b. Malu kepada Allah
Rasa ini merupakan hasil dari pengetahuan kita bahwa Allah memperhatikan kita walau bagaimanapun keadaan kita. Maka, kita akan malu jika Allah menemukan kita sedang melakukan larangan-Nya atau kehilangan dalam pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Buah dari sifat ini adalah keamanan dari kebencian dan siksa, serta keringanan hisab.
Sebuah kalimat bijak dari orang-orang shaleh, “Bersembunyilah dari Allah berdasarkan kekuasaan-Nya padamu. Malulah kepada Allah sebatas kedekatanmu kepada-Nya.”
Al-Qur’an telah menjelaskan tentang kedekatan seorang hamba terhadap Tuhannya di banyak ayat, di antaranya (yang terjemahnya):
Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? (QS al-‘Alaq [96]: 14)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. (QS al-Baqarah [2]: 186)
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (al-Mujâdalah [58]: 7)
Rasulullah saw. pernah memberi penjelasan tentang bagaimana malu kepada Allah.
أَيـُّهَا النَّاسُ اسْـتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّا لَنَسْتَحِي مِنَ اللهِ تَعَالَى. فَقَالَ: مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْـتَحْيِـيًا فَلاَ يَبِـيْتُ لَيْلَةً إِلاَّ وَأَجَلُهُ بَيْنَ عَيْنَـيْهِ، وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَالرَّأْسُ وَمَا وَعَى، وَلْيَذْكُِر الْمَوْتَ وَالْبَلَى، وَلْيَتْرُكْ زِيْنَةَ الدُّنْيَا
Wahai manusia, malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kami pasti merasa malu terhadap Allah.” Rasulullah bersabda lagi, “Siapa yang merasa malu, maka hendaklah ia tidak melewati malam kecuali ia ingat kematian ada di pelupuk matanya, dan hendaklah ia senantiasa memelihara perut dan isinya, peliharalah pikiran dan apa yang tersimpan di dalamnya, senantiasa mengigat kematian dan keburukan yang ada padanya, dan hendaklah ia tinggalkan perhiasan dunia.” (HR Ibnu Majah)
اِسْتَحْـيُوْا مِنَ اللهِ تَعَالَى. قَالُوْا: إِنَّا نَسْتَحْيِىْ يَانَبِيَّ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ. قَالَ: لَيْسَ ذٰلِكَ، وَلـٰكِنْ مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَاوَعَى، وَلِيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَاحَوَى، وَلِيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبَلَيَ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذٰلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Malulah kalian pada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu. Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya kami telah merasa malu, wahai Nabi Allah. Kami bersyukur kepada Allah (karena bisa berbuat demikian).” Beliau bersabda, “Bukan demikian. Akan tetapi, orang yang malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya; menjaga perut dan apa yang dihimpunnya; dan ingatlah kalian pada kematian dan bahayanya. Siapa menghendaki kampung akhirat, maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Siapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu.” (HR Tirmidzi)
Al-Junaid pernah ditanya tentang malu, lalu dijawab, “Memandang buruk dan kurang (perbuatan baikmu). Di antara dua perbuatan itu akan lahir suatu kondisi yang dinamakan malu.”
Muhammad al-Wasithi berkata, “Tidak akan merasakan kelezatan malu, seseorang yang merobek ketentuan hukum dan melanggar janji.” Ibnu Atha’ berpesan, “Ilmu terbesar adalah rasa segan dan malu. Jika keseganan dan rasa malu hilang, maka tidak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya.”
Dalam hadist lain Nabi saw. mengingatkan kita tentang bagaimana Allah mendekati dan mengingat kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda:
يَقُوُلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي. فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتـُهُ فِي نَفْسِي. وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍَ، ذَكَرْتـُهُ فِي مَلإٍَ خَيْرٍ مِنْهُمْ. وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا. وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا. وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي، أَتَيْـتُهُ هَرْوَلَةًً
Allah berfirman, “Aku selalu mengikuti sangka hamba-Ku, dan Aku selalu membantunya selama ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam hatinya, maka Aku ingat padanya dalam diriku. Jika ia ingat padaku di tengah-tengah orang banyak, maka Aku ingat padanya di hadapan Malaikat yang jauh lebih baik dari masyarakatnya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepadaku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan bila ia datang kepadaku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Muhammad Ali bin Ahmad Bin Said bin Ibnu Hazm, seorang ulama kenamaan di Andalusia (Spanyol – wafat 456 H) menasihatkan dalam senandung syairnya:
Yang mengenal-Nya, ia tahu keagungan-Nya
Berbeda negeri abadi dengan negeri fana
Berbeda takwa hakiki dengan takwa pura-pura
Si fasik berbeda dengan yang takwa
Si jujur berbeda dengan pembohong setia
Sungguh, Allah telah perintahkan kita
Taat pada-Nya jauhi hawa nafsu durjana
Meski tak ada siksa neraka bagi pendosa
Meski kita tak ada perintah ibadah pada-Nya
Kita harus tetap taat patuh pada-Nya
Daftar Pustaka :
- Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
- Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
- Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (3 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (5 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment