Mencari Data di Blog Ini :

Friday, January 29, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (7 of 8)

Di buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual – ESQ (Emotional Spiritual Quotient)”, Ary Ginanjar Agustian mengejawantahkan rukun iman dalam kehidupan sehari-hari, agar kita sukses di kehidupan dunia, tentunya juga di akhirat kelak.


Perlu penulis sampaikan bahwa di buku tersebut, urutan rukun iman dimulai dari iman kepada Allah, para malaikat, para rasul, kitab-kitab suci, hari akhir dan qadha serta qadar (takdir) Allah. Mungkin ada di antara kita yang mengenal rukun iman dengan susunan berbeda, termasuk penulis sendiri. Yang kita ketahui selama ini, susunannya adalah iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhir dan qadha serta qadar (takdir) Allah. Ada perbedaan pada urutan ketiga dan keempat. Hal ini tidak perlu diperdebatkan, yang penting esensinya sama.


Namun demikian, akan penulis sajikan terjemah hadits yang berhubungan dengan urutan rukun iman yang penulis ketahui. Terjemah hadits ini penulis nukil dari buku “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah saw.” yang merupakan terjemahan buku “At-Tâju al-Jâmi‘u lil-Islâmi fî Ahâdîtshi ar-Rasûli”. Sahabat Umar bin Khaththab ra. telah menceritakan hadits yang cukup panjang sebagai berikut :


Pada suatu hari ketika kami (para sahabat) sedang berada di hadapan Rasulullah saw., tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian sangat putih dan berambut hitam pekat. Pada diri lelaki itu tidak terdapat tanda bekas perjalanan dan tiada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia langsung duduk di hadapan Nabi saw. Seraya menyandarkan kedua lututnya kepada kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya sendiri. Ia bertanya,


“Hai Muhammad, ceritakanlah kepadaku tentang Islam.”

Rasulullah saw. menjawab,
“Islam ialah hendaknya engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; berpuasa pada bulan Ramadhan; berhaji ke Baitullah apabila engkau mampu mengadakan perjalanan kepadanya.”

Ia berkata, “Engkau benar.”

Sahabat Umar ra. mengatakan,
“Kami heran terhadapnya, ia bertanya tetapi juga membenarkan.”

Selanjutnya lelaki itu bertanya kembali,
“Ceritakanlah kepadaku tentang iman.”

Rasulullah saw. menjawab,
“Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian dan hendaknya engkau beriman kepada takdir yang baik dan takdir yang buruk.”

Lelaki itu mengatakan, “Engkau benar.”

Ia bertanya kembali,
“Ceritakanlah kepadaku tentang ihsan.”

Rasulullah saw. menjawab,
“Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat-Mu.”

Lelaki itu bertanya kembali,
“Ceritakanlah kepadaku tentang hari Kiamat,”

Rasul saw. menjawab,
“Orang yang ditanya tidaklah lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.”

Lelaki itu mengatakan,
“Ceritakanlah kepadaku tentang tanda-tandanya.”

Rasul saw. menjawab,
“Manakala budak sahaya perempuan melahirkan tuannya, dan bila engkau melihat orang-orang yang tidak berterompah telanjang miskin lagi penggembala kambing mulai berlomba-lomba saling tinggi-meninggi dalam bangunan.”

Sahabat Umar melanjutkan ceritanya,
“Kemudian lelaki itu pergi dan aku tinggal sendirian selama beberapa waktu.”

Setelah itu Nabi saw. berkata kepadaku,
“Hai Umar, tahukah engkau siapa orang bertanya kemarin?”

Aku menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Nabi saw. berkata,
“Sesungguhnya dia adalah Malaikat Jibril yang sengaja datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian agama kalian.”

(HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i)

Di buku “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, M. Quraish Shihab juga menjelaskan urutan yang sama dengan hadits di atas tentang rukun iman. Wallâhu a‘lam.

Daftar Pustaka :

  • Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual – ESQ (Emotional Spiritual Quotient)”, Penerbit Arga, Cetakan Kedua puluh sembilan : September 2006
  • Manshur Ali Nashif, asy-Syaikh, “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah saw. (At-Tâju al-Jâmi‘u lil-Islâmi fî Ahâdîtsi ar-Rasûli)”, CV. Sinar Baru, Cetakan pertama : 1993
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (6 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (8 of 8)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 22, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (6 of 8)

Dalam sebuah konsultasi bisnis, Mario Teguh menasihatkan bahwa kita harus menjadi orang baik. Orang baik akan dimuliakan, akan ada pekerjaan langit yang membantu orang baik. Bila ada orang beriman namun masih miskin, berarti cara-caranya yang kurang baik, mungkin pelayanan kepada orang lain yang kurang baik serta kurang memberi keuntungan dan manfaat pada orang lain.


Jadikanlah diri kita pribadi yang 3D (Disukai, Diterima dan Dipercaya). Selain itu, janganlah kita memandang diri ini apa adanya, pandanglah diri ini sebagaimana bisa jadinya. Jangan pula kita membatasi apa yang bisa kita lakukan, karena hal itu akan membatasi apa yang bisa kita capai. Marilah kita berdoa agar diberi kemampuan yang sesuai dengan tugas yang kita emban. Janganlah kita berdoa agar diberi tugas yang sesuai dengan kemampuan kita.


Berikut ini 3 Super Steps yang beliau nasihatkan, sebagai langkah agar kita berhasil dalam hidup ini :

  • Jujur
    Jadilah pribadi yang jujur. Kejujuran adalah citra terbaik. Orang jujur tidak selalu kaya, tetapi hidupnya tidak merugi. Saat orang jujur menjadi kaya, hidupnya pasti penuh berkah. Yang sebetulnya kita hormati adalah orang jujur yang pandai, bukan orang pandai yang jujur. Karena, hormat kita akan hilang bila terbukti seorang yang pandai itu tidak jujur. Tetapi, kekurangan apa pun pada pribadi yang jujur, tidak akan menghapus hormat kita kepadanya, apalagi bila dia memiliki kelebihan yang penting bagi kebaikan orang lain.

    Yang menghormati orang kaya yang tidak jujur, selalu adalah orang yang mengharapkan pembagian dari harta yang tidak jujur itu. Tetapi, orang miskin yang jujur, bahkan juga yang kaya dan jujur, selalu menerima aliran doa dari hati yang tak terhitung jumlahnya.

    Bila ada harta yang bisa dicapai dengan ketidakjujuran, itu berarti bahwa sebenarnya ada harta yang juga bisa dicapai dengan kebaikan, bila saja kita mau bersabar. Maka, bersabarlah. Karena mungkin, lambatnya kedatangan harta yang baik itu sebenarnya pemisah antara kita yang baik dan mereka yang mencacatkan dirinya sendiri. Hati yang jernih bisa mengerti bahwa kemampuan yang terhormat adalah sumber dari kekayaan yang mengharukan.

    Hormat kepada diri sendiri adalah pembentuk keberanian pribadi yang sebenarnya. Orang yang tidak jujur, ternyata juga tidak menghormati orang yang tidak jujur. Seorang penjahat pun membutuhkan orang jujur untuk mengelola keuangannya.

    Hati yang jujur menghasilkan tindakan-tindakan yang jujur pula. Hati kita tidak mungkin mengharapkan selain kekayaan yang dalam keutuhannya tercerminkan senyum dari Yang Maha Memberkati. Sebaliknya, mengharapkan keuntungan tidak jujur adalah awal dari kerugian. Maka, pilihlah kejujuran.

  • Kerja keras
    Kendaraan menuju keberhasilan adalah kerja keras. Mereka yang menolak untuk bekerja keras, karena telah menemukan konsep bekerja cerdas, masih tetap diharuskan untuk bekerja keras dalam kecerdasannya. Lalu kerja keras itu membutuhkan tenaga untuk bergerak maju, dan itu yang kita sebut kesungguhan.

    Tidak ada orang yang teratur menolak untuk bekerja keras, yang pantas bagi nasib baik. Tetapi, tidak ada orang yang teratur bekerja keras, yang tidak berhak bagi nasib baik. Lalu, dia yang malas bekerja keras, harus rajin berlatih meminta-minta. Dan, dia yang menghindari kerja keras saat muda, akan dipaksa bekerja keras di masa tua.

    Itu sebabnya, bekerja saja tidak cukup. Kita harus bekerja keras. Bekerja keras itu mulia, karena bahkan saat kita bekerja keras pada sesuatu yang tidak menghasilkan, kita akan tetap diuntungkan oleh penampilan dari kesungguhan kita, dan kita akan tetap diuntungkan oleh latihan baik yang kita dapatkan di dalam bekerja keras itu.

    Bila tidak ada orang yang memperhatikan kerja keras kita, sadarilah bahwa langit sedang lekat memperhatikan kita. Janganlah berkecil hati dengan kecil dan lambatnya hasil dari kerja keras kita, karena cinta kasih di langit itu dibangun dari keharuan yang syahdu kepada mereka yang tetap setia kepada kerja kerasnya, walaupun apa pun.

    Bersabarlah, karena akan pasti datang penuntun bagi penepatan kerja kita. Dan karenanya dan karena kita, akan tumpah semua rahmat yang selama ini tertunda dengan sebuah maksud. Janganlah lupa bahwa alam tidak pernah berlaku tanpa sebuah maksud yang pasti. Kita harus bekerja keras. Dan, kita pasti akan cepat setuju bahwa bekerja keras pada pilihan pekerjaan yang tepat, akan menghasilkan hadiah yang dapat membiayai pencapaian dari impian-impian yang lebih besar.

    Bekerja keras sesaat, hanya cukup untuk pencapaian hasil sesaat. Tetapi, hidup kita ini adalah barisan panjang dan tak berjeda dari banyak saat. Hanya dia yang memiliki disiplin pribadi yang baik, yang akan memastikan dirinya bekerja keras pada pekerjaan yang tepat di setiap saat. Maka bekerja keras di sepanjang semua saat itu, adalah pembangun dan pembentuk kehidupan ini.

  • Mudah dibantu
    Banyak orang curiga dirinya tidak disayangi dan tidak dibantu. Bagaimana kalau kita menjadikan diri kita disayangi dan dibantu. Adakalanya orang mempersulit dirinya dibantu orang lain, mungkin karena gengsi, yang membantu lebih muda, sombong atau merasa diri hebat sehingga tidak perlu bantuan orang.

    Tanda-tanda kita disayangi Tuhan adalah ketika kita disayangi manusia, diperhatikan manusia. Rejeki itu datangnya lewat orang. Jadi jika orang itu memudahkan rejeki bagi kita, ada ijin dari langit.

    Jadilah pribadi yang mudah dibantu. Salah satu caranya dengan mudah menerima nasihat. Jangan membantah saat diberi nasihat dengan mengatakan, ”Ya, tapi kan...”, ”Ya, kalau...”

Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (5 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (7 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 15, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (5 of 8)

Di buku “Becoming A Star” dan “One Million 2nd Chances”, Mario Teguh menasihatkan banyak hal dengan penuh kebijakan. Marilah bersama-sama kita serap, perindah dan refleksikan.


Kehidupan ini adalah sebuah reality show yang tidak satu orang pun di antara kita akan berhasil keluar dengan tetap membawanya (maksudnya membawa serta kehidupan, karena kita akan mati), dan tidak akan ada lagi kesempatan untuk memperbaikinya nanti sesudah selesai (maksudnya sesudah meninggal).


Maka, marilah kita penuhi hidup ini dengan pemungkin keberhasilan, sekarang dan sesegera mungkin. Nikmatilah hidup ini, dan nikmatilah dengan memungkinkan diri ini mencapai kualitas tertinggi dari yang bisa kita capai, menyampaikan nilai pelayanan terbaik dari yang bisa kita berikan kepada sebanyak mungkin orang, dan menikmati proses itu semua dengan keseimbangan yang membahagiakan.


Jadikanlah diri kita sebuah pribadi yang kehadirannya dalam reality show ini menjadi berkah bagi mereka yang bertemu dan yang mengenal kita. Jadilah sebuah pribadi yang bersyukur karena telah diijinkan hidup dalam sebuah diri yang baik, yang berkualitas, dan yang membangun nilai dirinya melalui kegunaan bagi orang lain.


Kehidupan adalah sebuah permainan yang sangat serius. Dan seperti semua permainan, hidup ini punya ketentuan dan peraturan-peraturannya sendiri; yang tidak selalu jelas bagi mereka yang sedang berkutat di dalamnya, tetapi yang tertulis dan terkatakan dengan jelas bagi mereka yang berusaha mengerti.


Dalam saat-saat penuh keraguan dan ketakutan seperti saat ini, saat doa dan permintaan seolah tak terdengar, saat harapan tertiup cepat menjauh; hati ini demikian penuh dengan perasaan yang tak terjelaskan, mencari sesuatu untuk diyakini, dan mulut ini menuturkan kata-kata yang sebelumnya tak terpikirkan untuk dikatakan. Akan ada keajaiban, bagi kita bila kita percaya. Meskipun harapan kita lemah, tetapi harapan itu sulit digerus. Entah keajaiban apa yang akan kita capai bila kita percaya. Tetapi, pasti akan datang kepada kita sebuah keajaiban, bila kita percaya.


Dalam kerajaan pikiran, yang kita percaya sebagai yang nyata, bisa memang sebuah kenyataan, atau kitalah yang menjadikannya kenyataan. Kita akan dengan mudah sekali mempercayai yang kita harapkan akan terjadi. Telah sering terjadi, kita hanya mendengar yang ingin kita dengar, dan melihat yang ingin kita lihat.


Maka, bila kita percaya bahwa diri kita tidak beruntung, sebetulnya tanpa kita sadari, kita bersikap seperti kita mengharapkan putusnya keberuntungan kita sendiri. Yang kita harapkan akan menjadi keyakinan kita. Yang kita yakini akan menjadi harapan kita. Maka berhati-hatilah dengan apa yang kita harapkan.


Mengapakah kita gunakan pikiran dengan cara-cara yang bertentangan dengan kepentingan kita untuk berhasil? Ketahuilah bahwa apa pun yang menjadi perhatian kita, akan tumbuh membesar dan menguat, hingga ia mencapai kewenangan yang dapat memaksa kita untuk hanya memperhatikannya. Maka sebetulnya mudah bagi kita untuk mencapai keajaiban yang kita rindukan itu, bila kita temukan bibit-bibit kebaikan untuk kita jadikan pusat perhatian.


Pelajarilah apa yang benar, agar mudah bagi kita untuk berlaku benar. Awalilah dengan mengupas kerak pelajaran masa lalu yang terbukti menjauhkan kita dari kebaikan. Mempelajari yang benar—sebetulnya, adalah urutan perilaku bersungguh-sungguh untuk melepaskan ikatan-ikatan yang melumpuhkan. Janganlah memikirkan sesuatu yang tidak memuliakan, karena pikiran kita akan menjadi keyakinan. Kemudian keyakinan akan memilihkan kita, kata-kata dan tindakan kita; padahal kata-kata dan tindakan kitalah yang akan menjadikan masa depan kita. Pikiran adalah awal dari masa depan.


Dahulukanlah yang seharusnya kita dahulukan. Perhatikanlah awal dari semua kesulitan kita. Mereka selalu berasal dari kita tundanya tindakan yang seharusnya kita dahulukan. Lalu, perhatikanlah bagaimana kita mendahulukan yang seharusnya terakhir, atau mengadakan yang seharusnya tidak ada. Bukankah banyak penyesalan kita yang berasal dari kelemahan kita untuk melakukan yang seharusnya kita lakukan, saat ia masih mudah untuk dilakukan? Juga karena kita tidak menyegerakan melakukan sesuatu sekarang, karena kita mengira bahwa keadaan kita tidak akan memburuk?


Sayangilah diri kita, dan perbaikilah pikiran kita. Lakukanlah apa pun, selama yang kita lakukan menghindarkan kita dari keadaan yang lebih sulit. Perhatikanlah, bagi seorang yang sedang tenggelam, gerakan apa pun yang dilakukannya, selain gerakan tenggelam adalah gerakan penyelamatan. Dan bila ia kemudian selamat, dan menyebut keselamatannya sebuah keajaiban—sebetulnya dialah yang menyebabkan keajaiban itu. Tentunya secara hakikat adalah pertolongan dari Beliau Yang Maha Membantu.


Hidup ini bersikap ramah kepada kita yang bersungguh-sungguh untuk mencapai kemenangan, dan bersikap keras kepada mereka yang tidak terlibat secara sadar dalam prosesi kehidupan. Yang menyedihkan bagi para pemerhati adalah bila mereka yang dikerasi oleh kehidupan agar sadar, ternyata menerima kesulitan hidup sebagai nasib buruk, seolah-olah upaya mereka tidak akan mendatangkan perubahan. Seandainya saja mereka mau mendorong diri mereka untuk mencoba, untuk berjuang dalam perjuangan yang benar, tidak membiarkan diri mereka menua tanpa guna, dan melibatkan diri dalam pertarungan-pertarungan kecil yang tidak bernilai.


Daftar Pustaka :

  • Mario Teguh, “Becoming A Star [Personal Excellence Series]”, PT Syaamil Cipta Media, Februari 2005/Muharam 1425 H
  • Mario Teguh, “One Million 2nd Chances [Personal Excellence Series]”, Penerbit Progressio, November 2006


Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (4 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (6 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 8, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (4 of 8)

Seberapa besar—kuat atau lemah—iman kita, maka sebatas itu pula kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan ketenangan kita.


Siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS an-Nahl [16] : 97)

Maksud ”kehidupan yang baik” (hayâtan thayyibah) dalam ayat ini adalah ketenangan jiwa dikarenakan janji baik Rabb mereka, keteguhan hati dalam mencintai Dzat yang menciptakan mereka, kesucian nurani dari unsur-unsur penyimpangan iman, ketenangan dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati dalam menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan dalam menerima takdir.

Bersamaan dengan usaha keras disertai doa, orang beriman yang masih miskin janganlah bersedih hati. Abdul Aziz bin Rawwad rahimahullâh berkata, “Kemuliaan Allah bukan dimiliki oleh orang yang mengenakan kain sutra dan memakan roti gandum, atau dimiliki oleh orang yang mengenakan kain wol dan memakan gandum. Kemuliaan Allah dimiliki oleh orang yang ridha atas apa yang ditetapkan (takdir) Allah kepada dirinya.”

Dalam syairnya, ‘Aidh al-Qarni menasihatkan agar kita tidak banyak mengeluh dan berduka lara.

Betapa banyak kau mengeluh dan berkata tak punya apa-apa
Padahal bumi, langit dan bintang adalah milikmu
Ladang, bunga segar, bunga yang semerbak
Burung bulbul yang bernyanyi riang
Air di sekitarmu memancar berdecak

Dunia ceria kepadamu lalu mengapa kau cemberut
Dan dia tersenyum kenapa kau tidak tersenyum
Lihatlah masih ada gambar-gambar
Yang mengintip di balik embun
Seakan bicara karena indahnya

Rahmat Allah di akhirat jauh lebih banyak daripada di dunia. Nabi Muhammad saw. bersabda :

إِنَّ ِللهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat. Dia menurunkan satu rahmat kepada jin, manusia, binatang dan lainnya. Dengan satu rahmat itu mereka saling menyayangi, saling mengasihi. Dengannya binatang liar mengasihi anaknya. Allah mengakhirkan kesembilan puluh sembilan rahmat-Nya. Dengannya Dia merahmati hamba-Nya pada hari Kiamat.
(HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hazm pun menghibur kita agar tidak larut dalam kesedihan karena kemiskinan. Beliau bersenandung tentang kemiskinan dalam bait puisinya yang menyejukkan jiwa dan melipur lara :

Kujadikan kemiskinan sebagai pelindung diri
Tak pernah kupakai pakaian kehinaan tuk hati ini
Yang kuperoleh cukuplah sebagai pelindung diri
Dari kepongahan dan kebejatan yang menghinakan diri
Hanya agama dan harga diri yang kupedulikan
Selainnya, tak sedikit pun kuhiraukan

Mungkin kita akan berkata, “Bagaimana pun caranya, yang penting kaya dulu. Kalau sudah kaya, kan bisa sedekah, membantu fakir miskin, panti asuhan, menyumbang pembangunan masjid, sekolah, pondok pesantren dan bisa naik haji berkali-kali.”

Janganlah kita mempunyai prinsip demikian, karena kita akan cenderung menghalalkan segala cara. Kalaupun kita kaya karenanya, itu bukanlah nikmat, tapi istidrâj (dalam bahasa Jawa disebut penglulu), diberi tapi untuk dihancurkan.

Pesan Ibnu Athaillah, “Takutlah kamu dari wujud kebaikan Allah yang diberikan kepadamu, padahal kamu masih tetap bermaksiat kepada-Nya, yang kelak bisa menjadi istidrâj (membiarkan kamu bersenang-senang dalam kenikmatan itu). Sepeti firman Allah yang artinya, ‘nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui’ (QS al-A‘râf [7] : 182).”

Perlu kita ingat lagi bahwa tidak mungkin Allah menerima sedekah atau amal ibadah yang didapat dari barang haram. Bagaimana mungkin kita berwudhu menggunakan air comberan?

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abbas dari Anas bin Malik, disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda :

طُوْبَى لِعَبْدٍ أَنْفَقَ مِنْ مَالٍ إِكْتَسَـبَهُ مِنْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ
Berbahagialah hamba yang berinfak dari harta yang diperolehnya bukan dari maksiat. (HR Ibnu ‘Addi dan al-Bazzar)

Rasululullah juga pernah bersabda tentang tubuh yang diisi dengan sesuatu yang haram :

كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَاالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap badan yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka adalah lebih utama baginya. (HR Abu Nu'aim dan Baihaqi)

Ibnu Hazm mengingatkan kita dalam bait puisinya yang menyentuh jiwa dan membakar asa :

Bersyukurlah pada Allah atas kebesaran-Nya
Ia Pemberi rejeki seluruh penghuni semesta
Baik orang Badui maupun Arab tak ada bedanya
Ia hamparkan bumi, langit, udara, laut, hujan juga
Demi kebaikan kita, janganlah kaubangkangi Ia
Sungguh, semua orang kan tanggung amalannya

Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Asrori al-Maghilaghi, Kyai, “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 1, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (3 of 8)

Dalam Asmaul Husna, Allah adalah Al-Muqît, Yang Maha Pemelihara dan Maha Kuasa untuk memberi rejeki yang mencukupi seluruh makhluk-Nya. Pada makna sifat Al-Muqît terdapat penekanan dalam sisi jaminan rejeki, banyak atau sedikit. Allah juga Ar-Razzâq (Maha Pemberi Rejeki), yang mengandung maksud bahwa Allah berulang-ulang dan banyak sekali memberi rejeki kepada semua makhluk-Nya.

Allah adalah Ar-Ra’ûf (Yang Maha Pelimpah Kasih). Kata ra’ûf terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ra’—hamzah—fa’, yang maknanya berkisar pada kelemahlembutan dan kasih sayang. Kata ini, menurut pakar bahasa az-Zajjaj sama dengan rahmat, hanya menurutnya, apabila rahmat sedemikian besar, maka ia dinamai ra’fat, dan pelakunya disebut Ra’ûf.

Mufassir al-Biqa‘i ketika menafsirkan ayat “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih (Ra’ûf) lagi Maha Penyayang (Rahîm) kepada manusia” QS al-Baqarah [2] : 143, menjelaskan bahwa ra’fat adalah rahmat yang dianugerahkan kepada yang menghubungkan diri dengan Allah melalui amal shaleh. Menurut pendapat al-Harrali, ra’fat adalah kasih sayang pengasih kepada siapa yang memiliki hubungan dengannya.

Ra’fat menggambarkan sekaligus menekankan melimpah ruahnya anugerah, karena yang ditekankan pada sifat Ar-Ra’ûf adalah Pelaku yang amat kasih, sehingga melimpah ruah kasihnya. Adapun yang ditekankan pada Ar-Rahîm adalah penerima dari besarnya kebutuhan.

Terjalinnya hubungan terhadap yang dikasihi dalam penggunaan kata ra’fat, membedakan kata ini dengan rahmat, karena rahmat digunakan untuk menggambarkan tercurahnya kasih, baik terhadap siapa yang memiliki hubungan dengan pengasih maupun tidak.

Ra’fat selalu melimpah ruah, bahkan melebihi kebutuhan, sedangkan rahmat sesuai dengan kebutuhan. Al-Qurthubi mengemukakan bahwa ra’fat digunakan untuk menggambarkan anugerah yang sepenuhnya menyenangkan, sedangkan rahmat boleh jadi pada awalnya menyakitkan, namun beberapa waktu kemudian akan menyenangkan.

Sambil berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hidup, janganlah kita melupakan sabda Rasulullah saw. :

اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْـفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَلاَّ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

Lihatlah orang yang lebih rendah (kenikmatannya) darimu dan janganlah melihat kepada yang lebih banyak (kenikmatannya) darimu agar kamu tidak mencela nikmat yang Allah anugerahkan kepadamu.
(HR Muslim dan Tirmidzi)

Ibnu Athaillah menasihatkan, “Terkadang Allah memberimu, tapi sebenarnya menahan anugerah untukmu. Adakalanya Allah mencegah pemberian untukmu, meskipun sebenarnya Allah telah memberi anugerah untukmu.”

Kadang-kadang Allah memberi kekayaan kepada manusia beserta kesenangannya, akan tetapi Allah tidak memberi taufik dan hidayah-Nya. Sebaliknya, terkadang Allah tidak memberi anugerah kekayaan dunia, akan tetapi menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Allah menahan rejeki manusia, adakalanya untuk memberi kesempatan baginya mencari taat, dan menghindarkannya dari maksiat; atau memberinya kekayaan, tapi tidak memberinya ketaatan dan keshalehan.

“Allah memberi kamu kelapangan agar kamu tidak selalu dalam kesempitan. Allah memberi kesempitan kepadamu agar kamu tidak hanyut di waktu lapang. Allah melepaskan kamu dari kedua-duanya agar kamu tidak menggantungkan diri kecuali kepada-Nya semata,” pesan Ibnu Athaillah berikutnya.

Di samping terus bekerja keras, bila orang yang beriman masih tetap miskin, maka itu adalah ujian dari Allah. Dr. Raghib as-Sirjani dalam bukunya “Misteri Shalat Subuh (Kayfa Nuhâfizhu ‘alâ Shalâtil Fajri)” berpesan,

“Ujian merupakan sunnah Ilahiah yang berlaku sejak zaman dahulu. Allah menjadikan ujian agar menjadi pembeda antara orang munafik dan orang mukmin. Allah menjadikan ujian agar menjadi standar bagi semua manusia tanpa kecuali, semenjak diciptakan Nabi Adam as. hingga hari Kiamat kelak.

Ujian memiliki ciri-ciri khusus.

Pertama, ujian haruslah sulit. Kalau ujian tidak sulit atau bahkan sangat mudah, maka semuanya akan lulus, baik mukmin maupun munafik. Bila ujian seperti ini, maka pada akhirnya tidak bisa dibedakan antara mukmin dan munafik.

Kedua, ujian tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil. Apabila ujian tersebut mustahil dilakukan, maka kedua-duanya akan gagal, baik mukmin maupun munafik.

Ketiga, ujian ini harus seimbang, artinya sulit bagi munafik untuk lulus dalam ujian itu. Namun bukan berarti pula mustahil dilakukan. Dengannya, terbuka kesempatan bagi mukmin untuk lulus dalam ujian tersebut.”

Itulah ciri-ciri ujian. Lebih lanjut, beliau berkata, “Ujian Allah untuk hamba-Nya tidak sedikit jumlahnya, dan berlaku terus-menerus sejak manusia mendapat beban syariat sampai datangnya kematian. Ujian memiliki variasi tingkat kesulitan. Seorang mukmin harus lulus dalam semua ujian itu untuk membuktikan kebenaran imannya, dan untuk menyelaraskan antara lisan dan hatinya.”

Melalui ikhtiar, kita kembalikan segala sesuatu kepada-Nya. Tidak perlu keluh kesah, tidak perlu hati menjadi keruh karena segala sesuatu telah diatur oleh Allah sendiri serta menempatkan setiap orang pada bagian dan proporsinya masing-masing.

Tanamkan optimisme pada diri kita akan masa depan yang cerah dan fajar kehidupan yang baru, karena Allah tidak memberi ujian dengan maksud menghancurkan kita. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya jatuh kepada kesengsaraan, selama kita masih tetap berada dalam hukum-hukum-Nya. Dengan ujian itu Allah berkehendak memberi cambuk kecil, membangkitkan diri kita dari kelalaian dengan sedikit perasaan menyesal. Allah bermaksud mengajarkan bahwa dengan kelaparan maka kita akan merasakan arti kenyang, dan dengan rasa lelah maka kita akan mengerti arti istirahat. Dengan ujian-ujian itu kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur dan berdzikir.


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (2 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (4 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#