Mencari Data di Blog Ini :

Friday, April 24, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (8 of 12)

e. Ibadah


Setan memang musuh kita yang nyata. Kalau kita ahli ibadah sekalipun, takkan luput dari godaannya. Apabila kita sebagai ‘âbid (ahli ibadah) sampai terjangkit penyakit sombong, maka dalam urusan dunia, kita menganggap bahwa orang-orang yang bersilaturrahim kepada kita lebih baik daripada kepada yang lain. Kita berharap orang-orang memenuhi segala kebutuhan kita, menghormati dan memberikan tempat khusus kepada kita dalam setiap pertemuan. Kalau kita membeli sesuatu, kita juga ingin dilayani terlebih dahulu tanpa harus antri, karena kita merasa kita adalah orang terhormat yang harus diutamakan. Kita merasa berhak mendapatkan diskon yang lebih besar dibandingkan semua orang. Kita juga menginginkan untuk lebih diutamakan dalam bermacam-macam pembagian, termasuk sedekah. Hal ini karena kita menganggap bahwa ibadah kita telah diterima oleh-Nya dan memberikan rahmat bagi semua orang.

Bahkan, yang lebih memalukan lagi adalah kita menyebutkan dalam setiap pertemuan bahwa kita ahli ibadah. Kita akan berkata, “Tidak tahukah Anda bahwa saya seorang Ustadz? Seorang Kyai? Asy-Syaikh, al-Hâjj, al-‘Âlim, al-‘Allâmah, al-Hâfizh, al-Faqîh, al-Fâdhil, al-‘Âbid, al-‘Ârif dan gelar-gelar yang lain?”

Sedangkan dalam urusan akhirat, kita akan menganggap orang-orang akan mendapat siksa Allah kecuali diri kita dan orang-orang yang patuh serta tunduk pada kita—para jamaah kita. Wal ‘iyâdzu billâh. Marilah kita tanamkan benar-benar pada diri kita sabda Rasulullah :

إِذَا سَمِعْـتُمُ الرَّجُلَ يَقُوْلُ هَلَكَ النَّاسُ هُوَ أَهْلَـكُهُمْ

Apabila kalian mendengar seseorang berkata, “Orang-orang akan binasa,” maka sesungguhnya dialah yang paling binasa daripada mereka.
(HR Muslim)

كَفَى بِالْمَرْءِ شَرًّا أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْـلِمُ

Cukuplah dikatakan buruk akhlaknya ketika ia menghina (merendahkan) saudara sesama muslim.
(HR Muslim)

Apakah kita belum mengerti juga bahwa kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok, lusa apalagi masa depan? Ataukah kita merasa diri kita mukâsyafah? Mengetahui apa yang belum terjadi? Ngerti sak durunge winarah? Siapa yang bisa menjamin kita akan husnul khâtimah? Apakah kita berani mengatakan bahwa kita pasti masuk surga? Memangnya siapa yang menjamin hal itu?

Dalam kitab “Al-Mawâ‘izh al-‘Ushfûriyyah” dikisahkan bahwa pada suatu malam di bulan Rajab, sahabat Abu Bakar ra. menangis dengan tangisan sedih ketika membaca ayat,

إِنَّ اللهَ ٱشْـتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالهَـُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَـنَّةَ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
(QS at-Taubah [9] : 111)

Mengapa beliau menangis?

“Bagaimana saya tidak menangis. Allah benar-benar membeli jiwa-jiwa para hamba-Nya. Bagaimana jika Allah menemukan pada diri saya terdapat aib? Sebagaimana layaknya jual-beli, apakah Allah tidak akan mengembalikan saya ke neraka? Karena itulah saya menangis,” kata beliau.

Umar bin Khaththab ra., seorang sahabat Nabi yang hidup zuhud dan benar, pernah bertanya kepada Hudzaifah—seorang sahabat yang ahli dalam ilmu kemunafikan. Umar berkata,

“Demi Allah, aku bertanya kepadamu wahai, Hudzaifah! Apakah Rasulullah menyebutku munafik?”

“Subhânallâh! Andaikata Umar disebut munafik, lalu siapa orang yang beriman. Tidak, demi Allah. Rasul tidak menyebutmu munafik,” jawab Hudzaifah.

Tidakkah kita malu pada diri sendiri mendengar kisah-kisah tersebut? Sahabat Nabi, Abu Bakar ra. saja masih merasa bahwa di dalam dirinya terdapat aib, kuatir ibadah beliau tidak sempurna. Beliau takut kalau Allah tidak menempatkannya di surga, tapi di neraka, padahal ada sebuah atsar Sahabat Umar bin Khaththab ra :

لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَِبي بَكْرٍ بِإِيْماَنِ الْعَالَمِ لَرَجَحَ

Kalau iman Abu Bakar ditimbang dengan keimanan penghuni dunia, niscaya iman Abu Bakar lebih berat.
(Syu'bul Iman oleh Imam Baihaqi)

Begitu juga dengan diri Umar bin Khaththab ra. Memangnya diri kita siapa, kok berani-beraninya sombong karena ibadah kita? Kita ini bukan sahabat Nabi, bukan pula tâbi‘în (murid-murid para sahabat Nabi), juga bukan tâbi‘ut tâbi‘în. Kita bukanlah salafush shâlih. Bahkan kita pun tidak layak disebut ulama. Pantaskah kita menyombongkan ibadah kita yang tidak seberapa itu? Pernahkan kita menangis dan menguatirkan diri atas keimanan dan keislaman kita? Kitalah yang sebenarnya lebih pantas menangis dibandingkan Abu Bakar ra. Kita jugalah yang seharusnya kuatir, bukannya Umar bin Khaththab ra. Beliau berdua adalah sahabat-sahabat Nabi pilihan, termasuk Khulafâ’ ar-Râsyidîn al-Mahdiyyîn.

Suatu ketika seseorang datang kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan memujinya, maka beliau pun berkata pada orang itu,

“Demi Allah, aku membencimu karena perkataan itu. Demi Allah, kalau saja kau mengetahui dosa-dosaku, pasti kau akan menaburkan tanah di atas kepalaku!”

Lihatlah Imam Ahmad, lihatlah hamba Allah ini!


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar) ”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Muhammad bin Abi Bakar, asy-Syaikh, “Al-Mawâ‘izh al-‘Ushfûriyyah”
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (7 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (9 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, April 17, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (7 of 12)

d. Ketampanan atau Kecantikan

Suatu hari Abu Dzar berdebat dengan seseorang. Kemudian Abu Dzar berkata, “Wahai anak orang hitam.” Abu Dzar memang berkulit putih sehingga dia merasa lebih mulia. Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. berkata kepada Abu Dzar,

“Sadarlah, sesungguhnya kamu tidak lebih mulia daripada orang berkulit merah atau hitam kecuali ketakwaanmu lebih tinggi daripadanya.”

Lalu Abu Dzar berbaring dan berkata kepada orang itu,

“Berdirilah dan injak pipiku.”

Betapa taubat yang dilakukan sahabat Nabi sampai seperti itu. Dia meminta orang tadi untuk menginjak pipinya agar kesombongan terlepas dari hatinya.

Diriwayatkan pula bahwa suatu ketika datang seorang wanita menemui Nabi saw. Siti Aisyah berkata kepada beliau dengan mengisyaratkan tangannya bahwa wanita itu pendek. Rasulullah bersabda,

إِغْتَبْـتِهَا

“Engkau telah menggunjingnya.”
(HR Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih)

Menggunjing di sini termasuk unsur kesombongan yang tersembunyi. Jika Aisyah juga pendek, maka tidak akan mengatakan itu kepada Nabi. Akan tetapi Aisyah merasa lebih baik postur tubuhnya daripada wanita itu sehingga mengatakan seperti itu. Dalam sebuah hadits lain, Nabi saw. bersabda :

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَإِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk tubuh kalian dan tidak pula kepada harta benda kalian. Akan tetapi, Dia hanya memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian.
(HR Muslim)

Ibnu Mas‘ud ra. adalah orang yang kecil perawakannya, tetapi agama ini dan Al-Qur’an telah mendatangkan begitu banyak keajaiban pada dirinya. Suatu hari ia sedang memanjat sebuah pohon. Tiba-tiba angin kencang menggoyahkan ranting-ranting pohon itu. Ibnu Mas‘ud yang berada di atasnya terlihat seperti seekor burung. Orang-orang menertawakan ukuran betisnya yang amat kecil dan badannya yang kelewat kurus. Maka, Rasulullah saw. bersabda,

مَا تَضْحَكُوْنَ لَرِجْلُ عَبْدِ اللهِ أَثْقَلُ فىِ الْمِيْزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أُحُدٍ

“Apakah kalian menertawakan kecilnya betis Ibnu Mas‘ud, sedangkan betisnya dalam mizan pada hari Kiamat lebih berat dari gunung Uhud?” (HR Ahmad)

Dari kisah-kisah di atas, apakah kita tetap membangga-banggakan ketampanan atau kecantikan yang seharusnya kita syukuri sebagai karunia Allah? Apakah kita masih merasa diri lebih unggul dibandingkan orang lain, merendahkan mereka, baik lewat ucapan, tindakan atau bahasa tubuh? ‘Aidh al-Qarni berpesan :

Lihat mata pedang dan abaikan punggungnya
Pertimbangkan keutamaan pemuda saja
Tanpa memperhatikan hiasan yang dipakai

Penulis pernah menerima sebuah email yang menceritakan kecelakaan yang menimpa seorang gadis di Amerika Serikat beserta teman-temannya setelah pesta. Karena mabuk, maka teman yang jadi sopir kehilangan kendali dan terjadilah kecelakaan sangat parah. Wajah gadis yang semula rupawan berubah total. Bahkan, operasi plastik pun tidak bisa mengembalikan wajahnya ke wujud aslinya. Betapa karunia Allah begitu sempurna.

Di Surabaya pernah terjadi wajah seorang wanita muda berusia 22 tahun terkena air panas. Beritanya pun tersebar ke seluruh nusantara. Dia menjadi pasien di RSUD Dr. Soetomo dan harus menjalani operasi rekonstruksi wajah total (face off). Namun demikian, kondisi hasil operasi tetap tidak bisa mengembalikan wajahnya seperti semula, padahal operasi dilakukan beberapa kali dan setiap operasi membutuhkan waktu berjam-jam. Nikmat Allah manakah yang kita dustakan? Allah telah mengingatkan bahwa jika kita menghitung nikmat-nikmat-Nya yang dikaruniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan sanggup.

وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. (QS an-Nahl [16] : 18)


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006


Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (6 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke :
Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (8 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, April 10, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (6 of 12)

Tidak ada jaminan bahwa anak orang terhormat akan menjadi orang mulia dan anak seorang kyai akan menjadi ulama. Oleh sebab itu seorang penyair berkata :

Musa yang dipelihara oleh Fir‘aun adalah orang beriman
Sedangkan Musa yang diasuh Jibril adalah kafir

Yang dimaksud Musa yang diasuh Jibril adalah Samiri. Samiri memang bernama asli Musa. Ali bin Abi Thalib kw. (karramallâhu wajhah) juga mengingatkan :


لَيْسَ الْفَتىَ مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَِبيْ، وَلـٰكِنَّ الْفَتىَ مَنْ يَقُوْلُ هٰـأَنَاذَا

Bukanlah pemuda yang mengatakan inilah (prestasi) bapakku
Akan tetapi, pemuda adalah orang yang mengatakan inilah (pretasi) aku

Sebuah syair yang indah, mengandung nasihat mulia termaktub dalam kitab “Ta‘lîm al-Muta‘allim” :

فَكَمْ عَبْـدٍ يَقُوْمُ مَقَـامَ حُرٍّ * وَكَمْ حُرٍّ يَقُوْمُ مَقَـامَ عَبْـدٍ

Betapa banyak anak orang biasa menjadi mulia (karena ketekunannya)
Namun, banyak juga anak orang mulia menjadi hina (karena kemalasannya)

Dikisahkan, suatu hari Sahabat Zaid bin Tsabit mengendarai hewan tunggangan. Tiba-tiba Ibnu Abbas datang mendekatinya untuk memperoleh pengajaran seraya memegang kendali hewan tunggangannya dengan sikap menunduk. Zaid merasa tak enak kemudian melarangnya,

“Lepaskanlah, wahai putera paman Rasulullah!”

Namun, Ibnu Abbas tidak memedulikannya. Dia tetap memegangnya seraya berkata,

“Seperti inilah kami diperintah untuk berbuat baik (sopan dan rendah hati) kepada ulama kami.”

Zaid memang sangat cerdik. Dia segera merebut tangan Ibnu Abbas, menarik, kemudian menciumnya sambil mengatakan,

“Seperti inilah kami diperintah untuk berbuat baik kepada keluarga Rasulullah saw.”

Kisah di atas sungguh menggambarkan betapa masing-masing pihak begitu rendah hati, tak ada yang merasa lebih, padahal keduanya adalah orang-orang pilihan.

Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. bertemu anak-anak kecil di perjalanan. Di samping mereka terdapat roti yang sudah terpecah-pecah (tidak utuh lagi) dan mereka suguhkan kepadanya. Hasan lantas turun dari tunggangannya lalu makan bersama mreka. Setelah itu dia membawa mereka mampir ke rumahnya. Dia memberikan makanan dan pakaian. Dia berkata kepada keluarganya, “Keutamaan ini adalah milik mereka. Mereka belum pernah mendapatkan makanan selain apa yang telah mereka suguhkan kepadaku, sedangkan kita mendapatkan makanan lebih banyak dari ini.”

Ketika Bilal mengumandangkan adzan di atas Ka‘bah pada saat fathu al-Makkah (terbukanya kota Mekah); Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Khalid bin Usaid berkata, “Mengapa budak hitam ini yang mengumandangkan adzan di atas Ka‘bah?”

Lalu, turunlah ayat yang terjemahnya,

“...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu...” (QS al-Hujurât [49] : 13)

Kemudian Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ اللهَ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبَـيَّةَ الْجَاهِلِـيَّةِ-أَيْ كِبْرِهَا-كُلُّـكُمْ بَنُوْ آدَمَ وَآدَمَ مِنْ تُرَابٍ

“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan Jahiliyah di antara kalian, karena seluruh kalian adalah keturunan Nabi Adam yang berasal dari tanah.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Rasulullah asw. (‘alayhish shalâtu was salâm) melarang kita menghina nasab orang lain.


ِاِثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ : الطَّعْنُ فِى النَّسَـبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

Dua kelakuan manusia yang dapat menyebabkan kekufuran, yaitu menghina nasab (keturunan) dan berlebihan menangisi orang mati. (HR Muslim)

Kekasih Allah, Nabi saw. adalah seorang yang sangat tawadhu‘ walaupun beliau seorang imam, panglima perang, pemimpin tertinggi dan memiliki nasab luhur.

Ibnu Amr berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah melempar jumrah di atas unta, tanpa bersama pasukan, tanpa membawa senjata dan tanpa ada yang mengawal. Beliau juga pernah mengendarai keledai yang memakai kain beludru. Beliau sering menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menghadiri undangan dari seorang budak, memperbaiki sandal, menjahit pakaian dan mengerjakan pekerjaan rumah bersama istrinya. Para sahabat tidak pernah berdiri ketika beliau datang ke majelis karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak suka diperlakukan seperti itu.”

Suatu hari beliau lewat di depan anak-anak, beliau mengucapkan salam kepada mereka (coba kita perhatikan, bukan anak-anak yang terlebih dahulu mengucapkan salam kepada beliau). Pada kesempatan lain, beliau pernah bertemu seorang laki-laki dan orang itu gemetar karena melihat kewibawaan beliau, lalu beliau berkata,

هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنِّيْ لَسْتُ بِمُلْكٍ إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيْد

Tenanglah, aku bukanlah seorang raja, tetapi aku hanyalah anak dari wanita Quraisy yang makan dendeng (daging kering).” (HR Thabrani dan Baihaqi)

Beliau sering duduk bersama para sahabat dan beliau tidak menonjolkan diri. Suatu ketika ada seorang tamu datang dan ia tidak dapat membedakan mana Rasulullah di antara mereka. Akhirnya orang itu pun bertanya kepada para sahabat, mana Rasulullah? Betapa agung akhlak beliau.

Diriwayatkan oleh Abu Sa‘id al-Khudri bahwa Rasulullah saw. pernah memberi makanan kepada unta, menyapu rumah, menjahit sandal, menambal pakaian, menggembala kambing, makan bersama pelayan, dan menggoreng ikan. Nabi saw. tidak pernah merasa malu membawa barang belanjaannya dari pasar menuju ke tempat keluarganya. Beliau juga pernah bersalaman dengan orang kaya dan orang fakir, mengawali salam, tidak meremehkan pemberian (hadiah) apabila beliau diundang, meskipun hanya beberapa potong roti.

Beliau suka memberi makanan, berbudi pekerti baik, berkarakter baik, pandai bergaul, muka berseri-seri, tersenyum, berduka cita tanpa masam, rendah hati tanpa merasa hina, dermawan tanpa berlebih-lebihan, lemah lembut dan kasihan terhadap orang Islam, tidak pernah merasakan kenyang dan tidak pernah mengulurkan tangan terhadap makanan meskipun sangat ingin. Semoga Allah membimbing kita untuk dapat meneladani beliau, amin.


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (5 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (7 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, April 3, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (5 of 12)

Sikap tawadhu‘ juga dicontohkan oleh Sahabat Nabi yang lain. Suatu ketika orang-orang melihat Khalifah Ali bin Abi Thalib kw. membeli daging seharga satu dirham dan membawanya sendiri. Seseorang berkata,

“Biarkan aku yang membawakannya, wahai Amirul Mukminin.”

“Jangan, kepala rumah tanggalah yang lebih pantas membawa ini,” ucap Ali bin Abi Thalib.

Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa Ibnu Salam membawa sepikul kayu bakar, lalu dikatakan kepadanya,

“Wahai Abu Yusuf, anak-anak dan pembantumu sanggup menggantikan pekerjaanmu itu.”

“Aku ingin menempa jiwaku, apakah ia menolak?” jawabnya.

Semua hal di atas adalah teladan nyata—bukan cerita rekaan atau legenda—agar kita senantiasa rendah hati. Berikut ini dua contoh keangkuhan yang kita berlindung kepada Allah darinya.

Seorang penguasa yang dicopot dari jabatannya pergi ke desa asalnya. Para penduduk menyambutnya dengan menggelar permadani di jalan yang akan dilalui penguasa itu, karena ia terkenal dermawan ketika masih menjadi pejabat. Dia menengok kepada orang-orang di sekelilingnya dan berkata, “Sudah semestinya mereka berbuat seperti ini!”

Contoh lain yaitu ada seorang menteri dari dinasti Abasiyah hendak menyeberangi jembatan Baghdad. Ia berdiri termangu di pinggir jembatan dan berkata, “Demi Allah, aku benar-benar kuatir kalau jembatan ini tidak kuat menahan kemuliaanku dan ambruk bersama diriku ke dalam sungai!”

Diceritakan oleh Hajjaj bin Artha‘ah—seorang ulama hadits—bahwa suatu ketika menteri itu memasuki sebuah ruang majelis dan duduk di belakang hadirin. Orang-orang di majelis itu berkata,

“Duduklah di muka!”

“Di mana pun aku duduk, aku selalu di depan. Di mana pun aku duduk, aku yang terkemuka,” jawab menteri itu.

Inilah ungkapan sikap sombong.

Sejarah telah mengajarkan kepada kita betapa Namrud dan Fir‘aun hancur derajatnya dan mati karena kepongahannya. Apakah itu semua tidak membuat kita menyadari kehambaan kita?

Mungkin kita akan mengeluh, “Ah, sejarah lagi, sejarah lagi. Apa sih istimewanya mempelajari sejarah? Apakah mempelajari sejarah tidak hanya membuang-buang waktu, sebab membuat orang terpaku pada masa lalu—masa yang memang sudah hilang dan tak perlu dibicarakan. Bukankah membicarakan orang lain apalagi yang sudah meninggal tidak diperbolehkan? Bahkan perbuatan seperti itu termasuk dalam kategori menggunjing (ghibah), yang berarti kita memakan bangkai saudara sendiri. Apakah tidak lebih baik membicarakan hal-hal aktual serta memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan?”

Janganlah kita meremehkan mempelajari sejarah, apalagi mengabaikan hikmah yang bisa dipetik. Sejarahlah yang memberi tahu kita siapa sebenarnya orang tua dan kakek-buyut kita. Sejarah jugalah yang mengatakan kepada kita tempat dan tanggal lahir kita. Sejarah yang akan memberi informasi kepada generasi mendatang bahwa mereka ada sebab kita lebih dulu ada. Jika mereka maju, maka sejarah yang akan mengingatkan mereka bahwa kemajuan yang mereka capai tidak lepas dari keringat kita dan orang-orang yang terlebih dahulu ada. Orang yang tidak memperhatikan sejarah masa lalu sangat memungkinkan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali, bahkan berkali-kali. Dan sungguh, itu suatu kecelakaan yang pasti sangat menggelikan.

Mempelajari sejarah juga bukan termasuk menggunjing (ghibah) yang dilarang, karena untuk diambil hikmahnya. Batasan menggunjing adalah kita menyebutkan sesuatu yang tidak disenangi oleh saudara kita jika ia sampai mendengarnya, baik yang kita sebutkan itu kekurangan pada fisik, keturunan, akhlak, perbuatan, perkataan, masalah agama, pakaian, rumah, kendaraannya atah hal-hal duniawi lainnya. Semua itu dilakukan semata-mata untuk merendahkan derajat saudara kita. Namun jika untuk diambil hikmah, mengadukan kezhaliman kepada polisi atau jaksa, meminta fatwa, mencegah orang agar terhindar dari kejahatan orang lain, maka itu diperbolehkan dan tidak termasuk menggunjing yang tidak disenangi Allah.

Selain kekuasaan, memiliki nasab (garis keturunan) yang bagus juga bisa membuat kita menganggap rendah orang lain yang memiliki nasab yang kurang bagus, walaupun orang lain itu lebih tinggi ilmunya dan lebih baik amal perbuatannya. Dari segi pembicaraan, kita bisa tergoda untuk selalu membanggakan diri dan menyebut-nyebut kemuliaan nenek moyang kita.

Nasab yang baik akan mendorong untuk berkata, “Saya ini anak pejabat ternama, lho. Siapa yang tidak mengenal ayah saya?”, atau “Orang tua saya tokoh terpandang di masyarakat. Tidak mungkin kalau orang-orang akan berburuk sangka terhadap apa pun yang saya lakukan.”

Bila kita anak seorang kyai, bisa jadi kita akan berucap, “Saya ini keturunan kyai. Kakek saya kyai khos, bahkan ayah saya termasuk kyai khawwâshu al-khawwâsh (sangat khos). Kalau saya nanti mendirikan pesantren, akan saya beri nama Ma‘had Ya‘lû wa lâ Yu‘lâ ‘Alayh (Pesantren yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya).” Na‘ûdzubillâh min dzâlik

Berdasarkan riwayat Abdullah bin Ahmad dalam “Zawaid al-Musnid” dengan sanad shahih, suatu hari Rasulullah saw. bercerita,

“Pernah terjadi perselisihan antara dua orang di hadapan Nabi Musa as. Salah satu dari mereka berkata,

‘Aku Fulan bin Fulan bin Fulan bin Fulan... (sampai menyebutkan sembilan kakeknya).’

Kemudian Allah memberi wahyu kepada Nabi Musa,

‘Katakan kepada orang yang menyebut-nyebut nenek moyangnya. Sesungguhnya kesembilan orang itu masuk neraka dan kamu termasuk dari keluarga mereka’.”

Pemimpin besar dunia, Nabi Muhammad saw. pernah mengingatkan putri beliau—Fatimah,

اِعْمَلِيْ فَإِنِّيْ لاَ أَغْنَى عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْـئاً

“Beramallah, karena sesungguhnya aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah.”
(HR Bukhari dan Muslim)

Umar bin Khaththab menulis kepada Sa‘ad bin Abi Waqqash, “Wahai Sa‘ad, jangan engkau bangga oleh perkataan orang bahwa engkau adalah paman Rasulullan saw. Allah tidak ada pertalian nasab antara diri-Nya dan seorang pun dari makhluk-Nya. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.”


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Habiburrahman El Shirazy, “Ketika Cinta Bertasbih 1 [Novel Dwilogi Pembangun Jiwa]”, Penerbit Republika, Cetakan ke-3 : Maret 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Taubat

Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (4 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (6 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#