Mencari Data di Blog Ini :

Friday, October 31, 2008

Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (2 of 2)

Pada hari Jum’at, 19 September 2008 penulis mengunjungi sebuah blog (blog walking) untuk memberi informasi tentang blog penulis. Ternyata, di salah satu halaman blog itu ada tulisan seorang pengunjung yang mengomentari pengunjung lainnya, “Kalau mau mengisi komentar OOT, jangan di sini, kan ada buku tamu. Jangan seperti FS dong...”

Penulis mencari inisial FS di halaman tersebut tapi tidak ditemukan. Penulis tidak tahu siapa FS yang dimaksud karena penulis pun baru membaca diskusi yang ada dan belum memberikan komentar. Tapi, penulis merasa tersentil juga karena FS adalah inisial nama penulis di tempat kerja, Inixindo.

Penulis merasa diingatkan Allah lewat tulisan itu, agar memperbaiki cara berdakwah. Sejak peluncuran blog sampai dengan tanggal 19 September 2008, penulis memang sering mengunjungi blog lain sebagai strategi marketing dakwah. Memang, terkadang (mungkin juga agak sering) komentar penulis termasuk kategori OOT (Out Of Topic).

Awalnya, penulis merasa hal itu bukan sebuah masalah. Toh pemilik blog bisa tidak menyetujui atau menghapusnya jika memang komentar penulis kurang dikehendaki. Namun, tulisan salah satu saudara kita tersebut penulis rasakan sebagai wujud kasih sayang Allah kepada penulis agar memperhatikan perasaan para pemilik blog.

Segera penulis meninggalkan komentar tanggapan di blog itu yang intinya meminta maaf dan juga ikut memberikan sedikit coretan yang 100% sesuai topik bahasan. Setelah itu, di blog penulis, tulisan “Selamat Berpuasa...” segera penulis ganti dengan permohonan maaf kepada semua saudara kita, terutama yang blognya penulis kunjungi tapi kurang berkenan terhadap komentar yang ditinggalkan.

Penulis teringat sebuah nasihat Gus Mus, “Anehnya, terhadap Allah Yang Begitu Baik, kita justru begitu berhati-hati, bahkan sering berlebihan hingga menimbulkan was-was atau masalah di antara kita. Sementara terhadap manusia yang sulit, kita sering sembrono dan seenaknya. Padahal, banyak dalil naqli yang menyebutkan dosa antar sesama.”

Nabi Muhammad saw. pun telah mengingatkan kita :


الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim ialah seseorang dimana muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak benar-benar beriman seseorang di antara kalian sampai dia mampu menyukai sesuatu untuk saudaranya, sebagaimana dia menyukai sesuatu untuk dirinya sendiri. (Muttafaq ‘alayh)

“Bagaimana bisa kita mengaku mencintai Allah tapi kita tidak mencintai hamba-Nya?” nasihat lain Gus Mus.

مَامِنْ شَيْئٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada Hari Kiamat, melebihi akhlak yang luhur. (HR Tirmidzi)

Di buku “Wawasan Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab mencantumkan sebuah nasihat yang menjelaskan pentingnya hubungan baik dengan sesama :

الدِّيْنُ الْمُعَـامَلَةُ

Agama adalah hubungan interaksi yang baik.

Al-Fudhail bin Iyadh menasihatkan, “Seandainya seorang hamba memperbaiki semua kebaikannya, sementara dia mempunyai seekor ayam lalu memperlakukannya dengan tidak baik, maka dia bukanlah seorang yang berakhlak.”

Betapa dalam nasihat Imam al-Fudhail tersebut. Terhadap binatang saja kita harus baik, apalagi terhadap sesama manusia. Ditanyakan kepada Dzun Nun al-Mishri,
“Siapakah yang paling menggelisahkan manusia?”
“Yang paling buruk akhlaknya,” jawab beliau.

Bagaimanakah akhlak yang dicontohkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib kw.? Dikisahkan bahwa beliau pernah memanggil seorang budak sahaya remaja dan ia tidak menjawab panggilan tersebut. Beliau mengulanginya lagi sampai tiga kali dan sahaya itu pun tidak menjawabnya. Khalifah melangkah mendekat dan melihatnya sedang enak-enakan berbaring.
“Apakah engkau tidak mendengar, wahai Anak?” tanya Khalifah.
“Mendengar,” jawabnya enteng.
“Apa yang membuatmu tidak menyahut?”
“Saya merasa aman dari ancaman siksaanmu. Karena itu, saya bermalas-malasan.”
“Pergilah, anakku. Engkau bebas karena Allah.”

Tidakkah kita perhatikan bagaimana akhlak beliau terhadap seorang budak, padahal waktu itu beliau adalah khalifah? Tidakkah kita lihat bahwa usia beliau lebih tua daripada sahaya tersebut? Tapi mengapa beliau tidak tersinggung? Bukankah dari jawaban sahaya itu bisa kita simpulkan bahwa Khalifah Ali adalah seorang yang berakhlak mulia? Kalau kita berada di posisi Khalifah Ali, kira-kira apa yang akan kita lakukan?

Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya selalu mencari kesempurnaan karena Islam itu sendiri adalah kesempurnaan dan selalu memberikan dorongan ke arah kesempurnaan. Jika kita memperhatikan apa yang ditawarkan oleh Islam berupa kesempurnaan yang memiliki hubungan dengan adab-adab berinteraksi, niscaya kita akan menemukan lautan tak bertepi karena gambaran kehidupan itu sendiri tidak pernah selesai.

Dalam setiap makhluk yang kaulihat
Kan kautemukan segenap kebaikan
Balaslah kebaikan dengan kebaikan
Jika tidak, malah dengan yang lebih baik
(karya Ibnu Hazm)

Akhirnya, mari kita merenung sejenak.

Sudahkah kita berbicara terhadap orang lain dengan pemilihan kata dan intonasi suara yang menampakkan kesantunan, keramahan dan keindahan?

Sudahkah kita bersikap lemah lembut bila hendak menegur atau mengingatkan saudara kita, sebagaimana ungkapan Jawa “Menang tanpa ngasoraké (meraih kemenangan tanpa merendahkan orang lain)”?

Sudahkah kita antri dengan tertib menunggu giliran kita? Bukankah peristiwa Pasuruan saat antri menerima sedikit uang zakat bulan Ramadhan 1429H termasuk pelajaran berharga?

Sudahkah kita bersedia sedikit rendah hati tidak memandang diri kita orang penting dengan cara mengikuti warna lampu lalu lintas sehingga tidak terjadi kesemrawutan?

Sudahkah kita mau bersabar menunggu ketika kemacetan tak terelakkan, tanpa harus membunyikan klakson berkali-kali, padahal semua orang tahu jalanan sedang macet?

Sudahkah kita menjaga perasaan orang lain dalam keseharian...?



Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • A. Mustofa Bisri, Kyai, “Membuka Pintu Langit”, Penerbit Buku Kompas, Cetakan kedua : November 2007
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Wednesday, October 22, 2008

Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (1 of 2)

Ketika pertama kali penulis mau mengikuti tadarrus Ramadhan di masjid Roudhotul Jannah dekat rumah, Ibu penulis (beliau sudah almarhumah) berpesan dalam bahasa Jawa yang terjemahnya,
“Kalau nanti ada orang salah membaca, ngga usah ditegur... Ulangi saja sendiri bacaan yang salah tadi... Tidak setiap orang mau diingatkan bahwa bacaannya kurang tepat... Dikuatirkan nanti dia malu lalu ngambek, ngga mau tadarrus lagi...”

Bertahun-tahun nasihat ini penulis taati. Suatu ketika, penulis agak “gemes” karena ada seorang jamaah yang sejak awal Ramadhan selalu membaca lama sekali padahal yang lain sudah antri. Jamaah lain sungkan menegur karena tidak akrab.

Di hari kesekian puasa, akhirnya penulis menegurnya setiap kali salah baca. Maksud penulis agar dia sadar bahwa bacaannya masih banyak kesalahan, juga supaya dia menyadari sendiri tidak perlu membaca melebihi jamaah lain. Ternyata yang diungkapkan Ibu penulis terbukti. Esoknya orang tersebut tidak lagi terlihat tadarrus sampai akhir Ramadhan, bahkan Ramadhan berikutnya.

Dari peristiwa itu penulis mengambil kesimpulan bahwa kita harus menjaga perasaan orang lain. Salah satu contohnya, jika ingin mengingatkan orang lain harus dengan cara yang hati-hati, santun, ramah dan indah. Setiap orang ditakdirkan berbeda-beda, tapi sopan santun (akhlâq al-karîmah) adalah metode yang insya Allah bisa diterima dan disukai insan mana pun.

Sebenarnya, topik akhlâq al-karîmah sudah sering dibahas oleh para ustadz. Bahkan, dalam sebuah hadits Rasul saw. bersabda :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ


Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. (HR Malik)

Namun, entah kenapa konsep ini tidak banyak kita praktekkan. Mungkinkah kita hanya paham dan canggih dari sisi dalil? Mungkinkah pola pengajaran kita hanya menekankan segi hapalan dan kemampuan berdebat? Mungkinkah kita baru merasa hebat bila berhasil mengungguli ilmu orang lain dengan bukti keberhasilan kita mengalahkannya dalam adu argumentasi? Wallâhu a‘lam.

KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah mengkritik jamaah haji yang cenderung egois dan mau “menang sendiri” dengan alasan agar mendapat kemabruran.

Gus Mus menulis,
“Lihatlah mereka yang berusaha mencium Hajar Aswad itu, misalnya. Alangkah ironis! Mencium Hajar Aswad paling tinggi hukumnya adalah sunnah, tapi mereka sampai tega menyikut saudara-saudara mereka sendiri kanan-kiri.

Bagimana berusaha melakukan sunnah dengan berbuat yang haram? Jangan-jangan, dalam banyak hal lain, kita juga hanya mengandalkan semangat menggebu dan mengabaikan pemahaman. Masya Allah.”

Gus Mus menulis lagi,
“Berkenaan dengan hadits tentang kemabruran haji, ada riwayat yang menyebutkan adanya pertanyaan para sahabat saat Nabi Muhammad saw. menyebut-nyebut tentang haji mabrur itu, ‘Wa mâ birrul hajji yâ Rasûlallâh? (Apa kemabruran haji itu, ya Rasul?)’

Ternyata jawaban Rasulullah saw. tidak berhubungan dengan thawaf, sa‘i dan sebagainya. Tetapi, justru yang ada hubungannya dengan pergaulan sesama jamaah yang sama-sama beribadah, seperti menebarkan salam dan memberikan pertolongan.

Bila riwayat ini dianggap dha‘if, kita masih bisa menyimak sunnah Rasul saat melakukan ibadah haji. Bagaimana sikap tawadhu‘, kemurahan, kelembutan dan hal-hal lain yang menunjukkan penyerahan diri beliau sebagai hamba kepada Tuhan dan tepo seliro beliau terhadap sesama hamba-Nya.”

Salah seorang ipar penulis pernah berkisah,
“Sekarang ada semacam jasa body guard (laki-laki) yang bisa disewa untuk mengawal kita mencium Hajar Aswad. Badan mereka memang cukup besar untuk melindungi kita. Namun, untuk jamaah haji wanita, apalagi cantik, sebaiknya jangan menggunakan jasa ini. Kenapa?

Seorang jamaah wanita bercerita bahwa ketika dia menggunakan jasa orang-orang ini, tubuh mereka terkadang bahkan seringkali bersentuhan dengan tubuhnya. Bahkan, tangan mereka pun terkadang memegang tubuhnya, mungkin tujuannya sebagai perlindungan. Tapi, siapa yang tahu bahwa itu bukan kesengajaan untuk memegang tubuh jamaah wanita tersebut, karena ternyata jamaah itu memang cantik? Wallâhu a‘lam.

Bukankah begitu memilukan dan memalukan kondisi seperti ini? Tidakkah ironi karena hal ini terjadi pada umat Islam yang katanya menjunjung tinggi akhlak? Mengapa harus ada “body guard” untuk mencium Hajar Aswad? Tidakkah kita rela antri dengan tertib dan sabar supaya semua saudara kita bisa menciumnya?

Rasulullah saw. telah bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ فىِ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذاَ اشْـتَكَى عُضْوٌ مِنْهُ تَدَاعَى سَائِرُهُ بِالْحُمَى وَالسَّهْرِ


Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, yaitu (sakit) demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaq ‘alayh)

إِنَّ أَحَدَكُمْ مِرْآةُ أَخِيْهِ فَإِذَا رَأَى فِيْهِ شَيْـئًا فَلْيُمِطُهُ عَنْهُ


Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin bagi saudaranya. Jika ia melihat sesuatu pada saudaranya, maka hendaklah ia membersihkannya. (HR Abu Daud dan Tirmidzi—hadits hasan)

Bukankah sudah nyata bahwa kita adalah cermin saudara kita? Bukankah kita ingin diperlakukan dengan lembut, santun dan ramah, sebagaimana saudara-saudara kita pun ingin diperlakukan sama? Jika memang demikian adanya, lalu mengapa kita tidak mau memulainya terlebih dahulu? Bukankah sudah jelas kaidah yang ada, “Mulailah dari dirimu sendiri (ibda’ binafsika)”?

Timbul pertanyaan, “Bukankah berlomba-lomba dalam kebaikan dianjurkan bahkan diperintahkan? Bukankah untuk melaksanakan kebaikan tidak perlu mendahulukan orang lain? Bagaimana caranya kita tahu bahwa perbuatan kita kurang mencerminkan akhlâq al-karîmah?”

Kita gunakan saja metode standar, yaitu “Istafti qalbak (mintalah fatwa/bertanyalah kepada hati nuranimu.” Bukankah untuk meraih kebaikan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula?

Seorang sahabat Nabi saw. bernama Wabishah bin Ma‘bad berkunjung kepada Nabi saw, lalu beliau menyapanya dengan bersabda,
“Engkau datang menanyakan kebaikan?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab Wabishah.
“Tanyalah hatimu (istafti qalbak)! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa dan tentram terhadap hati. Adapun dosa adalah yang mengacaukan dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.”
(HR Ahmad dan ad-Darimi)

Daftar Pustaka :

  • A. Mustofa Bisri, Kyai, “Membuka Pintu Langit”, Penerbit Buku Kompas, Cetakan kedua : November 2007
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke : "Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (2 of 2)"
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 10, 2008

Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (2 of 2)

Sudahkah kita menjawab pertanyaan di pembahasan sebelumnya, yaitu “Apakah kita memilih makna kembali fitrah/suci (fith-rah) ataukah kembali makan (fith-run)?”

Kemungkinan besar kita akan memilih kembali fitrah atau menggabungkan kedua makna yang ada, di mana tetap terdapat makna kembali fitrah, entah apa pun alasannya—apakah karena ikut-ikutan saja atau benar-benar dari lubuk sanubari.

Apa pun argumentasi kita, sah-sah saja jika kita berkata bahwa kita telah kembali kepada fitrah. Namun, jangan kita lupakan bahwa ucapan ini harus dipertanyakan atau diuji. Pertanyaan berikutnya adalah, “Apakah kita yakin bahwa puasa, tarawih, tadarrus dan segenap ibadah kita lainnya di bulan Ramadhan diterima Allah SWT?”

Kita memang bertabiat sering GR (Gede Rasa). Ketika ada pembahasan tentang kebaikan, entah dari guru, ustadz, kyai, ajengan, buya, tuan guru, syaikh, ulama, da‘i atau buku, kita merasa sudah melakukan itu semua.

Kita merasa sudah menjalankan puasa Ramadhan dengan sangat baik, bahkan khatam Al-Qur’an minimal sekali dalam bulan itu.

Kita merasa sudah melaksanakan shalat-shalat sunnah, yaitu Dhuha, Rawatib (Qabliyah dan Ba‘diyah), Ba‘dal Wudhu, Tahajud, Tahiyyatul Masjid, Tasbih, Witir dan shalat Mutlak yang tak ada batasan jumlah rakaatnya.

Kita merasa sudah banyak berdzikir menyebut asma Allah, juga membaca shalawat untuk junjungan kita Rasulullah Muhammad saw.

Kita merasa mendapatkan lailatul qadar karena kita senantiasa tarawih dan tidak lupa i‘tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Sebaliknya, tatkala ketidakbaikan diceritakan, serta merta kita berkata pada diri sendiri bahwa pelakunya bukanlah diri kita. Malah, kita sibuk mencari siapa yang melakukan ketidakbaikan itu. Sungguh, kita memang mudah terjangkit penyakit ‘ujub (membangga-banggakan amal ibadah sendiri). Na‘ûdzubillâh.

Seorang dokter mengatakan bahwa “merasa” itu menguatirkan. Seseorang yang merasa diri sehat, kemungkinan bisa terjangkit banyak penyakit, misalnya darah tinggi, kolesterol, asam urat, liver dan lainnya.
Begitu pula jika kita merasa diri baik dan benar, bisa jadi di dalam diri kita justru banyak sekali pintu-pintu yang sudah dimasuki dan dihuni oleh setan dan kawan-kawannya.

Seorang ulama menasihatkan, “Kita sering menggunakan ruas-ruas jemari tangan, tasbih atau sejenisnya, untuk menghitung berapa banyak dzikir yang sudah kita lafalkan. Pernahkah dengan alat yang sama, kita menghitung berapa banyak kata-kata tidak berguna, tidak santun, kasar apalagi sia-sia yang telah kita ucapkan?”

Mungkin kita bertanya, “Jika kita tidak diperbolehkan merasa semua ibadah kita diterima, apakah kita harus merasa segala ibadah kita ditolak? Bukankah hal ini akan membuat kita malas beribadah bahkan bisa menjurus kepada keputus-asaan?”

Kita juga tidak diperkenankan merasa semua ibadah kita tidak diterima dan segala dosa kita tidak diampuni. Yang harus dimiliki adalah rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.

Abu Ali ar-Rudzabari menganalogikan rajâ’ dan khawf bagaikan dua sayap burung. Apabila dua sayap itu sama (seimbang), maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna (baik).

Tentang keseimbangan ini, diriwayatkan bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. pernah memberi nasihat kepada salah satu putera beliau,


“Wahai anakku, takutlah kepada Allah, dengan menganggap bahwa Allah tidak akan menerima kebaikanmu walaupun kebaikanmu itu mencapai seluruh kebaikan penghuni bumi.
Berharaplah kepada Allah, dengan menganggap bahwa apabila dosa kamu sebesar dosa seluruh penghuni bumi dan memohon ampunan dari Allah, maka Allah akan mengampuninya.”

Lalu, apa barometer bahwa puasa kita diterima Allah? Ukuran yang pasti hanya Allah Yang Maha Tahu. Namun, salah satu hal yang bisa kita jadikan rujukan adalah keadaan kita kembali seperti bayi lagi.

M. Quraish Shihab menerangkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan ke-9 menurut kalender Hijriyah. Sebagaimana kehamilan, maka setelah melewati bulan ke-9 sang jabang bayi akan lahir. Oleh karena itu, setelah Ramadhan, kita harus mengupayakan diri seperti bayi lagi, sebagaimana sebagaimana tercantum dalam sebuah penggalan hadits :
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ احْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Maka siapa berpuasa dan qiyam Ramadhan karena iman dan semata-mata karena Allah, maka ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR Ahmad)
Apa pula parameter yang bisa kita jadikan ukuran bahwa kita kembali seperti bayi? Seorang Ibu Nyai menjelaskannya secara sederhana sekali, tidak perlu banyak atribut, aksioma maupun algoritma. Salah satu ciri utama yaitu, “Jika kita seperti bayi, maka apa pun yang kita ucapkan membuat orang lain bahagia mendengarnya.”

Tidakkah kita lihat bahwa apa pun celoteh bayi akan membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum, ceria, gemes dan bahagia? Sudahkah kita seperti ini?

Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Wednesday, October 1, 2008

Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (1 of 2)

Takbir berkumandang
Membahana di penjuru angkasa
Menyentuh relung kalbu
Menelusup ke dalam sanubari

Membuncah rasa di hati
Menjumpai hari kemenangan
Namun kesedihan juga meliputi diri
Benarkah kita telah menang?!


Di kamus “Al-Munawwir Arab–Indonesia”, al fith-ru (الفطر) adalah kasru ash-shawmi, yang artinya hal buka puasa. Selain fith-run, buka puasa disebut juga ifthâr (sighat mashdar dari aftharayufthiru). Senada dengan hal tersebut, makan pagi yang dalam bahasa Inggris kita kenal dengan istilah breakfast (menghentikan puasa), dalam bahasa Arab disebut futhûr.

Dengan demikian, Idul Fitri (عيد الفطر) berarti hari raya berbuka atau makan.

Berdasarkan uraian tersebut, Idul Fitri dapat diterjemahkan sebagai hari raya dimana umat Islam wajib berbuka atau makan. Oleh karena itulah salah satu sunnah sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri adalah makan atau minum walaupun sedikit. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hari itu waktunya berbuka dan dilarang berpuasa.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم لاَيَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَفِي رِوَايَةٍ عَنْهُ قَالَ : وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra : Tak sekali pun Nabi Muhammad saw. pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya. Anas juga mengatakan : Nabi saw. makan kurma dalam jumlah ganjil. (HR Bukhari)

Sampai di sini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa sesuai makna kata yang ada, Idul Fitri adalah kembali kepada aktivitas sebelum puasa, yaitu makan, minum dan hal-hal lain yang tidak diperbolehkan selama puasa Ramadhan. Apabila hanya ditinjau dari sudut pandang ini, memang Idul Fitri tidak mempunyai makna filosofis tinggi.

Namun di sisi lain, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata fithr antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar atau kesucian. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan pula bahwa Idul Fitri bisa berarti kembalinya kita kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).

Hal ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad saw. bahwa puasa Ramadhan dan segala aktivitas ibadah di dalamnya menghapuskan dosa-dosa terdahulu.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسـَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa puasa Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh)

مَنْ قََامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسـَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa shalat malam di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh)

Sekian banyak ungkapan, kalimat bijak dan puisi juga telah disampaikan demi menunjukkan betapa agung dan mulia bulan Ramadhan itu. Salah satu ungkapan (maqâlah)—bukan hadits Nabi saw. berdasarkan penelitian KH. Ali Mustafa Ya'qub dan juga oleh Syaikh Albani—yang menjadi idola para da‘i adalah :

َأَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Awal (sepuluh hari pertama) bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya (sepuluh hari kedua) ampunan dan akhir Ramadhan (sepuluh hari terakhir) adalah pembebasan dari api neraka.

Argumentasi tersebut diperkuat lagi dengan kebiasaan kita saling memaafkan saat Idul Fitri. Memang, seharusnya meminta dan memberi maaf tidak perlu menunggu Idul Fitri. Namun demikian, tradisi maaf-memaafkan ketika Idul Fitri tetaplah baik. Tentunya harus dilakukan dengan tulus, bukan sekadar basa-basi. Oleh karena itu, ada ayat yang sangat populer ketika Idul Fitri, yang terjemahnya sebagai berikut :

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.

(QS Âli ‘Imrân [3] : 133-136)

Imam Muslim pernah meriwayatkan hadits yang menjelaskan bahwa orang bangkrut adalah orang yang datang di Hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, sementara sebelumnya (di dunia) ia telah mencaci ini, menuduh (berzina) itu, memakan harta ini, mengalirkan darah itu dan memukul ini (dengan tidak haq).

Untuk menegakkan keadilan, kepada si ini diberikan ganjaran kebaikan orang itu dan kepada si itu diberikan ganjaran kebaikannya yang lain. Apabila habis ganjaran kebaikan orang tersebut sebelum semua tanggungannya terlunasi, maka akan diambil dosa-dosa mereka yang pernah disalahinya dan ditimpakan kepadanya. Kemudian orang itu pun dilemparkan ke neraka. Na‘ûdzubillâh.

Dalam bahasa Jawa, hari raya Idul Fitri disebut juga dengan istilah “Lebaran”. KH Masruri A. Mughni—pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 2 Benda, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah—menerangkan bahwa Lebaran mengandung maksud lebar-lebur-luber. Untuk itu, dalam pemaknaannya haruslah diwujudkan pada hal-hal yang positif. Seperti menjalin silaturrahim sebagai sarana membebaskan diri dosa yang bertautan antar makhluk.

Silaturrahim tidak hanya berbentuk pertemuan formal. Halal bi halal, misal, maknanya sangat kering karena digelar hanya sebagai ritual formal. “Yang utama itu, menyambangi dari rumah ke rumah, saling duduk bercengkerama, saling mengenalkan dan mengikat kerabat,” anjur beliau.

Di sebuah hadits disebutkan :

مَا مِنْ مُسْلِمَيْن يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Al-Hasan menuturkan, “Berjabat tangan dapat menambah kasih sayang.”

Nah, pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri sendiri adalah, “Apakah kita memilih makna kembali fitrah/suci (fith-rah) ataukah kembali makan (fith-run)?”


Daftar Pustaka :
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat belas 1997
  • Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, “Kamus Al-Munawwir Indonesia—Arab Terlengkap”, Pustaka Progressif, Cetakan Pertama 2007
  • M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabîdî, asy-Syaikh, “Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Al-Tajrîd as-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi‘ as-Shahîh)”, Penerbit Mizan, Cetakan III : Dzulhijjah 1419/April 1999
  • http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=14324

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#