Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 26, 2009

Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (1 of 4)

Misalkan ada seseorang, sebut saja namanya Fulan. Dia suka sekali membersihkan halaman rumah orang lain, hingga mengepel lantai. Lampu-lampu yang ada dibersihkan, dan kalau agak buram segera diganti dengan yang baru. Dia tidak digaji, hanya mendapatkan makan. Jadilah rumah orang lain bersih dan kinclong karena begitu rajinnya si Fulan.

Masalahnya, rumahnya sendiri dibiarkan kotor. Debu-debu yang menempel di lantai, dinding rumah dan tiap perabotan tidak diacuhkannya, sehingga cukup tebal. Kalau di pesantren, rumah si Fulan ini dijuluki “rumah tayammum”, karena debu-debunya begitu banyak sehingga bisa digunakan untuk tayammum. Ah, ada-ada saja memang anak-anak pesantren itu :-). Fulan malas sekali merawat rumahnya. Lampu-lampu dibiarkan kotor; sampai-sampai ketika nyalanya sudah tidak terang, bahkan sangat buram, dia pun malas menggantinya.

Ketika ditanya apa alasan dia tidak bersemangat merawat rumah sendiri, Fulan menjawab, “Kalau aku membersihkan dan mengganti lampu rumah orang lain, aku dapat makan. Nah, jika aku melakukan hal yang sama di rumahku, siapa yang memberi makan aku? Karena tidak ada, lalu buat apa aku repot-repot? Mending aku santai, nonton televisi atau tidur.”

Apa pendapat kita tentang si Fulan? Apakah dia tergolong orang hebat, wajar atau aneh? Mari kita menilainya sendiri-sendiri dan bersifat rahasia, tidak perlu memberi tahu kepada orang lain tentang komentar kita untuk si Fulan yang “luar biasa” (maksudnya di luar kebiasaan) ini, karena bisa jadi kita sama dengan dia.

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :
وَلـٰكِنْ جَعَلْنٰـهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهِ مَنْ نَشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَا

Tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.(QS asy-Syûrâ [42] : 52)

Sahabat Anas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah memerintahkan kita untuk menerangi rumah kita dengan membaca Al-Qur’an.
نَوِّرُوْا بُيُوْتَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
Hendaklah kamu beri nur (cahaya) rumahmu dengan shalat (sunnah) dan membaca Al-Qur’an. (HR Baihaqi)

Ada nasihat—bukan hadits menurut tahqiq as-Sayyid al-‘Arabiy terhadap kitab Tanbîhul Ghâfilîn karya Imam Abul Laits as-Samarqandi,
ثَلاَثَةٌ هُمُ الْغُرَبَاءُ فِى الدُّنْيَا الْقُرْآنُ فِي جَوْفِ الظَّالِمِ وِالرَّجُلُ الصَّالِحُ فِي قَوْمٍ سُوْءٍ وَالْمُصْحَفُ فِي بَيْتٍ لاَ يَقْرَأُ فِيْهِ

“Tiga macam keanehan (yang asing) di dunia ini, yaitu Al-Qur’an di dalam dada orang zhalim, orang shaleh di tengah kaum jahat dan Al-Qur’an di dalam rumah yang tidak dibaca.”

Membaca Al-Qur’an, baik mengetahui artinya ataupun tidak, termasuk ibadah, amal shaleh dan berpahala.

Membaca Al-Qur’an memberi rahmat serta manfaat bagi yang melakukannya.

Membaca Al-Qur’an memberi cahaya ke dalam kalbu sehingga terang benderang dan memberi peringatan bagi yang membacanya.

Membaca Al-Qur’an juga memberi cahaya kepada keluarga dan rumah tempat Al-Qur’an dibaca.

Dalam sebuah puisinya, ‘Aidh al-Qarni mengungkapkan sanjungannya untuk Al-Qur’an :

Biarkan diriku menyanjung ayat-ayat-Nya yang bercahaya
Bagai kilau bintang kejora di malam hari
Datang menyusul Kitab Taurat dan membuatnya menghilang
Tercampakkan di zaman perbudakan dan zaman yang akan tiba
Dan Injil pun tidak setara dengannya
Ia bagaikan bayang maya yang hinggap di pelupuk mata dalam mimpi

Mengenai pahala membaca Al-Qur’an, Ali bin Abi Thalib kw. menjelaskan bahwa tiap-tiap orang yang membaca Al-Qur’an dalam shalat, akan mendapat pahala 50 (lima puluh) kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang diucapkannya. Membaca Al-Qur’an di luar shalat dengan berwudhu, pahalanya 25 (dua puluh lima) kebajikan untuk setiap huruf. Sedangkan membaca Al-Qur’an di luar shalat dengan tidak berwudhu, pahalanya 10 (sepuluh) kebajikan.

Rasulullah saw. bersabda :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ الۤـّمۤ حَرْفٌ وَلَكِنَّ أَقُوْلُ اَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ

Siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan kebaikan itu dengan sepuluh kelipatan. Aku tidak mengatakan ‘alif lâm mîm’ satu huruf, tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf dan mîm satu huruf.
(HR Tirmidzi)

Allah SWT senantiasa memberikan anugerah kepada kita jika kita senantiasa membaca Al-Qur’an.

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.(QS Fâthir [35] : 2)

Membaca Al-Qur’an walaupun satu ayat, asalkan istiqamah tetaplah utama. Nabi Muhammad saw. berpesan bahwa termasuk hal yang utama adalah melakukan amal ibadah yang sedikit, asalkan terus-menerus. Siti Aisyah menceritakan hadits berikut ini :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُِئلَ : أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ : أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
Bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Amal apakah yang paling disukai Allah?” Jawab beliau, “Yang paling mudawamah (terus-menerus atau istiqamah) sekalipun sedikit.” (HR Muslim)

Daftar Pustaka :
  • Abul Laits as-Samarqandi, al-Imâm, “Tanbîhul Ghâfilîn—tahqiq as-Sayyid al-‘Arabiy, Maktabah al-Îmân bil-Manshûrah, Cetakan I: 1994/1415 H
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
Tulisan ini berlanjut ke : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (2 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, June 19, 2009

Hitam dan Putih, di Manakah Warna Lainnya? (2 of 2)

Di kitab “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”, pada saat membasuh wajah ketika berwudhu, kita pun diajarkan untuk membaca doa,

اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ

“Ya Allah, putihkanlah wajah hamba pada hari ketika wajah-wajah tampak putih bersinar dan ada pula wajah-wajah yang terlihat hitam muram.”

Peribahasa juga mengatakan, “Hitam-hitam bendi, putih-putih sadah” yang artinya yang hina tetap hina meskipun kaya, sedangkan yang mulia tetap mulia walaupun miskin.

Karena perumpamaan-perumpamaan seperti di tulisan sebelumnya, peribahasa dan doa di ataslah maka analogi kebaikan dan kejahatan adalah warna putih dan hitam. Selain itu, warna putih disepakati sebagai lambang kesucian dan hitam adalah kegelapan. Bukankah warna bendera kita adalah Merah-Putih, adapun warna putih tersebut melambangkan kesucian?

Mungkin teman penulis terlalu kreatif, sehingga dia benar-benar menyandingkan semua warna dengan kebaikan atau tidak. Kalau memang warna putih adalah kebaikan, sedangkan hitam adalah kegelapan; lantas warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu (me-ji-ku-hi-bi-ni-u) itu diibaratkan apa? Apa yang bisa mewakili warna-warna tersebut dalam kehidupan? Kalau hanya ada hitam dan putih, lalu buat apa Tuhan menciptakan warna? Apakah kita tidak mengetahui bahwa banyaknya warna adalah sebuah keindahan?

“Bukankah warna putih dihasilkan dari perpaduan tujuh warna pelangi?,” tulis Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA pada saat menjabat Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya di sebuah surat kabar tentang training ESQ untuk mahasiswa baru ITS.

Jadi, kita tidak perlu merisaukan lagi di mana warna-warna yang lain, bukan? Warna-warna itu telah menyatu membentuk warna putih. Warna putih tidaklah berdiri sendiri, ia tercipta oleh kesatuan yang indah dari sekian banyak warna. Semua perilaku atau pekerjaan yang kita niatkan sebagai ibadah adalah warna-warna pembentuk warna putih. Semuanya tampak indah, karena sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Indah dan menyukai keindahan (Innallâha Jamîlun yuhibbul jamâl).

Dunia ini banyak pilihan, penuh rupa dan banyak warna. Tentang dongeng kepada anak-cucu, kiranya banyak sekali cerita kebaikan dan hikmah yang bisa kita kisahkan. Dan, sepanjang usia kita yang cuma sebentar, kisah-kisah itu tidak akan pernah habis diceritakan. Tak ada seorang pun di dunia ini yang mengetahui semua kisah baik dan bermanfaat. Semua itu karena keterbatasan hidup kita di negeri fana ini.

Jika kita bangga pada kemaksiatan yang pernah kita lakukan, lalu sekarang kita merasa sudah bertaubat, apakah kita yakin bahwa kita pasti masuk surga? Bukankah kita memang diciptakan untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya? Apakah ada perintah bahwa bertaubat itu kalau sudah tua? Sudah diberitahukah kita tentang kapan datangnya maut?

Janganlah kita mengejek orang yang berusaha lurus-lurus saja dalam hidup ini. Semua yang kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri. Kalau Allah mau, Allah bisa saja menjadikan semua manusia sebagai satu umat, dan semuanya taat kepada-Nya. Atau, Allah menjadikan semua yang ada halal, tidak ada larangan dan perintah untuk berbakti kepada-Nya. Namun, bila itu yang terjadi, lantas buat apa ada akhirat? Kenapa Allah menciptakan surga dan neraka? Mengapa surga bertingkat-tingkat?

Allah menghendaki dunia ini sebagai tempat bertemunya dua hal yang saling berlawanan, dua jenis yang saling bertolak belakang, dua kubu yang saling berseberangan—yakni baik dan buruk. Setelah itu, Allah akan mengumpulkan semua kebaikan, kebagusan dan kebahagiaan di surga. Adapun yang buruk akan dikumpulkan di neraka.

Ada juga sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik—entah serius atau sekadar guyonan, “Jika nanti wajah-wajah berubah putih, bukankah menyeramkan? Jadi aneh, kan?”

Jawaban penulis sederhana saja, “Kalau kita ke warung atau rumah makan lalu pesan air putih, apakah kita dikasih air susu yang berwarna putih ataukah air bening?” Hakekat sesungguhnya makna wajah menjadi putih hanya Allah Yang Maha Tahu. Namun, secara umum bisa disimpulkan bahwa wajah menjadi berseri-seri dan bercahaya.

Sebagai penutup, supaya selalu di jalan-Nya yang lurus, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :

اللَّهُمَّ أَرِناَ الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْـتِنَابَهُ

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang salah itu salah, dan berilah kekuatan kepada kami untuk menjauhinya, amin.


Daftar Pustaka :
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Khasiat Zikir dan Doa – Terjemah Kitab Al-Adzkaarun Nawawiyyah”, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Cetakan I : Rabiul Awal 1416/Agustus 1995

Tulisan lanjutan dari : Hitam dan Putih, di Manakah Warna Lainnya? (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, June 12, 2009

Hitam dan Putih, di Manakah Warna Lainnya? (1 of 2)

“Banyak orang memvonis sesuatu berdasarkan hitam atau putih. Kalau dalam hidup ini hanya ada hitam dan putih, maka sungguh hidup ini tidak indah. Bukankah Tuhan juga menciptakan warna-warna yang lain?” tanya seorang teman pada penulis, sekaligus sebuah pernyataan.

Ada juga yang bilang, “Kalau masa remaja dan masa muda kita isi dengan banyak kegiatan termasuk yang negatif, itu bagus sekali. Itu berarti hidup kita penuh warna, tidak monoton. Nanti kalau sudah tua, bisa jadi bahan cerita untuk anak-cucu. Kalau hidup kita lurus-lurus saja, sungguh tidak asyik hidup ini. Bukankah hidup ini harus pernah mencicipi semua rasa?” Mâsyâ Allah.

Ya, hitam dan putih, itulah yang sering kita dengar sebagai analogi kebaikan dan kejahatan. Dari mana istilah ini muncul? Lalu di manakah warna-warna lainnya? Apakah bahan cerita untuk anak-cucu harus mulai dari yang negatif sampai yang positif? Apakah kita harus bangga bila pernah melakukan kemaksiatan, dosa dan perbuatan nista lainnya? Benarkah tindakan kita mengejek orang-orang yang berusaha untuk lurus-lurus saja dalam hidup ini, dengan alasan hidup mereka tidak variatif?

Mari kita ulas dari mana asal kata “putih” sebagai ibarat kebaikan dan “hitam” sebagai perumpamaan keburukan/kejahatan.

Allah SWT. berfirman di dalam Al-Qur’an al-Karim yang terjemahnya sebagai berikut :

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,

pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan), “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.”

Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.
(QS Âli ‘Imrân [3] : 105-107)

Dan pada hari Kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?
(QS az-Zumar [39] : 60)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Sahabat Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah mendatangi kuburan dan bersabda,

“Selamat atas kalian tempat kaum mukmin dan kami insya Allah menyertai kalian. Aku senang kita telah melihat saudara-saudara kita.”

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kami juga saudara-saudaramu?”

Beliau menjawab,
“Kalian sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah yang belum lahir (lahir setelah wafatnya Rasulullah).”

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana Engkau mengetahui umatmu yang belum lahir nanti?”

Beliau menjawab,
“Apa pendapatmu kalau seseorang memiliki kuda dengan warna putih di tubuhnya di antara sekumpulan kuda hitam legam, tidakkah dia mengetahui kudanya?”

Mereka berkata, “Iya, benar.”

Beliau bersabda,
“Mereka akan datang dengan warna putih di tubuhnya akibat dari bekas wudhu, dan aku akan menuntun mereka ke telaga.”

Adapun teks Arab hadits tersebut adalah :


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبَرَةَ فَقَالَ : اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمِ مُؤْمِنِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ، وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا، قَالُوْا : أَوَلَسْـنَا إِخْوَانَكَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : أَنْتُمْ أَصْحَابِيْ، وَإِخْوَانُنَا الَّذِيْنَ لَمْ يَأْتُوْا بَعْدُ، قَالُوْا : كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلاً لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَىْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ، أَلاَ يَعْرِفُ خَيْلَهُ؟ قَالُوْا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : فَإِنَّهُمْ يَأْتُوْنَ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ مِنَ الْوُضُوْءِ، وَأَنَا فَرَطُهُمْ إِلىَ الْحَوْضِ

Pemimpin agung kita, Nabi saw. pasti akan mengetahui umat beliau pada hari Kiamat, di tengah-tengah kumpulan kaum (kaum Musa, Isa, Nuh dan Ibrahim). Rasulullah mengetahui mereka dengan tanda wudhu. Jika beliau melihat wajah kita bersinar bagaikan bulan karena bekas wudhu, begitu pula anggota badan kita yang lain bercahaya, maka beliau akan tahu bahwa kita termasuk pengikutnya. Lalu beliau dengan tangannya memberi kita minum (dari telaga) hingga kita tidak pernah haus selamanya.

Di hadits lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Sahabat Shuhaib ra. bahwa Rasulullah bersabda :


إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ يَقُوْلُ اللهُ تَبارَكَ وَتَعَالَى : تُرِيْدُوْنَ شَـيْئًا أَزِيْدُكُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا، أَلَمْ تُدْخِلَنَا الْجَنَّةَ، وَتُنْجِنَا مِنَ النَّارِ؟ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوْا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظْرِ إِلَى رَبِّهِمْ

Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah berfirman, “Maukah kalian kutambah sesuatu?” Mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menghindarkan kami dari neraka?” Kemudian disingkapkanlah penghalang itu, tidak ada sesuatu yang paling diinginkan melainkan hanya melihat wajah Tuhan mereka.


Daftar Pustaka :

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif


Tulisan ini berlanjut ke : Hitam dan Putih, di Manakah Warna Lainnya? (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, June 5, 2009

Shalat Dhuha, Nasibmu Kini (2 of 2)

Dzun Nun al-Mishri berfatwa bahwa kerusakan masuk pada diri manusia melalui enam perkara, yaitu :
  • Lemahnya niat untuk berbuat amal akhirat.
  • Badan yang dijadikan jaminan untuk nafsu.
  • Angan-angan panjang menguasai diri, padahal ajal sangat dekat.
  • Lebih mengutamakan keridhaan makhluk daripada keridhaan Allah.
  • Mengikuti kemauan hawa nafsu dan meninggalkan sunnah Nabi dengan diletakkan di belakang punggung.
  • Menjadikan ketergelinciran lidah sebagai argumen membela diri dan pada sisi lain mengubur sebagian besar perilaku.

Bisa jadi ada alibi lain yang kita ungkapkan, “Wah, saya sibuk sekali, mana sempat shalat Dhuha… Saya seorang profesional dan aktif di berbagai organisasi. Selain itu saya sering ke luar kota. Bisa dimaklumilah kalau saya sangat jarang shalat Dhuha.”

Seandainya saja setelah shalat Dhuha, untuk setiap rakaat yang kita kerjakan, Allah langsung menghadiahi kita uang tunai Rp 100 juta, apakah kita masih mengatakan tidak sempat?

Kalau kita mau bersabar menunggu cairnya tabungan pensiun, mengapa kita tidak mau sedikit bersabar lagi menunggu cairnya tabungan akhirat? Bukahkah jarak antara kita pensiun dari kerja (usia 55 tahun) dan pensiun dari kehidupan ini tidak lama, rata-rata sekitar 10-15 tahun saja?

Barangkali kita akan mengemukakan argumentasi lain, “Sebenarnya saya ingin sekali shalat Dhuha. Tapi, gimana ya? Ya…, begitulah, tahu sendirilah bagaimana kondisi saya. Sejujurnya, sedih juga tidak bisa melaksanakannya.”

Menjawab alasan kita tersebut, marilah kita perhatikan pesan Syaikh Ibnu Athaillah berikut ini :


الْحُزْنُ عَلَى فُقْدَانِ الطَّاعَةِ مَعَ عَدَمِ النُّهُوْضِ إِلَيْهَا مِنْ عَلاَمَاتِ اْلإِغْتِرَارِ

Sangat sedih karena tidak dapat menjalankan ketaatan kepada Allah, akan tetapi merasa malas melakukannya adalah tanda ia terperdaya oleh setan.

Kesedihan seperti ini adalah kesedihan palsu. Kita merasa sedih tetapi kita malas. Kita merasa rugi tetapi kita tinggalkan. Kita merasa tertinggal tetapi kita tidak mengejarnya. Kita ingin bangkit berdiri tetapi kita berada dalam mimpi pulas dan terbuai pula.

Andaikata kesedihan kita sampai menangis mencucurkan air mata diiringi penyesalan, akan tetapi tidak dengan usaha untuk mencapai apa yang menjadi kewajiban kita sebagai hamba Allah, maka tangis dan penyesalan itu akan tinggal penyesalan belaka. Kita seharusnya berusaha untuk mencari kesempatan atau mempergunakan kesempatan, bukan dibelenggu oleh rasa senang mengikuti panggilan hawa nafsu.

Tentang anjuran shalat Dhuha, Sahabat Abdurrahman bin Shakhr ra. atau yang lebih kita kenal dengan panggilan Abu Hurairah ra. telah menceritakan hadits berikut ini :


أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِثَلاَثٍ، لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوْتُ : صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحٰى وَنَوْمِ عَلَى وِتْرٍ

Aku telah dipesan oleh junjunganku (Nabi Muhammad saw.) tiga hal supaya tidak aku tinggalkan sampai mati, yaitu puasa pada tiap bulan selama tiga hari, shalat Dhuha dan tidur setelah shalat Witir.
(HR Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud puasa tiga hari setiap bulan yaitu tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariah. Puasa ini disebut puasa hari terang atau hari putih (yawm al-bîdh). Sedangkan tidur setelah shalat Witir maksudnya tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir.

Jumlah rakaat shalat Dhuha minimal 2 (dua) rakaat, dan maksimal 8 (delapan) rakaat—dengan empat kali salam (satu shalat 2 rakaat). Ada juga pendapat maksimal 12 (dua belas) rakaat. Adapun surah yang dibaca, untuk rakaat pertama QS as-Syams [91] dan rakaat kedua QS adh-Dhuhâ [93]. Bila shalat Dhuha lebih dari sekali, maka untuk shalat berikutnya, pada rakaat pertama membaca QS al-Kâfirûn [109], sedangkan QS al-Ikhlâsh [112] dibaca pada rakaat kedua. Bila ingin membaca surah yang lain juga diperbolehkan.

Begitu indah dan hebatnya waktu Dhuha, Allah bahkan pernah bersumpah atasnya.

وَالضُّحٰى

Demi adh-Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik).
(QS adh-Dhuhâ [93] : 1)

Adh-Dhuha dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun. Bahkan, panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan. Dengannya, Allah melambangkan kehadiran wahyu sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan dan menyenangkan.

Nabi saw. menganjurkan agar pada pagi hari kita bersedekah sebanyak bilangan seluruh anggota tubuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas semua nikmat yang telah dilimpahkan oleh-Nya, termasuk nikmat hidup setelah mengalami tidur yang mirip dengan mati—bahkan bisa dikategorikan saudaranya. Dua rakaat shalat Dhuha bisa mencukupi semua sedekah tersebut.

Sahabat Abu Dzar ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah bersabda,


يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمٰى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْـبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذٰلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحٰى

“Pada (tiap) pagi hari setiap persendian dari seseorang di antara kalian ada sedekahnya; setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma‘ruf adalah sedekah dan nahi munkar adalah sedekah pula. Tetapi dapat mencukupi semuanya yaitu dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dalam shalat Dhuha.” (HR Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

Sebagai penutup, masih adakah alasan yang akan kita kemukakan sebagai pembenar kita malas melaksanakan shalat Dhuha?

Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Shalat Dhuha, Nasibmu Kini (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#