Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 29, 2012

Agar (Tetap) Fasih Membaca Al-Qur’an (3 of 3)


Contoh lain QS al-Ikhlâsh [112]. Bila kita berhenti di tiap ayat, maka bacaan yang benar adalah:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدْ (1) اللهُ الصَّمَدْ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدْ (4)
Huruf terakhir tiap ayat di­-sukun dan kita mengambil nafas. Seringkali terjadi kita membaca bersambung (washal) tapi huruf terakhir tiap ayat kita baca sukun dan tidak mengambil nafas. Seharusnya, bila kita tidak mengambil nafas hingga ayat terakhir, maka bacaan yang benar sebagai berikut:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدُنِ اللهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدْ
Mari perhatikan bacaan di atas. Antara ayat ke-1 dan ke-2 bila disambung (washal) dibaca “Qul Huwallâhu ahadunillâhush shamadu”. Di sini lebih jelas perbedaan bacaan waqaf  dan washal.
Tentang bukti lain bahwa kefasihan kita dalam membaca Al-Qur’an bisa menurun—meskipun sudah pernah mengaji hingga khatam saat di TPQ atau pondok—sering kali kita kurang menjaga konsistensi bacaan panjang (mad). Salah satu jenis bacaan panjang adalah mad thabi‘iy.
Bacaan mad thabi‘iy dengan contoh نُوْحِيْهَا, harakat fathah berdiri misalnya di huruf lam kedua lafazh ِللهِ atau kasrah berdiri menurut ilmu tajwid dibaca panjang satu alif.
Kita cenderung kurang konsisten dengan panjang satu alif ini, sehingga bacaan mad thabi‘iy di satu ayat berbeda panjangnya dengan ayat lain. Apalagi ketika tinggal beberapa ayat terakhir, bacaan kita tatkala jadi imam shalat melambat sehingga tidak sama lagi panjang mad thabi‘iy di awal dan di akhir bacaan.
Di buku Pokok-Pokok Ilmu Tajwid” KH. Basori Alwi menjelaskan bahwa membaca mad thabi‘iy kurang dari satu alif hukumnya haram syar‘iy, sedangkan bila membacanya lebih dari satu alif sangat makruh.
Mungkin kita berkilah, “Toh membaca mad thabi‘iy melebihi satu alif hukumnya tidak sampai haram, mengapa mesti dipermasalahkan?”
Bila memang demikian, lantas buat apa para ulama mengajari kita perbedaan panjang bacaan antar mad? Apa semua itu cukup sebatas wacana tanpa perlu dipraktikkan?
Dari bukti empiris yang ada, apa kita masih merasa tidak perlu lagi minta tashih baca Al-Qur’an kepada ulama yang kompeten di bidangnya dengan dalih kita sudah menjadi ustadz dan pernah mengaji tajwid kala pelajar?
Sebagai penutup, untuk lebih memotivasi diri dan meningkatkan rasa cinta kepada Al-Qur’an, mari kita perhatikan dan amalkan sabda Rasulullah saw. tentang orang yang mahir membaca Al-Qur’an.
اَلْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
 “Orang yang membaca Al-Qur’an, (dan) ia mahir, kelak mendapat tempat dalam surga bersama-sama dengan para Rasul yang mulia lagi baik. Dan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan tampak agak berat lidahnya (belum lancar), ia akan mendapat dua pahala (pahala membaca Al-Qur’an dan pahala karena kepayahan/kesulitan yang dialami).” (Muttafaq ‘alayh. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Muslim)
Tidakkah kita rindu bertemu pemimpin, junjungan dan manusia termulia yang sangat kita cintai, Rasulullah Muhammad saw?
Tidakkah kita ingin satu tempat bersama Nabi saw di surga nanti?
Tidakkah pula kita ingin berada di dalam surga bersama-sama para Rasul Allah?
Masuk surga saja sudah rahmat yang sangat agung, apalagi bisa mendapat tempat di surga bersama-sama dengan para Rasul yang mulia. Semoga Allah SWT senantiasa menolong kita agar bisa tetap berusaha bisa fasih membaca Al-Qur’an dan kelak mengumpulkan kita bersama para Rasul di surga-Nya, amin.

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Irena Handono, Hj, et al, Islam Dihujat—Menjawab Buku The Islamic Invation (Robert Morey)
M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
Muhammad Basori Alwi Murtadho, KH, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits



#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 22, 2012

Agar (Tetap) Fasih Membaca Al-Qur’an (2 of 3)


Demi menjaga agar bacaan Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw., setiap muslim wajib mempelajarinya. Sekian banyak TPQ berdiri guna mengajari anak-anak kecil membaca Al-Qur’an. Tak mau kalah, takmir mushalla/masjid juga mengadakan hal yang sama tapi untuk orang dewasa yang masih belum fasih membaca Al-Qur’an.
Bahkan, ada pesantren yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an, misalnya Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) SingosariMalang yang diasuh KH. Muhammad Basori Alwi Murtadho (nama beliau biasa disingkat KH. Basori Alwi). Begitu pula jurusan kuliah di IAIN/UIN.
Ada pertanyaan, “Bila sudah pernah mengaji di TPQ sampai khatam Al-Qur’an, masihkah perlu mengaji cara membaca Al-Qur’an dengan fasih kepada seorang guru (ustadz)? Bukankah cukup dengan rutin membaca Al-Qur’an sendirian di rumah? Toh sudah pernah berguru ketika mengaji di TPQ, jadi tak perlu guru lagi kan?”
Semasa mengaji di PP Amanatul Ummah Siwalankerto UtaraSurabaya, tiap sebulan sekali takmir Masjid Al-Hidayah dekat pesantren mengundang KH. Basori Alwi dalam rangka penataran bacaan imam shalat. Selain diikuti para imam berbagai masjid, para ustadz dan masyarakat, semua santri pondok wajib turut serta dalam rangka mengaji kepada seorang ulama besar.
Penataran imamah diawali dengan mengaji kitab “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah” karya Habib Abdullah Ba‘alawi al-Haddad. Setelah itu, KH. Basori Alwi mengajari cara membaca QS al-Fâtihah yang baik dan benar. Mengapa QS al-Fâtihah? Karena QS al-Fâtihah termasuk rukun shalat. Oleh karena itu, para imam shalat harus benar cara membacanya.
Tiap ayat beliau baca langsung diikuti jamaah yang hadir hingga ayat terakhir. Kemudian beliau mendengarkan dan memperbaiki/mengoreksi (tashih) bacaan QS al-Fâtihah bagi yang maju. Ternyata, sekian banyak imam termasuk para ustadz masih harus memperbaiki bacaan. Hal ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu tak boleh berhenti walau kita telah pernah mengaji Al-Qur’an hingga khatam.
Nah, kalau para imam shalat dan ustadz saja masih harus terus belajar, masa kita merasa diri tak perlu lagi belajar membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar?
Apa kita merasa sudah fasih? Jika ya, apa buktinya? Apa kita sudah minta ditashih oleh ulama yang telah diakui kefasihannya membaca Al-Qur’an? Jika sudah, apakah kita secara berkala minta ditashih?
Mungkin kita akan bertanya, “Haruskah kita secara berkala minta tashih baca Al-Qur’an? Apa tidak cukup sekali saja?
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa jika kita tidak bergerak khusus di bidang pengajaran Al-Qur’an, lama-kelamaan tingkat kefasihan berkurang. Ini berlaku umum, termasuk para ustadz yang telah lama mengaji di pesantren atau kuliah di UIN/IAIN.
Memang, yang menilai seharusnya bukan diri sendiri. Penilai harus orang lain, baru tampak kekurangannya. Itu pun dengan syarat sang penilai tidak rikuh atau sungkan dalam menilai. Misalnya sang penilai adalah teman sendiri yang sudah akrab. Walaupun sang penilai seorang ustadz, biasanya ada unsur kurang enak jika memperbaiki bacaan sesama teman. Namun, hal ini tetap tergantung pribadi masing-masing. Penulis sendiri berusaha untuk senantiasa minta tashih kepada yang lebih ahli dalam membaca Al-Qur’an.
Tashih berkala bisa diibaratkan seperti timbangan yang harus ditera rutin agar akurasinya tepat. Semasa penulis kuliah, sebelum praktikum dimulai, osiloskop—alat ukur untuk bidang elektro atau sejenis—harus dikalibrasi terlebih dahulu agar gambaran visual yang dihasilkan akurat.
Mungkin kita bertanya, “Apa ada bukti nyata di lapangan bahwa seorang yang sudah pernah mengaji bisa berkurang kefasihannya?”
Mari kita perhatikan shalat Jum’at atau shalat hari raya. Imam dianjurkan membaca QS al-Jumuah [62] saat rakaat pertama dan QS al-Munâfiqûn [63] kala rakaat kedua.  Bisa juga di rakaat pertama membaca QS al-A‘lâ [87] dan membaca QS al-Ghâsyiyah [88] di rakaat kedua.
Yang cukup banyak didapati, biasanya kita sebagai imam shalat Jum’at membaca QS al-A‘lâ [87] dan QS al-Ghâsyiyah [88]. Sebagai contoh, berikut ini lima ayat pertama QS al-Ghâsyiyah [88]:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ(1) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ(2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ(3) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً(4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ(5)
Jika kita berhenti (waqaf) di tiap ayat, maka huruf terakhir di-sukun, sehingga terbaca sebagai berikut:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةْ(1) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةْ(2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةْ(3) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةْ(4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةْ(5)
Salah satu peraturan membaca Al-Qur’an adalah, “Apabila kita berhenti (waqaf) di akhir ayat (penghabisan ayat atau ra’su âyah) seperti di atas, maka kita mengambil nafas.”
Ternyata, terkadang ketika menjadi imam shalat Jum’at, kita tidak mengambil nafas saat berhenti di akhir ayat, padahal cara membacanya dengan waqaf yaitu huruf terakhir ayat di-sukun.
Bila kita tidak mengambil nafas, hal ini disebut bacaan bersambung (washal). Untuk bacaan washal huruf terakhir tiap ayat tidak di-sukun, hanya di akhir ayat kita berhenti saja yang di-sukun. Misal kita membaca bersambung hingga ayat ke-5 (ayat ke-5 kita berhenti), maka cara membaca yang benar adalah:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةْ
Coba kita perhatikan. Huruf akhir ayat tetap berharakat, tidak di-sukun kecuali di akhir ayat tempat kita berhenti. Di akhir ayat tempat berhenti ini kita mengambil nafas. Berhenti (waqaf) di akhir ayat tanpa mengambil nafas adalah bukti turunnya kefasihan kita membaca Al-Qur’an.
Penjelasan lebih lanjut tentang waqaf  bisa dipelajari di buku-buku atau kitab-kitab tajwid. Penulis mengacu ke buku karya KH. Basori Alwi—Pengasuh Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Singosari, Malang—yang berjudul “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid” bab Waqof dan Ibtida’.

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Irena Handono, Hj, et al, Islam Dihujat—Menjawab Buku The Islamic Invation (Robert Morey)
M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
Muhammad Basori Alwi Murtadho, KH, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 15, 2012

Agar (Tetap) Fasih Membaca Al-Qur’an (1 of 3)

Membaca Al-Qur’an dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hija’iyah dari mulut atau tenggorokan) yang benar serta sesuai tajwid diperintahkan oleh ajaran agama.
Mengapa demikian? Kita diwajibkan membaca Al-Qur’an sama seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu ulama-ulama yang mendalami Al-Qur’an memperoleh sanad (mata rantai) qira’ah Al-Qur’an yang bersambung ke Rasulullah saw.
Sebagai contoh di Indonesia. Bacaan Al-Qur’an yang diajarkan oleh guru-guru kita adalah qira’ah Imam ‘Ashim dari riwayat Imam Hafsh bin Sulaiman. Berikut ini contoh sanad qiraah yang dimiliki pengasuh PP Al-Munawwariyyah Sudimoro-Bululawang-Malang, KH. Muhammad Maftuh Sa’id. Sanad qira’ah ini penulis ambil dari buku karya Hj. Irena Handono, et al, yang berjudul Islam Dihujat—Menjawab Buku The Islamic Invation (Robert Morey)”.
  1. KH. Muhammad Maftuh Sa’id Malang.
  2. Dari Ayahnya H. Muhammad Sa’id Mu’in Gresik.
  3. Dari Gurunya Kyai Munawwar Sedayu Gresik.
  4. Dari Syekh Abdul Karim bin Umar al-Bari al-Dimyathy.
  5. Dari Syekh Ismail.
  6. Dari Syekh Ahmad Rasyidi.
  7. Dari Syekh Mushthafa al-Azmiry.
  8. Dari Syekh Hijazy.
  9. Dari Syekh Ali bin Sulaiman al-Manshury.
  10. Dari Syekh Shulthon al-Mazhy.
  11. Dari Syekh Saifuddin bin Atho'illah al-Fudloily.
  12. Dari Syekh Syahadzah al Yamany.
  13. Dari Syekh Nashiruddin al-Thoblawy.
  14. Dari Syekh Zakaria al-Anshory.
  15. Dari Syekh Ahmad as-Shuyuthy.
  16. Dari Syekh Muhammad al-Jazry.
  17. Dari Syekh al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mashri as-Syafi’i
  18. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan bin Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-Abbas al-Mashry.
  19. Dari Syekh al-Imam Abi al-Qashim as-Syathiby.
  20. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan bin Hudzail.
  21. Dari Syekh al-Imam bin Daud bin Sulaiman bin Naijah.
  22. Dari Syekh al-Imam al-Hafidz Abi Umar al-Dany.
  23. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan al-Ashnany.
  24. Dari Syekh al-Imam Ubaidillah as-Sibagh.
  25. Dari Syekh al-Imam Hafsh.
  26. Dari Syekh al-Imam Ashim.
  27. Dari Syekh al-Imam Abdurrahman as-Sullamy.
  28. Dari Shahabat Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan, Ubay bin Kaab ra.
  29. Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hj. Irena menjelaskan bahwa dibandingkan dengan sanad lain yang dikumpulkan, sanad ini paling ringkas jalurnya, di mana nama-nama Qurra’ asal Indonesia hanya tiga di depan.
Perlu penulis garis bawahi bahwa sanad keguruan seperti ini cuma ada dalam literatur ulama-ulama Islam. Tak hanya bidang qira’ah Al-Qur’an, ilmu hadits, aqidah, nahwu dan lainnya juga memiliki sanad. Hal ini termasuk jaminan ilmiah bahwa ilmu yang didapat sesuai dengan yang diajarkan guru sang ulama hingga seterusnya. Adanya sanad termasuk salah satu kehebatan para ulama dalam menjaga keautentikan ilmu. Subhânallâh.
Benarkah “tradisi” sanad hanya ada pada ulama-ulama Islam? Penulis belum pernah tahu (mungkin karena tidak ada) sanad keilmuan/keguruan di bidang lain. Bila ada yang kurang percaya, coba kita jawab pertanyaan ini, “Guru-guru Matematika telah mengajarkan rumus Pitagoras, c2=a2+b2. Apakah ada seorang guru saja yang bisa menunjukkan mata rantai keilmuan rumus Pitagoras ini sampai ke penemunya? Misal Pak Guru Ali belajar rumus Pitagoras dari guru beliau yaitu Pak Guru Amir. Pak Guru Amir mendapat rumus Pitagoras dari guru beliau yaitu Bu Guru Ani. Bu Guru Ani dari Bu Guru Ati dari Pak Guru Budi dan seterusnya sampai ke Pitagoras. Adakah Guru Matematika yang bisa menunjukkan bukti tertulis mata rantai keilmuan seperti ini?”
Kesalahan membaca Al-Qur’an juga dapat menyebabkan perbedaan makna. Misal huruf ش (syin) yang seharusnya dibaca tebal, tapi karena kurang belajar sehingga dibaca tipis seperti huruf “S” dalam bahasa Indonesia akan membuat makna kata berubah.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku).(QS Ibrâhîm [14]: 7)
Kata شَكَرَ (syakara) mempunyai arti “bersyukur”. Bila tidak bisa membaca “syin” (tebal), lalu dibaca seperti huruf “S” dalam bahasa Indonesia, maka kata tersebut berubah menjadi سَكَرَ (sakara) yang berarti “mabuk”. Bukankah jauh berbeda maknanya?
Contoh lain kata عَلِيْمٌ (‘alîm) yang bermakna “Maha Mengetahui”. Jika tidak bisa membaca huruf ع (‘ayn) lalu dibaca seperti huruf “A” dalam bahasa Indonesia, maka kata tadi berubah menjadi اَلِيْمٌ (alîm) yang berarti “sangat pedih”. Perubahan makna seperti ini tidak bisa dianggap sepele.
Bagaimana dengan bacaan panjang (mad) dan pendek? Apakah membaca panjang/pendek bila tidak sesuai yang tertulis dapat menyebabkan perubahan makna juga? Mari perhatikan penggalan ayat berikut ini:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. (QS Âli ‘Imrân [3]: 123)
Lafazh نَصَرَ (nashara) tidak ada yang dibaca panjang. Lafazh ini berarti “Satu pelaku telah menolong”. Di ayat tersebut, yang dimaksud satu pelaku adalah Allah SWT.
Jika karena kita tidak tekun mengaji, lalu ketika membaca lafazh tersebut ada bagian yang dibaca panjang, maka arti akan berubah. Berikut ini beberapa kemungkinan yang akan terjadi:
  • رَ (ra) terbaca panjang menjadi رَا (râ). Hal ini berarti lafazh نَصَرَ berubah menjadi نَصَرَا (nasharâ) yang bermakna “Dua pelaku telah menolong”. Coba kita perhatikan, di ayat tersebut yang dikehendaki adalah satu pelaku (yakni Allah SWT), tapi karena kita salah baca, maka makna yang ditimbulkan menjadi dua pelaku. Lantas, siapakah pelaku kedua? Tentu tidak ada, dan ini berarti bacaan kita harus diperbaiki.
  • صَ (sha) dan رَ (ra) terbaca panjang menjadi صَارَا (shârâ). Dengan cara membaca sepert ini maka lafazh نَصَرَ berubah menjadi نَصَارَا yang secara bacaan sama dengan tulisan  نَصَارٰى. Lafazh ini mempunyai arti Orang-orang Nasrani. Bukankah sungguh jauh perubahan makna yang dikandung ayat dengan makna hasil kesalahan bacaan kita?
  • نَ (na) saja yang terbaca panjang menjadi ناَصَرَ (nâshara). Menurut ilmu Sharaf, lafazh  ناَصَرَ mengikuti pola (wazan)  فاَعَلَyang dalam kasus ini berfaidah Musyârakah yaitu persekutuan antara dua pihak dalam melakukan asal fi’il. Dengan kata lain, faidah Musyârakah mempunyai arti  Saling .....”. Oleh karena itu lafazh ناَصَرَ berarti Saling tolong (tolong-menolong)”. Nah, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menolong kaum muslimin ketika perang Badar. Di sini sudah tersurat dengan jelas bahwa Allah yang menolong, sedangkan kaum muslimin yang ditolong, jadi bukan tolong-menolong.
  • نَ (na) dan رَ (ra) terbaca panjang menjadi ناَصَرَا (nâsharâ). Lafazh ini berarti “Dua pelaku tolong menolong dengan lainnya.” Perubahan makna akibat kekeliruan pembacaan ini sungguh jauh menyimpang dari yang dikehendaki.
Dari beberapa kasus di atas, apa kita masih merasa kurang perlu mengaji Al-Qur’an dengan baik dan benar? Apa kita masih ada rasa malas dengan alasan usia sudah bukan anak-anak lagi, kesibukan mencari nafkah serta beribu dalih lainnya?
Jangan buang sampah di sungai
Biar lingkungan asri dan bersih
Hati siapa yang tak damai

Mendengar Al-Qur’an dibaca fasih

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Irena Handono, Hj, et al, Islam Dihujat—Menjawab Buku The Islamic Invation (Robert Morey)
M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
Muhammad Basori Alwi Murtadho, KH, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 8, 2012

Bicara Baik atau Diam (2 of 2)

Kala menulis komentar, entah di forum, jejaring sosial, media online atau apa pun dan tidak ada yang tahu identitas kita sebenarnya, apakah komentar kita tetap merdu di telinga ataukah sembarangan bahkan sah-sah saja merendahkan komentator lain?
Ketika menulis sebuah posting atau artikel, apakah isi yang dikandung bebas dari sindiran, cemoohan, caci-maki dan kalimat-kalimat bernada permusuhan”?
Boleh jadi kita berargumen, Ah, itu kan hanya sekedar pelampiasan kekesalan. Orang lain juga begitu, kok! Boleh dong saya berlaku sepadan. Toh saya juga senantiasa shalat, puasa, baca Al-Qur’an, sedekah, rajin mengaji ilmu-ilmu agama serta ibadah lainnya.”
Untuk menjawab argumentasi di atas, mari kita perhatikan, resapi dan renungi dua hadits berikut ini:
كَفَى بِالْمَرْءِ شَرًّا أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمُ
Cukuplah dikatakan buruk akhlaknya ketika ia menghina (merendahkan) saudara sesama muslim. (HR Muslim)

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ. قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
 Tahukah kalian siapakah orang bangkrut? Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham (uang) dan harta.” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut di antara umatku ialah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa (pahala) shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh (berzina), dan makan harta orang lain serta menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa haq). (Untuk menegakkan keadilan) pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka (yang dizhalimi) diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka. (HR. Muslim)
Apa kita mau disebut memiliki akhlak buruk? Bagaimana bila kita bermimpi bertemu Rasulullah saw lalu beliau menyebut kita berakhlak buruk? Tidak malukah kita?
Apa kita mau pahala ibadah yang kita lakukan dengan segenap pikiran, tenaga bahkan biaya ternyata di akhirat kelak hampa karena habis dibagi-bagikan kepada orang lain? Kita yang ibadah tak mendapat apa-apa, justru orang lain menikmati pahalanya. Sungguh sebuah  kebangkrutan nyata!
Apa kita mau menerima limpahan dosa orang lain di akhirat kelak? Kita senantiasa berdoa agar dosa kita terhapus, tapi ini malah kita mendapat ”hibah” dosa orang lain. Tak ada kerugian melebihi kerugian seperti ini!
Kita sangat pandai berteori tentang keagamaan, tapi pada praktiknya NOL BESAR. Tidak terasakah kita dengan kondisi diri seperti ini?
Tentang perlakukan sepadan, apa ucapan kasar harus dibalas hinaan, cacian dibalas makian, ketidaksopanan dibalas arogansi serta ketidakbaikan dibalas kejahatan? Apa seperti ini tuntunan agama kita?
Rasulullah saw. bahkan melarang memaki orang-orang musyrik yang terbunuh dalam perang Badar. Di buku “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin” dicantumkan sebuah hadits:
لاَ تَسُبُّوْا هَؤُلاَءِ فَإِنَّهُ لاَ يَخْلُصُ إِلَيْهِمْ شَيْئٌ مِمَّا تَقُوْلُوْنَ وَتُؤْذُوْنَ اْلأَحْيَاءَ أَلاَ إِنَّ الْبَذَاءَ لُؤْمٌ
Janganlah kamu mencaci-maki mereka, karena tidak ada yang dapat membersihkan kata-kata yang kamu ucapkan terhadap mereka (maksudnya orang yang terbunuh di perang Badar), dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ingatlah sesungguhnya lidah yang kotor (kata-kata kasar) itu tercela". (HR Ibnu Abi Dunya secara mursal, sedangkan rijalnya dapat dipercaya (tsiqah))
Betapa indahnya ajaran Ilahi yang dibawa Rasulullah saw. Betapa agungnya ajaran agama ini dalam ber-muâsyarah (pergaulan) maupun muâmalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Betapa luhurnya ajaran Islam dalam berperilaku.
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ
Seorang mukmin tidak akan menyakiti, melaknat, berkata keji dan berkata kasar. (HR Abu Ya’la, Baihaqi, Bukhari di Adâbul Mufrad, Hakim, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Thabrani dan Tirmidzi. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Tirmidzi)
KH. Asrori al-Ishaqi rahimahullâh—pendiri Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah menasihatkan bahwa buah dari dzikir, baca Al-Qur’an dan ibadah yang kita kerjakan adalah akhlak mulia. Siapa senantiasa berdzikir tapi belum berakhlak baik dalam keseharian, maka dzikir yang dilakukan belum berbuah. Demikian petuah bijak beliau.
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاَقًا
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. (HR Thabrani)

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
MA. Sahal Mahfudh, KH, “Nuansa Fiqih Sosial”, LKiS, Cetakan VI: Maret 2007
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Web site:
http://abumuthi.multiply.com/reviews/item/84, “Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik”

Tulisan ini lanjutan dari : Bicara Baik atau Diam (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#