Sebagai
umat Islam, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan kata “takwa”. Menurut
definisinya, takwa adalah imtitsâlu
awâmirillâh wajtinâbu nawâhîhi (melaksanakan semua perintah Allah
sekuat-kuatnya dan menjauhi apa pun larangan-Nya).
Sebagaimana
diajarkan oleh sebagian ulama, takwa dalam bahasa Arab terdiri dari empat
huruf, yaitu:
·
ت(tawâdhu‘) artinya rendah hati. Selain tawâdhu‘ bisa juga
bermakna tadharru‘ yang berarti sama yaitu merendahkan diri di hadapan Allah dan sopan
santun terhadap sesama.
·
ق (qanâ‘ah) artinya menerima dengan syukur semua karunia Allah
·
و (wara‘) artinya meninggalkan perkara syubhat dan tidak berfaedah
·
ي (yaqîn) artinya yakin sepenuh hati kepada Allah
Di kitab “Ta‘lîm al-Muta‘allim” terdapat syair
tentang kerendahan hati yang berbunyi:
إِنَّ التَّوَاضُعَ مِنْ خِصَالِ الْمُتَّقِي * وَبِهِ التَّقِيُّ إِلىَ الْمَعَالِى
يَرْتَقِي
Sesungguhnya rendah hati adalah salah satu ciri orang
yang bertakwa
Dengannya, orang yang bertakwa mencapai derajat kemuliaan
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alayhi wasallam juga telah memerintahkan kita untuk selalu bersikap
rendah hati. Dalam sebuah hadits beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى ِإلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ
عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغَى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Sesungguhnya Allah Subhânahû Wa Ta‘âlâ telah
mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu’, sehingga tak seorang pun
menyombongkan diri kepada yang lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada
yang lainnya. (HR Muslim)
Di hadits lain, Rasulullah mengingatkan akan jaminan
bahwa orang yang rendah hati akan diangkat derajatnya oleh Allah.
مَازَادَ اللهُ عَبْدًا ِبعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلّٰهِ
إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
Allah tidak
menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah
seorang hamba bersikap tawadhu’ kecuali Allah pasti mengangkat (derajatnya). (HR Muslim)
مَنْ تَوَاضَعَ لِلّٰهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ
Siapa rendah hati karena Allah, maka Allah mengangkat
(derajat)-nya; dan siapa sombong, maka Allah
menyia-nyiakannya. (HR Abu Nu‘aim)
الْكَرَمُ التَّقْوَى وَالشَّرَفُ التَّوَاضُعُ وَالْيَقِيْنُ الْغِنَى
Kedermawanan adalah ketakwaan, kemuliaan adalah tawadhu’ dan
keyakinan adalah kekayaan. (HR Hakim dan Ibnu Abi Dunya)
Ketika ditanya mengenai arti tawadhu’ (rendah hati), al-Fudhail menjawab, “Kamu tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya. Walaupun engkau
mendengarnya dari anak kecil, engkau tetap menerimanya. Bahkan, meskipun engkau
mendengarnya dari orang terbodoh, engkau tetap menerimanya.”
Rendah hati adalah syarat pertama jika kita ingin
mencapai derajat sebagai insan yang bertakwa.
Rendah hati merupakan puncak dari akhlak seorang mukmin,
yaitu rendah hati kepada Allah, Sang Pemilik kehidupan.
Rendah hati tidak mungkin diraih hanya dengan ilmu, harus
diiringi dengan amal perbuatan.
Rendah hati dari segi ilmu memang mudah dipelajari, namun
dalam implementasinya membutuhkan waktu yang tidak singkat, bisa tahunan.
Rendah hati bertahap belajarnya. Seiring perjalanan usia,
ilmu dan pengalaman seharusnya semakin rendah hati.
Rendah hati dapat diteladani dari diri Rasulullah shallallâhu ‘alayhi
wasallam karena beliaulah orang
paling bertakwa di seluruh alam semesta. Bahkan, malaikat pun hormat kepada
beliau karena derajat beliau yang begitu mulia di sisi Allah Subhânahû Wa Ta‘âlâ. Nabi Muhammad shallallâhu
‘alayhi wasallam dipuji oleh Allah sebagai makhluk dengan akhlak sangat terpuji dan mendapat
anugerah sebagai kekasih Allah (habîbullâh).
Di sebuah puisi ‘Aidh
al-Qarni mengungkapkan sanjungannya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wasallam:
Siapa
yang menghampiri pintu rumahmu, tak berhenti raga
bertutur
tentang anugerah yang kau berikan
Mata
bercerita tentang suka cita, tangan tentang persaudaraan,
hati tentang kelembutan, telinga tentang kebajikan
Demi
Tuhan, kata-katamu mengalir bagai madu
Ataukah
engkau benar-benar telah menuangkan madu pada mulut kami
Ataukah
untaian makna yang kau ungkapkan
Aku
melihat permata dan batu zamrud tersampaikan
Jika
dirasakan oleh yang sekarat, akan tertahan ruhnya
Dan jika dipandang oleh yang di rantau, akan terobati
kerinduannya
Para ulama
menjelaskan bahwa rendah hati harus dimiliki dalam setiap kondisi dan tingkat
atau kedudukan. Ketika kita masih belum menjadi apa-apa (tahap belajar), kita
ibarat sebuah biji tanaman. Tanamlah biji itu di dalam tanah. Apabila
diletakkan di atas tanah, dikuatirkan mudah dimakan binatang atau hilang disapu angin.
Saat
kita berusaha mencapai puncak, hal ini laksana mendaki gunung. Agar lebih mudah
mendakinya, maka badan kita harus condong ke depan dan pandangan mata ke arah
bawah. Pernahkah kita melihat seorang pendaki gunung berjalan sambil menegakkan
badan, mendongakkan kepala dan membusungkan dada? Semakin curam jalan yang kita
daki, kita pun semakin merunduk, bahkan merayap. Bukankah pada dasarnya panjat
tebing dilakukan dengan merayap?
Tatkala sudah di puncak, rendah hati tetap harus
menghiasi diri. Angin pasti berhembus lebih kencang ketika kondisi kita di
puncak. Agar bisa bertahan bahkan maju terus walaupun terpaan angin begitu
besar, maka kita harus berjalan sambil membungkuk. Semakin kencang anginnya,
berarti badan kita semakin membungkuk bahkan merayap.
Daftar Pustaka
‘Aidh al-Qarni, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)—terjemah”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua: Januari 2006
Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin
Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga: 2000
I. Solihin, Drs, “Terjemah Nashaihul Ibad (karya Imam
Nawawi al-Bantani)”, Pustaka Amani Jakarta, Cetakan ke-3 1427H/2006
Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Abbad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”