Mencari Data di Blog Ini :

Friday, October 29, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (2 of 5)

Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk beraktivitas, hal terpenting yang diperintahkan-Nya adalah melakukan aktivitas tersebut dengan sebaik-baiknya dan tidak berlepas tangan begitu saja. Allah juga memberikan metode, agar manusia bisa beraktivitas sebaik-baiknya. Metode yang diajarkan-Nya adalah ketika mereka bekerja, mereka haruslah sadar bahwa pekerjaan itu dilaksanakan di hadapan-Nya, atau mereka menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi ketika mereka melaksanakan pekerjaan. Itulah hakikat ihsan, benar-benar antara kita dengan Allah.

Di buku “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)” diuraikan bahwa ihsan ada beberapa tingkatan, yaitu:
  • Pengawasan Allah dan takut kepada-Nya
  • Malu kepada Allah
  • Harmonis kepada Allah
a. Pengawasan Allah dan takut kepada-Nya

Pengawasan Allah adalah bagaimana seorang hamba menyembah Tuhannya seolah-olah hadir di hadapannya, melihatnya dan memperhatikannya melakukan ibadah. Jika kita menyembah Allah dengan cara seperti ini di dunia, balasannya adalah memandang-Nya dengan jelas pada hari akhirat kelak.

وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
(QS al-Qiyâmah [75]: 22)

إِلىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS al-Qiyâmah [75]: 23)
Imam Muslim meriwayatkan dari Shuhaib bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ يَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ: تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا أَزِيْدُكُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا، أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلىَ رَبِّهِمْ
Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah berfirman, “Maukah kalian kutambah sesuatu?” Mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menghindarkan kami dari neraka?” Kemudian disingkapkanlah penghalang itu, tidak ada sesuatu yang paling diinginkan melainkan hanya melihat Tuhan mereka.

Kemudian Rasulullah membaca ayat:

لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوا ٱلْحُسْنىٰ وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. (QS Yûnus [10]: 26)

Jadi, diharuskan bagi kita untuk selalu awas (sadar) bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengintai kita, karena hal itu akan melahirkan rasa takut (takwa) kepada-Nya.

إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi (mengintai).
(QS al-Fajr [89]: 14)

إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
(QS an-Nisâ’ [4]: 1)
Diperintahkan juga agar kita taat beribadah dan bersungguh-sungguh untuk melaksanakannya dengan sempurna. Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya segala apa yang ada di bumi dan di langit. Allah mendengar suara langkah kaki semut hitam di atas batu cadas hitam-kelam di malam yang gelap. Allah mengetahui dan melihat biji mostar di atas batu yang licin penuh lumut. Setiap daun jatuh, setiap bisikan dan setiap hembusan nafas didengar-Nya. Allah Maha Mengetahui peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi.

Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).(QS al-An‘âm [6]: 59)
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS al-Hadîd [57]: 4)
Berikut ini kisah yang juga menceritakan tentang ihsan. Diriwayatkan dari Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu malam Umar bin Khaththab bersama seorang peronda berjalan keliling kota. Sampai di sebuah rumah, mereka mendengar perbincangan seorang ibu dengan anak gadisnya. Sang ibu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual esok hari dengan air karena sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Sang ibu berkata,
“Wahai anakku, campurlah susu itu dengan air.”
“Apa Ibu tidak tahu kalau Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab melarang kita mencampur susu dengan air?” jawab sang anak.
“Sesungguhnya Amirul Mukminin tidak melihat kita sekarang,” tukas si ibu.
Gadis itu berkata lagi,
“Ibu, jika Amirul Mukminin tidak melihat kita, tapi Tuhan Amirul Mukminin melihat kita. Demi Allah, aku tidak mau jika aku mematuhi Amirul Mukminin di hadapan khalayak ramai, tapi mengkhianatinya di tempat sepi.”
Subhânallâh. Betapa hebatnya gadis itu, dia selalu meyakini bahwa Allah benar-benar mengawasi. Al-Junaid mengatakan bahwa siapa yang dapat merealisasikan pengawasan (murâqabah), maka dia takut kehilangan bagian yang diperoleh dari Tuhannya, bukan takut pada yang lain.

Menurut Dzun Nun al-Mishri, yang dimaksud hubungan pengawasan adalah mementingkan sesuatu yang telah dipentingkan oleh Allah, mengagungkan sesuatu yang telah diagungkan oleh-Nya dan mengecilkan sesuatu yang telah dikecilkan oleh-Nya. Ia pernah ditanya,

“Dengan apakah seorang hamba dapat meraih surga?”
“Dengan lima hal. Istiqamah tanpa penyimpangan, kesungguhan tanpa kelalaian, murâqabah dalam kesunyian dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan, dan menghisab jiwa sebelum dihisab,” jawabnya.

Abu Hafsh berwasiat kepada Abu Utsman, “Apabila engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap hatimu dan dirimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka. Mereka mengawasi lahirmu, sedangkan Allah mengawasi batinmu.”


Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (1 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (3 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 22, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (1 of 5)

Setelah bertanya tentang Islam dan iman, Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang ihsan. Nabi Muhammad saw. menjawab,


أَنْ تَعْـبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau menyembah (beribadah kepada) Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan seandainya engkau tidak bisa mencapai keadaan itu, engkau harus yakin bahwa Dia melihatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)


Berikut ini kisah tentang implementasi ihsan dalam kehidupan sehari-hari. Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab berjalan-jalan untuk melihat keadaan rakyat beliau. Sampailah beliau di sebuah padang rumput nan hijau. Di tempat itu, beliau melihat ada seorang anak sedang menggembalakan sekian banyak domba. Umar mendekati anak itu dan berkata,


“Wahai anakku, banyak sekali dombamu.”

”Tuan, domba-domba itu milik majikan saya. Saya hanya seorang penggembala,” jawab si penggembala.

Penggembala itu tidak tahu bahwa orang di hadapannya adalah Umar bin Khattab, sang Khalifah.

“Anakku, bagaimana kalau aku membeli satu ekor saja dari domba-dombamu. Boleh kan?”

“Maaf, Tuan. Kalau Tuan hendak membelinya, silakan ke majikan saya.”

“Anakku, bagiku sama saja, aku membeli dari siapa pun juga tidak masalah. Terimalah uang ini, kamu bisa kaya dengan uang ini. Toh majikanmu juga tidak akan tahu. Bila ia bertanya tentang hilangnya satu ekor domba, katakan saja domba itu dimakan srigala,” ucap Umar mencoba untuk bernegosiasi

Penggembala tadi termenung mendengar tawaran menarik dari Umar. Suara-suara setan dan malaikat beriringan di dengarnya, mendengung di kepalanya, seolah sedang terjadi peperangan maha dahsyat. Setan membisikkan,

“Hai gembala, ambil saja uang itu! Bukankah majikanmu tidak akan tahu? Kalau ia menghitung domba-dombanya, katakan saja domba itu dimakan srigala, hilang karena lari tak terkejar, atau yang lain.”

“Jangan, wahai gembala! Itu bukan hakmu. Domba-domba itu bukan milikmu, tapi milik majikanmu. Tidak baik melakukan itu,” kata suara yang terdengar begitu lembut, suara malaikat kebaikan.

“Aaahh... Sekarang bukan zamannya. Yang penting kamu tidak menjadi penggembala lagi. Kamu bisa bahagia, bisa membangun rumah yang indah. Kamu juga bisa menolong teman-temanmu serta semua orang dengan uang itu. Tidakkah itu baik?”

“Jangan, duhai penggembala yang jujur... Ingatlah, akan ada kehidupan sesudah ini. Akan ada balasan untuk setiap perbuatan. Ingatlah Allah!”

“Gembala! Kamu tidak usah memikirkan apa yang belum terjadi. Surga adalah dunia dan dunia adalah surga!”

Cukup lama penggembala tadi terdiam. Lalu, dengan tempo lambat serta nada yang lembut namun mantap dia pun berkata,

“Maaf, Tuan. Domba-domba itu bukan milik saya. Memang, majikan saya tidak akan tahu apa yang terjadi di antara kita. Bahkan, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab juga tidak akan mendengar peristiwa yang terjadi di sini. Tapi, Tuan, Lâ ilâha illallâh, bagaimana aku mengatakan pada majikanku bahwa domba itu dimakan srigala? Tidak sadarkah Tuan bahwa Allah melihat kita? Di manakah Allah (fa-aynallâh)?”

Mendengar ungkapan jujur dari seorang anak kecil itu, mata Khalifah Umar pun berkaca-kaca, hatinya gerimis, mengharu biru. Betapa anak sekecil itu sudah menerapkan ihsan dalam kehidupannya yang tergolong sederhana. Nasihatnya begitu dalam, menelusup sampai ke relung-relung kalbu, mengalir bersama aliran darah dan menyatu sampai ke dalam sumsum tulang.

Dikisahkan pula bahwa ada seorang guru memiliki seorang murid muda yang sangat dihormati dan selalu diutamakannya. Sebagian murid yang lain merasa iri, lalu bertanya pada sang guru,

“Mengapa Bapak menghormatinya, padahal ia masih muda dan kami lebih tua?

Kemudian sang guru mengambil beberapa burung, lalu memberikan seekor burung dan sebilah pisau kepada masing-masing muridnya seraya berkata, “Masing-masing kalian hendaklah menyembelih burung itu di tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun.”

Setelah beberapa lama, semua murid kembali dengan membawa burung yang telah disembelih, kecuali murid muda itu. Ia kembali dengan membawa burung yang masih hidup di tangannya. Gurunya pun bertanya,

“Mengapa engkau tidak menyembelihnya sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawanmu?”

“Saya tidak menemukan tempat di mana saya tidak dilihat oleh siapa pun, karena Allah senantiasa melihatku di setiap tempat,” jawabnya.

Akhirnya semua murid mengakui murâqabah (perasaan selalu dalam pengawasan Allah) anak muda itu seraya berkata,

“Engkau memang berhak dihormati.”

Dua buah cerita di atas telah menggambarkan penerapan ihsan dalam keseharian. Namun, sepertinya hanya akan menjadi sekadar cerita, sebagaimana kisah-kisah yang lain. Kenapa? Marilah kita tanyakan pada diri kita, “Seandainya kita berada pada posisi penggembala kambing atau murid muda itu, apa yang kita lakukan?”

Mungkin kita akan melakukan hal yang sama, tapi rasanya berat sekali. Apalagi meniru murid muda dari sang guru. Dalam kondisi sendirian, ia masih tetap merasa dilihat Allah. Memang, kita bukan penggembala kambing atau murid muda itu, tapi bukankah semua pekerjaan pada dasarnya sama?

Di buku “ESQ POWER – Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan”, terdapat contoh-contoh ihsan untuk bidang pekerjaan saat ini, yaitu:

  • Seorang pegawai atau karyawan tidak disebut ihsan kalau dia hanya bisa mengerjakan perbuatan rutin saja, tetapi baru disebut ihsan kalau dia mahir dalam pekerjaannya, kreatif, bagus hasilnya, menyenangkan kawan kerjanya dan masyarakat. Semua dilakukan demi menggapai ridha Ilahi.
  • Seorang pilot baru disebut ihsan, jika ia mahir dalam mengendalikan pesawatnya, memahami dengan baik tentang cuaca berbagai tempat, penuh cinta dengan pekerjaannya, sayang kepada para penumpangnya dan selalu ingat kepada Allah yang menundukkan pesawat itu kepada dirinya (manusia).
  • Seorang manajer perusahaan baru dikatakan ihsan, jika ia dapat mengatur perusahaannya dengan baik (memajukan perusahaan), dicintai dan mencintai karyawannya (menyejahterakan karyawan), pandai dalam berkomunikasi dengan masyarakat (memberikan manfaat yang besar bagi lingkungannya) dan selalu ingat kepada Allah yang telah memberi kesempatan baginya untuk bekerja dengan leluasa.

Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ary Ginanjar Agustian, “ESQ POWER – Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan”, Penerbit Arga, Cetakan Kesembilan : Mei 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (2 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 15, 2010

Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (4 of 4)

Pengampunan Allah atas dosa-dosa hamba yang bertaubat dijelaskan juga dalam hadits. Hadits yang sangat terkenal yaitu taubatnya pembunuh 100 orang yang akhirnya meninggal di tengah jalan; dan karena ia lebih dekat ke kampung taubat, maka diampuni dosa-dosanya. Di hadits lain, Sahabat Abu Musa al-Asy‘ari ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


إِنَّ اللهَ تَعَالىَ يَـبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِئُ النَّهَارِ وَيَـبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْـلُعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan rahmat-Nya pada waktu malam supaya bertaubat orang yang telah melanggar janji pada siang hari; juga mengulurkan tangan kemurahan-Nya pada waktu siang, supaya bertaubat orang yang berdosa pada waktu malam. Keadaan itu tetap terus hingga matahari terbit dari barat.” (HR Muslim)


Sahabat Anas bin Malik ra. mengatakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,


التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ، وَإِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا لمَ ْيَضُرُّهُ ذَنْبٌ

“Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya.” (HR Ibnu Majah)


Keutamaan taubat lainnya yaitu dicintai Allah dan dimudahkan rejeki oleh-Nya. Allah berfirman:


إِنَّ اللهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّابِيْنَ وَيحُِبُّ ٱلْمُتَطَـهِّرِيْنَ

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS al-Baqarah [2]: 222)

Dan (dia berkata), “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hûd [11]: 52)


Dalam atsar (perkataan Sahabat Nabi) disebutkan, “Bertemanlah dengan orang-orang yang suka bertaubat, karena mereka mempunyai hati paling halus.”


Janganlah kita salah persepsi bahwa taubat itu mudah dilakukan. Taubat membutuhkan kemauan keras dan perjuangan. Istiqamah adalah hal yang harus dilakukan. Amatlah beda antara dibicarakan dan dilakukan. Seorang Kyai pernah mengutarakan dalam bahasa Jawa, “Agama iki dirasani thok, tapi gak tau dirasakno (Agama ini kok hanya dibicarakan, tapi tidak dilaksanakan).”


Menuju Allah bukanlah perjalanan yang mudah dan mulus, banyak halangan dan rintangan. Orang boleh berjalan cepat, lambat atau merangkak, tetapi rintangan menuju Allah tetap ada. Rintangan besar dalam perjalanan menuju Allah adalah hawa nafsu. Bobot rintangan itu pun tidak sama antara seseorang dengan lainnya, bergantung manusia yang menjalankan. Berat-ringannya tergantung kemampuan seseorang mengendalikan hawa nafsunya. Abu Sulaiman ad-Darani mengisahkan,


“Saya berkali-kali datang ke majelis Qashi, seorang ulama. Pada kali pertama, nasihat-nasihatnya membekas di hati saya. Namun, ketika saya beranjak pulang, tidak satu pun nasihatnya yang masih membekas.


Esoknya saya datang lagi dan mendengarkan ceramahnya. Saya cukup terpengaruh dengan wejangannya hingga sampai bertahan di tengah perjalanan pulang. Setelah itu hilang.


Pada kali yang ketiga, fatwanya sangat berpengaruh dan mampu menawan hati saya hingga saya sampai di rumah. Sesampainya di rumah, saya langsung menghancurkan alat-alat yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan perilaku, kemudian saya bersiteguh menetapi jalan lurus.


Kisah ini akhirnya saya utarakan pada Yahya bin Muadz, dan olehnya dikatakan, ‘Seekor burung kecil telah menangkap segerombolan burung karaki (bangau).’ Maksudnya, burung kecil adalah Qashi, sedangkan burung karaki adalah Abu Sulaiman ad-Darani.”


Janganlah pula kita mempermainkan taubat, istilahnya “taubat sambal”, setelah taubat kembali lagi melakukan perbuatan-perbuatan nista dengan sengaja. Rasulullah bersabda:


إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبـًا نَكَـتَتْ فىِ قَلْبِهِ نُكْـتَةً سَوْدَاءَ، فَإِذَا تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقُلَ قَلْـبُهُ، وَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْـبَهُ، فَذٰلِكَ الرَّانُ الَّذِيْ ذَكَرَهُ عَزَّ وَجَلَّ: كَلاَّ بَلْ سكتةرَانَ عَلىٰ قُلُوْبِهِمْ مَّاكَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Jika seorang mukmin melakukan dosa, berarti ia telah memberi setitik noda hitam pada hatinya. Jika ia bertaubat, tidak meneruskan dan memohon ampunan, maka hatinya kembali berkilau. Akan tetapi, jika ia berulang-ulang melakukan hal itu, maka akan bertambah pula noda hitam yang menutupi hatinya, dan itulah “ar-Rân”, sebagaimana yang telah difirmankan-Nya, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS al-Muthaffifiîn [83]: 14) (HR Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad)


Demi terhapusnya dosa-dosa, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah dengan membaca sayyidul istighfâr (istighfar paling utama):


اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَإِلـٰهَ إِلاَّأَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَـبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَاسْـتَطَعْتُ أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَاصَنَعْتُ أَبـُوْءُلَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَىَّ وَأَ بُوْءُ ِبذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah, Engkau adalah Tuhan hamba, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakan hamba, dan hamba adalah hamba-Mu. Hamba berpegang teguh dengan perjanjian-Mu dan janji-Mu sekuat kemampuan hamba. Hamba berlindung kepada-Mu dari keburukan yang hamba lakukan. Hamba mengakui curahan nikmat-Mu kepada hamba, hamba mengakui pula dosa-dosa hamba. Ampunilah hamba, sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, amin.

Daftar Pustaka:

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan lanjutan dari : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (3 of 4)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 8, 2010

Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (3 of 4)

“Taubat nashûhâ,” kata Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Wasithi, “tidak akan meninggalkan bekas kemaksiatan pada pemiliknya, baik yang bersifat samar maupun jelas.”


Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnul Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas‘ud serta Ubay bin Ka‘ab ra. bahwa pengertian taubat nashûhâ adalah seseorang yang bertaubat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan.


Allah memerintahkan kepada seluruh kaum mukmin untuk bertaubat kepada-Nya, tanpa perkecualian. Meskipun orang itu telah demikian taat menjalankan syariat, dan telah menanjak dalam barisan kaum muttaqin (orang-orang yang bertakwa), tetap memerlukan taubat.


Bahkan, Rasulullah sendiri masih melakukan taubat. Dari Sahabat Al-Aghar bin Yasar al-Muzni bahwa Rasulullah bersabda,


يَاأَ يُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلىَ اللهِ وَاسْـتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّيْ أَ تُوْبُ فىِ الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, dan mintalah ampun (istighfar). Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah tiap hari seratus kali.” (HR Muslim)


Mengenai taubat yang dilakukan Rasulullah saw., di buku “Tuntunan Bertaubat Kepada Allah (at-Taubah ilâ Allâh)”, Dr. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan, “Juga ada yang bertaubat dari maqam yang ia tempati yang seharusnya ia naik ke maqam yang lebih tinggi. Dan ini adalah taubat Nabi saw.”

Dari penjelasan di atas, apakah kita masih merasa tidak perlu bertaubat? Apa kita masih mengira bahwa kita melebihi tingkatan kaum muttaqin, sehingga tidak termasuk golongan yang harus bertaubat?


Kewajiban melakukan taubat dengan segera juga tidak perlu dipertanyakan lagi. Mengetahui keberadaan maksiat sebagai hal yang membinasakan merupakan bagian dari iman. Orang yang menyadari kewajibannya adalah orang yang mengetahuinya secara benar sehingga mampu mencegah diri dari perbuatan yang dibenci.


Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS an-Nisâ’ [4]: 17)

Abu Hamid al-Ghazali berpesan bahwa sangat berbahaya apabila kita menunda-nunda untuk bertaubat. Mungkin saja kita meninggal dunia sebelum melakukan taubat. Sedangkan apabila atas karunia dan rahmat Allah, kita diberikan kemampuan untuk bertaubat, maka kita akan memperoleh kemuliaan.


Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.” (QS an-Nisâ’ [4]: 18)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,


إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالمَ ْْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah tetap menerima taubat seorang hamba-Nya selama ruh (nyawanya) belum sampai di tenggorokan.” (HR Tirmidzi)

Lebih lanjut, al-Ghazali menasihatkan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, “Janganlah engkau menghina ketaatan sekecil apa pun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apa pun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata, ‘Apa manfaatnya satu benang itu? Kapan akan dapat menghasilkan satu baju?’ Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu benang dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini disusun dari atom-atom kecil. Maka, berdoa dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT.”


Sahal bin Abdullah at-Tustari memberi penjelasan, “Taubat adalah meninggalkan penundaan (tidak menunda-nunda taubat).”


Dalam buku “Tuntunan Bertaubat Kepada Allah (at-Taubah ilâ Allâh)”, Dr. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa di antara keutamaan menyegerakan taubat ialah membantu kita mencabut akar dosa sebelum menjadi kronis dan tertanam kuat dalam hati, kemudian tersebar dalam seluruh perbuatan. Apalagi bila setiap hari keburukan itu terus berkembang dari sumbernya, hingga mencakup seluruh perbuatan kita.


Orang yang selalu menunda-nunda taubat bisa diumpakan orang yang ingin mencabut sebuah pohon, namun dibatalkan. Kemudian ia berkata dalam dirinya, “Aku tunggu hingga satu tahun, baru aku datang kembali untuk mencabutnya.” Ini adalah logika yang keliru. Karena ia tahu, pohon dari hari-kehari akan makin kokoh dan besar, sementara dirinya semakin menua dan melemah.


Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata, “Segera bertaubat dari dosa adalah kewajiban yang harus dilakukan segera, dan tidak boleh ditunda. Ketika ia menundanya maka ia bertambah dosa dengan penundaannya itu. Dan jika ia telah bertaubat dari dosa, maka masih ada dosa yang harus ia pintakan ampunannya, yaitu dosa menunda bertaubat. Tentang ini sedikit sekali dipikirkan oleh orang yang telah bertaubat. Malah ia menyangka jika ia telah bertaubat dari dosanya maka ia tidak memiliki dosa lagi selain itu, padahal ia tetap memiliki dosa, yaitu menunda taubatnya itu.”


Di antara keutamaan orang yang bertaubat adalah Allah menugaskan para malaikat Muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdoa kepada-Nya agar Allah menyelamatkan mereka dari azab neraka, memasukkan mereka ke dalam surga, dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan para malaikat sibuk dengan urusan mereka di langit. Allah berfirman yang artinya:


(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala,


ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shaleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,


dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.”
(QS. al-Mu’min [40]: 7-9)

Daftar Pustaka:

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan lanjutan dari : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (2 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (4 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 1, 2010

Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (2 of 4)

“Taubat” berasal dari akar kata ta’—wau—ba’ yang dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian kembali. Kata ini mengandung makna bahwa yang kembali pernah berada pada satu posisi—baik tempat maupun kedudukan—kemudian meninggalkan posisi itu, selanjutnya dengan “kembali” ia menuju kepada posisi semula.

Taubat kepada Allah SWT berarti pulang dan kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya. Betapa indahnya kembali kepada Allah. Betapa indahnya ketika kita, hamba yang bertaubat ini mengingat bahwa kita mempunyai Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Melihat kita penuh pengampunan walaupun kita datang dengan lumuran dosa dan kemaksiatan. Kita pasrahkan badan, kekhusyu‘an hati, menyesali sepenuhnya serta berusaha untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya.

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat adalah pengertian yang menghimpun tiga komponen, yaitu:
  • Ilmu
  • Hâl (kondisi spiritual), yaitu makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati.
  • Amal perbuatan

Ilmu akan menghasilkan hal (kondisi), dan hal akan menghasilkan amal perbuatan. Ilmu adalah pengetahuan akan bahaya yang muncul dari dosa. Ilmu akan membawa ke arah kebaikan, yaitu dengan melahirkan iman dan yaqîn. Iman adalah mempercayai bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan, sedangkan yaqîn adalah meyakinkan apa yang dipercayai dan menghilangkan keraguan bahwa dosa itu adalah racun yang menghancurkan. Pada akhirnya, semua itu akan membuahkan cahaya hati yang dapat merasakan penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukan dan merasakan bahwa kemaksiatan itu telah menjadi penghalang (hijâb) antara ia dan Allah.


Dengan ilmu, maka akan timbul keinginan dan kehendak untuk melakukan suatu perbuatan (amal kebaikan), baik yang berkaitan dengan masa sekarang, yang telah lalu maupun yang akan datang. Yang berkaitan dengan masa sekarang yaitu dengan meninggalkan perbuatan maksiat yang pernah dilakukan. Sedangkan yang berkenaan dengan masa yang akan datang yaitu dengan berniat akan meninggalkan perbuatan maksiat hingga meninggal dunia. Adapun yang berkaitan dengan masa lalu, yaitu dengan mengganti atau meng-qadha ibadah-ibadah wajib yang telah ditinggalkan pada masa lalu.


Tentang mengganti ibadah-ibadah wajib yang telah ditinggalkan, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama—pendapat empat imam madzhab—menjelaskan bahwa semua ibadah wajib yang ditinggalkan harus diganti (qadha). Pendapat kedua menerangkan bahwa semuanya wajib diganti, kecuali shalat yang sengaja ditinggalkan, karena tidak ada ganti bagi shalat yang ditinggalkan dengan sengaja. Qadha shalat hanya bagi yang lupa atau tertidur. Sebagai gantinya, yang harus dilakukan adalah memperbanyak istighfar dan shalat nafilah (shalat sunnah). Wallâhu a‘lam.


Taubat juga sering diartikan dengan penyesalan. Selanjutnya, buah penyesalan adalah meninggalkan apa yang membuat kita menyesal, lalu menggantinya dengan kebaikan dan ketaatan.


النَّـدَمُ التَّوْبَةُ

Penyesalan adalah taubat. (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim).


اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّـيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, dan ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan menghapus perbuatan jelek. (HR Tirmidzi)


Maka siapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatannya dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubat. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS al-Mâidah [5]: 39)


Al-Busyanji pernah ditanya tentang taubat, lalu dijawab, “Jika kamu mengingat dosa, kemudian tidak merasakan manisnya ketika mengingatnya, maka demikian itu adalah taubat.”


Bila ada yang berkata, “Saya sudah taubat sekarang. Dulu, jenis kemaksiatan model apa pun pernah saya lakukan. Saya sudah puas melakukan itu semua, sekarang waktunya bertaubat.” Menurut al-Busyanji, pernyataan seperti ini menunjukkan bahwa kita belum bertaubat. Kita tidak menyesalinya bahkan merasa puas karena pernah mengerjakannya.


Muhammad bin Ka‘ab al-Qurazhi berkata, “Taubat itu diungkapkan oleh empat hal, yaitu beristighfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati untuk tidak mengerjakannya kembali, serta meninggalkan rekan-rekan yang buruk.”


Al-Hasan menerangkan, “Taubat adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi.”


Al-Junaid menuturkan, “Taubat ada tiga makna. Pertama penyesalan, kedua tekad meninggalkan (tidak mengerjakan lagi) apa yang dilarang Allah dan ketiga berusaha memenuhi hak-hak orang yang pernah dianiayanya.”


Apabila kita pernah merampas atau menganiaya orang lain secara zhalim, maka taubat harus dilakukan dengan mengembalikan hak-hak orang itu atau meminta kerelaannya. Namun, jika dosa yang dilakukan berhubungan dengan Allah, maka sebaiknya dirahasiakan, misalnya taubat karena pernah minum khamr.


مَنِ ارْتَكَبَ شَيْئًا مِنْ هٰذِهِ الْقَاذُوْرَاتِ فَلْيَسْـتَتِرْ بِسِـتْرِ اللهِ

Siapa yang melakukan perbuatan kotor, hendaklah ia menutupinya sebagaimana Allah menutupinya. (HR Hakim)


Penulis yakin keterangan seperti ini sudah kita ketahui bersama dari nasihat para ulama. Oleh karena itu penulis tidak akan mengupasnya lebih dalam. Tentang kewajiban taubat, sudah sangat jelas perintahnya. Allah SWT berfirman:


وَتُوْبُوْاۤ إِلىَ اللهِ جَمِيْعًا أَ يُّهَ ٱلْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّـكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS an-Nûr [24]: 31)


Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nashûhâ (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
(QS at-Tahrîm [66]: 8)



Daftar Pustaka:

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan lanjutan dari : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (1 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (3 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#