dengan Allah. Kita sering sekali menghitung balasan yang akan kita dapatkan dari ibadah kita. Kalau kita membaca shalawat, berapa banyak rahmat yang akan kita peroleh? Kalau kita membaca Al-Qur’an, dosa-dosa kita sudah terhapus berapa banyak? Berapa derajat yang kita peroleh dengan melakukan shalat berjamaah? Tidakkah cukup dikatakan bahwa karena kita adalah hamba, maka kita seharusnya tunduk, patuh dan pasrah kepada Sang Pemilik hamba? Kurang ilmiahkah jika alasan kita melakukan semuanya adalah karena rasa syukur dan cinta kita kepada Dzat yang telah menciptakan kita dengan begitu sempurna? Kurangkah anugerah, karunia dan rahmat yang dicurahkan oleh Yang Memiliki Kehidupan kepada kita, hamba-Nya? Bukankah itu berarti kita berperi laku ‘kurang sopan’ terhadap Yang Memiliki kita, Allah SWT?”


Pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri sendiri adalah, “Apakah kita lupa bahwa iman itu bisa bertambah, namun juga bisa berkurang (al-îmânu yazîdu wa yanqush)? Bukankah iman itu mengalami pasang surut, tergantung situasi dan adanya sebab-musabab? Apa kita yakin bahwa ibadah kita diterima Allah 100%, tidak kurang dari itu? Yakinkah kita bahwa dosa-dosa kita telah lebur 100%, tidak ada yang tersisa; ataupun bila tersisa, itu hanya sedikit saja? Lupakah kita bahwa kualitas amal dan ibadah itu diperhitungkan? Sudah yakinkah kita bahwa kualitas ibadah kita sudah baik?”


Ibnu Athaillah berpesan, “Ketaatan kepada Allah bukanlah suatu amal yang harus dibangga-banggakan, dipamerkan atau semisalnya. Ketaatan adalah hiasan jiwa yang bertahtakan ketulusan di dalamnya. Ketaatan itu sendiri belum menjadi jaminan seseorang untuk masuk surga, karena hal ini memerlukan ujian yang sangat istimewa. Pada dasarnya ketaatan adalah karunia yang sangat mahal harganya bagi hamba Allah yang perlu mendapatkan penjagaan terus-menerus sepanjang hayatnya. Setiap karunia yang menjadi anugerah Allah berupa apa pun, terutama jiwa yang taat merupakan hidayah dari Allah.”



Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”


Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (4 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 24, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)

Di kitab “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”, dijelaskan dengan detail tentang maksud ayat Al-Qur’an:


وَلاَ تَمُوْ تُنَّ إِلاَّ وَأَنْتـُمْ مُسْـلِمُوْنَ

Dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Âli ‘Imrân [3]: 102)


Di ayat tersebut, kita dipesan agar ketika meninggal dunia tetap dalam Islam, karena Nabi saw. bersabda bahwa siapa yang meninggal dalam keadaan iman dan Islam, maka masuk surga. Diriwayatkan dari Abu Dzar ra. bahwa Rasulullah bersabda,


أَتَانِيْ آتِ مِنْ رَبِّي فَأَخْبِرْنِيْ، أَوْ قَالَ بَشَّرَنِيْ، أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لاَيُشْرِكْ بِاللهِ شَـيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Telah datang kepadaku utusan Tuhan dan memberitakan bahwa siapa meninggal dari umatku dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, pasti masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)


Memang, pesannya hanya ketika meninggal dunia, tapi di ayat itu (QS Âli ‘Imrân [3]: 102) ada penguatan kata (tawkîd), yaitu lâ tamûtunna (janganlah sekali-kali kalian mati). Secara etimologi, kata lâ tamûtunna berasal dari kata:


لاَ تَـمُوْ تُوْا

yang berarti janganlah kalian mati. Kata itu adalah kata kerja bentuk larangan (fi‘il nahiy), kemudian dimasuki oleh dua buah nûn tawkîd untuk menguatkan larangan, yaitu nûn tawkîd tsaqîlah.

Peraturan yang berlaku adalah fi‘il (kata kerja) yang dikuatkan dengan nûn tawkid apabila bersambung kepadanya alif itsnayn (huruf alif yang menunjukkan arti dua), wau jama‘ (huruf wau yang menunjukkan makna banyak) atau ya’ mukhâthabah (huruf ya’ yang menunjukkan kata ganti orang kedua perempuan); maka huruf sebelum alif diberi harakat fathah, huruf sebelum wau diberi harakat dhammah dan huruf sebelum ya’ diberi harakat kasrah. Dhamir (kata ganti) harus dibuang apabila berupa wau atau ya’, dan dibiarkan apabila berupa alif. Sebetulnya bentuk tambahannya berbunyi:


لاَ تَـمُوْ تُوْنَنَّ

Namun, karena peraturan tersebut, maka hasil akhirnya adalah:


لاَ تَـمُوْ تُنَّ

Huruf nun dibuang karena beriringan dengan huruf yang serupa dan huruf wau dihilangkan pula karena pertemuan dua huruf sukun (wau sukun dan nun pertama dari nun yang ditasydid).


Dengan demikian, kata lâ tamûtunna menunjukkan adanya kewajiban ketika kita hidup di dunia, untuk menyiapkan diri, supaya ketika sang Malaikat maut datang menjemput, kita sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan baik (dzikrullâh). Ketika sakaratul maut (ajal menjemput), seseorang akan melakukan sesuai kebiasaannya di dunia. Oleh karena itu, kalau kita tidak biasa berbuat baik, menjaga diri, menuntut ilmu-ilmu yang diwajibkan, shalat serta berdzikir (mengingat Allah) semasa hidup; maka ketika Izrail datang, bagaimana kita bisa tetap dalam iman dan Islam? Sedangkan kondisi setiap insan pada saat itu benar-benar payah, rasa haus yang sangat dan ada godaan setan atau Iblis. Sudah siapkah kita?


Di kitab “Syarah Daqâiq al-Akhbâr fî Dzikri al-Jannah wan-Nâr” dibahas bahwa Iblis akan datang untuk menggelincirkan orang yang sedang menghadapi maut. Setan memang tak kenal lelah menggoda kita. Dikisahkan, ketika Abu Zakaria az-Zahid datang ajal, datanglah seorang kawannya untuk membimbing dalam menghadapi sakaratul maut. Sang teman mengajarkan kepadanya,


لاَإِلـٰهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Ternyata Abu Zakaria memalingkan wajah dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Temannya pun mengajari untuk yang kedua kali, namun tetap saja Abu Zakaria memalingkan wajah. Ketika temannya mengajarkan untuk yang ketiga kali, Abu Zakaria malah berkata,


“Aku tidak mau mengucapkan!”


Melihat kondisi yang demikian, sang kawan dan keluarga yang hadir menjadi cemas dibuatnya.


Setelah beberapa saat, penderitaan Abu Zakaria berkurang. Dia lalu membuka matanya perlahan. Kemudian dia bertanya,


“Apakah kalian mengatakan sesuatu kepadaku?”


“Ya, telah kami ajarkan kepadamu syahadat tiga kali, namun kamu berpaling dua kali. Bahkan pada kali ketiga, kamu berkata, ‘Aku tidak mau mengucapkan’.”


Mendengar penjelasan tersebut, Abu Zakaria terdiam sejenak. Kemudian dia bercerita,


“Iblis telah datang kepadaku dengan membawa segelas air minum. Dia berdiri di sebelah kananku dengan menggerak-gerakkan gelas itu seraya berkata,


‘Katakanlah, ‘Isa al-Masih adalah anak Allah’.’


Maka aku memalingkan muka darinya. Kemudian dia datang dari arah kakiku dan berkata dengan ucapan yang sama. Pada perkataan yang ketiga, Iblis berkata,


‘Katakan, ‘Tidak ada Tuhan!’’


Lalu aku menjawab, ‘Aku tidak mau mengucapkan!’


Setelah itu Iblis mencampakkan gelasnya ke lantai dan pergi sambil berlari. Jadi, aku tadi menolak Iblis itu, bukan menolak kalian. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”


Bahkan ada sebuah nasihat bahwa ketika seseorang sedang sakaratul maut, Iblis bisa menyerupai wajah guru, orang tua atau orang yang disegani. Iblis akan berkata, “Hai Fulan, aku ini Gurumu. Kamu tahu bahwa aku sudah mati lebih dulu, dan ternyata setelah aku cari di alam kematian ini, Tuhan itu tidak ada. Sebagai muridku yang baik dan patuh, sekarang katakanlah bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak ada!”


Ibnul Qayyim menceritakan tentang orang fasik ketika sakaratul maut. Dikatakan pada orang itu (ditalqin),


لاَإِلـٰهَ إِلاَّ اللهُ

Orang itu ternyata mengulang lagu-lagu yang dahulu didengarnya ketika hidup masih dinikmati. Orang itu berdendang,


هَلْ رَأَى الْحُبُّ سُكٰرٰى مِثْـلَناَ

“Apakah cinta melihat orang yang mabuk seperti kami?”

Maka dia mati dengan kalimat terakhir adalah lagu itu, karena dia hidup dengannya.

Daftar Pustaka:

  • Abdullah Ba‘alawi Al-Haddad, asy-Syaikh, “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”
  • Abdurrahim bin Ahmad al-Qadhi, asy-Syaikh, “Syarah Daqâiq al-Akhbâr fî Dzikri al-Jannah wan-Nâr”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Terjemah Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil (karya Syaikh Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil) – Jilid 1 dan 2”, Penerbit Sinar Baru, Cetakan Pertama : 1992
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (1 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 17, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (1 of 9)

Di sebuah pesantren, seorang santri yang baru mondok setahun berkeluh kesah (curhat) kepada ustadz-nya,


“Ustadz, kenapa sih saya harus repot-repot mengaji seperti ini?”


“Lho, sampean (bahasa Jawa, artinya kamu, tapi lebih sopan) kan sedang mondok di pesantren ini, ya harus mengikuti semua kajian kitab,” jawab sang ustadz.


“Saya capek, Ustadz. Kitabnya ganti-ganti terus. Hari Senin habis maghrib belajar nahwu (gramatika bahasa Arab), terus setelah Isya’ mengaji sharaf (perubahan kata dasar bahasa Arab. Sharaf adalah gandengan nahwu. Ibarat orang tua, nahwu seumpama ayah, sedangkan sharaf laksana ibu). Hari Selasa ba‘da maghrib belajar Taqrîb (kitab fiqh), ba‘da Isya’ ganti kitab Mushthalâh al-Hadîts (ilmu tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan hadits). Setiap hari ganti kitab. Belum lagi, saya kan juga sekolah, Ustadz.”


“Memangnya kenapa? Kan masih kitab-kitab dasar. Belum susah kan?” kata sang ustadz mencoba untuk menghibur.


“Iya, sih… Tapi Ustadz, kitab-kitab itu kan berlanjut terus. Nahwu saja ada tingkatan-tingkatannya. Setelah khatam Jurumiyah, lalu dilanjut ke ‘Imrîthiy. Setelah ‘Imrîthiy, masih harus lanjut ke Mutammimah, dan terakhir kitab Alfiyyah Ibnu Malik Syarah Ibnu ‘Aqil.”


“Lho… justru itu, kan nanti jadi pintar. Tambah hebat, gitu loh…:)”


“Iya, sih… Tapi kan, Itu baru nahwu. Kitab-kitab lain juga banyak sekali lanjutannya, Ustadz.”


Si santri diam sejenak. Dia berusaha menyusun kata-kata yang akan diucapkan berikutnya, laksana seorang pengarang sedang mencari ilham. Dia lalu berkata,


“Eeeee…Ustadz…?”


“Hemmm….Ada apa…?”


“Lebih enak jadi orang awam, ya Ustadz… Cukup tahu kayfiyyah (tata cara) shalat, ilmu fiqh untuk permasalahan sehari-hari dan bisa membaca Al-Qur’an dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hija’iyah dari mulut atau tenggorokan) yang benar serta sesuai tajwid, sudah bagus sekali. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup, tidak perlu susah-susah begini…,” rajuk si santri.


“Mmm… Maksud sampean?”


“Yang penting kan, di akhirat nanti kita masuk surga, Ustadz… Yaaa…, cukup surga tingkat terendah sajalah… Bukankah kemewahan surga tingkat terendah minimal 10 kali seluruh kenikmatan dunia, Ustadz? Cukuplah, nggak perlu tinggi-tinggi banget!”


Sang ustadz pun tertawa mendengar imajinasi santri yang terlampau jauh, aneh pula.


“Ya… ya… ya…,” kata sang ustadz sambil manggut-manggut.


“Ya apanya, Ustadz?”


“Aku mengerti maksud sampean…”


“Nah, gitu dong, Ustadz…”


Sejenak suasana menjadi hening. Si santri merasa plong karena apa yang telah menyesakkan dadanya telah keluar dengan lancar. Sebaliknya, sang ustadz berpikir keras untuk bisa menasihati si santri, tapi dengan nasihat yang mudah dimengerti sekaligus tepat sasaran. Beberapa saat kemudian sang ustadz pun berkata,


“Memang aneh santri zaman sekarang.”


“Aneh kenapa, Ustadz?”


“Kalau dikasih uang, lalu disuruh memilih, mau uang seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, satu juta, sepuluh juta, seratus juta, satu milyar atau satu trilyun; malah memilih yang seribu. Kenapa tidak uang terbesar saja yang diambil…?” nasehat sang ustadz pada santrinya.


“Kalau diberi hadiah rumah, lalu diminta memilih, apa mau tipe 27, 36, 45, 60, 75, 90, 120, atau tipe 200; kok yang dipilih ternyata tipe RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali). Mengapa tidak menginginkan rumah mewah sekalian?” lanjut sang ustadz.


Santri itu termenung mendengar nasihat ustadz-nya yang begitu sederhana namun mengena. Cukup lama dia merenung.


“Saya ingin uang satu trilyun dan rumah tipe 200, Ustadz! Bahkan lebih besar lagi!” kata si santri setengah berteriak karena semangat.


“Bener, nih…?” canda sang ustadz.


“Ya, iya laaah,” jawab si santri sambil tertawa.


“Nah, gitu dong…,” kata sang ustadz sambil tersenyum.


Dari cerita di atas, apakah kita cukup dengan keinginan untuk masuk surga tingkat terendah, seperti keinginan awal santri tersebut? Jika ya, maka pertanyaan selanjutnya adalah,


“Apakah kita yakin bahwa kita akan masuk surga, walaupun itu level terbawah?”


“Siapa yang menjamin?”


“Siapa yang bisa mengetahui masa depan?”


“Apa kita bisa memastikan diri bahwa kita akan husnul khâtimah, meninggal tetap dalam iman dan Islam?”


Rasulullah saw. bersabda:


لاَ تَعْجَـبُوْا ِلعَمَلِ عَاِملٍ حَتَّى تَنْظُرُوْا ِبمَ يَخْتُمُ لَهُ

Jangan cepat tertarik pada amalan seseorang sebelum engkau melihat bagaimana akhirnya (meninggalnya). (HR Ahmad)


Ibnu Taimiyah berkata, “Yang menjadi ukuran adalah kesempurnaan akhir, bukan kekurangan pada awalnya.” Artinya adalah bahwa seorang mukmin kadang kala imannya tampak lemah. Kemudian dia berupaya untuk mendapatkan tambahan petunjuk, nur, amal shaleh, berteman dengan orang-orang shaleh, mencari pengetahuan agama, mencintai orang-orang baik, dan mencari manfaat dari para ulama, sehingga dengan demikian bertambahlah cahayanya. Sebaliknya, bila tidak dijaga, maka iman bisa berkurang. Iman memang mengalami pasang surut.


Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006


Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 10, 2010

Memahami Makna Istighfar (2 of 2)

Di buku “‘Menyingkap ’Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa di beberapa kamus dinyatakan pada dasarnya kata ‘afwu berarti menghapus (habis tiada berbekas), membinasakan dan mencabut akar sesuatu.

Allah adalah Al-‘Afuww, yakni Dia yang menghapus kesalahan hamba-hamba-Nya, serta memaafkan pelanggaran-pelanggaran mereka.

Sifat ini mirip dengan sifat Al-Ghafûr, hanya saja menurut Imam Ghazali, pemaafan Allah lebih tinggi nilainya dari maghfirah. Bukankah kata ‘afwu mengandung makna menghapus, mencabut akar sesuatu, membinasakan dan sebagainya, sedang kata ghafûr terambil dari akar kata yang berarti menutup?

Sesuatu yang ditutup pada hakikatnya tetap wujud hanya tidak terlihat, sedangkan yang dihapus, hilang, kalau pun ada tersisa, paling hanya bekas-bekasnya.

Selain ghafara dan ‘afwu, terdapat kata ash-shafh. Pakar bahasa Al-Qur’an, ar-Raghib al-Asfahani, menulis dalam Mufradât-nya bahwa apa yang dinamai ash-shafh, yang antara lain berarti “lembaran yang terhampar” memberi kesan bahwa yang melakukannya membuka lembaran baru—putih bersih—belum pernah dipakai, apalagi dinodai oleh sesuatu yang dihapus. Dengan demikian, ash-shafh lebih dalam maknanya dibandingkan ghafara dan ‘afwu.

Sedikit menyimpang dari tema pokok, jabat tangan
(مُصَافَحَة) yang bentuk dasarnya (ثُلاَثِيْ مُجَرَّدْ) adalah shafaha (صفح) dianjurkan dalam agama. Di sebuah hadits disebutkan:


مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hasan al-Bashri menuturkan, “Berjabat tangan dapat menambah kasih sayang.”

Penulis pernah ditanya, “Istighfar mempunyai bentuk dasar ghafara. Jika ghafara bermakna menutup, lalu bagaimana cara memohon ash-shafhu kepada Allah, agar catatan amal jelek kita dibuang dan diganti lembaran baru yang putih bersih?”

Di kitab Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn Bab Taubat—Hadits ke-1/13 (Hadits ke-1 Bab Taubat/Hadits ke-13 Kitab Riyadhush Shalihin) diuraikan:


أستغفر: أي أطلب المغفرة وهي الصفح عن الذنب

Kalimat “astaghfiru” artinya hamba mencari (memohon) maghfirah, dengan maksud ash-shafhu dari dosa (agar catatan ketidakbaikan dibuang dan diganti lembaran baru yang putih bersih)

Jadi, bila kita ber-istighfar, misalnya dengan kalimat
أَسْتَغْفِرُ الله, hal itu berarti kita memohon, “Ya Allah, buanglah catatan amal tidak baik hamba dan gantilah dengan lembaran baru yang putih bersih.”

Ibnul ‘Arabi berpendapat bahwa kalimat اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ juga dipahami dalam arti, “Ya Allah, perbaikilah keadaan hamba.”

Dengan pengertian istighfar ini, para ulama menasihatkan agar kita tidak merasa diri lebih baik dibandingkan orang lain. Bahkan terhadap orang yang berbuat dosa besar pun, kita dilarang. Siapa tahu dia bertaubat dan Allah menerima taubatnya, sehingga kondisinya seperti orang yang tidak pernah punya kesalahan karena telah dibuang catatan kesalahannya serta dibuka lembaran baru (ash-shafhu).


التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ، وَإِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا لمَ ْيَضُرُّهُ ذَنْبٌ

“Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya.” (HR Ibnu Majah)

Abu Hamid al-Ghazali memberi saran agar kita senantiasa rendah hati terhadap siapa pun. Jika kita bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah di dalam hati, “Orang ini lebih tua dari saya, pastilah amal ibadahnya lebih banyak dari saya. Allah jelas lebih memuliakan orang tua ini dibandingkan saya.”

Bila kita menjumpai orang yang lebih muda, maka kita dinasihati untuk berkata dalam hati, “Usia orang ini lebih muda dari saya, tentunya kemaksiatan dan dosa yang diperbuat lebih sedikit dari saya. Sungguh, dia lebih terhormat di sisi Allah daripada saya.”

Yang terakhir, tatkala kita melihat anak kecil yang belum baligh, maka berucaplah, “Anak ini belum punya dosa. Dia mendapat jaminan surga. Bagaimana dengan saya?”



Daftar Pustaka:

  • Mushthafa Sa‘id al-Khin, Mushthafa al-Bugha, Muhyiddin Mustu, ‘Ali asy-Syarbaji dan Muhammad Amin Luthfi, asy-Syaikh, “Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari: Memahami Makna Istighfar (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 3, 2010

Memahami Makna Istighfar (1 of 2)

رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْـبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ

Wahai Tuhan hamba, ampunilah hamba, rahmatilah hamba, cukupilah hamba, angkatlah derajat hamba, berilah hamba (kecukupan) rezeki, berilah hamba hidayah, anugerahilah hamba 'afiat (kesehatan yang digunakan untuk hal-hal yang Engkau ridhai), dan maafkanlah segala kesalahan hamba


Demikianlah doa yang senantiasa kita baca ketika duduk di antara dua sujud. Di dalam doa tersebut, terkandung permintaan “ampun” (اغْفِرْ) di awal serta permohonan “maaf” (اعْفُ) di akhir doa. Apa perbedaan “ampun” dan “maaf”?

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan antara “ampun” dan “maaf”. Berikut ini penjelasannya:

  • am·pun n 1 pembebasan dr tuntutan krn melakukan kesalahan atau kekeliruan; maaf: ia selalu berdoa dan memohon -- atas segala dosa dan kesalahannya; 2 kata yg menyatakan rasa heran kesal: -- , anak ini nakalnya bukan main; 3 cak bukan main: aduh baunya, -- , deh;
    am·puni v maafkan: ya Tuhan, -- lah segala kesalahan dan dosaku;
    meng·am·puni v memberi ampun; memaafkan: ~ kesalahan;
  • ma·af n 1 pembebasan seseorang dr hukuman (tuntutan, denda, dsb) krn suatu kesalahan; ampun: minta --; 2 ungkapan permintaan ampun atau penyesalan: -- , saya datang terlambat; 3 ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu: -- , bolehkah saya bertanya;
    ber·ma·af-ma·af·an v ampun-mengampuni; saling memberi ampun: pd hari Lebaran mereka -;
    me·ma·afi v memberi ampun kpd; mengampuni: sudilah Tuanku - hamba yg hina ini;
    me·ma·af·kan v memberi ampun atas kesalahan dsb; tidak menganggap salah dsb lagi: ia telah - kesalahanku;

Menurut kebiasaan masyarakat, kata “maaf” digunakan kepada sesama manusia, sedangkan kata “ampun” untuk Allah SWT. Hal ini terbukti saat lebaran (Idul Fitri), belum pernah penulis temukan seseorang berkata kepada temannya, “ampuni kesalahanku, ya…” atau “mohon ampun lahir dan batin...” Mungkin bila benar-benar dipraktikkan, sungguh terasa sangat menggelikan :).

Kata ghafara (غفر) yang sering diterjemahkan “mengampuni” asalnya bermakna menutup (ستر). Di kitab Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn Bab Taubat—Hadits ke-1/13 (Hadits ke-1 Bab Taubat/Hadits ke-13 Kitab Riyadhush Shalihin) dijelaskan:


وأصل الغفر الستر

Asal makna “ghafara” adalah menutup


Di buku “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab menerangkan 3 sifat Allah yang terambil dari akar kata ini, yaitu:

  • غَافِرْ (Ghâfir)
  • غَفَّارْ (Ghaffâr)
  • غَفُوْر (Ghafûr)

Ibnul ‘Arabi mengemukakan beberapa pendapat meyangkut perbedaan kata-kata tersebut. Ghâfir adalah pelaku. Maksudnya sekadar menetapkan adanya sifat ini kepada sesuatu, tanpa memandang ada/tidaknya yang diampuni atau ditutupi.


Allah adalah Al-Ghaffâr yang salah satu artinya Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan anugerah-Nya.


Perbedaan antara Ghaffâr dan Ghafûr adalah Ghaffâr yang menutupi aib/kesalahan di dunia, sedangkan Ghafûr menutupi aib di akhirat.



Ghafûr dapat juga berarti banyak memberi maghfirah, sedang Ghaffâr mengandung arti banyak dan berulangnya maghfirah serta kesempurnaan dan keluasan cakupannya. Dengan demikan, Ghaffâr lebih dalam dan kuat kandungan makna-Nya dari Ghafûr, dan karena itu pula ada yang berpendapat dapat mencakup orang-orang yang bermohon maupun yang tidak bermohon.


Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa Al-Ghaffâr adalah Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa-dosa adalah bagian dari sejumlah keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengenyampingkan siksa-Nya di akhirat.


Imam al-Ghazali dalam membedakan sifat Al-Ghafûr dan Al-Ghaffâr menulis bahwa keduanya bermakna sama, hanya saja Ghafûr mengandung semacam mubâlaghah (kelebihan penekanan) yang tidak dikandung oleh kata al-Ghaffâr, karena al-Ghaffâr menunjukkan mubâlaghah dalam maghfirah (pengampunan menyeluruh/penutupan yang rapat) disamping berulang-ulang, sedang Ghafûr menunjuk kepada sempurna dan menyeluruhnya sifat tersebut. Allah Ghafûr dalam arti sempurna pengampunan-Nya hingga mencapai puncak tertinggi dalam maghfirah.


Daftar Pustaka:

  • Mushthafa Sa‘id al-Khin, Mushthafa al-Bugha, Muhyiddin Mustu, ‘Ali asy-Syarbaji dan Muhammad Amin Luthfi, asy-Syaikh, “Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005
  • http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

Tulisan ini berlanjut ke : Memahami Makna Istighfar (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 26, 2010

Bolehkah Shalat Tahiyyatul Masjid di Mushalla?

Variasi nama tempat shalat memang cukup banyak di negara kita, yaitu mushalla, langgar, surau, masjid, masjid jami‘ dan masjid agung.

Mushalla, yang arti harfiahnya adalah tempat shalat, disepakati oleh masyarakat Indonesia sebagai tempat shalat lima waktu secara berjamaah oleh umat Islam di sekitarnya, tapi tidak digunakan untuk shalat Jum‘at.

Langgar sebenarnya sama dengan mushalla, hanya saja istilah ini dikenal oleh orang-orang Jawa dan Betawi. Biasanya, orang-orang dari Jawa akan menggoda temannya yang belum mengerti istilah “Langgar”. Mereka akan bertanya, “Bolehkah shalat di Langgar?” Tentunya, yang tidak mengetahui istilah “Langgar” akan mendengar pertanyaan tersebut menjadi, “Bolehkan shalat dilanggar?” Pastilah dijawab tidak boleh. Lazimnya akan terjadi sebuah perdebatan, namun tetap diakhiri dengan tertawa bareng (bersama), karena tujuannya memang untuk menggoda.

Surau adalah tempat shalat, biasanya di tempat orang-orang Melayu, dan ini pun sama dengan mushalla.

Masjid, yang arti harfiahnya yaitu tempat bersujud kepada Allah, disetujui oleh masyarakat Indonesia sebagai tempat untuk melaksanakan shalat lima waktu dan shalat Jum‘at.

Masjid jami‘ adalah masjid terbesar di sebuah kecamatan. Keberadaan masjid ini sudah mulai berkurang, karena sekarang masjid di kampung-kampung pun sudah begitu besar.

Masjid agung adalah masjid terbesar di sebuah kota atau kabupaten. Biasanya, di depan masjid agung terdapat pelataran luas yang dikenal dengan nama alun-alun. Kata “alun-alun” berasal dari bahasa Arab al-lawn yang berarti warna, ragam atau corak. Kata ini diucapkan dua kali al-lawn al-lawn (alun-alun) yang maksudnya adalah bahwa tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya segala lapisan masyarakat, rakyat kecil, kaya maupun para pemimpin.

KH. Abdurrahman Navis—pengasuh PP Nurul Huda, Jl. Sencaki Surabaya—menjelaskan bahwa dalam terminologi fiqh, masjid adalah tempat waqaf yang digunakan oleh umat Islam (masyarakat) untuk shalat lima waktu berjamaah. Adapun masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum‘at selain shalat lima waktu berjamaah disebut masjid Jami‘.

Apabila di rumah kita ada sebuah tempat khusus, misalnya sebuah bangunan kecil, ruangan atau kamar kosong yang digunakan untuk shalat oleh anggota keluarga, dalam fiqh tempat ini disebut mushalla. Begitu pula tempat shalat di pom bensin (SPBU) yang merupakan milik pribadi pengusaha serta tidak digunakan berjamaah setiap waktu oleh masyarakat setempat, dalam terminologi fiqh juga disebut mushalla. Jadi kita harus berhati-hati dengan sebuah istilah karena istilah yang berkembang di masyarakat bisa jadi berbeda dengan istilah dalam fiqh.

Dari penjelasan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa shalat Tahiyyatul Masjid bisa dilakukan di masjid atau masjid Jami‘ menurut definisi fiqh. Adapun menurut istilah masyarakat yaitu mushalla, maka shalat Tahiyyatul Masjid bisa dilakukan di mushalla yang digunakan berjamaah setiap waktu oleh masyarakat, karena hal ini sama dengan masjid menurut fiqh. Adapun mushalla di pom bensin (SPBU) atau semacamnya tidak bisa digunakan untuk shalat Tahiyyatul Masjid.

Perlu diketahui bahwa anjuran untuk shalat di rumah adalah shalat sunnah, sedangkan shalat wajib tetap diutamakan berjamaah dengan muslim lainnya.

اِجْعَلُوْا ِفيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
Jadikanlah sebagian dari shalat kalian (dikerjakan) di dalam rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan.
(HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i)

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْـتُوْبَةَ
Shalatlah kalian di rumah kalian, karena sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik ialah di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu.(HR Tirmidzi dan Syaikhân: Bukhari-Muslim)

Anjuran shalat Tahiyyatul Masjid dilakukan ketika datang dan sebelum duduk. Dengan demikian, apabila kita memakai sepatu, maka melepasnya harus sambil berdiri atau jongkok, tidak duduk di lantai. Diriwayatkan dari Abu Qatadah as-Sulami ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Siapa pun di antara kalian masuk ke dalam masjid, shalatlah dua rakaat sebelum duduk.” (HR Bukhari)

Di hadits lain, Jabir ra. menceritakan bahwa ia datang kepada Nabi saw. yang sedang di masjid, maka Rasulullah bersabda padanya,

صَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Shalatlah dua rakaat.” (Muttafaq ‘alayh: Bukhari-Muslim)
Shalat Tahiyyatul Masjid termasuk shalat yang ada sebabnya. Oleh karena itu boleh dilakukan di waktu-waktu yang terlarang untuk shalat yang tidak mempunyai sebab. Waktu-waktu itu di antaranya yaitu setelah shalat Ashar dan shalat Subuh. Adapun bacaan surahnya, pada rakaat pertama membaca QS al-Kâfirûn [109], sedangkan QS al-Ikhlâsh [112] dibaca pada rakaat kedua. Bila ingin membaca surah yang lain juga diperbolehkan.

Seorang teman bertanya, “Apakah doa iftitah juga dibaca ketika shalat Tahiyyatul Masjid? Banyak orang mengira bahwa untuk shalat sunnah tidak perlu membacanya.”

Memang, cukup banyak orang mengira demikian. Penulis sendiri sering menjumpainya. Ketika shalat sunnah, mereka tidak membaca doa iftitah setelah takbiratul ihram, juga tidak membaca shalawat Ibrahimiyah (kamâ shallayta...dst) sesudah tasyahud akhir. Menurut mereka hal ini untuk membedakan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Setelah penulis tanya, ternyata mereka membuat kesimpulan sendiri dari kebiasaan yang dilakukan. Jadi, mereka melakukannya bukan karena penjelasan para ustadz atau kyai.

Doa iftitah dan shalawat Ibrahimiyah tetap disunnahkan dibaca di shalat-shalat sunnah, misalnya shalat Dhuha, Tahiyyatul Masjid dan Tarawih. Oleh karena hukumnya sunnah, jadi boleh tidak dibaca, namun lebih utama dikerjakan. Adapun shalat Mayyit tentunya berbeda kasus karena sudah jelas tuntunannya.

Selain shalat sunnah, kapan pun kita di dalam masjid (dalam terminologi fiqh), janganlah kita lupa untuk senantiasa berniat—sekali lagi berniat—i‘tikaf di dalamnya. I‘tikaf tidak hanya dilakukan di bulan suci Ramadhan. Dengan demikian, setiap tindakan kita, walaupun berdiam diri akan dicatat sebagai amal kebaikan. Bahkan, menurut pendapat Imam Syafi‘i, walau sesaat—selama dibarengi oleh niat yang suci—tetap disebut i‘tikaf dan bernilai ibadah. Wallâhu a‘lam.


Daftar Pustaka:
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • Manshur Ali Nashif, asy-Syaikh, “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah saw. (At-Tâju al-Jâmi‘u lil-Islâmi fî Ahâdîtsi ar-Rasûli)”, CV. Sinar Baru, Cetakan pertama : 1993
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 19, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (5 of 5)

c. Harmonis kepada Allah

Yang dimaksud di sini yaitu harmonis kepada Allah dengan rasa aman dan kebahagiaan menyembah-Nya. Dahulu Abu Muhammad menyendiri di rumahnya dan berkata, “Siapa yang belum basah matanya karena-Mu, maka tidak akan pernah basah matanya. Dan siapa yang belum duduk bersama-Mu, maka takkan ada yang disebut duduk.” Berkata al-Fudhail, “Berbanggalah bagi siapa saja yang merindu dan Allah menemaninya.”

Nabi saw. telah mencapai puncak keharmonisan itu, karena beliaulah makhluk paling sempurna ibadahnya. Beliau tidak memisahkan diri dari manusia, tidak menutup pintu, tidak meletakkan penghalang, tidak tinggal di pegunungan atau gua untuk menyendiri bersama Allah. Beliau tetap duduk bersama para sahabat, membantu para janda dan orang miskin. Meskipun demikian, beliau senantiasa harmonis bersama Allah, terikat tali yang senantiasa menyambungnya dengan Allah.

Di kitab “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”, Imam Nawawi mencantumkan sebuah hadits yang diambil dari kitab Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah. Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata,

كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ: رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kami pernah menghitung bagi Rasulullah sebanyak seratus kali dalam satu majelis beristighfar, ‘Tuhanku ampunilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyanyang’.”(HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

إِنَّهُ لَيُغَانِ عَلَى قَلْبِيْ، وَإِنِّيْ َلأَسْـتَغْفِرُ اللهَ فىِ الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Sesungguhnya adakalanya timbul perasaan dalam hatiku, maka aku memohon ampun kepada Allah (istighfar) dalam sehari seratus kali.
(HR Muslim)

Begitulah kesempurnaan yang telah Rasulullah terima dan teladankan. Beliau menunaikan hak-hak manusia dengan sesempurna mungkin, begitu pula hak-hak diri sendiri dan keluarga. Meskipun demikian, tidak pernah kelu lisan beliau untuk berdzikir kepada Allah. Ketika ingin melaksanakan shalat, beliau meminta Bilal bin Rabah ra.,

أَرِحْـنَا يَا بِلاَلَ
“Tenangkanlah hati kami, wahai Bilal” (HR Abu Daud dan Ahmad)

Yang dapat diambil pelajaran dari semua ini adalah bahwa kita sebaiknya selalu berhubungan dengan Allah, berdzikir kepada-Nya dengan penuh keharmonisan. Allah telah memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan).

وَأَحْسِنُوْۤا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ ٱلمْحُْسِـنِيْنَ
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Baqarah [2]: 195)

وَإِنَّ اللهَ لمَـَعَ ٱلمْحُْسِـنِيْنَ
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS al-‘Ankabût [29]: 69)

Jika kita telah mengetahui keutamaan ihsan (berbuat baik), hakikatnya, kedudukannya, dan pahalanya, maka kita telah diperintahkan untuk berbuat baik dalam segala hal; dalam segala pekerjaan, perkataan dan perbuatan. Bahkan, dalam setiap detak jantung dan sikap diam kita.

Dari ayat ini, marilah kita bersama-sama berusaha agar tidak melampaui batas dalam kesewenang-wenangan, penganiayaan dan kebodohan. Allah adalah Dzat yang membalas apa pun yang kita lakukan. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, tidak ada yang bisa menghindar dari-Nya, dan pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Allah mengawasi bila kita melanggar janji, mengkhianati kesepakatan dan curang dalam perselisihan. Allah mengawasi kita, jika kita meninggalkan kewajiban agama, berbuat maksiat, melanggar batasan-Nya dan melakukan hal-hal yang diharamkan.

Kenikmatan tertinggi yang didapat dari ihsan adalah ridha Allah terhadap hamba-Nya, yaitu pahala yang diberikan Allah kepada hamba yang ridha kepada-Nya.

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS at-Taubah [9]: 72)

Di dalam ayat tersebut, Allah meletakkan kemuliaan ridha Allah lebih tinggi daripada surga-Nya. Keridhaan pemilik surga lebih utama ketimbang surga itu sendiri, bahkan Allah adalah inti dari yang diidamkan para penghuni surga. Rasulullah Muhammad saw. bersabda:

إِنَّ اللهَ يَتَجَلَّى لِلْمُؤْمِنِيْنَ فَيَقُوْلُ: سَلُّوْنِي فَيَقُوْلُوْنَ رِضَاكَ
Sesungguhnya Allah menampakkan diri kepada orang-orang mukmin (di surga), lalu Dia berfirman, “Mintalah kepada-Ku!” Lalu para penghuni surga berkata, “Kami minta keridhaan-Mu.”
(HR al-Bazzar dan Thabrani)
Namun demikian, kita selalu diingatkan untuk selalu introspeksi diri. Al-Fudhail menerangkan, “Sesungguhnya seorang hamba beribadah kepada Allah menurut kedudukannya di sisi-Nya, atau kedudukan Allah dalam jiwanya.” 

Dalam hal yang sama, Abu Thalib al-Makky berkata, “Apabila seorang hamba mengenal Allah, ia tentu akan menghormati serta memuliakan-Nya dengan kecintaan dan kerelaan. Demikian juga Allah, akan memandangnya bersama rahmat dan kasih sayang-Nya.”

مَنْ كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَعْلَمَ مَنْزِلَتَهُ عِنْدَ اللهِ فَلْيَنْظُرْ كَيْفَ مَنْزِلَةَ اللهِ عِنْدَهُ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُنْزِلُ الْعَبْدَ مَنْزِلَتَهُ حَيْثُ أَنْزَلَهُ مِنْ نَفْسِهِ

Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah ia melihat kedudukan Allah pada dirinya, karena sesungguhnya Allah menempatkan seorang hamba di sisi-Nya sebagaimana hamba itu menempatkan Allah dalam dirinya. (HR Hakimhadits dha’if)

Dengan wawasan dari berbagai sumber, semoga Allah menjaga tetapnya iman kita dan menjadikan kita mencapai tingkatan ihsan, amin.
Daftar Pustaka :
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414
Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (4 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 12, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (4 of 5)

b. Malu kepada Allah


Rasa ini merupakan hasil dari pengetahuan kita bahwa Allah memperhatikan kita walau bagaimanapun keadaan kita. Maka, kita akan malu jika Allah menemukan kita sedang melakukan larangan-Nya atau kehilangan dalam pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Buah dari sifat ini adalah keamanan dari kebencian dan siksa, serta keringanan hisab.


Sebuah kalimat bijak dari orang-orang shaleh, “Bersembunyilah dari Allah berdasarkan kekuasaan-Nya padamu. Malulah kepada Allah sebatas kedekatanmu kepada-Nya.”


Al-Qur’an telah menjelaskan tentang kedekatan seorang hamba terhadap Tuhannya di banyak ayat, di antaranya (yang terjemahnya):


Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? (QS al-‘Alaq [96]: 14)


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. (QS al-Baqarah [2]: 186)


Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (al-Mujâdalah [58]: 7)


Rasulullah saw. pernah memberi penjelasan tentang bagaimana malu kepada Allah.


أَيـُّهَا النَّاسُ اسْـتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّا لَنَسْتَحِي مِنَ اللهِ تَعَالَى. فَقَالَ: مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْـتَحْيِـيًا فَلاَ يَبِـيْتُ لَيْلَةً إِلاَّ وَأَجَلُهُ بَيْنَ عَيْنَـيْهِ، وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَالرَّأْسُ وَمَا وَعَى، وَلْيَذْكُِر الْمَوْتَ وَالْبَلَى، وَلْيَتْرُكْ زِيْنَةَ الدُّنْيَا

Wahai manusia, malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kami pasti merasa malu terhadap Allah.” Rasulullah bersabda lagi, “Siapa yang merasa malu, maka hendaklah ia tidak melewati malam kecuali ia ingat kematian ada di pelupuk matanya, dan hendaklah ia senantiasa memelihara perut dan isinya, peliharalah pikiran dan apa yang tersimpan di dalamnya, senantiasa mengigat kematian dan keburukan yang ada padanya, dan hendaklah ia tinggalkan perhiasan dunia.” (HR Ibnu Majah)


اِسْتَحْـيُوْا مِنَ اللهِ تَعَالَى. قَالُوْا: إِنَّا نَسْتَحْيِىْ يَانَبِيَّ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ. قَالَ: لَيْسَ ذٰلِكَ، وَلـٰكِنْ مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَاوَعَى، وَلِيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَاحَوَى، وَلِيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبَلَيَ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذٰلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Malulah kalian pada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu. Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya kami telah merasa malu, wahai Nabi Allah. Kami bersyukur kepada Allah (karena bisa berbuat demikian).” Beliau bersabda, “Bukan demikian. Akan tetapi, orang yang malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya; menjaga perut dan apa yang dihimpunnya; dan ingatlah kalian pada kematian dan bahayanya. Siapa menghendaki kampung akhirat, maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Siapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu.” (HR Tirmidzi)


Al-Junaid pernah ditanya tentang malu, lalu dijawab, “Memandang buruk dan kurang (perbuatan baikmu). Di antara dua perbuatan itu akan lahir suatu kondisi yang dinamakan malu.”


Muhammad al-Wasithi berkata, “Tidak akan merasakan kelezatan malu, seseorang yang merobek ketentuan hukum dan melanggar janji.” Ibnu Atha’ berpesan, “Ilmu terbesar adalah rasa segan dan malu. Jika keseganan dan rasa malu hilang, maka tidak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya.”


Dalam hadist lain Nabi saw. mengingatkan kita tentang bagaimana Allah mendekati dan mengingat kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda:


يَقُوُلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي. فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتـُهُ فِي نَفْسِي. وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍَ، ذَكَرْتـُهُ فِي مَلإٍَ خَيْرٍ مِنْهُمْ. وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا. وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا. وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي، أَتَيْـتُهُ هَرْوَلَةًً

Allah berfirman, “Aku selalu mengikuti sangka hamba-Ku, dan Aku selalu membantunya selama ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam hatinya, maka Aku ingat padanya dalam diriku. Jika ia ingat padaku di tengah-tengah orang banyak, maka Aku ingat padanya di hadapan Malaikat yang jauh lebih baik dari masyarakatnya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepadaku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan bila ia datang kepadaku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim)


Abu Muhammad Ali bin Ahmad Bin Said bin Ibnu Hazm, seorang ulama kenamaan di Andalusia (Spanyol – wafat 456 H) menasihatkan dalam senandung syairnya:


Yang mengenal-Nya, ia tahu keagungan-Nya
Berbeda negeri abadi dengan negeri fana
Berbeda takwa hakiki dengan takwa pura-pura
Si fasik berbeda dengan yang takwa
Si jujur berbeda dengan pembohong setia



Sungguh, Allah telah perintahkan kita
Taat pada-Nya jauhi hawa nafsu durjana
Meski tak ada siksa neraka bagi pendosa
Meski kita tak ada perintah ibadah pada-Nya
Kita harus tetap taat patuh pada-Nya



Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu


Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (3 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (5 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 5, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (3 of 5)

Seorang hamba tidak lepas dari tiga keadaan, yaitu dalam ketaatan, kemaksiatan dan hal yang mubah. Murâqabah dalam ketaatan adalah dengan hati yang ikhlas, menyempurnakannya, menjaga adab dan memeliharanya dari berbagai cacat. Jika ia melakukan kemaksiatan, maka murâqabah-nya adalah dengan bertaubat, menyesal, meninggalkan langsung kemaksiatan itu, merasa malu dan sibuk melakukan tafakkur. Apabila ia dalam hal yang mubah, maka murâqabah-nya adalah dengan menjaga adab, menyaksikan Sang Pemberi nikmat dalam kenikmatan yang dikecapnya lalu mensyukurinya. Hendaknya kita mengawasi diri sendiri di setiap waktu dalam tiga hal tersebut.

Adapun tentang takut kepada Allah, seorang ahli fiqh, Abul Laits as-Samarqandi mengatakan bahwa tanda rasa takut kepada-Nya tampak jelas dalam delapan perkara, yaitu:

1. Lisan

Kita menahan dan mencegah lisan dari dusta, menggunjing (ghibah) dan berkata yang berlebih-lebihan. Kita berusaha menyibukkan lisan untuk berdzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu.
2. Perut

Kita tidak akan memasukkan apa pun ke dalam perut kecuali yang halal dan secukupnya (tidak berlebih-lebihan).
3. Penglihatan

Kita tidak mau melihat kepada sesuatu yang haram. Kita melihat segala sesuatu sebagai i‘tibar atau teladan.
4. Pendengaran

Kita tidak mau mendengarkan kecuali yang haq (benar).
5. Tangan

Kita tidak akan mengulurkan dan mengayunkan tangan kepada yang haram. Kita melakukannya hanya untuk sesuatu yang menyangkut perbuatan taat kepada Al-Haqq, Allah SWT.
6. Kaki

Kita tidak berjalan dalam perbuatan durhaka kepada Allah, tapi selalu berjalan dalam ketaatan kepada-Nya.
7. Hati

Kita menghindarkan hati dari rasa permusuhan dan memenuhi hati dengan nasihat serta rasa kasih sayang. Kita juga kuatir mempunyai penyakit-penyakit hati, yaitu kafir, munafik, fasik, syirik, riya’, cinta kedudukan dan jabatan, dengki (hasud), membanggakan diri (‘ujub), sombong (takabbur), pelit, tertipu dengan angan-angan kosong (ghurûr), kemarahan dan zhalim, (terlalu) cinta dunia dan mengikuti hawa nafsu.

Tentang angan-angan kosong, Ibnul Qayyim membuat sebuah perumpamaan, “Mengarungi hamparan bahtera angan-angan tak bertepi hanya dikerjakan oleh orang-orang bangkrut. Barang dagangan para penumpangnya adalah janji-janji setan dan hayalan yang menipu. Gelombang angan-angan dusta serta hayalan batil terus bergulung-gulung mempermainkan penumpang, seperti anjing mempermainkan bangkai.”
8. Taat

Kita takut dan kuatir terhadap ketaatan kepada Allah, maka kita selalu berusaha untuk menjadikan ketaatan kita murni dan ikhlas hanya untuk Allah semata.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq—guru Imam al-Qusyairi—pernah berkata, “Takut kepada Allah mempunyai beberapa tingkatan, yaitu khawf, khasy-yah dan haybah.”

Khawf merupakan bagian dari syarat-syarat iman dan hukum-hukumnya, sebagamana firman Allah SWT:
وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
(QS Âli ‘Imrân [3]: 175)

Khasy-yah merupakan bagian dari syarat-syarat mengenal ilmu. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَۤاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS Fâthir [35]: 28)

Sedangkan haybah merupakan bagian dari syarat-syarat ma‘rifat (mengenal Allah). Haybah adalah rasa takut yang bersumber dari rasa hormat terhadap-Nya. Firman Allah:

وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
(QS Âli ‘Imrân [3]: 30)

Abdul Qasim al-Hakim menerangkan bahwa orang yang takut kepada sesuatu, maka ia akan lari darinya. Adapun orang yang takut kepada Allah, maka ia akan lari kepada-Nya.

Di hadapan Tuhan
Tak ada yang bisa disembunyikan
Dan tak ada yang luput dari perhitungan
Di hari pembalasan, si pendosa sesali perbuatan
Seluruh catatan amal besar dan kecil diperlihatkan
Seluruh ruh dikembalikan, seluruh amal diputuskan
Ke surga penuh nikmat, atau neraka penuh siksaan
Dan para pemuja dunia tak pernah memperkirakan
Ada kehidupan yang abadi setelah kematian
(karya Ibnu Hazm al-Andalusi)


Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu


Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (2 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (4 of 5)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 29, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (2 of 5)

Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk beraktivitas, hal terpenting yang diperintahkan-Nya adalah melakukan aktivitas tersebut dengan sebaik-baiknya dan tidak berlepas tangan begitu saja. Allah juga memberikan metode, agar manusia bisa beraktivitas sebaik-baiknya. Metode yang diajarkan-Nya adalah ketika mereka bekerja, mereka haruslah sadar bahwa pekerjaan itu dilaksanakan di hadapan-Nya, atau mereka menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi ketika mereka melaksanakan pekerjaan. Itulah hakikat ihsan, benar-benar antara kita dengan Allah.

Di buku “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)” diuraikan bahwa ihsan ada beberapa tingkatan, yaitu:
  • Pengawasan Allah dan takut kepada-Nya
  • Malu kepada Allah
  • Harmonis kepada Allah
a. Pengawasan Allah dan takut kepada-Nya

Pengawasan Allah adalah bagaimana seorang hamba menyembah Tuhannya seolah-olah hadir di hadapannya, melihatnya dan memperhatikannya melakukan ibadah. Jika kita menyembah Allah dengan cara seperti ini di dunia, balasannya adalah memandang-Nya dengan jelas pada hari akhirat kelak.

وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
(QS al-Qiyâmah [75]: 22)

إِلىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS al-Qiyâmah [75]: 23)
Imam Muslim meriwayatkan dari Shuhaib bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ يَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ: تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا أَزِيْدُكُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا، أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلىَ رَبِّهِمْ
Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah berfirman, “Maukah kalian kutambah sesuatu?” Mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menghindarkan kami dari neraka?” Kemudian disingkapkanlah penghalang itu, tidak ada sesuatu yang paling diinginkan melainkan hanya melihat Tuhan mereka.

Kemudian Rasulullah membaca ayat:

لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوا ٱلْحُسْنىٰ وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. (QS Yûnus [10]: 26)

Jadi, diharuskan bagi kita untuk selalu awas (sadar) bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengintai kita, karena hal itu akan melahirkan rasa takut (takwa) kepada-Nya.

إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi (mengintai).
(QS al-Fajr [89]: 14)

إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
(QS an-Nisâ’ [4]: 1)
Diperintahkan juga agar kita taat beribadah dan bersungguh-sungguh untuk melaksanakannya dengan sempurna. Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya segala apa yang ada di bumi dan di langit. Allah mendengar suara langkah kaki semut hitam di atas batu cadas hitam-kelam di malam yang gelap. Allah mengetahui dan melihat biji mostar di atas batu yang licin penuh lumut. Setiap daun jatuh, setiap bisikan dan setiap hembusan nafas didengar-Nya. Allah Maha Mengetahui peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi.

Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).(QS al-An‘âm [6]: 59)
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS al-Hadîd [57]: 4)
Berikut ini kisah yang juga menceritakan tentang ihsan. Diriwayatkan dari Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu malam Umar bin Khaththab bersama seorang peronda berjalan keliling kota. Sampai di sebuah rumah, mereka mendengar perbincangan seorang ibu dengan anak gadisnya. Sang ibu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual esok hari dengan air karena sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Sang ibu berkata,
“Wahai anakku, campurlah susu itu dengan air.”
“Apa Ibu tidak tahu kalau Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab melarang kita mencampur susu dengan air?” jawab sang anak.
“Sesungguhnya Amirul Mukminin tidak melihat kita sekarang,” tukas si ibu.
Gadis itu berkata lagi,
“Ibu, jika Amirul Mukminin tidak melihat kita, tapi Tuhan Amirul Mukminin melihat kita. Demi Allah, aku tidak mau jika aku mematuhi Amirul Mukminin di hadapan khalayak ramai, tapi mengkhianatinya di tempat sepi.”
Subhânallâh. Betapa hebatnya gadis itu, dia selalu meyakini bahwa Allah benar-benar mengawasi. Al-Junaid mengatakan bahwa siapa yang dapat merealisasikan pengawasan (murâqabah), maka dia takut kehilangan bagian yang diperoleh dari Tuhannya, bukan takut pada yang lain.

Menurut Dzun Nun al-Mishri, yang dimaksud hubungan pengawasan adalah mementingkan sesuatu yang telah dipentingkan oleh Allah, mengagungkan sesuatu yang telah diagungkan oleh-Nya dan mengecilkan sesuatu yang telah dikecilkan oleh-Nya. Ia pernah ditanya,

“Dengan apakah seorang hamba dapat meraih surga?”
“Dengan lima hal. Istiqamah tanpa penyimpangan, kesungguhan tanpa kelalaian, murâqabah dalam kesunyian dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan, dan menghisab jiwa sebelum dihisab,” jawabnya.

Abu Hafsh berwasiat kepada Abu Utsman, “Apabila engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap hatimu dan dirimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka. Mereka mengawasi lahirmu, sedangkan Allah mengawasi batinmu.”


Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (1 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (3 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 22, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (1 of 5)

Setelah bertanya tentang Islam dan iman, Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang ihsan. Nabi Muhammad saw. menjawab,


أَنْ تَعْـبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau menyembah (beribadah kepada) Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan seandainya engkau tidak bisa mencapai keadaan itu, engkau harus yakin bahwa Dia melihatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)


Berikut ini kisah tentang implementasi ihsan dalam kehidupan sehari-hari. Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab berjalan-jalan untuk melihat keadaan rakyat beliau. Sampailah beliau di sebuah padang rumput nan hijau. Di tempat itu, beliau melihat ada seorang anak sedang menggembalakan sekian banyak domba. Umar mendekati anak itu dan berkata,


“Wahai anakku, banyak sekali dombamu.”

”Tuan, domba-domba itu milik majikan saya. Saya hanya seorang penggembala,” jawab si penggembala.

Penggembala itu tidak tahu bahwa orang di hadapannya adalah Umar bin Khattab, sang Khalifah.

“Anakku, bagaimana kalau aku membeli satu ekor saja dari domba-dombamu. Boleh kan?”

“Maaf, Tuan. Kalau Tuan hendak membelinya, silakan ke majikan saya.”

“Anakku, bagiku sama saja, aku membeli dari siapa pun juga tidak masalah. Terimalah uang ini, kamu bisa kaya dengan uang ini. Toh majikanmu juga tidak akan tahu. Bila ia bertanya tentang hilangnya satu ekor domba, katakan saja domba itu dimakan srigala,” ucap Umar mencoba untuk bernegosiasi

Penggembala tadi termenung mendengar tawaran menarik dari Umar. Suara-suara setan dan malaikat beriringan di dengarnya, mendengung di kepalanya, seolah sedang terjadi peperangan maha dahsyat. Setan membisikkan,

“Hai gembala, ambil saja uang itu! Bukankah majikanmu tidak akan tahu? Kalau ia menghitung domba-dombanya, katakan saja domba itu dimakan srigala, hilang karena lari tak terkejar, atau yang lain.”

“Jangan, wahai gembala! Itu bukan hakmu. Domba-domba itu bukan milikmu, tapi milik majikanmu. Tidak baik melakukan itu,” kata suara yang terdengar begitu lembut, suara malaikat kebaikan.

“Aaahh... Sekarang bukan zamannya. Yang penting kamu tidak menjadi penggembala lagi. Kamu bisa bahagia, bisa membangun rumah yang indah. Kamu juga bisa menolong teman-temanmu serta semua orang dengan uang itu. Tidakkah itu baik?”

“Jangan, duhai penggembala yang jujur... Ingatlah, akan ada kehidupan sesudah ini. Akan ada balasan untuk setiap perbuatan. Ingatlah Allah!”

“Gembala! Kamu tidak usah memikirkan apa yang belum terjadi. Surga adalah dunia dan dunia adalah surga!”

Cukup lama penggembala tadi terdiam. Lalu, dengan tempo lambat serta nada yang lembut namun mantap dia pun berkata,

“Maaf, Tuan. Domba-domba itu bukan milik saya. Memang, majikan saya tidak akan tahu apa yang terjadi di antara kita. Bahkan, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab juga tidak akan mendengar peristiwa yang terjadi di sini. Tapi, Tuan, Lâ ilâha illallâh, bagaimana aku mengatakan pada majikanku bahwa domba itu dimakan srigala? Tidak sadarkah Tuan bahwa Allah melihat kita? Di manakah Allah (fa-aynallâh)?”

Mendengar ungkapan jujur dari seorang anak kecil itu, mata Khalifah Umar pun berkaca-kaca, hatinya gerimis, mengharu biru. Betapa anak sekecil itu sudah menerapkan ihsan dalam kehidupannya yang tergolong sederhana. Nasihatnya begitu dalam, menelusup sampai ke relung-relung kalbu, mengalir bersama aliran darah dan menyatu sampai ke dalam sumsum tulang.

Dikisahkan pula bahwa ada seorang guru memiliki seorang murid muda yang sangat dihormati dan selalu diutamakannya. Sebagian murid yang lain merasa iri, lalu bertanya pada sang guru,

“Mengapa Bapak menghormatinya, padahal ia masih muda dan kami lebih tua?

Kemudian sang guru mengambil beberapa burung, lalu memberikan seekor burung dan sebilah pisau kepada masing-masing muridnya seraya berkata, “Masing-masing kalian hendaklah menyembelih burung itu di tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun.”

Setelah beberapa lama, semua murid kembali dengan membawa burung yang telah disembelih, kecuali murid muda itu. Ia kembali dengan membawa burung yang masih hidup di tangannya. Gurunya pun bertanya,

“Mengapa engkau tidak menyembelihnya sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawanmu?”

“Saya tidak menemukan tempat di mana saya tidak dilihat oleh siapa pun, karena Allah senantiasa melihatku di setiap tempat,” jawabnya.

Akhirnya semua murid mengakui murâqabah (perasaan selalu dalam pengawasan Allah) anak muda itu seraya berkata,

“Engkau memang berhak dihormati.”

Dua buah cerita di atas telah menggambarkan penerapan ihsan dalam keseharian. Namun, sepertinya hanya akan menjadi sekadar cerita, sebagaimana kisah-kisah yang lain. Kenapa? Marilah kita tanyakan pada diri kita, “Seandainya kita berada pada posisi penggembala kambing atau murid muda itu, apa yang kita lakukan?”

Mungkin kita akan melakukan hal yang sama, tapi rasanya berat sekali. Apalagi meniru murid muda dari sang guru. Dalam kondisi sendirian, ia masih tetap merasa dilihat Allah. Memang, kita bukan penggembala kambing atau murid muda itu, tapi bukankah semua pekerjaan pada dasarnya sama?

Di buku “ESQ POWER – Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan”, terdapat contoh-contoh ihsan untuk bidang pekerjaan saat ini, yaitu:

  • Seorang pegawai atau karyawan tidak disebut ihsan kalau dia hanya bisa mengerjakan perbuatan rutin saja, tetapi baru disebut ihsan kalau dia mahir dalam pekerjaannya, kreatif, bagus hasilnya, menyenangkan kawan kerjanya dan masyarakat. Semua dilakukan demi menggapai ridha Ilahi.
  • Seorang pilot baru disebut ihsan, jika ia mahir dalam mengendalikan pesawatnya, memahami dengan baik tentang cuaca berbagai tempat, penuh cinta dengan pekerjaannya, sayang kepada para penumpangnya dan selalu ingat kepada Allah yang menundukkan pesawat itu kepada dirinya (manusia).
  • Seorang manajer perusahaan baru dikatakan ihsan, jika ia dapat mengatur perusahaannya dengan baik (memajukan perusahaan), dicintai dan mencintai karyawannya (menyejahterakan karyawan), pandai dalam berkomunikasi dengan masyarakat (memberikan manfaat yang besar bagi lingkungannya) dan selalu ingat kepada Allah yang telah memberi kesempatan baginya untuk bekerja dengan leluasa.

Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ary Ginanjar Agustian, “ESQ POWER – Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan”, Penerbit Arga, Cetakan Kesembilan : Mei 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (2 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#