Mencari Data di Blog Ini :

Friday, December 24, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)

Di kitab “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”, dijelaskan dengan detail tentang maksud ayat Al-Qur’an:


وَلاَ تَمُوْ تُنَّ إِلاَّ وَأَنْتـُمْ مُسْـلِمُوْنَ

Dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Âli ‘Imrân [3]: 102)


Di ayat tersebut, kita dipesan agar ketika meninggal dunia tetap dalam Islam, karena Nabi saw. bersabda bahwa siapa yang meninggal dalam keadaan iman dan Islam, maka masuk surga. Diriwayatkan dari Abu Dzar ra. bahwa Rasulullah bersabda,


أَتَانِيْ آتِ مِنْ رَبِّي فَأَخْبِرْنِيْ، أَوْ قَالَ بَشَّرَنِيْ، أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لاَيُشْرِكْ بِاللهِ شَـيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Telah datang kepadaku utusan Tuhan dan memberitakan bahwa siapa meninggal dari umatku dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, pasti masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)


Memang, pesannya hanya ketika meninggal dunia, tapi di ayat itu (QS Âli ‘Imrân [3]: 102) ada penguatan kata (tawkîd), yaitu lâ tamûtunna (janganlah sekali-kali kalian mati). Secara etimologi, kata lâ tamûtunna berasal dari kata:


لاَ تَـمُوْ تُوْا

yang berarti janganlah kalian mati. Kata itu adalah kata kerja bentuk larangan (fi‘il nahiy), kemudian dimasuki oleh dua buah nûn tawkîd untuk menguatkan larangan, yaitu nûn tawkîd tsaqîlah.

Peraturan yang berlaku adalah fi‘il (kata kerja) yang dikuatkan dengan nûn tawkid apabila bersambung kepadanya alif itsnayn (huruf alif yang menunjukkan arti dua), wau jama‘ (huruf wau yang menunjukkan makna banyak) atau ya’ mukhâthabah (huruf ya’ yang menunjukkan kata ganti orang kedua perempuan); maka huruf sebelum alif diberi harakat fathah, huruf sebelum wau diberi harakat dhammah dan huruf sebelum ya’ diberi harakat kasrah. Dhamir (kata ganti) harus dibuang apabila berupa wau atau ya’, dan dibiarkan apabila berupa alif. Sebetulnya bentuk tambahannya berbunyi:


لاَ تَـمُوْ تُوْنَنَّ

Namun, karena peraturan tersebut, maka hasil akhirnya adalah:


لاَ تَـمُوْ تُنَّ

Huruf nun dibuang karena beriringan dengan huruf yang serupa dan huruf wau dihilangkan pula karena pertemuan dua huruf sukun (wau sukun dan nun pertama dari nun yang ditasydid).


Dengan demikian, kata lâ tamûtunna menunjukkan adanya kewajiban ketika kita hidup di dunia, untuk menyiapkan diri, supaya ketika sang Malaikat maut datang menjemput, kita sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan baik (dzikrullâh). Ketika sakaratul maut (ajal menjemput), seseorang akan melakukan sesuai kebiasaannya di dunia. Oleh karena itu, kalau kita tidak biasa berbuat baik, menjaga diri, menuntut ilmu-ilmu yang diwajibkan, shalat serta berdzikir (mengingat Allah) semasa hidup; maka ketika Izrail datang, bagaimana kita bisa tetap dalam iman dan Islam? Sedangkan kondisi setiap insan pada saat itu benar-benar payah, rasa haus yang sangat dan ada godaan setan atau Iblis. Sudah siapkah kita?


Di kitab “Syarah Daqâiq al-Akhbâr fî Dzikri al-Jannah wan-Nâr” dibahas bahwa Iblis akan datang untuk menggelincirkan orang yang sedang menghadapi maut. Setan memang tak kenal lelah menggoda kita. Dikisahkan, ketika Abu Zakaria az-Zahid datang ajal, datanglah seorang kawannya untuk membimbing dalam menghadapi sakaratul maut. Sang teman mengajarkan kepadanya,


لاَإِلـٰهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Ternyata Abu Zakaria memalingkan wajah dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Temannya pun mengajari untuk yang kedua kali, namun tetap saja Abu Zakaria memalingkan wajah. Ketika temannya mengajarkan untuk yang ketiga kali, Abu Zakaria malah berkata,


“Aku tidak mau mengucapkan!”


Melihat kondisi yang demikian, sang kawan dan keluarga yang hadir menjadi cemas dibuatnya.


Setelah beberapa saat, penderitaan Abu Zakaria berkurang. Dia lalu membuka matanya perlahan. Kemudian dia bertanya,


“Apakah kalian mengatakan sesuatu kepadaku?”


“Ya, telah kami ajarkan kepadamu syahadat tiga kali, namun kamu berpaling dua kali. Bahkan pada kali ketiga, kamu berkata, ‘Aku tidak mau mengucapkan’.”


Mendengar penjelasan tersebut, Abu Zakaria terdiam sejenak. Kemudian dia bercerita,


“Iblis telah datang kepadaku dengan membawa segelas air minum. Dia berdiri di sebelah kananku dengan menggerak-gerakkan gelas itu seraya berkata,


‘Katakanlah, ‘Isa al-Masih adalah anak Allah’.’


Maka aku memalingkan muka darinya. Kemudian dia datang dari arah kakiku dan berkata dengan ucapan yang sama. Pada perkataan yang ketiga, Iblis berkata,


‘Katakan, ‘Tidak ada Tuhan!’’


Lalu aku menjawab, ‘Aku tidak mau mengucapkan!’


Setelah itu Iblis mencampakkan gelasnya ke lantai dan pergi sambil berlari. Jadi, aku tadi menolak Iblis itu, bukan menolak kalian. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”


Bahkan ada sebuah nasihat bahwa ketika seseorang sedang sakaratul maut, Iblis bisa menyerupai wajah guru, orang tua atau orang yang disegani. Iblis akan berkata, “Hai Fulan, aku ini Gurumu. Kamu tahu bahwa aku sudah mati lebih dulu, dan ternyata setelah aku cari di alam kematian ini, Tuhan itu tidak ada. Sebagai muridku yang baik dan patuh, sekarang katakanlah bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak ada!”


Ibnul Qayyim menceritakan tentang orang fasik ketika sakaratul maut. Dikatakan pada orang itu (ditalqin),


لاَإِلـٰهَ إِلاَّ اللهُ

Orang itu ternyata mengulang lagu-lagu yang dahulu didengarnya ketika hidup masih dinikmati. Orang itu berdendang,


هَلْ رَأَى الْحُبُّ سُكٰرٰى مِثْـلَناَ

“Apakah cinta melihat orang yang mabuk seperti kami?”

Maka dia mati dengan kalimat terakhir adalah lagu itu, karena dia hidup dengannya.

Daftar Pustaka:

  • Abdullah Ba‘alawi Al-Haddad, asy-Syaikh, “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”
  • Abdurrahim bin Ahmad al-Qadhi, asy-Syaikh, “Syarah Daqâiq al-Akhbâr fî Dzikri al-Jannah wan-Nâr”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Terjemah Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil (karya Syaikh Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil) – Jilid 1 dan 2”, Penerbit Sinar Baru, Cetakan Pertama : 1992
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (1 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment