Mencari Data di Blog Ini :

Friday, August 27, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (10 of 12)

Ibnu Athaillah menasihatkan, “Janganlah menjadikan seseorang ragu terhadap janji Allah sebab belum terpenuhinya janji, walaupun pada saat yang sangat diperlukan. Karena meragukan janji Allah, akan menjadi sebab si hamba menjadi redup iman dan penglihatan mata hatinya, dan memadamkan cahaya jiwanya.”


Apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada manusia tidak perlu diragukan. Hati yang ragu akan membawa akibat rusaknya iman dan lenyapnya cahaya Allah dari hati kita. Oleh sebab itu maka seorang mukmin hendaklah meyakini dengan sepenuh hati bahwa yang telah dijanjikan Allah pasti akan diterima oleh hamba.


Allah adalah Al-Khâliq Yang Maha Kuasa. Allah mengetahui kapan dan bilamana permintaan seorang hamba akan diberikan. Seorang hamba berhadapan dengan janji Allah wajib bersifat tenang dan istiqamah, artinya tidak selalu bimbang dan ragu, karena perasaan seperti ini menunjukkan kelemahan iman.


Dinasihatkan bahwa hidup ini ibarat kapal berlayar. Layarkanlah kapal kita di atas lautan kehidupan dengan jiwa pasrah dan memohon perlindungan Allah. Ketika angin bertiup lembut, kapal berlayar dengan tenang dan laju, janganlah kita hanyut dalam kegembiraan dan lupa daratan. Ketika angin berhembus kencang, badai memukul layar hingga sobek, ombak dan gelombang laut membocorkan kapal, maka janganlah kita tenggelam dalam kesusahan lalu berputus asa. Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. mengatakan:


Semoga jalan keluar terbuka, semoga
Kita bisa mengobati jiwa kita dengan doa
Janganlah engkau berputus asa manakala
Kecemasan yang menggenggam jiwa menimpa
Saat paling dekat dengan jalan keluar adalah
Ketika telah terbentur pada putus asa


Ketulusan, prasangka baik pada Ilahi, percaya penuh pada-Nya, istiqamah, serta keyakinan tentang kebenaran janji-janji-Nya merupakan kunci-kunci perkenan-Nya. Prasangka baik (husnuzh zhan) kepada Allah bisa dikarenakan kebaikan sifat-sifat-Nya atau karena nikmat dan rahmat yang telah kita terima selama ini. Jangankan seorang mukmin yang tulus, Iblis pun doanya dikabulkan Allah ketika dia memohon untuk dipanjangkan usianya hingga hari kebangkitan, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an.


Iblis menjawab, “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.”
Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.”

(QS al-A‘râf [7]: 14-15)

Rasulullah saw. juga bersabda:


يُسْتَجَابُ ِلأَحَدِكُمْ مَالَمْ يَعْجَلْ، يَقُوْلُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِيْ

Pasti diterima doa tiap orang, selama ia tidak keburu, yaitu berkata, “Aku telah berdoa tapi tidak diterima.” (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun di antara tata cara berdoa selain membaca kalimat hamdalah adalah bershalawat kepada Rasulullah Muhammad saw. dan menutup doa dengan kalimat:


سُبْحٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلاَمٌ عَلَى ٱلْمُرْسَلِيْنَ. وَٱلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعٰٰـلَمِيْنَ

Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan.
Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul.
Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.
(QS ash-Shaâffât [37]: 180-182)

Adab berdoa juga dijelaskan dalam firman Allah yang terjemahnya,

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampau batas.” (QS al-A‘râf [7]: 55)

Dengan demikian, dalam berdoa disyaratkan bahwa kita harus mempunyai adab yang bagus dan indah.


Adab yang bagus dan indah itu adalah kelembutan kita ketika menyampaikan dan mengucapkan permintaan, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Halus, Maha Lembut, lagi Maha Mengetahui hal-hal yang sangat dalam dan tersembuyi (Allâhu Lathîfun Khabîr).


Adab yang bagus dan indah itu adalah sopan santun yang bergerak dalam hati kita (konsentrasi jiwa). Adalah sangat tidak sopan apabila kita memohon kepada Al-Khâliq, namun hati kita kosong dan tidak hadir dalam pertemuan dengan Allah.


إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَسْـتَجِيْبُ دُعَاءَ عَبْـدٍ مِنْ قَلْبٍ لاَهٍ

Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa seorang hamba yang lalai hatinya. (HR Thabrani)


Adab yang bagus dan indah itu adalah bersungguh-sungguh dalam berdoa. Kita tidak boleh berdoa, “Ya Allah, kabulkanlah doa hamba, jika Engkau berkenan.” Hal ini menunjukkan kita tidak serius dan menganggap doa cuma sebuah permainan. Dari Anas ra., Rasulullah bersabda:


إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْـئَلَةَ وَلاَ يَقُوْلَنَّ: اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ. فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ

Jika seseorang berdoa, harus minta dengan sungguh-sungguh. Janganlah berkata, “Ya Allah, jika Engkau berkenan maka berilah hamba.” Sesungguhnya Allah tidak dapat dipaksa. (HR Bukhari dan Muslim)


Seseorang bertanya pada Imam Ja‘far ash-Shadiq,


“Apa salah saya? Saya selalu berdoa, tetapi tidak juga dikabulkan.”
“Karena kamu berdoa kepada Tuhan yang tidak kamu ketahui,” jawab Ja‘far ash-Shadiq.

Seorang hamba yang berbudi pekerti baik dalam berdoa, juga tidak akan memaksa Allah dalam doanya. Ia menyerahkan seluruh permohonan kepada Allah semata, karena Allah-lah yang memberi dan mengatur pemberian-Nya untuk para hamba.


Seorang ulama, Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Manshur pernah ditanya,


“Mengapa doa kita tidak dikabulkan padahal Allah berfirman yang terjemahnya, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagimu’ (QS al-Mu’min [40]: 60) ?”

“Karena hati kalian sudah mati,” jawab Ibrahim bin Adham.
”Apa yang telah mematikannya?”

Ia menjelaskan bahwa ada delapan hal yang menyebabkan matinya hati kita, yaitu:

  1. Mengetahui hak Allah tetapi tidak melaksanakan hak-Nya.
  2. Membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengamalkan hukum-hukumnya.
  3. Berkata, “Kami cinta kepada Rasulullah,” tetapi tidak mengamalkan sunnah beliau.
  4. Mengucapkan, “Kami takut mati,” tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
  5. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu)” (QS Fâthir [35]: 6), tetapi kita menyetujui mereka dalam hal kemaksiatan.
  6. Mengatakan, “Kami takut neraka,” tapi malah mencampakkan tubuh ke dalamnya
  7. Berkata, “Kami cinta surga,” tapi tidak berusaha meraihnya
  8. Kita melemparkan aib-aib sendiri di belakang punggung, namun menggelar aib-aib orang lain di depan kita.

Daftar Pustaka :

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414


Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (9 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (11 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, August 20, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (9 of 12)

Telah dinasihatkan kepada kita, “Bersyukurlah atas yang sedikit agar engkau pandai mensyukuri yang banyak. Demikian juga, bersyukurlah atas yang kecil, agar Yang Maha Besar menerima syukurmu sebagai pujian.”

Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa yang tidak mengetahui begitu berharganya nikmat ketika kenikmatan itu besertanya, maka ia akan menyadari betapa berartinya nikmat itu setelah pergi meninggalkannya.”

As-Saqaty menerangkan, “Siapa yang tidak dapat menghargai nikmat, maka akan dicabutlah nikmat itu oleh Allah dalam keadaan tidak diketahuinya.”

Al-Fudhail mengingatkan, “Tetaplah kamu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Sebab, apabila nikmat itu telah hilang, tidak mungkin ia kembali. Sesungguhnya hanya orang-orang yang haus akan nikmat Allah sajalah yang lebih mengetahui akan nikmat yang ada di tangannya.” Seperti dikisahkan, hanya orang haus sajalah yang memahami nikmat air, hanya orang lapar sajalah yang mengetahui nikmat makan, serta hanya orang sakit yang memahami nikmat sehat.

Menurut asy-Syibli, yang dimaksud syukur adalah memperhatikan Dzat Yang memberi kenikmatan, bukan pada kenikmatan-Nya. Misalnya kita diberi hadiah oleh Presiden, ternyata kita malah sibuk dengan hadiahnya dan tidak memedulikan Presiden, sang pemberi hadiah. Bukankah hal itu sungguh aneh?

Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur terdiri atas ilmu, hâl (kondisi spiritual) dan amal perbuatan.
  • Ilmu
    Mengetahui tiga hal, yaitu nikmat itu sendiri, segi keberadaannya sebagai nikmat baginya dan Dzat yang memberikan nikmat serta sifat-sifat-Nya. Maka, syukur dapat terlaksana apabila menyadari adanya nikmat, Pemberi nikmat dan penerima nikmat.

  • Hâl (kondisi spiritual)
    Kegembiraan kepada Pemberi nikmat (Allah) yang disertai kepatuhan dan tawadhu‘.

  • Amal perbuatan
    Ungkapan kegembiraan atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah, Sang Pemberi Nikmat, kepadanya. Amal perbuatan ini mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota badan


Ibnu Athaillah menerangkan, “Kapan saja kalian diberi (kenikmatan), kalian bergembira dengan pemberian itu. Ketika kalian mendapat penolakan, kalian merasa sedih karena ditolak. Ketahuilah, sifat seperti itu menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang masih melekat padamu, dan tidak sungguh-sungguh engkau menghambakan diri kepada Allah.”


Sifat kekanak-kanakan adalah sifat tidak bersyukur dan merasa tidak pernah menerima, walaupun kita sudah banyak mendapat kenikmatan dari Allah. Tanpa diminta pun, Allah sudah menyediakan oksigen gratis untuk kita hirup, sinar matahari yang tanpa bayar, hidung bisa mencium bau harum pakaian dan lezatnya masakan, dan masih banyak lagi nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita, yang kalau dihitung niscaya kita tidak akan sanggup. Yang paling besar dan utama dari semua nikmat Allah adalah nikmat iman dan Islam. Sebagai renungan ringan, tidakkah kita perhatikan bagaimana orang-orang yang sedang sakit harus membeli oksigen untuk membantu pernafasannya?


Nabi Daud as. pernah berdoa, “Ya Allah, bagaimana hamba bersyukur kepada-Mu, sedangkan bersyukur itu sendiri adalah karunia dari-Mu?” Allah SWT menurunkan wahyu kepada beliau, “Dengan pengakuanmu itu, engkau telah bersyukur kepada-Ku.”


Menurut satu pendapat, yang dimaksud syâkir (orang yang bersyukur) adalah orang yang mensyukuri sesuatu yang ada. Sedangkan yang dimaksud dengan syakûr (orang yang ahli bersyukur) adalah orang yang mensyukuri sesuatu yang tidak ada. Berdasarkan pendapat yang lain, syâkir adalah orang yang mensyukuri pemberian atau kemurahan, sedang syakûr adalah orang yang mensyukuri penolakan atau penangguhan.


Allah adalah Asy-Syakûr (Yang Maha Menerima Syukur). Abu Hamid al-Ghazali mengartikan Asy-Syakûr sebagai: “Dia yang memberi balasan banyak terhadap pelaku kebaikan atau ketaatan yang sedikit. Dia menganugerahkan kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amalan-amalan yang terhitung dengan hari-hari tertentu yang terbatas.”


Selain pujian dan bersyukur kepada-Nya, dalam berdoa, kita harus yakin bahwa doa kita pasti dikabulkan oleh Allah. Menurut Imam Ghazali, Al-Mujîb adalah yang menyambut permintaan para peminta dengan memberinya bantuan, doa yang berdoa dengan mengabulkannya, permohonan yang terpaksa dengan kecukupan, bahkan memberi sebelum diminta dan melimpahkan anugerah sebelum memohon. Ini dapat dilakukan oleh Allah karena hanya Beliau-lah yang mengetahui kebutuhan dan hajat setiap makhluk sebelum permohonan mereka.


Di buku “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab menjelaskan tentang firman Allah yang berkenaan dengan doa, yaitu,


وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْـتَجِيْـبُوْالِيْ وَٱلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku, (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku perkenankan doa seorang yang berdoa apabila dia berdoa, maka hendaklah dia memperkenankan (panggilan)-Ku dan percaya pada-Ku” (QS al-Baqarah [2]: 186)


Di ayat ini, di samping menegaskan perkenan Allah, juga mengisyaratkan cara berdoa serta syaratnya. Dalam terjemahan di atas, kata “(jawablah)” tidak ada di teks ayat. Itu dicantumkan dalam terjemahan hanya untuk memudahkan pengertian kita. Kata itu sengaja Tuhan tiadakan, tidak seperti jawaban-jawaban-Nya atas pertanyaan-pertanyaan yang lain, yang selalu dibarengi dengan kata “qul” (jawablah). Kata ”(jawablah)” ditiadakan dari teks ayat untuk mengisyaratkan bahwa kita dapat langsung berdoa kepada-Nya. Para ulama mengemukakan bahwa Allah tidak berfirman, “Katakan kepada mereka Aku dekat,” sehingga terasa jauh antara yang diminta dan yang meminta. Tetapi Allah berfirman, “Aku dekat”.


Wahai Yang Satu! Aku berserah diri pada-Mu
Hamba ini adalah dari-Mu dan dia papa
Jika Engkau pelihara kedua mataku dari melihat-Mu
Maka telah kusediakan hati ini sebagai rumah-Mu
Jika meminta-minta itu suatu kehinaan
Tetapi meminta pada-Mu adalah kemuliaanku
(doa oleh ‘Aidh al-Qarni)

Kalimat “seorang yang berdoa apabila dia berdoa” menunjukkan bahwa boleh jadi ada seseorang yang bermohon kepada-Nya tetapi dia belum lagi dinilai-Nya berdoa. Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa yang pertama dan utama dituntut dari setiap yang berdoa adalah memperkenankan panggilan Allah (melaksanakan ajaran agama).


Karena itu pula ada sebuah hadits Nabi saw. yang menguraikan keadaan seseorang yang menengadah ke langit sambil berseru, “Tuhanku, Tuhanku! (Perkenankan doaku), tetapi makanan yang dimakannya haram, pakaian yang dikenakannya haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?”


Selanjutnya ayat di atas memerintahkan agar percaya kepada-Nya. Ini bukan saja dalam arti mengakui keesaan-Nya, tetapi juga percaya bahwa Beliau (Allah) akan memilih yang terbaik untuk pemohon. Beliau tidak akan menyia-nyiakan doa itu. Boleh jadi Allah sesekali memberi sesuai permintaannya, di kali lain diberi-Nya yang lain dan yang lebih baik dari yang diminta, tetapi tidak jarang pula Allah menolak permintaan namun memberinya sesuatu yang lebih baik di masa mendatang. Kalau tidak di dunia, maka di akhirat kelak.


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006


Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (8 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (10 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, August 13, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (8 of 12)

c. Doa adalah permohonan


Kesulitan hidup yang kita hadapi sudah menjadi suatu hal yang silih berganti, antara kebahagiaan dan kesusahan atau kemudahan dan kesulitan. Abu Muhammad bin Abdullah mengatakan bahwa setiap hamba yang sedang dalam kesulitan harus mengembalikan segala sesuatu yang dialaminya kepada Allah Ta‘ala. Di saat kesulitan dan kesukaran itulah doa seorang hamba diterima oleh Allah.


أَمَّنْ يُجِيْبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَـاهُ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya. (QS an-Naml [27]: 62)

Imam al-Qusyairi berkata, “Doa itu kunci kebutuhan, penghibur orang-orang miskin, perlindungan bagi orang-orang terjepit dan pelega bagi orang-orang yang dikejar kebutuhan.”


Doa merupakan permintaan kita kepada Allah Yang Maha Mengabulkan/Memperkenankan (Al-Mujîb). Sayangnya, kita sering meminta kepada Allah secara biasa-biasa saja, sehingga tak layak disebut sebagai permohonan makhluk kepada Penciptanya.


Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa ketika kita berdoa, maka doa harus diawali dengan pujian kepada Allah, misalnya dengan kalimat alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn.


كُلُّ أَمْرٍ ذِى بَالٍ لاَيُبْدَأُ فِيْهِ بِحَمْدُ للهِ أَقْطَعُ

Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah, maka perkara itu terputus (sedikit berkahnya). (HR Ibnu Majah, Baihaqi, Nasa'i, Daruquthni, Ibnu Hibban)


Kalimat termulia sesudah lâ ilâha illallâh (tiada tuhan yang wajib disembah melainkan Allah) adalah alhamdulillâh. Rasulullah bersabda:


الْحَمْدُ ِللهِ تَمْلَأُ الْمِيْزَانَ

Alhamdulillâh memenuhi mizan. (HR Muslim)

الْحَمْدُ ِللهِ مِلْءُ الْمِيْزَانِ

Alhamdulillâh sepenuh mizan. (HR Ja‘far al-Faryabi)

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Nikmat yang diterima oleh seorang hamba, lalu mengucapkan alhamdu lillâhi Rabbil ‘âlamîn, maka nilai pujian itu jauh lebih besar maknanya dari nikmat yang diberikan Allah kepadanya.”


Beberapa orang bertanya kepada seorang ulama,


“Apakah alhamdulillâh itu sebagai pujian atau sebagai doa?”
“Jika engkau hendak memuji Allah, ucapkanlah alhamdulillâh, jika engkau hendak bersyukur kepada Allah, ucapkanlah alhamdulillâh dan jika engkau berdoa, ucapkanlah alhamdulillâh,” jawab sang ulama.

أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ ِللهِ

Seutama-utama doa adalah alhamdulillâh. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Allah adalah Al-Hamîd (Yang Maha Terpuji). Allah terpuji oleh diri-Nya sejak azali dan terpuji pula oleh makhluk-makhluknya secara terus-menerus.


Allah terpuji karena sifat-sifat-Nya, juga terpuji karena perbuatan-Nya, sebab perbuatan Allah semuanya baik.


Allah menyukai pujian dan tidak ada yang paling suka untuk dipuji selain-Nya. Pujian yang dilakukan setiap anggota badan berlainan satu dengan lainnya.


Puji kalbu adalah pengakuan penghambaan diri kepada-Nya. Puji dengan hati berarti memaklumi bahwa yang memberikan nikmat, mengambilnya, menolak untuk memberi, menghidupkan dan mematikan adalah Allah.


Puji mata mengandung makna menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan dan mempergunakannya untuk melihat serta memikirkan hal-hal yang mulia.


Puji lisan adalah dengan mengucapkan kata-kata sanjungan yang baik kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Melimpahkan Rahmat.


Puji tangan adalah dengan mencegahnya melakukan maksiat dan mempergunakannya untuk melakukan ketaatan.


Kalimat alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn juga mengandung maksud bahwa atas semua karunia-Nya kepada kita, bahkan tanpa kita minta, maka rasa syukur harus terlebih dulu ada dalam diri kita.


لَئِنْ شَكَـْرتُمْ َلأَزِيْدَنَّكُمْ

Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku). (QS Ibrâhîm [14]: 7)


Bersyukur berarti kita mengakui semua karunia Allah, yang kalau dihitung niscaya kita tidak akan mampu.


Bersyukur adalah ikrar bahwa kita akan menggunakan semua nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya.


Bersyukur mengandung maksud kita berbaik sangka (husnuzh zhan) kepada-Nya, bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas izin-Nya, dan sesuatu itu pasti memuliakan kita, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Memuliakan (Al-Mu‘izz) dan Maha Meninggikan (Ar-Râfi‘).


Bersyukur berarti kita tabah dan ikhlas atas apa pun yang menimpa kita, karena Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan sesuatu di luar kemampuan sang hamba.


Bersyukur adalah keyakinan bahwa kita selalu berada dalam curahan rahmat dan kasih sayang-Nya; bahwa Allah tidak akan membiarkan kita sendirian.


Bersyukur merupakan tanda kebesaran jiwa, kesungguhan iman dan keagungan Islam yang bertahta dalam jiwa.


Bersyukur menunjukkan kepercayaan kita kepada Allah bahwa Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita, seperti yang telah dijanjikan dalam Al-Qur’an al-Karim.


Bersyukur adalah jalan mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan dalam hidup.


Bersyukur termasuk kewajiban manusia, karena manusialah yang paling banyak menerima anugerah nikmat dari Ilahi.


رَبِّ أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْـكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْ أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰـهُ وَأَصْلِحْ ِليْ ِفيْ ذُرِّيَتِيْصلىإِنِّيْ تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Ya Tuhanku, perkenankanlah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan atasku dan atas kedua orang tuaku, dan bahwasanya aku hendak beramal shaleh yang Engkau ridhai, dan berilah kebaikan untukku dan untuk keturunanku, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan sesungguhnya aku dari (golongan) orang-orang yang telah menyerahkan diri (mengabdi kepada-Mu). (QS al-Ahqâf [46]: 15)


Seorang penyair mengatakan:


Air, roti dan naungan konon
adalah nikmat yang paling besar
Aku mengingkari nikmat Rabb-ku
jika aku berkata itu sedikit saja


Daftar Pustaka :

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414

Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (7 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (9 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, August 6, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (7 of 12)

Jika kita menginginkan dan merencanakan sesuatu, misalnya kita ingin mempunyai mobil dengan spesifikasi yang kita sebutkan; maka energi diri kita akan memancar untuk menarik energi-energi pendukung di seluruh galaksi. Memang, energi dari kita juga harus kuat supaya energi pendukungnya juga kuat. Namun, bila tidak sebesar seharusnya, impian kita tetap terwujud hanya saja mobilnya tidak sebagus yang kita inginkan. Secara teknis, caranya bisa saja karena kita termotivasi sehingga kerja kita bagus kemudian dapat bonus, kita mendapat undian dari sebuah perusahaan sabun cuci, dagangan kita laku keras, bisnis kita lebih lancar atau hal-hal lain yang tetap sesuai hukum alam.


Sayangnya, mereka hanya mengandalkan akal semata. Bahkan mereka membandingkan Tuhan dengan energi. Secara tersirat mereka sebenarnya telah mengatakan bahwa energi itulah Tuhan. Perlu penulis sampaikan di sini perbandingan yang mereka lakukan dan bagaimana menyikapinya. Tujuannya bila ada di antara kita yang menonton filmnya, “The Secret” atau membaca buku yang menjelaskan tentang “Hukum Tarik-Menarik”, kita sudah mengetahui kunci untuk tetap dalam iman.

Mereka mengatakan bahwa Tuhan itu yang pertama ada dan tidak pernah berakhir. Energi juga sama karena energilah yang terlebih dahulu ada di alam semesta ini dan tidak bisa hilang. Tuhan akan seperti prasangka manusia; jika manusia berprasangka baik kepada-Nya, maka Tuhan pun akan mewujudkan kebaikan bagi manusia; sebaliknya, apabila manusia berprasangka buruk kepada Tuhan, maka Tuhan pun akan menjadikan hari-harinya tidak baik. Energi juga mempunyai sifat yang sama sebagaimana contoh di atas. Tuhan tidak bisa musnah, namun Tuhan bisa berubah wujud. Energi pun tidak bisa musnah, hanya berubah wujud, misalnya dari energi gerak menjadi energi panas dan lainnya.

Coba kita perhatikan pernyataan mereka tentang Tuhan dan abaikan tentang energi. Pernyataan terakhir, “Tuhan tidak bisa musnah, namun Tuhan bisa berubah wujud” jelas tidak ada dalam Islam. Mungkin agama yang mereka kenal adalah agama yang mempunyai Tuhan terbilang, atau yang Tuhannya berubah wujud—suatu saat jadi anak, di saat lain jadi bapak dan sebagainya.

Andaikan saja mereka mengenal Islam, agama tauhid, bertuhankan Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Al-Ahad), tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan yang pasti tidak pernah berubah wujud. Alhamdulillâh, puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Beliau Yang Maha Memberi Petunjuk (Al-Hâdiy), karena telah memberi hidayah kepada kita sehingga kita mendapat cahaya keimanan.

Semoga Allah senantiasa menjaga keimanan dan keislaman kita hingga kita berjumpa dengan Beliau di surga yang telah dijanjikan; tempat yang keindahannya belum pernah terlihat mata, kedamaiannya belum terdengar oleh telinga dan kenikmatannya tak pernah terbetik dalam hati, amin.

Rasulullah juga mengajarkan sebuah doa yang visi dan misinya sangat agung, yang kita kenal dengan doa sapu jagad. Doa itu berbunyi:

رَبَّنَاۤ ءَاتِنَا فىِ ٱلدُّنْياَ حَسَـنَةً وَفىِ ٱْلآخِرَةِ حَسَـنَةً وَقِنَا عَـذَابَ ٱلنَّارِ
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. (QS al-Baqarah [2]: 201)

Doa ini mengumpulkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Kebaikan dunia adalah setiap perkara yang disenangi. Kebaikan yang diharap itu berupa kesehatan, rasa aman, hidup enak, kesehatan jiwa, anak-anak yang shaleh dan berbakti, istri yang shalihah dan setia, rumah yang layak, ilmu yang bermanfaat, amal shaleh, kendaraan yang nyaman dan nama baik. Ini semua disetai dengan terhindarnya diri dari segala sesuatu yang tidak diinginkan seperti fitnah, musibah, sakit, akhlak tercela, lemah iman, jarang memikirkan Allah, anak durhaka, istri yang tidak setia, tetangga yang tidak baik, kesulitan hidup, beban hutang dan reputasi buruk.

Kebaikan dunia sangat banyak, sedangkan kebaikan akhirat yang paling tinggi adalah keberhasilan menggapai ridha Allah, memasuki surga-Nya, melihat-Nya yang telah lama dirindukan, bersahabat dengan para nabi dan rasul serta hamba-hamba Allah yang shaleh di dalam kampung kemuliaan-Nya. Juga kebaikan itu berupa keselamatan dari siksa neraka serta segala kekejian yang ada di dalamnya.

Demikianlah doa ini mencakup segalanya. Namun, janganlah kita lupa, bahwa itu semua harus disertai dengan tindakan yang mendekatkan diri kita untuk mencapainya. Berarti kita harus bekerja keras untuk bisa bahagia di dunia, serta bersungguh-sungguh dalam beribadah (mujâhadah) untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Kita juga harus terus menuntut ilmu tak kenal henti sampai ajal menjemput kita. Kita sudah diajari bahwa siapa yang menginginkan kebahagiaan di dunia, maka raihlah dengan ilmu; siapa yang menginginkan kebahagiaan di akhirat, maka raihlah dengan ilmu; dan siapa yang menginginkan kebahagiaan di dunia serta akhirat, maka raihlah dengan ilmu. Marilah kita haturkan doa sebagaimana ‘Aidh al-Qarni memanjatkan doanya:

Para raja, jika hamba sahaya telah menjadi dewasa
Mereka membebaskannya sebagai orang merdeka
Dan Engkau wahai Penciptaku lebih utama dan mulia
Aku lanjut usia dalam penghambaan ini
Maka bebaskan hamba-Mu dari neraka


Daftar Pustaka :
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Rhonda Byrne, “Rahasia (The Secret)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kelima : Juni 2007


  • Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (6 of 12)
    Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (8 of 12)
    #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#