Mencari Data di Blog Ini :

Friday, December 25, 2009

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (2 of 8)

Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang berjudul “Muqaddimah” menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya, dalam istilah agama disebut rizqi (rejeki) dan bila melebihinya disebut kasb (hasil usaha). Seorang penyair berkata :


Jika engkau punya ide, maka segera satukan tekad untuk melakukannya
Sebab rusaknya ide itu karena keraguan semata

Dengan demikian, kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan. Janganlah kita bermalas-malas, pesimis apalagi berputus asa dari rahmat-Nya. Andaikata rasa putus asa itu tiada akan pernah sirna, niscaya kehidupan ini akan menjadi gelap.

Kesulitan hidup akan berubah, belenggu kehidupan akan berujung pada kebahagiaan. Seandainya rasa takut itu kekal, maka jiwa manusia akan sia-sia. Sejatinya setiap ada ketakutan pasti akan berganti dengan ketenangan dan kedamaian. Andaikata kesedihan itu tiada berakhir, niscaya hati manusia akan berguncang. Hakikatnya, setiap kesedihan akan berujung pada suka cita.

Pandanglah dari celah pintu harap agar kita melihat alam yang terbuka, taman harapan yang menghijau dan kebahagiaan yang menyongsong; agar kita menyaksikan perhatian Tuhan menyelimuti diri kita, serta kelembutan-Nya mendekap kita.

Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadits-hadis beliau agar kita bekerja keras, tidak bersedih hati apalagi patah semangat.

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةٍ  الـْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَـبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْـأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُـوْهُ

Salah seorang di antara kamu mengambil tali, kemudian membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu dijualnya, sehingga ditutup Allah air mukanya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang, baik ia diberi atau ditolak.
(HR Bukhari)

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْـتَعِنْ بِاللهِ، وَلاَ تَعْجَزْ

Kerjakanlah sesuatu yang bermanfaat bagimu dengan sungguh-sungguh, memohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan patah semangat.

(HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap ragu-ragu untuk bertindak dan kesedihan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari lemah bertindak (pesimis/putus asa) dan malas. Dan aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan penindasan (tindak semena-mena) orang-orang kepadaku.
(HR Abu Daud)

Dalam Al-Qur’an telah ditegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika kita tidak mau berusaha mengubahnya.

إِنَّ اللهَ لاَيُغَـيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتـّىٰ يُغَـيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِـهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS ar-Ra‘d [13] : 11)

Kalau di tempat kita berdomisili tidak ditemukan lapangan pekerjaan, Al-Qur’an menganjurkan kepada kita untuk berhijrah mencari tempat lain. Pasti kita akan menemukan di bumi ini, tempat perlindungan yang banyak rejekinyaز

Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rejeki yang banyak. (QS an-Nisâ’ [4] : 100)

Tsabit ibn Zuhair berkata :

Jika seseorang tidak berusaha
Padahal nasibnya telah mengharuskannya berusaha
Dia telah menyia-nyiakan nasibnya itu, dan akan ditinggalkan
Namun orang yang bertekad baja tidak pernah menyerah pada ujian
Akan selalu melihat masalah dengan mata terbuka
Dia adalah penembus zaman, yang selalu bergerak
Jika ditutup satu pintu, dia akan menerobos pintu yang lain

‘Aidh al-Qarni berpesan, “Jika Anda meyakini diri Anda diciptakan hanya untuk meraih hal-hal kecil, maka Anda pun hanya akan mendapatkan yang kecil-kecil saja. Tapi sebaliknya, bila Anda yakin bahwa diri Anda diciptakan utuk menggapai hal-hal besar, niscaya Anda akan memiliki semangat dan tekad besar yang akan mampu menghancurkan semua aral dan hambatan.”

“Dengan semangat itu pula Anda akan dapat menembus setiap tembok penghalang dan memasuki lapangan kehidupan yang sangat luas untuk suatu tujuan hidup mulia. Ini dapat kita saksikan dalam kenyataan hidup. Siapa ikut lomba lari seratus meter misalnya, ia akan merasa capek tatkala telah menyelesaikanya. Lain halnya dengan seorang peserta lomba empat ratus meter, ia belum merasa capek tatkala sudah menempuh jarak seratus atau dua ratus meter. Begitulah adanya, jiwa hanya akan memberkan kadar semangat sesuai dengan kadar atau tingkatan sesuatu yang akan dicapai seseorang. Maka, pikirkan setiap tujuan Anda. Dan jangan lupa, hendaklah tujuan Anda selalu tinggi dan sulit dicapai,” kata ‘Aidh Al-Qarni meneruskan nasihatnya.


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (1 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (3 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 18, 2009

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (1 of 8)

Cukup banyak orang berkomentar, “Orang-orang non muslim rata-rata berkecukupan dalam harta. Kebanyakan dari mereka adalah orang kaya. Namun, banyak orang Islam—yang telah menjalankan ajaran agama dengan tekun—tetap saja rejekinya pas-pasan. Mengapa demikian?”


Dalam kajian keagamaan, ada maqâlah (perkataan atau ungkapan) yang sering kita dengar, yaitu :

كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا

Hampir saja kefakiran itu menjadi kekufuran.
Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. pernah mengatakan bahwa jika ada ular atau kemiskinan yang harus dibasmi lebih dulu, maka kemiskinanlah yang harus dihilangkan terlebih dahulu. Oleh karena itu Nabi Muhammad saw. berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran”
(HR Abu Daud)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung pula dari menganiaya dan dianiaya”
(HR Ibnu Majah dan Hakim)

M. Quraish Shihab menerangkan bahwa Islam tidak menjadikan banyaknya harta sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasannya. Sebuah lingkaran betapa pun kecilnya adalah sama dengan 360 derajat, tetapi betapa pun besarnya, bila tidak bulat, maka ia pasti kurang dari 360 derajat. Karena itu, Islam mengajarkan apa yang disebut qanâ‘ah. Seseorang tidak dapat menyandang sifat qanâ‘ah kecuali setelah melalui empat tahap, yaitu :
  • Menginginkan kepemilikan sesuatu
  • Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa yang diinginkannya itu
  • Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara suka rela dan senang hati
  • Menyerahkannya kepada orang lain, dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sebelumnya

الْقَنَاعَةُ مَالٌ لاَيَنْفَدْ
Sikap qanâ‘ah adalah harta kekayaan yang tidak bisa habis.
(HR al-Qudha‘i dengan sanad Anas bin Malik)
Dalam hubungannya dengan bantuan kepada hamba-Nya, Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur‘an :
وَمَنْ يَتَّـقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ ُ مَخْرَجًا
Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS ath-Thalâq [65] : 2)

  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). (QS ath-Thalâq [65] : 3)

وَمَنْ يَتَّـقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ ُ مِنْ أَمْرِه يُسْـرًا
Dan siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS ath-Thalâq [65] : 4)

Allah sudah menjamin di dalam ayat-ayat suci-Nya. Kalau memang kita beriman namun masih miskin, berarti ada yang kurang tepat dengan diri kita, mungkin iman kita atau cara-cara kita.

Dalam bahasa Arab, kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang. Sedangkan faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga ”mematahkan” tulang punggungnya. Oleh karena itu, sebagian pakar mendefinisikan bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedangkan miskin adalah yang berpenghasilan di atas setengah kebutuhan pokoknya.

Sesuai dengan akar katanya, faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan atau tidak dapat bergerak/berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri. Jaminan rejeki yang dijanjikan Allah ditujukan kepada makhluknya yang aktif bergerak, bukan yang diam menanti.

وَمَا مِنْ دَۤابـَّةٍ فىِ اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
Dan tidak ada satu dâbbah-pun di bumi kecuali Allah yang menjamin rejekinya. (QS Hûd [11] : 6)

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata dâbbah mempunyai arti harfiah “yang bergerak”.

Apabila telah ditunaikan shalat (Jum‘at), maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (QS al-Jumu‘ah [62] : 10)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Âli ‘Imrân [3] : 14)


Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (2 of 8) 
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 11, 2009

Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (3 of 3)

Di sebuah pointer yang berjudul “MT Morning Talk – The Relevance of Religion in Business”, Mario Teguh menasihatkan bahwa agama sangat relevan dalam bisnis.


Kita membutuhkan orang-orang yang bisa dipercaya. Untuk ketenangan berusaha, kita membutuhkan organisasi yang bisa dipercaya untuk tetap jujur, bahkan tanpa pengawasan. Dan “pengawasan” terkuat yang diketahui kemanusiaan, yang bisa membuat orang bersikap dan berlaku baik walaupun tidak diawasi adalah keyakinan kepada Beliau Yang Maha Melihat.

Kita semua menuntut perlakuan adil (fair) kepada diri kita, karena semua perkiraan dan perhitungan akan meleset bila orang tidak berlaku adil kepada kita. Semua studi kelayakan (feasibility study) adalah asumsi bahwa pasar akan berlaku fair kepada kita. Kita membutuhkan orang-orang yang takut untuk berlaku tidak adil, karena mereka meyakini perhitungan yang adil dan pasti atas tindakan mereka. Kita membutuhkan orang-orang shaleh, yang taat kepada agama apa pun yang dianutnya.

Bahkan seorang yang paling jahat, yang tidak mengenal kebaikan dan menolak melakukan kebaikan bagi siapa pun, tetap menuntut orang lain untuk tidak melakukan kejahatan kepadanya.

Mereka yang paling menolak agama adalah justru orang-orang yang paling kejam menghukum orang lain yang melakukan kepada mereka, hal-hal yang bertentangan dengan aturan kebaikan agama. Orang yang meragukan agama masih menuntut orang lain berlaku kepadanya dengan cara-cara orang beriman.

Kedua belah pihak, yang beragama dan yang belum mengakui membutuhkan agama, sama-sama sangat tidak menyukai orang munafik, yaitu orang buruk hati yang tampil dengan wajah shaleh. Orang yang kalau berbicara dia berbohong, kalau berjanji ia mengingkari dan kalau dipercaya dia berkhianat.

Memang, adakalanya kita jenuh di tempat kerja. Itu wajar dan manusiawi. Kondisi ini tidak berhubungan dengan rajin atau tidaknya seseorang dalam menjalankan shalat. Kadang kala suatu hari kita mengalami kelelahan, entah lelah fisik, lelah pikiran bahkan keduanya. Orang lelah cenderung melakukan kesalahan, lamban dan kurang efektif. Produktivitas kerja akan turun.

Robert K. Cooper, Ph.D dan Ayman Sawaf memberikan saran bahwa pada saat-saat seperti itu, kita harus menemukan cara kita sendiri yang terbaik untuk bangkit dan memperbarui diri. Mungkin cara kita adalah dengan berolah raga, menghirup udara segar di luar serta menikmati pemandangan, menyantap makanan ringan yang sehat, minum secangkir teh atau kopi hangat, guyon (berbincang humor) dengan rekan kerja atau berdzikir. Bukankah sudah dibahas sebelumnya bahwa berdzikir membuat hati tentram? Pilihan-pilihan tersebut berguna agar kita selalu dapat lebih mampu menyesuaikan diri waktu punggung terasa pegal atau waktu kita mulai merasa lelah/tegang dan untuk memperbarui diri secara teratur sepanjang hidup.

Seorang motivator mengingatkan bahwa segala sesuatu bermula dari pikiran kita sendiri. Rasa bosan, suntuk atau apa pun adalah hasil dari pikiran. Selalu mempunyai pikiran yang positif (positive thinking) adalah tips utama dalam menghadapi segala peristiwa atau kejadian. Untuk mengatasi rasa bosan atau suntuk di tempat kerja bisa dengan cara merubah rutinitas kerja, misalnya dengan merubah urutan kerja sehari-hari atau dengan menambahkan hal atau kegiatan baru dalam rutinitas tersebut. Melakukan lagi kegiatan ketika masih kecil juga dapat membuat pikiran menjadi tenang dan hati menjadi riang gembira.

Rhenald Kasali memberi tips agar seseorang betah di tempat kerja sebagaimana dia betah berada di rumah. Ada perbedaan antara house dan home, yang dalam bahasa Indonesia kedua-duanya diterjemahkan menjadi rumah. House lebih ditekankan pada bangunan fisik, sedangkan home pada suasana rumah. Orang betah di rumah, karena merasakan rumah sebagai tempat yang teduh dan menenangkan jiwa. Dengan demikian suasana home harus ada di kantor sehingga orang tetap semangat dalam bekerja. Work hard (bekerja dengan keras) harus dibarengi dengan work heart (bekerja dengan hati). Bekerja dengan hati membuat seseorang merasakan kantor sebagai home kedua. Orang tidak akan merasakan pekerjaan sebagai sebuah beban, tapi sebagai sesuatu yang menyenangkan laksana melakukan pekerjaan rumah, seperti berkebun.

Mario Teguh menasihatkan kalau kita melakukan sesuatu untuk diri kita sendiri, biasanya akan sering muncul kejenuhan. Begitu pun di dunia kerja. Tapi, kalau kita bekerja untuk kebaikan orang lain, misalnya anak-anak kita tercinta, suami atau istri terkasih dan anggota keluarga lain yang anggun, maka kita akan selalu mendapatkan inspirasi sehingga tidak mudah bosan. Intinya, niatkanlah agar semuanya untuk memuliakan, melayani dan memberi keuntungan kepada orang lain.

Tokoh agama pun mengingatkan kita untuk meluruskan niat dalam bekerja. Bekerja hakikatnya adalah ibadah, bukan sekadar mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja harus diniati untuk mengabdi kepada Tuhan dan mengharapkan ridha-Nya. Hasil kerja bisa untuk membeli pakaian yang digunakan untuk menutup aurat dan shalat, mengeluarkan sedekah dan zakat, membantu anak yatim atau korban bencana, memberikan sedikit oleh-oleh untuk orang tua, menyekolahkan anak, pergi umrah dan haji serta ibadah-ibadah lainnya yang sulit kita lakukan bila tidak ada uang. Dengan begitu, semangat dalam bekerja berarti sama dengan semangat dalam mengabdi kepada-Nya.

Bekerja keras dengan memanfaatkan semua karunia, anugerah dan nikmat yang dilimpahkan oleh Allah sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya termasuk salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah, sebagaimana firman-Nya,

ٱعْمَلُوْاۤ ا ٰلَ دَاوُ ُدَ شُكْرًا، وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS Saba’ [34] : 13)

Supaya senantiasa dalam inayah-Nya, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah :

اللَّهُمَّ إِناَّ نَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari lemah bertindak (pesimis/putus asa) dan malas, amin.

Daftar Pustaka :
  • Mario Teguh, “MT Morning Talk – The Relevance of Religion in Business”, Mei 2005
  • Robert K. Cooper, Ph.D dan Ayman Sawaf, “Executive EQ – Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Januari 2001
Tulisan ini lanjutan dari : Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 4, 2009

Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (2 of 3)

Sedikit menyimpang dari pembahasan shalat; pada saat mengaji di pesantren, penulis dan semua santri selalu dinasihati oleh Kyai pengasuh pesantren agar jangan bermalas-malasan ketika menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Justru ketika berpuasa harus menunjukkan semangat tinggi dalam beribadah. Ibadah dalam arti seluas-luasnya, segala sesuatu yang diniatkan untuk mencari ridha Allah. Kalau dengan puasa kita lemas, tidur-tiduran dan malas belajar atau bekerja, maka secara tidak langsung kita durhaka kepada Rasulullah sebagai pembawa risalah. Itulah pesan yang terus-menerus disampaikan oleh Kyai kami di pesantren dulu.


Kembali ke pembahasan shalat, Ary Ginanjar Agustian menjelaskan bahwa shalat merupakan anugerah Allah yang sangat besar.

Shalat adalah metode yang sangat sempurna, karena ia tidak hanya bersifat duniawi namun juga bermuatan nilai-nilai spiritual. Di dalamnya terdapat sebuah totalitas yang terangkum secara dinamis kombinasi gerak (fisik), emosi (rasa) dan hati (spiritual). Dalam shalat, segenap eksistensi kita terlibat dalam satu peristiwa yang menggetarkan kalbu.


Dalam hubungannya dengan pekerjaan, dengan shalat yang baik dan benar, maka kita seharusnya bisa menjadi seorang sufi korporat (The Corporate Mystic). Berikut ini beberapa ciri sikap seorang sufi korporat, berdasarkan hasil penelitian Gay Hendricks dan Kate Ludeman :

  • Kejujuran sejati
    Rahasia pertama untuk meraih sukses adalah dengan selalu berkata jujur. Mereka menyadari bahwa ketidakjujuran kepada pelanggan, komisaris, direksi, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka terjebak dalam kesulitan yang berlarut-larut. Total dalam kejujuran menjadi solusi, meskipun kenyataannya bisa begitu pahit.

  • Keadilan
    Salah satu skill para sufi korporat adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak. Mereka berkata, “Pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah mengganggu keseimbangan dunia.”

  • Mengenal diri sendiri
    Para sufi korporat menyadari bahwa fisik, pikiran dan jiwanya adalah alat-alat yang penting untuk dipahami dan dipelajari. Oleh karena itu, mereka mempelajari motivasi dan perasaan mereka, sekaligus membantu orang-orang di sekitar mereka untuk mengenal diri mereka. Mereka mengatakan, “Kami belum pernah menemukan seseorang yang benar-benar sukses yang tidak melakukan pengenalan terhadap diri mereka sendiri setiap hari.” Mereka selalu terbuka dan bersemangat, juga menerima umpan balik bahkan kritik.

  • Fokus pada kontribusi
    Jarang ditemukan ada pemimpin tingkat tinggi yang dimotivasi oleh keserakahan. Sebagian besar sangat memperhatikan kesejahteraan dan pemberdayaan orang lain.

  • Spiritualisme non dogmatis
    Landasan spiritualisme mereka bersifat universal, namun abadi. Mereka memiliki kemampuan melihat di balik perbedaan, sampai ke dasar-dasar spiritual yang hakiki.

  • Bekerja efisien
    Para sufi korporat mampu memusatkan semua perhatian mereka pada pekerjaannya saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja sekaligus.

  • Membangkitkan hal terbaik dalam diri sendiri maupun orang lain
    Mereka tahu betul bahwa di balik diri seseorang terdapat sebuah “topeng” yang menyembunyikan jati dirinya. Umumnya mereka mampu melihat wajah-wajah asli dan entitas watak diri seseorang di balik topeng-topeng tersebut.

  • Terbuka menerima perubahan
    Mereka mengalir bersama perubahan dan berkembang di atas perubahan tersebut.

  • Memiliki cita rasa humor
    Sufi-sufi korporat berpendapat, “Kita semua bersama-sama dalam perusahaan ini. Untuk itu marilah kita bersama-sama mengendurkan urat saraf dengan menertawakan diri sendiri.”

  • Visi jauh ke depan
    Mereka mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya dan menjabarkan dengan begitu terinci cara-cara untuk menuju ke sana. Pada saat yang sama, ia dengan mantap menilai realitas masa kini.

  • Disiplin diri tinggi
    Para sufi korporat sangat disiplin. Kedisiplinan tersebut tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada komitmen untuk diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat menumbuhkan energi tingkat tinggi.

  • Keseimbangan
    Mereka sangat menjaga keseimbangan hidup, khususnya dalam empat aspek inti dalam kehidupan, yaitu keharmonisan, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.


Daftar Pustaka :

  • Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual – ESQ (Emotional Spiritual Quotient)”, Penerbit Arga, Cetakan Kedua puluh sembilan : September 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (3 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 27, 2009

Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (1 of 3)

Penulis pernah ditanya dengan nada yang kurang enak didengar, “Nama Anda kan Islami. Nah, menurut Anda, orang yang rajin shalat dibandingkan yang tidak, kalau bekerja lebih bagus mana?”


Kembali ke prinsip dasar, kita harus menjaga diri kita lebih dahulu. Jadi, janganlah kita menyalahkan orang lain atas kesalahpahaman atau kurangnya pengertian mereka. Ternyata, di perusahaan, memang ada orang yang rajin shalat tapi malas bekerja. Bahkan, dengan alasan melaksanakan ibadah, kerja jadi tidak produktif. Mereka memperpanjang dzikir, baca Al-Qur’an dan shalat sunnah dengan mengambil waktu jam kerja, sehingga perusahaan dirugikan. Apalagi ketika puasa Ramadhan, banyak yang bermalas-malas bahkan tidur ketika waktunya bekerja. Alasannya, ada nasihat bahwa tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.


Sebenarnya, waktu untuk ibadah telah disediakan oleh perusahaan. Semua itu atas dasar kesepakatan bersama, tidak saling merugikan (win-win solution). Kesepakatan itulah yang harus ditaati.


Kalau kita mengerjakan amalan sunnah ketika seharusnya kita bekerja, sehingga perusahaan dirugikan; itu berarti kita telah berbuat zhalim, menempatkan sesuatu tidak pada semestinya. Jika kita ingin melakukan amalan-amalan nafilah seperti itu dengan sebebas-bebasnya, maka janganlah bekerja di perusahaan. Semestinya kita berwira usaha, menjadi seorang entrepreneur. Dengannya, kita bisa melaksanakan ibadah seperti yang kita inginkan, tanpa menzhalimi orang lain.


Abul Laits as-Samarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda,


مَنْ كَانَتْ ِلأَخِيْهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ مِنْ عِرْضٍ اَوْمَالٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ يَوْمَ لاَدِيْنَارَ وَلاَدِرْهَمَ فَإِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَاِلحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عَمَلٌ أُخِذَ مِنْ سَـيِّئَاتِهِ فَحُمِلَتْ عَلَيْهِ

“Siapa yang merasa berbuat zhalim terhadap saudaranya berupa kehormatan atau harta, hendaklah meminta halalnya sekarang juga, sebelum dituntut pada hari yang tidak ada dinar atau dirham (uang emas atau perak). Maka jika ia mempunyai amal shaleh, diambil menurut kadar kezhalimannya. Bila tidak mempunyai amal shaleh, maka diambilkan dari kejahatan orang itu (yang dizhalimi) untuk dipikulkan kepadanya.”


Larangan zhalim terhadap manusia ditegaskan lagi dengan sabda Rasulullah asw. :


اِتَّقُـوْا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيـَامَةِ

Takutlah kamu untuk berbuat zhalim, karena perbuatan zhalim itu merupakan kegelapan di hari Kiamat. (HR Muslim dan Ahmad)


لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

Sungguh pasti semua hak akan dikembalikan pada yang berhak pada hari Kiamat, hingga kambing yang tidak bertanduk diberi hak (kesempatan) membalas pada kambing yang bertanduk. (HR Muslim)


Diriwayatkan dari Said bin Zaid ra bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda,


مَنْ ظَلَمَ مِنَ اْلأَرْضِ شَـيْئًا طُوِّّقَهُ مِنْ سَـبْعِ أَرْضِيْنَ

“Siapa pun yang merampas tanah milik orang lain secara zhalim, maka lehernya akan ditelikung (dililit) dengan tujuh (lapis) bumi (pada hari Kiamat).” (HR Bukhari)


Ja‘far bin Muhammad berkata, “Orang hina adalah orang yang melakukan kezhaliman.”

Berbuat zhalim terhadap orang lain termasuk perbuatan mungkar. Lupakah kita bahwa shalat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar? Apakah itu tidak berarti bahwa shalat kita ada yang kurang? Marilah kita bersama-sama introspeksi diri. Allah SWT berfirman :


إِنَّ ٱلصَّلـٰوةَ تَنْهٰى عَنِ ٱلْفَحْشَـۤاءِ وَٱلمْنُـْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (QS al-‘Ankabût [29] : 45)


Daftar Pustaka :

  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu


Tulisan ini berlanjut ke : Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 20, 2009

Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (2 of 2)

Oleh karena blog ini membahas tentang introspeksi diri (muhâsabah), maka kita anggap saja bencana yang menimpa kita sebagai peringatan dari Allah. Peringatan Allah mempunyai maksud agar kita menyadari kekeliruan dan kekurangan kita, sehingga kita segera memenuhi kewajiban kita.


Kalau terjadi gempa dan kita tidak siap sehingga terkena dampaknya, itu berarti bahwa Allah mengingatkan kita untuk selalu meningkatkan ilmu dan kewaspadaan. Marilah kita ingat lagi sabda Nabi saw. bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib, dan harus dicari mulai buaian ibu sampai ke liang lahat. Juga agar kita senantiasa taat kepada-Nya, sehingga jika sewaktu-waktu kita dipanggil oleh-Nya, maka kita sudah mempersiapkan diri. Bukankah kita adalah milik Allah? Tidakkah itu berarti bahwa Allah berhak mengambil nyawa kita tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Bukankah sudah kita ketahui bersama bahwa banyak orang meninggal tanpa adanya tanda bahwa orang itu akan meninggal, seperti sakit keras yang tidak sembuh-sembuh? Bukankah banyak terjadi kecelakaan di jalan raya yang mengakibatkan korban meninggal seketika? Itulah peringatan Allah agar kita senantiasa menambah wawasan, ilmu, pengalaman, kehati-hatian dan ibadah kepada-Nya.

Jika terjadi banjir dan penyebabnya adalah penggundulan hutan atau berkurangnya daerah resapan air serta penyaluran air yang kurang tepat, itu artinya kita dingatkan oleh Allah agar bersahabat dengan alam. Kita diingatkan Allah bahwa kita adalah khalifah di muka bumi ini. Berikut ini penjelasan M. Qurais Shihab tentang prinsip kekhalifahan.

Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesama dan manusia dengan alam.

Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Kekhalifahan mengharuskan kita menjadi manusia yang bertanggung jawab, sehingga tidak melakukan tindak perusakan. Dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri kita sendiri. Jika ini kita abaikan, maka akan tampaklah kerusakan di bumi yang kita diami ini.

ظَهَرَ ٱلْفَسَـادُ ِفى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَـبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاِس لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ ٱلَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (QS ar-Rûm [30]: 41)

Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah dan menjadi milik-Nya. Keyakinan ini mengantarkan kita untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Allah yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa semua itu tidak boleh diperlakukan secara aniaya.

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS al-An‘âm [6]: 38)

Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan kita kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangan kita, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan.

“Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfaatannya.” Demikianlah kandungan penjelasan Nabi saw. tentang firman Allah:
ثُمَّ لَتُسْـئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيْمِ
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS at-Takâtsur [102]: 8)

Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Allah) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.

مَا خَلَقْنَا ٱلسَّمٰوٰتِ وَٱْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَاۤ إِلاَّ بِٱلْحَقِّ وَأَجَلٍ مُّسَمًّى
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. (QS al-Ahqâf [46]: 3)

Firman Allah tersebut mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, bangsa dan jenisnya saja (sesama manusia); melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Kita tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam merupakan dewa-dewa yang memusuhi manusia, sehingga harus ditaklukkan.

Menurut Al-Qur’an, yang menundukkan alam adalah Allah. Kita tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat anugerah Allah kepada kita.

سُبْحٰنَ ٱلَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ ُ مُقْرِنِيْنَ
Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. (QS az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, berarti kita tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga kita harus bersahabat dengan alam.

Al-Qur’an menekankan agar kita meneladani Nabi Muhammad saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Rasulullah bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama” memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.

Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan.

Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS an-Nahl [16]: 14)

Dan Dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. (QS al-Jâtsiyah [45]: 13)

Ini menunjukkan bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Kita dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, kita tidak boleh merendahkan diri terhadap segala sesuatu yang telah ditundukkan Allah untuk kita, berapa pun harga benda-benda itu. Kita tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingan kita sendiri. Dalam hal ini, kita dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa kita boleh meraih apa pun asalkan yang kita raih serta cara meraihnya tdak mengorbankan kepentingan di akhirat kelak.

Marilah kita perhatikan lagi masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ ar-Rasyidin. Masa itu adalah bagian paling gemilang dari sejarah kita. Masa itu adalah tahi lalat indah di dahi zaman, mutiara putih di mahkota kehidupan, dan bulan purnama yang menyinari seluruh permukaan bumi. Semua itu terjadi karena pada masa itu, perintah Allah ditaati dan semua perbuatan serta perkataan seseorang sesuai dengan aturan-aturan Allah. Mereka mempunyai budi pekerti yang luhur sebagaimana suri teladan mulia, Rasulullah Muhammad saw.
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنُ
Budi pekerti Nabi saw. adalah Al-Qur’an. (HR Ahmad)
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْـلاَقِ
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhalak yang mulia. (HR Malik)
مَامِنْ شَيْئٍ أَثْقَلُ فِي ِميْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُـلُقِ
Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari Kiamat, melebihi akhlak yang luhur. (HR Tirmidzi)

Agar dalam bimbingan-Nya selalu, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah:
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى دِيْنِكَ بِدُنْيَايَ وَعَلَى آخِرَتِي بِتَقْوَايَ وَوَفِّقْنِي لِتَهْذِيْبِ أَخْلاَقِ نَفْسِي وَتَلْطِيْفِ كَثَافَتِهَا
Ya Allah, bantulah hamba dalam hal agama dengan dunia hamba, bantu pula hamba menyangkut kehidupan akhirat dengan ketakwaan hamba, anugerahi pula hamba kemampuan untuk meluhurkan akhlak dan memperhalus budi hamba, amin.

Daftar Pustaka:
  • Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual – ESQ (Emotional Spiritual Quotient)”, Penerbit Arga, Cetakan Kedua puluh sembilan : September 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Tulisan ini lanjutan dari: Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, November 13, 2009

Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (1 of 2)

Pertanyaan ini seringkali diajukan oleh peserta seminar, tanya-jawab keislaman dan pengajian. Secara tersirat seolah-olah dikatakan bahwa harusnya kalau kita shalat, maka tidak akan ada bencana. Apakah memang seperti itu?


Perlu kita ingat lagi, bahwa sesuatu yang menimpa kita adakalanya adalah ujian, peringatan atau azab (hukuman). Nah, bencana yang menimpa kita termasuk yang mana?

Peraturan dasar untuk sebuah introspeksi adalah ketika kita menilai orang lain, kita harus berbaik sangka. Bencana yang menimpa orang lain harus kita anggap sebagai ujian. Sebaliknya, saat kita menilai diri sendiri, maka anggaplah diri ini banyak kekurangannya. Bencana yang menimpa kita harus kita pikir sebagai peringatan dari Allah.

Hanya saja, terkadang bahkan seringkali kita tidak mau menerima pernyataan bahwa yang menimpa kita adalah peringatan apalagi azab dari Allah. Kalau ada sebuah daerah tertimpa bencana, kita cenderung mengatakan bahwa itu karena kesalahan dan dosa mereka, sehingga Allah memberi peringatan bahkan azab kepada mereka. Dan, keadaan sebaliknya berlaku untuk kita.

Kita merasa diri sudah bertakwa, menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kita merasa diri sudah baik dan benar, sehingga bila ada bencana yang menimpa kita, kita yakin itu adalah ujian, bukan peringatan atau hukuman.

Kita merasa bahwa tidak seharusnya kita menerima bencana itu, karena kita sudah rajin shalat.

Kita merasa bahwa orang lainlah yang terkena bencana, dan kita ikut menerima imbasnya. Kita mengibaratkan ada seekor semut yang menggigit seseorang, lalu orang itu membunuh semua semut yang ada di dalam lubang. Semut yang tidak menggigit ikut menderita karena terkena dampak perbuatan semut lainnya.

Kita merasa bencana itu tidak ditujukan oleh Allah untuk kita. Kita ikut terkena bencana karena kita satu wilayah dengan orang-orang yang berbuat zhalim dan maksiat.

Nastahgfirullâh al-‘Azhîm. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun (Al-Ghaffâr) atas perasaan bahwa kita adalah orang baik dan benar, yang tidak mungkin mendapat peringatan apalagi azab. Marilah kita mohon ampunan Allah atas perasaan bahwa kita tidak seharusnya menerima bencana karena kita merasa telah bertakwa, menjalankan shalat—baik yang wajib maupun nawafil, sedekah, zakat, puasa (wajib dan sunnah) serta menunaikan ibadah haji dan umrah.

Ibnu Qatadah menasihatkan, “Janganlah kamu menuntut idlal (kenikmatan) karena amal perbuatanmu.”

Idlal al-‘amal adalah perasaan bahwa diri kita memiliki kedudukan yang sangat mulia di sisi Allah karena ibadah yang dilakukan. Dengannya, kita merasa berhak mendapat kenikmatan dari Allah dan tidak menerima segala perkara yang tidak disukai menimpa diri kita.

Seorang dokter mengatakan bahwa “merasa” itu menguatirkan. Seseorang yang merasa diri sehat, kemungkinan bisa terjangkit banyak penyakit, misalnya darah tinggi, kolesterol, asam urat, liver dan lainnya. Begitu pula jika seseorang merasa diri baik dan benar, bisa jadi di dalam dirinya justru banyak sekali pintu-pintu yang sudah dimasuki dan dihuni oleh setan dan kawan-kawannya.

Sudah kita bahas di posting " Benarkah Kita Hamba Allah? (2 of 2)" bahwa orang beriman akan mendapat ujian dari Allah. Jadi, tidak masuk akal kalau kita mengatakan bahwa jika kita rajin shalat, maka kita tidak mungkin mendapat bencana. Jika memang kita orang beriman, maka bencana itulah ujian kita.

Ibnu Athaillah menasihatkan, “Sebenarnya kesusahan dari bencana yang menimpamu akan menjadi ringan, apabila kamu sudah mengetahui bahwa Allah Ta‘ala sedang mengujimu. Sebab Dialah yang sedang mencoba kamu melalui qadar-Nya. Dia juga yang telah mengarahkan kamu untuk mengadakan pilihan yang paling baik.”

Apabila kita memahami bahwasanya suatu cobaan dari Allah diterima dengan ridha hati dan dipahami pula sebagai anugerah, maka kita akan menerimanya tidak dengan hati sedih, bahkan akan menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah memberi cobaan kepada para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah membenci, akan tetapi Allah Ta‘ala menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu. Demikian pula, Allah memberi kesempatan kepada para hamba untuk berikhtiar sepenuh hati, agar segala yang menimpanya mendapatkan jalan keluar dengan pertolongan dan ijin Allah. Allah juga mengingatkan kita tentang hakikat sebuah permasalahan dalam firman-Nya:

وَعَسٰىۤ أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّـكُمْ وَعَسٰىۤ أَنْ تُحِبُّوْا شَيْـئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّـكُمْ وَٱللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216)


Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Orang yang selalu mendapat taufiq dari Allah SWT ialah mereka yang terpelihara ibadahnya, dan terjaga imannya di saat menghadapi ujian dan cobaan dari-Nya. Orang yang selalu menjaga ibadahnya dengan mengendalikan kehendak hawa nafsunya, maka imannya pun akan terpelihara, dan jiwanya akan menjadi tenang menghadapi setiap ujian dari Allah Ta‘ala.”

Seorang ulama menerangkan, “Seorang hamba hendaklah dapat merasakan pemberian Allah sebagai anugerah. Dengan demikian ia pun harus dapat merasakan cobaan dari Allah sebagai anugerah kasih sayang dari-Nya. Hikmah seorang hamba dalam keadaan kesusahan atau sedang tertimpa bencana adalah ia akan bertambah dekat kepada Allah. Dengan dekatnya si hamba kepada-Nya, maka akan berlimpahlah kasih sayang kepada si hamba. Itulah anugerah yang tiada taranya. Orang yang keimanannya tebal akan menerima setiap bencana selain sebagai ujian atas keimanan, juga meyakini bahwa Allah menunjukkan kasih sayang dan rahmat-Nya. Hal itu sebagai bukti bahwa Allah adalah Rabb (Pengasuh atau Pendidik) alam semesta dan seluruh makhluk-Nya.”

M. Quraish Shihab menjelaskan, “Nalar tak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika ia memandang sesuatu secara mikro, dinilainya buruk, jahat dan tidak adil. Akan tetapi, jika dipandangnya secara makro dan menyeluruh, justru ia merupakan unsur keindahan, kebaikan dan keadilan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi lalat di wajah seorang wanita, ia akan terlihat buruk? Sebaliknya, bila wajah dipandang secara menyeluruh, maka tahi lalat tadi justru menjadi unsur utama kecantikannya.”

“Bukankah jika kita hanya melihat bagaimana kaki seseorang dipotong, kita akan menilainya kejam? Tetapi bila kita mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan oleh seorang dokter yang mengamputasi pasiennya untuk menyelamatkan nyawa sang pasien, maka kita berterima kasih dan memujinya. Karena itu jangan memandang kebijaksanaan Allah secara mikro. Jikalau pun kita tidak mampu memandangnya secara makro, maka yakinilah bahwa ada himah di balik itu,” lanjut M. Quraish Shihab.


Daftar Pustaka:


  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

  • Tulisan ini berlanjut ke: Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (2 of 2)

    #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

    Friday, November 6, 2009

    Mendustakan Nikmat?!

    M. Quraish Shihab menerangkan bahwa nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai “segala sesuatu yang berlebih dari modal.” Lalu, adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabnya, “Tidak.” Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah Allah?


    هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِيْنٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُوْرًا

    Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
    (QS al-Insân [76]: 1)


    كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْياَكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ


    Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
    (QS al-Baqarah [2]: 28)


    Semua nikmat berasal dari Allah, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Memberi Nikmat (Al-Mun‘im).

    وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

    Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
    (QS an-Nahl [16]: 53)

    Dengan semua nikmat yang telah dianugerahkan Allah, kita ditanya oleh-Nya,

    فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

    “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
    (QS ar-Rahmân [55]: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77)

    Para ulama menganalisis jumlah pengulangan ayat (31x) dan mengelompokkannya:
    • Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat dalam kehidupan di dunia, antara lain nikmat pengajaran Al-Qur’an, pengajaran berekspresi, langit, bumi, matahari, lautan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
    • Tujuh pertanyaan berkaitan dengan ancaman siksa neraka di akhirat nanti. Perlu diingat bahwa ancaman adalah bagian dari pemeliharaan dan pendidikan, serta merupakan salah satu nikmat Allah.
    • Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat yang diperoleh di surga pertama.
    • Delapan pertanyaan berhubungan dengan nikmat di surga kedua.
    Dari hasil tersebut, para ulama menyusun semacam “rumus”, yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang disebutkan dalam rangkaian delapan pertanyaan pertama—syukur seperti makna yang dikemukakan di atas—maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka yang disebut dalam ancaman dalam tujuh pertanyaan berikutnya. Sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik surga (kenikmatan duniawi) maupun kenikmatan ukhrawi.

    Dengan demikian, repetisi pertanyaan di 31 ayat tersebut adalah renungan, nasihat dan peringatan bagi kita.

    Namun, kiranya jarang sekali bahkan mungkin tak ada di antara kita yang merasa diri telah mendustakan nikmat yang telah dianugerahkan Allah.

    Bisa juga terjadi, kita sudah merasa dan mengakui telah mendustakan nikmat Allah, namun hanya berupa tulisan dan perkataan, tak ada langkah kongkret yang kita lakukan 'tuk memperbaiki diri. Entah mengapa! Kondisi kita persis seperti sindiran umum, “Kalau cuma ngomong, anak TK pun bisa. Buktikan dong!”
    Mari kita perhatikan salah satu nikmat Allah, yaitu jantung. Detak jantung ditimbulkan oleh jantung itu sendiri, bukan bersandar kepada bagian tubuh lainnya. Itu kenapa, ketika kita tidur pun—saat banyak organ tubuh lainnya beristirahat—jantung tetap berdetak.

    Untuk lebih memahami kehebatan anugerah Allah, mari kita buat jantung buatan. Dengan demikian, bila ada seseorang rusak jantungnya, cukup diganti dengan jantung buatan ini. Ada dua kelemahan jantung buatan ini, yaitu:
    • Bagaimana agar jantung tersebut terus berdetak? Disuplai saja dengan baterei seperti hand phone. Jika baterei habis, harus di-charge. Jika saat ini banyak terdapat hot spot, dengan jantung buatan ini harus ada charger spot di mana-mana. Bisa juga menggunakan sensor elektronik untuk mengontrol detak jantung dan juga aliran darah yang mengalir ke dalamnya, sebagaimana penemuan ilmuwan Perancis. Dengan konsep ini pun, sensor harus tetap diperhatikan sensitivitasnya.
    • Jika hendak mendekati orang yang kita segani/cintai, degup jantung cenderung tetap; tak berubah. Tak ada rasa deg-degan, darah berdesir dan sejenisnya.
    Subhanallâh. Betapa besar nikmat Allah kepada kita. Lantas, apa yang telah kita lakukan sebagai bukti bahwa kita tidak mendustakan nikmat jantung tersebut? Mari merenung sejenak!
    . . . . . . .
    . . . . . . .
    . . . . . . .

    Di Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dijelaskan bahwa آلاء bisa pula dimaknai “kekuasaan”. Berikut ini penjelasan di tafsir tersebut:
    حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد في قوله: ( فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ) قال: الآلاء: القدرة، فبأيّ آلائه تكذّب خلقكم كذا وكذا، فبأيّ قُدرة الله تكذّبان أيها الثَّقَلان، الجنّ والإنس.

    Jadi, Allah mengajukan pertanyaan kepada kita, “Maka, kekuasaan Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
    Adakah kita hendak mengingkari kekuasaan Allah?
    Adakah kita hendak melupakan kekuasaan Allah?
    Adakah kita hendak mengabaikan kekuasaan Allah?
    Adakah kita hendak meremehkan kekuasaan Allah?

    Jika kita menjawab “Tidak,” mari periksa lagi apa saja yang kita kerjakan setiap hari. Benarkah jawaban kita sesuai dengan kenyataan? Mari kita rinci tiap 15 menit. Mengapa 15 menit? Karena kalau rentang waktu melebar, biasanya terlihat kegiatan kita padat sekali. Oleh karena itu, 15 menit adalah rentang waktu yang lebih fair dalam menilai kesibukan kita sehari-hari.

    Mari kita catat, sedang apakah kita saat pukul:
    • 07:00 – 07:15
    • 07:15 – 07:30
    • 07:30 – 07:45
    • 07:45 – 08:00
    • dan seterusnya sampai dengan pukul 07:00 hari berikutnya

    Daftar Pustaka:

    • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy


    • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


    • http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1835872-mengapa-jantung-terus-berdetak/


    • #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

      Friday, October 30, 2009

      Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (5 of 5)

      b. Setan dari Golongan Jin


      Setan jenis ini adalah setan yang tak tampak mata. Dijelaskan oleh para ulama bahwa di dunia ini kita tidak dapat melihat bangsa jin, sedangkan mereka bisa melihat kita. Kondisi ini akan berubah di akhirat kelak—kita tak tampak oleh mereka, sedangkan mereka tampak oleh penglihatan kita.


      Kompetensi atau tingkat pendidikan setan yang menggoda setiap manusia disesuaikan dengan orang yang akan digoda, minimal setara. Bukankah usia setan memang sangat panjang? Bisa ribuan tahun. Coba kita bandingkan dengan diri kita.


      Tentunya mereka sudah sedemikian lama belajar dan berlatih untuk menggoda anak cucu Nabi Adam as. Teknik menggelincirkan manusia, sejak manusia pertama sampai manusia modern mungkin telah mereka pelajari dengan baik. Bahkan, bisa jadi mereka telah mengembangkan semacam komputerisasi sehingga tercipta sejenis program 5 GL (Fifth Generation Language) yang bisa di-install di tubuh manusia. Dengan demikian, tugas mereka jadi lebih ringan. Wallâhu a‘lam. Itulah curriculum vitae atau profil musuh kita—musuh yang nyata—namun tak kasat mata.


      إِنَّ الشَّيْطٰـنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا. إِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَـهُ ُ لِيَكُوْنـُوْا مِنْ أَصْحاَبِ السَّعِيْرِ

      Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS Fâthir [35] : 6)


      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar. (QS an-Nûr [24] : 21)


      Ibarat pengintai, setan adalah pengintai nomor satu. Ia dapat mengikuti kita ke mana pun kita pergi. Ia bisa berada di samping kita untuk memata-matai kita setiap saat. Karena ia tidak terlihat, maka ia bisa dengan leluasa mempelajari kelebihan dan kekurangan kita. Dengan santainya, seolah sedang menonton tayangan reality show kehidupan kita, setan bisa menyusun strategi untuk menggoda kita tanpa takut ketahuan atau bocor, seperti bocornya soal-soal ujian para pelajar sekolah. Kalau dia ingin menyerang kita, dengan bebasnya dia memilih dari arah mana dia akan menyerang. Setan juga bisa mengalir seperti aliran darah, sebagaimana sabda Nabi saw. :


      إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنَ اْلِإنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

      Sesungguhnya setan (dapat) mengalir di dalam diri manusia sebagaimana darah mengalir (HR Bukhari dan Muslim)


      Kalau kita sudah mengerti keadaanya seperti itu, apakah kita masih menyangka bahwa kita bisa melindungi diri sendiri dari setan? Karena musuh kita tidak tampak, maka kita harus berlindung dan memohon pertolongan kepada Yang bisa melihat dan mengetahui rahasia semua kelemahan musuh kita. Beliau adalah Allah Yang Maha Memelihara dan Menjaga (Al-Hafîzh). Allah yang bersifat Hafîzh-lah yang memelihara kehidupan dari kehancuran, baik yang sifatnya perorangan maupun kelompok. Beliau (Allah) juga yang memelihara jiwa manusia dari rayuan dan godaan setan, dari sentakan kesedihan atau benturan malapetaka; dengan mengilhami kesabaran serta ketabahan, dan menggantinya dengan nikmat, ketenangan, juga kegembiraan.


      Allah memelihara manusia dengan petunjuk-petunjuk-Nya, baik berupa wahyu yang termaktub dalam kitab suci, maupun hidayah-Nya dalam bentuk ilham dan intuisi. Walhasil, beraneka ragamlah pemeliharaan Allah, juga mencakup segala wujud. Sebagai hamba, kita dituntut untuk meneladani sifat ini menurut pemeliharaan diri dari segala yang dapat membinasakannya; khususnya memelihara hati dari segala keburukan penyakit-penyakitnya, seperti dengki, hasud, riya’, kemunafikan dan sebagainya. Serta dituntut pula penciptaan pengawasan melekat pada diri kita, yang lahir dari kesadaran tentang kehadiran Allah dan kehadiran para malaikat-Nya (Raqib dan ‘Atid) bersama kita setiap saat.


      Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Setan memang dapat melihat manusia dari arah yang manusia tidak dapat melihatnya. Sedangkan Allah dapat melihat makhluk-Nya, dari arah yang mereka tidak dapat melihat Allah. Hendaklah kalian selalu berlindung kepada Allah dari gangguan setan. Ketahuilah bahwa Allah itu bersifat Pemurah. Apabila manusia sudah tergoda oleh tipu daya setan, Allah tetap menerima taubat dan istighfar hamba-hamba-Nya.”


      Ibnu Athaillah mengingatkan, “Jikalau kamu sudah tahu bahwa setan itu tidak pernah lupa kepadamu, maka janganlah kamu lupa kepada Allah, yang nasibmu ada di dalam kekuasaan-Nya.”


      Dengan beriman, berlindung dan memohon pertolongan pada Allah, maka kita bisa mengusir setan. Dengan demikian, selamatlah kita dari godaannya yang tak kenal henti ia lakukan.


      إِنَّهُ ُ لَيْسَ لَهُ ُ سُلْطـٰنٌ عَلَى ٱلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَلىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

      Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. (QS an-Nahl [16] : 99)


      إِنَّمَا سُلْـٰطـنُهُ ُ عَلَى ٱلَّذِيْنَ يَتَوَلَّوْ نَهُ ُ وَٱلَّذِيْنَ هُمْ بِه ٰ مُشْرِكُوْنَ

      Sesungguhnya kekuasannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS an-Nahl [16] : 100)


      Diriwayatkan oleh Aisyah ra. bahwa Nabi saw. bersabda :


      إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِيْ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ : مَنْ خَلَقَكَ؟ فَيَقُوْلُ : اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَيَقُوْلُ : مَنْ خَلَقَ اللهَ ؟ فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَقُلْ : أَمَنْتُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُذْهِبُ عَنْهُ

      Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang di antara kamu, lalu bertanya, “Siapa yang menciptakanmu?” Ia menjawab, “Allah Yang Maha Tinggi.”’ Setan bertanya lagi, “Siapakah yang menciptakan Allah?” Apabila salah seorang di antara kalian menghadapi hal itu, maka katakanlah, “Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Sesungguhnya perkataan itu dapat mengusirnya. (HR Ahmad, al-Bazzar, Abu Ya‘la, Bukhari dan Muslim)


      Muhammad bin Wasi‘ membaca doa setiap hari selepas menunaikan shalat Subuh,


      “Ya Allah, Engkau jadikan bagi kami musuh yang sangat mengetahui kekurangan-kekurangan kami. Dia dan pasukannya dapat melihat kami, sedangkan kami tidak melihat mereka.


      Ya Allah, buatlah dia pesimis dari kami sebagaimana Engkau telah membuatnya pesimis dari rahmat-Mu. Buatlah dia berputus asa dari kami sebagaimana Engkau telah membuatnya putus asa dari ampunan-Mu.


      Ya Allah, jauhkanlah antara kami dan dia sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara dia dan rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”


      Ibnu Hazm bertanya, “Siapakah setan itu? Mengapa ia ditakuti? Demi Allah, setan itu memang sudah pernah diikuti, akan tetapi mengikutinya sama sekali tidak berguna. Setan juga tidak mampu memberi apa pun.” Sementara itu, Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Tidak ada makhluk yang lebih rendah dari setan.”


      Agar selalu dalam penjagaan-Nya, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah :


      اللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِيْ وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَاِليْ وَمِنْ فَوْقِيْ وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

      Ya Allah, peliharalah hamba di hadapan dan belakang hamba, di kanan dan kiri hamba, demikan pula dari arah atas hamba. Hamba berlindung dengan keagungan-Mu, sehingga hamba tidak diperdaya dari arah bawah hamba, amin.


      Daftar Pustaka :

      • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
      • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
      • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
      • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006

      Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)
      #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

      Friday, October 23, 2009

      Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)

      Tentang minuman keras, Allah memerintahkan kita sebagai hamba-Nya untuk tidak meminum khamr dan perbuatan durhaka lainnya.


      Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib (dengan panah) adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS al-Mâidah [5] : 90)


      Marilah kita ingat kembali larangan pemimpin kita, Rasulullah saw. tentang minuman yang memabukkan, termasuk di dalamnya adalah narkoba. Khamr terambil dari kata “khamara” yang menurut pengertian kebahasaan adalah “menutup”. Karena itu, makanan dan minuman yang dapat mengantar kepada tertutupnya akal disebut juga khamr. Semua itu adalah ummu al-khabâits (biang keburukan), yang akan membawa kita melakukan yang dilarang agama.


      كُلُّ مُسْـكِرٍ حَرَامٌ وَكُلُّ مُسْـكِرٍ خَمْرٌ

      Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr. (HR Muslim melalui Ibnu Umar)


      مَا أَسْـكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِـيْلُهُ حَرَامٌ

      Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram.
      (HR Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Jabir bin Abdullah)


      لَعَنَ اللهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُوْلَةَ إِلَيْهِ وَاۤكِلَ ثَمَنِهَا

      Allah melaknat siapa yang meminum khamr (arak), menuangkannya untuk orang lain, menjual, membeli (atau membelikan untuk orang lain dengan uang milik orang yang menyuruh), membuat (memproduksi), minta dibuatkan, membawa, dibawakan dan yang memakan harganya (menadahnya). (HR Abu Daud dan Hakim)


      الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلاَتُهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِيْ بَطْنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِـيَّةً

      Khamr adalah biang keburukan. Siapa meminumnya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Siapa meninggal sedangkan di dalam perutnya masih mengandung arak, maka dia mati dalam keadaan Jahiliyah. (HR Thabrani)


      Dalam riwayat yang lain, Nabi saw. bersabda :


      مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
      وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
      وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
      فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
      وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
      فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
      وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ رَدَغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

      Siapa yang minum arak hingga mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
      Jika ia mati (sedangkan di dalam perutnya masih mengandung arak), akan masuk neraka. Dan jika ia bertaubat, maka Allah menerima taubatnya.
      Jika ia kembali minum hingga mabuk lagi, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
      Jika ia mati, akan masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.
      Jika ia kembali minum hingga mabuk lagi, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
      Jika ia mati, akan masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.
      Jika ia kembali lagi mabuk, maka sungguh Allah akan menuangkan padanya radghah al-khabal (keringat ahli neraka).
      (HR Ibnu Majah)


      إِنَّ مَلِكًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ أَخَذَ رَجُلا فَخَيَّرَهُ بَيْنَ أَنْ يَشْرَبَ الْخَمْرَ، أَوْ يَقْتُلَ صَبِيًّا، أَوْ يَزْنِيَ، أَوْ يَأْكُلَ لَحْمَ الْخِنْزِيْرِ، أَوْ يَقْتُلُوْهُ إِنْ أَبىَ، فَاخْتَارَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ، وَأَنَّهُ لَمَّا شَرِبَ لَمْ يَمْتَنِعْ مِنْ شَيْئٍ أَراَدُوْهُ مِنْهُ

      Seorang pemimpin Bani Israel memanggil seorang lelaki. Ia memberinya pilihan antara minum khamr, membunuh anak lelaki atau memakan daging. Atau orang-orang akan membunuhnya jika ia mengabaikan pilihan itu. Lelaki itu untuk meminum khamr. Selesai ia minum khamr, hal itu ternyata tidak menghalangi sesuatu yang mereka inginkan darinya (ia melakukan semua yang tadi diminta). (HR Thabrani)


      Allah juga telah melarang kita untuk tolong-menolong dalam bermaksiat kepada-Nya.


      وَتَعَاوَنُوْا عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوٰى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى ٱْلإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ

      Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS al-Mâidah [5] : 2)


      Berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa melakukan hal yang dilarang agama akan membuat kita secara tak sadar ikut serta di dalamnya, misalnya menggunjing (ghibah). Bagi mereka, menggunjing orang lain ibarat bumbu dapur agar percakapan di antara mereka lebih lama dan lebih seru. Menurut mereka, menggunjing bukanlah sebuah kejahatan, apalagi berdosa. Namun, mereka tidak sadar bahwa lama-kelamaan, sebuah gunjingan akan menyebabkan buruk sangka terhadap orang lain. Mereka akan menyalahkan orang lain atas nasib jelek yang menimpa mereka. Mereka merasa lebih pantas mendapatkan semuanya dibandingkan orang lain. Mereka pun tak segan membuka aib orang lain, termasuk saudara sesama muslim. Bahkan, mereka menjadikan aib sesama sebagai bahan tertawaan. Mereka senang melihat orang lain jatuh dan terpuruk.

      Tentang larangan menggunjing, mari kita baca lagi tulisan Membicarakan Orang/Kelompok Lain, Kebiasaan Kitakah? (1 of 2).

      Kita memohon pertolongan Allah untuk menjaga diri kita setiap saat. Ketika kemaksiatan di depan mata, bukan hanya akal yang bicara, hawa nafsu pun akan berujar. Banyak orang berakal, namun mengapa banyak pula yang dikalahkan oleh hawa nafsu? Hanya dengan pertolongan Allah-lah kita bisa mengendalikan nafsu kita, agar menjadi nafsu yang mendapat rahmat-Nya; dan tergolong dalam nafsu yang dipanggil untuk menghadap-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Labid mengingatkan kita dalam bait syairnya :


      Dustakanlah nafsu jika kamu berbicara dengannya

      Sebab membenarkan nafsu hanya akan melambungkan angan


      Agar senantiasa dibantu oleh-Nya, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah:


      اللَّهُمَّ لاَتَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

      Ya Allah, jangan Engkau biarkan hamba sendiri (dengan pertimbangan nafsu akal hamba saja), walau sekejap, amin.


      Daftar Pustaka :

      • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
      • Al-Mundziri, al-Hâfizh, “At-Targhîb wat-Tarhîb”
      • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
      • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
      • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
      • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

      Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)
      Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (5 of 5)

      #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

      Friday, October 16, 2009

      Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)

      Modal seorang hamba adalah waktunya. Ia dapat menguntungkan dan membahagiakan, dapat pula merugikan dan menyusahkan. Jika kita menggunakan waktu kepada sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menggunakan waktu untuk memperoleh pahala di akhirat, maka sungguh kita telah menyia-nyiakan modal kita.

      Waktu laksana emas, jangan sampai hilang begitu saja. Sang waktu datang dan pergi setiap saat, dan dalam setiap tarikan nafas. Ia berada pada langkah manusia, pada setiap gerakan dan detak-detak nadi. Lenyapnya waktu berarti lenyap pula kesempatan. Tiada terasa saat sang waktu sedang bersama kita, dan tiada terasa pula ketika ia berangsur habis. Jangan sampai waktu yang didapatkan hanyalah ibarat air yang disiramkan ke atas pasir panas. Airnya menguap, sementara pasirnya tidak basah.

      Ibnu Athaillah mengatakan, “Apa yang telah hilang dari usiamu tidak dapat diganti lagi. Apa yang telah engkau hasilkan dari usiamu haruslah hal yang tak ternilai harganya.”

      Di buku “Membangun Dunia Baru Islam (Syuruth an-Nahdhah)”, Malik bin Nabi menulis, “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa; membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu—selain Tuhan—tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”

      Ungkapan yang menunjukkan pentingnya waktu juga dicantumkan dalam sebuah pepatah Arab :

      الْوَقْتُ كَالسَّـيْفِ إِنْ لَمْ تَقْطَـعْهُ قَطَعَكَ

      “Waktu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya, niscaya ia memotongmu.”


      Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu adalah kepastian. Dengan “sedang” atau “yang akan datang”, waktu mengalahkan.

      Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika kita memperlakukannya secara lembut, kita akan selamat. Dan jika sebaliknya yang terjadi, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi kita yang patuh pada hukum waktu, maka kita akan selamat. Bagi kita yang menentangnya, maka waktu akan berbalik menjadi bumerang dan melemparkan pemiliknya. Janganlah kita mengisi waktu dengan hal-hal yang tiada guna.

      مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْـنِيْهِ

      Diantara (tanda) baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.
      (HR Tirmidzi)

      Umar bin Khaththab ra. memberi nasihat, “Jangan lakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu, hindari musuhmu, hati-hati terhadap teman dari suatu golongan kecuali orang yang dipercaya, dan tidak ada yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Jangan berteman dengan orang jahat sehingga engkau belajar dari kejahatannya, jangan engkau beberkan rahasiamu kepadanya, dan bermusyawarahlah dengan orang-orang yang takut kepada Allah dalam segala urusanmu.”

      Atha’ bin Abu Rabah berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu tidak menyukai berlebihan dalam berbicara. Adapun yang mereka anggap sebagai kata-kata berlebihan adalah selain Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah, amar ma‘ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), atau ucapan yang mesti dikatakan demi kebutuhan hidup.”

      Apakah kita mengingkari adanya dua malaikat penjaga (Raqib dan ‘Atid) di sebelah kanan dan kiri yang menulis apa yang kita ucapkan dan lakukan? Apakah kita tidak malu jika kelak kebanyakan catatan yang ditulis dalam buku amal kita adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan agama dan dunia kita?

      مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَـتِيْدٌ

      Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.
      (QS Qâf [50] : 18)

      Sebagaimana lazimnya, kejahatan lebih cepat menular dibandingkan kebaikan. Itulah kecenderungan hawa nafsu. Jika teman-teman kita adalah orang-orang yang tidak memuliakan, mula-mula memang kita hanya jadi penonton. Berikutnya kita diajak tapi dalam hal yang ringan, misalnya membelikan minuman keras bila mereka suka mabuk, tapi kita tidak disuruh meminumnya. Selanjutnya kita akan diajak serta untuk mencicipinya. Jika kita menolak, yang dikuatirkan adalah mereka akan mengejek dan mencemooh kita karena tidak mengikuti kemauan mereka. Kita akan dikucilkan, dianggap pengecut, tidak gaul, kuno, katrok, ndeso, udik, sok suci, tidak setia kawan atau hasutan dan ancaman lainnya.

      Biasanya, bila seseorang sudah disinggung ketidakmampuannya atau merasa tidak diterima keberadaannya, maka dia akan mengikuti apa pun syarat yang diajukan agar semua hinaan, cemoohan dan tuduhan terhadapnya terhapus. Hal itu terjadi karena timbul kekuatiran menjadi seperti sehelai daun kering yang jatuh dari pohon di seberang jalan, tak ada yang memperhatikan apalagi peduli; atau laksana secuil pecahan kaca di jalanan yang selalu dihindari bahkan disingkirkan orang. Ada ketakutan eksistensi diri dinafikan, seperti kata pepatah,

      وُجُوْدُهُ كَعَدَمِهِ

      “Keberadaanya sama dengan tidak ada.”


      Nasi yang sudah menjadi bubur masih bisa dimakan, asalkan lauknya sesuai. Tetapi, jika kita sudah bergelimang dosa dan terjerumus dalam aktivitas yang tidak memuliakan, sanggupkah kita berjuang dengan semangat membara untuk keluar dari situasi itu? Padahal, ketika perjuangan masih ringan saja kita tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, mencegah harus tetap diutamakan. Mario Teguh menasihatkan bahwa tidak ada seorang kaisar pun yang cukup berkuasa untuk mengubah suatu kejadian atau peristiwa dalam rentang waktu yang disebut “tadi”.

      Duhai jiwa!
      Ayo bangkit dan siapkan dirimu tuk hari depan
      Hindari nafsu yang membuatmu lupa daratan
      Ayo bergegas menuju keselamatan
      Ayo berjuang, berjuang, dan berjuang
      Agar kau selamat dari azab yang membinasakan
      Raih kemenangan hakiki di negeri keabadian
      Selamatkan dirimu dari api yang menyengsarakan
      (nasihat Ibnu Hazm)

      Daftar Pustaka :
      • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
      • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
      • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
      • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
      • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

      Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)
      Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)

      #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#