Mencari Data di Blog Ini :

Friday, September 30, 2011

Muhasabah Jilid 2

Alhamdulillâh, posting-posting yang ada telah penulis ubah dalam format pdf, baik setiap artikel, setiap bab bahkan menjadi sebuah ebook yang berisi semua tulisan. Ebook tersebut penulis beri judul:


Muhâsabah
Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!


Ebook tersebut bisa diunduh (download) di:

atau


atau klik hyperlink di sebelah kiri, dengan tulisan "DOWNLOAD Ebook Muhasabah 1
".


Sebagai kelanjutan, dengan memohon pertolongan Allah SWT, penulis akan menyambung artikel bernafaskan muhasabah yang nantinya juga akan penulis kumpulkan dalam sebuah ebook bila telah cukup banyak. Adapun judul kumpulan artikel mendatang adalah:


Muhâsabah Jilid 2
Melihat, Memahami dan Mengevaluasi Kondisi Diri



Semoga Allah SWT senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita semua sehingga kita selalu berada di jalan-Nya. Amin.

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 23, 2011

Yakin Kepada Allah (2 of 2)

Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). (QS ath-Thalâq [65]: 3)
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. (QS Âli ‘Imrân [3]: 173)

Allah adalah Al-Hasîb (Yang Maha Mencukupi). Imam al-Ghazali menguraikan bahwa Al-Hasîb bermakna, “Dia yang mencukupi siapa yang mengandalkannya.”

Sifat ini tidak dapat disandang kecuali oleh Allah sendiri, karena hanya Allah yang dapat mencukupi, juga diandalkan oleh setiap makhluk. Allah sendiri yang dapat mencukupi semua makhluk, mewujudkan kebutuhan mereka, melanggengkan bahkan menyempurnakannya.

“Jangan duga Anda membutuhkan makanan, minuman, bumi, langit atau matahari, itu berarti Anda membutuhkan selain-Nya. Pada hakikatnya, Dialah Yang Maha Mencukupi itu semua, Yang menciptakan makanan, minuman, bumi, langit dan semuanya,” pesan al-Ghazali.

Jika kita meyakini bahwa Allah adalah Hasîb bagi diri kita, maka kita akan selalu merasa tentram, tidak terusik oleh gangguan dan tidak kecewa oleh kehilangan materi atau kesempatan, karena selalu merasa cukup dengan Al-Hasîb.

Allah adalah Al-Wakîl (Yang Maha Mewakili/Pemelihara). Allah-lah Wakîl yang paling dapat diandalkan karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Menjadikan Allah sebagai Wakîl mengandung maksud menyerahkan kepada-Nya segala persoalan, tentunya setelah usaha penuh kesungguhan.
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Setiap saat Dia (Allah) dalam kesibukan. (QS ar-Rahmân [55]: 29)

Allah menurunkan rezeki, menumbuhkan biji tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, memelihara yang ada di darat—laut—udara, menggiring awan, menjalankan angin dan menurunkan hujan.

Allah memberi balasan bagi yang melanggar, menolong orang yang berwali pada-Nya, memelihara yang shaleh, menolong orang susah, membela orang-orang teraniaya, menolong yang miskin, mengasihi yang telah mati, menyembuhkan yang tertimpa musibah, dan mengabulkan yang berdoa.

Allah mengentaskan bencana serta malapetaka, melenyapkan nestapa, menghilangkan resah dan mengampuni dosa.

Allah mengukuhkan janji dan melonggarkannya, mendahulukan dan mengakhirkan, memberi pahala bagi yang taat, menyantuni orang yang khilaf, memaafkan yang salah, menutupi yang berdosa, memberi tangguh (untuk bertaubat) bagi siapa pun yang berbuat maksiat, dan menghancurkan kebatilan serta membela yang benar.

Allah mengetahui segala yang dirahasiakan dari pandangan mata dan tersimpan dalam hati. Allah menyelamatkan dari bahaya, melepaskan belenggu, memberikan penjagaan dari kehancuran, memberikan petunjuk dari kesesatan, memberikan penglihatan, dan Allah memberikan jalan bagi yang kebingungan.

Agar selalu mempunyai keyakinan bahwa cukuplah bagi kita dengan kehadiran-Nya, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلىٰ وَنِعْمَ النَّصِيْرُ
Cukuplah Allah Pelindung kami, Dia sebaik-baik Wakîl yang kami dambakan, dan Dia sebaik-baik Penolong yang kami harapkan.
Daftar Pustaka:
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Yakin Kepada Allah (1 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 16, 2011

Yakin Kepada Allah (1 of 2)

Setelah semua pembahasan, sudah sepantasnya kita yakin sepenuh hati kepada Allah, sebagaimana huruf terakhir kata takwa dalam bahasa Arab, yaitu ya’ (yaqîn).

Ahmad bin Ashim al-Anthaki menegaskan, “Sesungguhnya paling sedikit yakin apabila sudah sampai ke lubuk hati, maka hati akan penuh dengan cahaya, keragu-raguan akan hilang, hati akan penuh dengan syukur, dan takut kepada Allah SWT akan bertambah.”

Menurut al-Junaid, yang dimaksud dengan yakin adalah hilangnya keragu-raguan di hadapan Allah. Dzun Nun al-Mishri mengungkapkan:

tak ada kehidupan yang sejati
kecuali dengan kekuatan hati mereka
yang selalu merindukan takwa dan menyukai dzikir
ketenangan telah merasuk ke dalam jiwa yakin
dan baik sebagaimana bayi yang masih menetek
telah merasuk ke dalam pangkuan

Dalam keseharian, sebaiknya kita menyediakan waktu untuk sendiri, merenung tentang hidup dan kehidupan, juga tentang masa depan kita di alam kubur dan akhirat nanti. Apabila kita duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan hidup dan haru hati telah dapat teratasi, terdengarlah suara hati, yang mengajak kita untuk berdialog dan mendekat kepada Al-Haqq.

Suara itu akan mengantar kita menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, serta betapa kuasa dan perkasa Allah Yang Maha Agung. Suara yang kita dengarkan itu adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali karena kesibukan dan dosa—ia terabaikan, sehingga suaranya begitu lemah, lalu tak terdengar lagi. Tetapi, bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata. Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya.

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Tiada daya untuk memperoleh manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudharat, kecuali bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Dengan demikian tidak ada lagi rasa takut yang menghantui, rasa gelisah yang mencengkeram dan tiada pula rasa sedih yang mencekam. Marilah kita hadapkan diri kita pada-Nya, dan mempersembahkan semua hal untuk-Nya.

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (diriku) kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS al-An‘âm [6]: 79)

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An‘âm [6]: 162)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (QS al-Anfâl [8]: 2)

Rasulullah mengajarkan agar kita bertawakkal sepenuh hati kepada Allah, tentunya setelah usaha yang sungguh-sungguh. Seekor burung saja diberi rezeki oleh Yang Maha Pemberi Rezeki karena tawakkalnya, apalagi kita, makhluk yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini.

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
Andaikata kamu bertawakal (berserah diri) kepada Allah dengan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan memberi rezeki kepadamu sebagaimana burung yang keluar pagi dengan perut kosong (lapar) dan kembali senja hari sudah kenyang. (HR Tirmidzi)

Daftar Pustaka:
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Tulisan ini berlanjut ke : Yakin Kepada Allah (2 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 9, 2011

Menjual Ayat-Ayat Allah? Na‘ûdzubillâh (2 of 2)

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’-nya memberi nasihat bahwa hendaknya tujuan menuntut ilmu di dunia ini adalah untuk menghiasi dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Tujuan menuntut ilmu hendaknya tidak untuk mencari kekuasaan, harta dan pangkat. Tidak juga untuk mendebat orang-orang bodoh atau membanggakan diri di hadapan teman-teman.

Seorang penyair, Abul Aswad ad-Duali dalam bait syairnya berpesan kepada kita:

Wahai orang yang mengajar sesamanya
Ajarilah dirimu terlebih dahulu, dan inilah pengajaran yang benar
Engkau berikan obat kepada yang sakit agar dia sembuh
Sedang dirimu menderita
Mulailah dengan diri sendiri dan cegahlah dia dari angkara murka
Jika engkau telah melakukannya, maka engkau akan menjadi arif


Di buku “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, ‘Aidh al-Qarni mengisahkan tentang seorang hamba shaleh sekaligus dai. Suatu hari seorang budak sahaya datang kepadanya dan berkata,

“Aku ingin agar dirimu berkhutbah tentang pembebasan budak. Dengannya, aku berharap agar Tuanku memerdekakan aku.”

Selama beberapa Jum’at, dai itu pun berkhutbah tentang pembebasan budak dan mengajak manusia untuk memerdekakan budak. Ternyata, harapan si sahaya tak terpenuhi. Ia belum dimerdekakan oleh tuannya. Si hamba sahaya bertanya kepada sang dai,

“Engkau telah berkhutbah pada setiap Jum’at, tetapi Tuanku tak kunjung membebaskan aku.”

“Tunggulah beberapa waktu!” jawab sang dai.

Sang dai pergi untuk mengumpulkan harta dan membeli beberapa orang budak untuk dimerdekakan demi mengharap ridha Allah. Kemudian ia kembali berkhutbah untuk menyampaikan nasihat tentang memerdekakan budak.

Ketika orang-orang keluar dari masjid, si tuan mendatangi hamba sahayanya—budak sahaya yang minta tolong kepada sang dai—dan memerdekakannya. Seseorang bertanya kepada si tuan itu,

“Kenapa engkau baru memerdekakan hamba sahayamu hari ini, padahal orang alim itu telah lama berbicara tentang pembebasan budak?”

“Demi Allah, baru hari ini khutbah orang alim itu masuk dalam hatiku,” jawab si tuan.

Cerita ini menunjukkan bahwa perbuatan yang sesuai dengan ucapan akan membawa dampak yang amat berpengaruh. Seorang dai wajib terus-menerus melakukan introspeksi diri (muhâsabah) hingga perkataan yang diucapkan selaras dengan perbuatannya.

Tidakkah kita merasa malu kepada Allah apabila kita menyuruh orang lain berbuat baik sedang kita sendiri tidak melaksanakannya? Apakah kita ingin seperti lilin, yang memberi penerangan pada orang dan menghanguskan diri sendiri (nanti di neraka)? Sungguh, itu tidak akan mendatangkan manfaat sedikit pun di hari Kiamat.

مَثَلُ الَّذِىْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْئُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ
Perumpamaan orang yang mengajar kebaikan kepada manusia sedang ia melupakan dirinya, seperti lilin yang memberikan penerangan kepada manusia sedang ia membakar dirinya. (HR Thabrani)

Menghapal isi buku atau kitab, mengumpulkan berbagai ilmu serta menyampaikan ceramah dengan lantang adalah pekerjaan mudah dan banyak yang bisa melakukannya. Tetapi, mengaplikasikan ajaran-ajarannya dan sungguh-sungguh dalam mengamalkan ilmu adalah perkara yang berat, sulit dan melelahkan. Pekerjaan terbesar seorang pendakwah adalah bagaimana ia menjadi pelita yang terang melalui perbuatan, kejujuran, keikhlasan dan akhlak. Ibnu Rumi berkata:

Di antara keanehan zaman adalah
Engkau menginginkan orang lain sopan
Tapi engkau sendiri bertindak tidak sopan

Daftar Pustaka:
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Menjual Ayat-Ayat Allah? Na‘ûdzubillâh (1 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 2, 2011

Menjual Ayat-Ayat Allah? Na‘ûdzubillâh (1 of 2)

Allah SWT mengingatkan kita akan hakikat hidup di dunia ini dalam firman-Nya:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS Âli ‘Imrân [3]: 185)

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. (QS al-Hadîd [57]: 20)

Dengan berbagai alasan, saat ini ada dai yang membahas uang saku atau amplop (bisyârah) ketika ceramah. Ada yang minta dinaikkan karena kebutuhan hidup naik, ada yang minta ditambah karena tiap tahun kok tidak berubah, ada yang beralasan bahwa dai bukanlah malaikat dan berbagai dalih lainnya. Bukankah kurang elok disampaikan di depan umum? Tidakkah ceramah itu harusnya berisi nasihat-nasihat bijak? Memang, jumlah dai seperti ini sangat sedikit. Namun, mengapa hal ini menjadi salah satu bahan perbincangan di masyarakat? Bukankah hanya sedikit sekali?

Seorang ahli komunikasi mengatakan bahwa yang dimaksud berita adalah sesuatu yang menyimpang (something deviation). Jika di sebuah daerah banyak terjadi kemaksiatan, tetapi ada satu keluarga yang rajin beribadah, itulah berita; karena keluarga yang taat ini menyimpang (berbeda) dari yang umum. Misalkan di sebuah negara terjadi peperangan, namun di sebuah wilayah, penduduknya tetap bisa menikmati hidup dengan bergembira ria, maka inilah yang disebut berita.

Berdasarkan definisi tersebut, berarti kita patut bersyukur, karena yang dibicarakan adalah dai yang tidak baik; berarti sebagian besar adalah dai yang benar-benar memperjuangkan agama Allah, menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Karena kita harus introspeksi diri sendiri terlebih dahulu, maka janganlah menyalahkan sang dai. Jika kita orang yang mengundang dai untuk memberi nasihat, sudah sepantasnyalah kita beramal padanya. Toh, beliau sama saja dengan seorang guru, dosen, praktisi atau pakar yang berbagi ilmu serta wawasan di sebuah seminar atau sarasehan. Bukankah kita juga yakin bahwa amal kita akan dimanfaatkan untuk hal-hal baik? Berarti, semakin banyak semakin baik, dengan harapan bisa menjadi amal jariyah, amin.

Di sisi lain, kalau kita seorang dai, marilah kita ingat lagi firman-firman Allah berikut ini:

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (QS al-Baqarah [2]: 41)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
(QS ash-Shaf [61]: 2-3)

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri? (QS al-Baqarah [2]: 44)

Aidh al-Qarni menerangkan:
Al-birr adalah segala perbuatan baik.
Al-birr adalah penyucian jiwa.
Al-birr adalah kebersihan hati.
Al-birr adalah keshalehan.

Kenapa kita memberi nasihat orang lain sedangkan kita tidak menjalankannya? Kita peringatkan orang lain sedang kita tidak ingat. Kita menganjurkan orang lain untuk berbuat baik sedang kita tidak melakukannya. Kita mencegah orang lain untuk berbuat jahat sedangkan kita melakukannya. Indah kata-kata kita, tetapi buruk perbuatan. Ucapan kita bagus tapi diri sendiri gersang dari kebajikan dan hidayah.

Orang-orang bernaung di bawah sinar nasihat kita yang memukau dan ceramah-ceramah kita yang menarik, sedangkan diri kita sendiri penuh maksiat dan kesalahan.

Kata-kata lantang penuh semangat akan menjadi abu yang diterbangkan angin. Nasihat yang fasih laksana bulu berhamburan. Seorang dokter yang meminum racun di depan pasien, bagaimana akan dipercaya bahwa dia waras?

Peringatan agar semua ilmu ditujukan untuk Allah SWT semata juga disampaikan oleh Rasulullah saw.

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا ِممَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ غَرَضًا مِنَ الدُّنْياَ لمَ ْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَعْنِي رِيْحَهَا

Siapa yang mempelajari suatu ilmu agama yang seharusnya ditujukan untuk Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajari itu untuk Allah, hanya untuk mendapat kedudukan atau kekayaan dunia, maka ia tidak akan mendapat bau surga pada hari Kiamat. (HR Abu Daud)



Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006

  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006


Tulisan ini berlanjut ke : Menjual Ayat-Ayat Allah? Na‘ûdzubillâh (2 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#