Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 24, 2011

Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (4 of 7)

Di buku “20 Tuntunan Khusuk Salat”, M. Thalib membagi khusyu’ dalam shalat menjadi dua bagian, yaitu:
  • Khusyu’ lahiriah
    Melakukan gerak-gerik shalat dan ucapannya sesuai dengan tuntunan dan ajaran Rasulullah.

  • Khusyu’ batiniah
    Melakukan shalat dengan hati penuh rasa harap, cemas, takut, merasa diawasi, dan suasana mendukung terciptanya pelaksanaan lahir batin dalam melakukan shalat khusyu’.

M. Thalib secara teknis dan detail, merangkum berbagai hadits yang mengajarkan bagaimana melakukan shalat dengan khusyu’. Menurutnya, jika kita ingin khusyu’, sebaiknya kita melakukan 20 langkah berikut:
  1. Bila lapar, makanlah lebih dahulu
  2. Tidak menahan buang angin, buang air kecil maupun besar
  3. Tidak mengantuk
  4. Berpakaian baik dan bersih
  5. Hawa tidak panas
  6. Melakukan shalat pada awal waktu
  7. Pergi ke masjid dengan tenang dan didahului dengan doa, jika kita shalat di masjid
  8. Tempat shalat harus bersih dari kotoran
  9. Tempat shalat bersih dari gambar
  10. Tempat shalat tidak bising
  11. Ketika shalat, pikiran tidak disibukkan oleh urusan duniawi
  12. Tidak tergesa-gesa melakukan bacaan dan gerakan shalat
  13. Menyadari bacaan yang diucapkan
  14. Rukuk dan sujud dengan tenang
  15. Tidak menoleh ke kanan atau ke kiri
  16. Melihat ke tempat sujud
  17. Tidak mengusap pasir di tempat sujud
  18. Tidak menguap
  19. Tidak meludah kecuali terpaksa
  20. Meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah
Hakikat shalat adalah mi‘raj orang mukmin, pendakian spiritual menuju Allah dan audiensi langsung denga-Nya. Dengan demikian, kita akan selalu ingat kepada Allah, yang di antara hasilnya adalah:
  • Ingat rahmat, kekuasaan, pahala, dosa dan azab-Nya.
  • Taat perintah dan menjauhi larangan-Nya
  • Mohon ridha dan selamat dari azab-Nya
  • Sadar dan lebih kenal (ma‘rifat) terhadap jati diri yang dhaif
  • Jauh dari yang keji dan mungkar
  • Luas dan komprehensif wawasan serta pandangan
  • Keberkahan hidup
Hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana bersikap kepada Allah telah kita bahas secara detail di Bab 1. Dengan demikian, Bab 1 sebaiknya kita baca berulang-ulang, untuk dipahami, dihayati dan dipraktikkan; karena yang ada di bab itu merupakan pondasi dari setiap amal. Ibarat rumah, jika pondasinya kokoh, maka bangunan apa pun yang akan didirikan tidak menjadi masalah.

Memahami makna gerakan shalat juga salah satu yang membentuk khusyu’ dalam shalat. Berikut ini penjelasan tentang makna gerakan shalat yang penulis nukil dari makalah “Pelatihan Shalat Khusyuk” oleh Prof. Moh. Sholeh:
  • Berdiri tegak menghadap kiblat = menghadapkan jiwa raga kepada Dzat Yang Maha Esa dan Maha Segalanya

  • Mengangkat tangan saat takbir = lambang penyerahan diri secara total kepada Allah SWT

  • Ruku‘ = lambang hormat dan mengagungkan Dzat Yang Maha Kuasa serta mengingatkan kelemahan dan ketidakberdayaan diri kita.

  • Pengulangan sujud 2 kali = sujud pertama mengingatkan asal-usul manusia yang diciptakan dari tanah, sedangkan sujud kedua mengingatkan akhir perjalanan hidup manusia bahwa cepat atau lambat pasti kembali ke tanah. Allah berfirman yang artinya:

    Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu, kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain. (QS Thâhâ [20]: 55)

  • Berulang-ulangnya sujud = melambangkan penampilan yang 100% berbeda dengan Iblis yang menolak sujud meskipun hanya 1 kali.

  • Menoleh ke kanan dan ke kiri dengan ucapan salam = lambang ikrar di hadapan Allah setelah beraudiensi dengan-Nya, bahwa ke mana pun pergi harus senantiasa menebar salam (kedamaian), rahmat (kasih sayang) dan berkah (bertambahnya kebaikan) untuk siapa pun, dan bahkan untuk apa pun, sesuai dengan misi Rasulullah saw.

Daftar Pustaka:
  • Mohammad Sholeh, Prof, “Pelatihan Sholat Khusyuk”, Makalah, April 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (3 of 7)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (5 of 7)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 17, 2011

Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (3 of 7)

Seorang teman bertanya, “Jika memang baju bergambar bisa berdampak seperti itu pada diri Rasulullah saw., bagaimana dengan sajadah yang kita pakai? Bukankah di sajadah terdapat gambar, biasanya masjid atau ka‘bah? Apakah itu tidak berarti mengurangi kekhusyu’an kita?”


Sebelum membahas sajadah, penulis akan menerangkan tentang sarung, sebuah perlengkapan ibadah yang lazim digunakan oleh kaum muslim Indonesia dan sekitarnya. Ada apa dengan sarung?


Biasanya, di sebuah sarung ada bagian yang agak berbeda—lebih gelap atau lebih terang daripada bagian lain—dengan tujuan agar diletakkan di bagian belakang tubuh. Di bagian bawahnya terdapat semacam kain stiker atau tulisan tanda merk. Sejak penulis sekolah, ayah penulis rahimahullâh mengajarkan agar meletakkan tanda merk sarung di atas (bagian yang dilipat), sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Tujuannya untuk menghindari fitnah.

Jika ada orang melihat merk sarung kita, sedangkan orang itu memakai sarung yang lebih mahal, dikuatirkan akan timbul sifat meremehkan di sisi orang itu, dan rendah diri di sisi kita. Namun, jika yang melihat memakai sarung yang merknya berharga lebih murah, dikuatirkan akan menimbulkan iri hati pada yang memandang dan sifat sombong pada diri kita. Alasan kedua yaitu agar tanda merk tersebut tidak terbaca orang yang sedang shalat di shaf belakang kita. Dengan demikian ketika menundukkan pandangannya ke arah sujud, ia tidak akan terganggu. Oleh karena itu, maka bagian bawah sarung dijadikan bagian atas, begitu pula sebaliknya. Nasihat tersebut penulis jalankan terus sampai sekarang.


Lucunya, ada sarung yang merknya bukanlah stiker atau kain dijahit, melainkan sebuah tulisan dan berada di sisi atas serta bawah sarung. Sungguh kreatif sekali. Dengan begitu, tidak bisa ditentukan mana bagian atas, dan mana bagian bawah. Akhirnya, penulis punya inisiatif sendiri, bagian belakang sarung diletakkan di depan dan dilipat sehingga tidak terlihat. Dengan demikian, yang tampak adalah bagian yang semuanya sama. Bukankah kreativitas harus ditandingi dengan kreativitas pula? :)

Tentang sajadah, kalau Rasulullah saja terganggu dengan adanya gambar, apakah kita akan mengatakan tidak? Sebuah kesombongan bila kita merasa bisa lebih khusyu’ dibandingkan Rasulullah. Kalaupun kita mengatakan tetap bisa khusyu’, paling-paling khusyu’ di level kita, yaitu khusyu’ level bawah. Bukankah khusyu’ memang bertingkat-tingkat? Untuk itu, kita ambil jalan tengah saja. Biasanya, sesuatu akan menarik perhatian jika sesuatu itu baru atau berbeda. Oleh karena itu, jika kita ke masjid, janganlah kita membawa sajadah dari rumah. Bukankah sudah ada karpet di masjid? Kalau kita membawa sajadah dari rumah, berarti akan tampak beda, dan dikuatirkan akan menarik perhatian jamaah lain ketika shalat. Tentunya kita tidak ingin menyebabkan ibadah orang lain terganggu, kan?

Kalau shalat di rumah, sebaiknya tetap dihindari menggunakan sajadah bergambar. Berhati-hati tetap lebih diutamakan. Bila tidak bisa karena hanya punya sajadah bergambar, ya bagaimana lagi. Untungnya, bila terbiasa melihat sesuatu, umumnya kita tidak akan tertarik lagi dengan sesuatu itu. Semoga Allah menolong kita, sehingga kita bisa memperbaiki dan menyempurnakan shalat kita, amin.

Berkenaan dengan khusyu’, Rasulullah berdoa memohon perlindungan dari Allah dari hati yang tidak khusyu’. Doa beliau yaitu:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَيَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَيَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَتَشْـبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَيُسْـتَجَابُ لَهَا
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tak pernah puas dan dari permohonan yang tidak dikabulkan. (HR Muslim)

Khusyu’ adalah pekerjaan hati, dan jika seseorang hatinya khusyu’ maka akan khusyu’ pula anggota badannya. Secara ringkas, kalangan alim ulama memberikan sejumlah rekomendasi agar bisa khusyu’ dalam shalat, yaitu:

1.Berjalan menuju shalat dengan tenang dan mantap.

Bukhari dalam Shahihnya, meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya, dia berkata, “Pada suatu saat kami melaksanakan shalat bersama Nabi saw. Ketika itu beliau mendengar gemuruh beberapa orang laki-laki. Tatkala beliau hendak mengerjakan shalat, beliau bertanya,

‘Bagaimana keadaan kalian?’

Mereka menjawab,
‘Kami cepat-cepat hendak menunaikan shalat.’

Nabi bersabda,
‘Janganlah kalian lakukan itu. Jika kalian mendatangi shalat, maka kalian wajib bersikap tenang. Suatu rakaat yang kalian temukan, maka shalatlah kalian. Suatu rakaat yang telah meninggalkan kalian, maka sempurnakanlah shalat itu dengan menggenapi rakaat setelah imam salam’.”

Abu Hurairah juga meriwayatkan hadits dengan matan (isi) yang sama.


2. Ketika shalat, hendaklah merenungkan bahwa kita sedang di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam pikiran dan hati
3. Menghayati makna apa yang sedang dibaca
4. Memasukkan arti tersebut ke dalam hati

5. Tidak tergesa-gesa dalam ucapan dan amalan shalat (thuma’ninah)
6. Menundukkan muka ke tempat sujud
7. Menjauhkan diri dari segala hal yang dapat mengusik ketenangan hati.
8. Menganggap bahwa itulah shalat terakhir yang dilakukan, karena bisa saja malaikat maut sebentar lagi akan datang menjemput nyawa milik-Nya yang dipinjamkan kepada kita.

Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا قُمْتَ فِيْ صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ
Jika engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan (dunia). (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Dalam sebuah syairnya, Ibnu Hazm al-Andalusi berpesan:

Hidup di negeri fana janganlah terlena
Maut terus ingatkan kita niscaya binasa
Yang tunduk perintah ‘Azza wa Jalla
Ikuti akal, singkirkan hawa nafsu pula

Kan ia raih kemenangan di sisi-Nya, niscaya
Ia kan dapatkan segala nikmat swargaloka
Yang paham hakikat perintah ‘Azza wa Jalla
Kan lihat keelokan yang tak dimiliki siapa saja


Daftar Pustaka:
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V: Maret 2007
  • Mohammad Sholeh, Prof, “Pelatihan Sholat Khusyuk”, Makalah, April 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV: November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (2 of 7)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (4 of 7)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 10, 2011

Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (2 of 7)

Tentang kewajiban shalat bagi kita dan khusyu’ di dalamnya, Allah SWT berfirman yang artinya:

Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(QS Thâhâ [20]: 14)


Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.
(QS al-Mu’minûn [23]: 1-2)


…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
(QS al-A‘râf [7]: 205)


Rasulullah mengingatkan akan khusyu’ dalam sebuah hadits:

أَوَّلُ عِلْمٍ يُرْفَعُ مِنَ اْلأَرْضِ الْخُشُوْعُ
Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyu’an.
(HR Thabrani)

Khusyu’ merupakan manivestasi tertinggi dari hati yang sehat. Hilangnya khusyu’ merupakan tanda bahwa hati telah kehilangan kehidupan dan vitalitasnya. Nasihat bisa jadi tidak berpengaruh lagi dan ambisi buruk mudah menguasainya.

Dengan nasihat dari Nabi saw. tersebut, marilah kita bersama-sama berusaha untuk bisa khusyu’ dalam shalat. Dan, sebagaimana umumnya sebuah amal, khusyu’ pun bertingkat-tingkat. Memang, ini bukanlah sulap, tapi berlatih dan memohon pertolongan Allah adalah cara untuk mencapainya. 

Abu Bakar ar-Razi berkata, “Khusyu’ adalah untaian/rangkaian makna semua hal ini, yaitu tenang dalam mengerjakan shalat, merendahkan diri, tidak menoleh-noleh atau bergerak-gerak dan merasa takut kepada Allah.”

Imam al-Junaid pernah ditanya tentang khusyu’. Dia menjawab, “Rendah hati karena Allah.” Sedangkan menurut Hasan al-Bashri, yang dimaksud khusyu’ adalah takut secara konsisten untuk kepentingan hati. Pendapat yang lain menjelaskan, “Khusyu’ adalah mencari keselamatan diri untuk kebenaran (Allah).”

Imam al-Ghazali menyimpulkan pendapat yang berkembang untuk menjelaskan hakikat khusyu’, yaitu mencakup kehadiran hati, mengerti apa yang dibaca serta diperbuat, penghormatan (ta‘zhîm) kepada Allah, merasa takut yang bersumber dari rasa hormat terhadap-Nya (haybah), penuh harap kepada-Nya dan malu terhadap-Nya.

Kehadiran hati adalah ruh shalat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Kurang dari batas minimal bisa dikatakan sia-sia, walaupun secara fiqh tetap sah. Semakin bertambah kehadiran hati, semakin tersebar pula ruh itu dalam bagian-bagian shalat.

Penyebab kehadiran hati adalah adanya keinginan yang keras, karena kondisi hati mengikuti keinginan kita. Keinginan tidak hadir kecuali pada hal-hal yang benar-benar kita inginkan. Jika suatu perkara menjadi keinginan kita, maka mau tidak mau, dengan sendirinya hati kita akan hadir. Begitulah ia tercipta.

Jika hati tidak hadir dalam shalat, tidak berarti ia hanya berdiam diri, melainkan berkeliaran pada urusan-urusan lain yang menjadi keinginan kita. Jadi tidak ada cara atau terapi yang dapat menghadirkan hati kecuali dengan mengalihkan keinginan kita kepada shalat.

Sementara itu, keinginan tersebut tidak teralih kepada shalat selama belum jelas bahwa tujuan yang dicari itu tergantung pada shalat. Tujuan yang dicari itu adalah keyakinan bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal, dan shalatlah sarana untuk menggapainya. Apabila hal ini digabungkan dengan pengetahuan sebenarnya akan fananya dunia, maka terjadilah kehadiran hati dalam shalat.

Allah bertanya, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?”

Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.”

Allah berfirman, “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.”

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?

Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (Yang Mempunyai) ‘Arsy yang mulia.
(QS al-Mu’minûn [23]: 112-116)

Pemahaman terhadap apa yang diucapkan dan diperbuat merupakan pengetahuan hati tentangnya, bukan sekadar makna lahir. Berawal dari sinilah kemudian shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Sesungguhnya shalat itu memahami banyak hal. Hal-hal itulah yang pasti dapat mencegah perbuatan keji.

Penghormatan (ta‘zhîm) bersumber dari dua pengetahuan. Pertama, mengetahui kemuliaan dan keagungan Allah. Hal ini termasuk dasar-dasar keimanan. Siapa yang tidak meyakini keagungan Allah, jiwanya tidak akan tunduk kepada keagungan-Nya. Kedua, mengetahui kehinaan jiwa dan keberadaannya sebagai hamba yang ditundukkan, sehingga timbul kepasrahan, ketidakberdayaan dan kekhusyu’an kepada Allah.

Haybah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat terhadap-Nya) merupakan keadaan jiwa yang lahir dari pengetahuan akan kekuasaan Allah dan pengaruh kehendak-Nya pada diri setiap insan.

Pengharapan terwujud karena mengetahui kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasan nikmat-Nya, keindahan ciptaan-Nya dan mengetahui kebenaran janji-Nya, yaitu surga bagi orang yang mengerjakan shalat. Keyakinan tentang semua itu akan menumbuhkan harapan.

Rasa malu akan terwujud karena perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan karena mengetahui kelemahan diri dalam melaksanakan hak Allah Yang Maha Agung. Rasa malu akan lebih kuat dengan adanya kesadaran bahwa Allah mengetahui apa yang terdetik dalam hati sekalipun kecil dan tersembunyi.

Diriwayatkan dari Ibnu Mubarak bahwa Rasulullah saw. pernah menyuruh penggantian tali terompah, kemudian beliau melihat tali itu dalam shalatnya karena masih baru. Lalu beliau memerintahkan agar tali itu dilepas dan dipasang lagi tali yang lama.

Siti Aisyah ra. menceritakan bahwa bahwa Rasulullah pernah shalat memakai khamishah (jenis pakaian dari bulu) pemberian Abu Jaham yang bergambar. Seusai shalat beliau menanggalkannya seraya bersabda,

اِِذْهَبُوْا بِهَا إِلَى أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي وَائْتُوْنِي بِأَنْبِجَانِيَـةِ أَبىِ جَهْمٍ
“Bawalah kain itu pada Abu Jaham karena kain itu baru saja melalaikan aku dari shalatku, dan bawakanlah kepadaku anbijaniah (baju tebal yang tidak bergambar) Abu Jaham.” (Muttafaq ‘alayh)


Daftar Pustaka:
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I: September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama: Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV: November 2006


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 3, 2011

Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (1 of 7)

Mari kita ingat lagi kegiatan sehari-hari. Kalau kita senang sekali menonton televisi, misalnya pertandingan bola, Moto GP, Formula 1 atau anak kecil bermain PS (Play Station), bukankah saat melakukannya kita tak merasa terganggu walau banyak hal terjadi di sekitar kita? Ya, seperti itulah khusyu’—hadirnya hati, pikiran dan anggota tubuh untuk sesuatu yang sedang kita kerjakan.

Anehnya, kemampuan tersebut tidak kita aplikasikan dalam shalat. Bahkan saat ini, dengan semakin beragamnya acara televisi, ada istilah baru, yaitu “Shalat Kejar Tayang”. Misal kita sedang menonton acara yang kita suka bahkan kita cinta setengah mati, ternyata waktu shalat maghrib tiba, apa yang kita lakukan?

Karena sayang melewatkan acara yang bagus, maka pada tayangan iklan (commercial break) pertama, kita berwudhu dan menyiapkan perlengkapan shalat. Setelah semua persiapan selesai, kita menonton lagi lanjutan acara. Pada iklan kedua, kita lakukan shalat, dan kita sudah merancang dengan teliti dan akurat, bak seorang programmer ulung, agar shalat kita selesai sebelum atau minimal bersamaan dengan berakhirnya iklan. Dengan begitu kita tidak tertinggal sedetik pun acara kegemaran kita. Benar-benar shalat kejar tayang, artinya berkejaran dengan tayangan iklan. Mâsyâ Allâh.

Mengapa kemampuan kita untuk khusyu’ tidak kita terapkan saat shalat? Hanya diri kita sendirilah yang mengetahui jawabannya. Kalau kita sudah tahu caranya, sebenarnya tak perlu lagi dijelaskan secara panjang lebar bagaimana cara shalat khusyu’. Bagian selanjutnya dari sub bab ini bisa diloncati. Namun demikian, karena menuntut ilmu itu wajib, maka sebaiknya uraian tentang shalat khusyu’ berikut ini tidak kita lewati. Semoga bisa menambah amal kebaikan kita dan menjadi ilmu yang bermanfaat, amin.

Dalam sebuah ceramah agama, seorang Kyai berkata, “Shalat merupakan oleh-oleh terindah pada saat Imam para Nabi, Rasulullah saw. Isra’ dan Mi‘raj. Saat Mi‘raj, Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan ke langit, sidratil muntaha, bayt al-ma‘mûr dan lebih dekat lagi. Ketika itulah Nabi mendapat perintah shalat 5 (lima) waktu. Shalat adalah ibadah yang menakjubkan. Setiap shalat dilakukan setiap saat dan setiap saat dilakukan setiap shalat. Benar-benar ibadah yang menakjubkan!”

Menjelaskan maksudnya, Kyai tersebut melanjutkan, “Setiap shalat fardhu dilakukan setiap saat. Misal saat ini di Surabaya dikerjakan shalat Zhuhur, beberapa menit kemudian, di kota lain dikerjakan shalat tersebut. Begitu seterusnya sampai jam berapa pun, ada yang melaksanakan shalat Zhuhur. Shalat-shalat yang lain juga sama.

Sedangkan yang dimaksud setiap saat dilakukan setiap shalat adalah ketika kita melaksanakan shalat Zhuhur, maka di belahan bumi yang lain akan ada yang mengerjakan shalat Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh.” Subhânallâh.

Mengetahui keutamaan dan kehebatan shalat, akan membuat diri kita semakin kagum dan menginginkan shalat. Dengannya, kita akan lebih senang dan tenang dalam mendirikannya.

Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia adalah pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang di bawah satu kesatuan sistem.

Shalat menggambarkan tata intelegensia semesta total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh satu kekuatan Yang Maha Dahsyat dan Maha Mengetahui, Allah Yang Maha Esa. Bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan kita tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyu’ pula kita melaksanakan shalat.

Shalat merupakan kebutuhan jiwa, kebutuhan untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Yang Maha Kuasa. Dan tentunya sungguh tidak sopan apabila kita datang menghadapkan diri kepada Allah hanya pada saat diri kita didesak oleh kebutuhan.

Shalat adalah penyejuk jiwa, kala kesedihan dan derita menimpa. Shalat merupakan penyejuk saat rasa takut, kuatir dan cemas hinggap di benak kita. Rasulullah bersabda,
جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فىِ الصَّلاَةِ
“Dijadikan kesejukan mataku dalam shalat.” (HR Hakim dan Nasa’i)

Shalat dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut.

Apa yang dikatakan Rasulullah saw. ketika menyifati tentang keutamaan shalat lima waktu? Bagaimanakah cara beliau menjelaskannya?

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئٌ؟ قَالُوْا لاَيَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئٌ قَالَ فَذَاِلكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُوا اللهَ بِهِنَّ الْخَطَايَا
Bagaimanakah pendapat kalian kalau sebuah sungai berada di muka pintu (rumah) salah satu dari kalian, dan ia mandi setiap hari lima kali. Apakah masih ada yang tertinggal kotorannya (tubuhnya masih kotor)? Sahabat menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda lagi, “Maka demikianlah shalat lima waktu. Dengannya Allah menghapus dosa-dosa.”(Muttafaq ‘alayh)

Semakin kita meningkatkan sujud pada Allah, semakin banyak pula manfaat dan derajat yang didapat.

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ ِللهِ فَإِنَّكَ لاَتَسْجُدُ ِللهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيْئَةً
Engkau harus memperbanyak sujud kepada Allah, karena sesungguhnya tiada sekali-kali engkau bersujud kepada Allah sekali sujud, kecuali Allah mengangkatmu satu derajat karenanya dan menghapus satu kesalahan (dosa) darimu karenanya. (HR Muslim dan Tirmidzi)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rabi‘ah al-Aslamy, dia bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, aku memohon padamu agar aku dapat menjadi temanmu di surga.” Rasulullah saw. bersabda,

فَأَعِنِّيْ عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ
“Tolonglah aku agar dapat membantumu dengan memperbanyak sujud.”
(HR Muslim)

Daftar Pustaka:
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama: Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV: November 2006

Tulisan ini berlanjut ke : Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (2 of 7)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#