Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 25, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (1 of 12)

“Saat ini kita sering membaca doa, tapi sebenarnya kita tidak berdoa. Oleh karena itu, terkabulnya doa kita juga susah, karena memang kita tidak pernah berdoa.” Itulah pesan seorang Ibu Nyai dari Gresik dalam salah satu mau‘izhah (ceramah)-nya.


Ya, memang itulah kenyataan yang terjadi. Jika doa yang akan kita panjatkan berbahasa Arab, maka kita hanya terpaku pada bagaimana membacanya dengan baik dan benar sesuai tajwid, serta lagu yang indah. Sedangkan hati kita amat jauh dari syarat seorang hamba berdoa kepada Tuhannya. Begitu pun jika kita berdoa dalam bahasa Indonesia. Seharusnya kita bisa lebih menghayatinya, namun kita sering tergesa-gesa untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, doa hanyalah sebagai syarat saja, dan hakikatnya memang kita tidak berdoa, tapi membaca doa.


Kita juga sering memandang doa dengan kurang tepat. Kita menganalogikan doa seorang hamba kepada Allah seperti permintaan seorang anak kepada orang tuanya. Apakah berbeda? Ya. Sebelum kita bahas lebih detail tentang hakikat doa, marilah kita perhatikan bagaimana seorang anak meminta sesuatu kepada orang tuanya.


Seorang anak akan malu kalau sering meminta kepada orang tuanya. Ada pula yang merasa diri sudah mandiri, karena itu merasa tidak perlu bahkan tidak pantas kalau masih meminta. Jika ada anak meminta pada orang tua, setelah berkali-kali meminta namun tidak diberi, maka biasanya ada tiga kemungkinan sikap yang akan diambil sang anak.


Sikap pertama, dia jadi tidak bersemangat lagi meminta karena dianggap tidak ada gunanya. Bisa jadi akhirnya dia tidak pernah lagi meminta karena trauma dengan kondisi sebelumnya. Sikap kedua, dia marah pada orang tuanya karena sudah berulang kali meminta namun tidak dikasih juga. Karena marahnya, dia bisa melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang tuanya. Sikap terakhir yaitu masa bodoh. Dia kadang meminta, kadang juga tidak. Kalau meminta, dia juga tidak terlalu berharap akan dikabulkan karena dia tahu bahwa orang tuanya tidak mempunyai sikap yang jelas.


Kedudukan doa tidak bisa disamakan dengan permintaan seorang anak kepada orang tuanya. Oleh karena itu, marilah kita pelajari bersama-sama kedudukan dan hakikat doa. Dengannya, semoga kita menjadi hamba yang ridha dan diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, amin.



a. Doa adalah ibadah


Doa dalam Islam termasuk ibadah. Bacaan-bacaan shalat mengandung banyak sekali doa. Doa juga dibaca saat akan makan dan sesudahnya, sebelum tidur dan setelah bangun, ketika mau masuk kamar kecil dan tatkala keluar darinya, serta masih banyak lagi.


Di kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” terdapat hadits ke-1576 yang menerangkan tentang doa. Dari Nu‘man bin Basyir, Nabi Muhammad saw. bersabda,


إِنَّ الدُّعَـاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Sesungguhnya doa adalah ibadah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Bahkan, doa adalah saripati ibadah (mukh al-‘ibâdah), sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:


الدُّعَـاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ

Doa adalah intisari/saripati/otak ibadah. (HR Tirmidzi)

Dengan demikian, doa bukan hanya permintaan kita kepada Allah, namun perintah kepada umat Islam. Dengannya, kita memenuhi perintah Allah dan rasul-Nya, dan yang pasti berpahala jika mengerjakannya.


Katakanlah! Tuhanku tidak menghiraukan kamu seandainya tidak ada doamu. (QS al-Furqân [25]: 77)


Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku niscaya Kuperkenankan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS al-Mu’min [40]: 60)


Karena doa adalah ibadah, bahkan intisarinya, maka memperbanyak doa berarti memperbanyak ibadah. Semakin banyak berdoa bukanlah berarti kita tidak mandiri, justru Allah akan senang sekali jika kita banyak memohon. Itu menunjukkan kehambaan kita kepada Allah. Jika memang berdoa layaknya permintaan seseorang kepada seseorang yang lain, mengapakah Rasulullah mengajarkan doa untuk setiap hal atau kegiatan? Kenapa di dalam shalat terdapat begitu banyak doa? Bukankah seseorang akan jengah jika terus-menerus dimintai bantuan? Hal ini tidaklah sama dengan Allah Yang Maha Kaya (Al-Ghaniyy).


Memang, kaum sufi rata-rata malu berdoa. Namun, itu hanya doa-doa yang berhubungan dengan hajat keduniaan. Mereka merasa sudah cukup, bersyukur, ridha terhadap apa pun pemberian Allah Yang Maha Pemberi Rejeki (Ar-Razzâq) kepada mereka. Sedangkan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. tetaplah mereka lakukan. Sebagian di antara mereka tetap berdoa, apa pun isi doanya, karena mereka mengetahui bahwa itu diperintahkan—dan itu berarti mereka melakukan ibadah, untuk menjalankan ajaran Rasulullah dan mengabdi kepada Allah Yang Maha Pencipta (Al-Khâliq).


Di antara rasa malu karena takut dianggap tidak bersyukur serta tidak ridha atas karunia yang diterima dan kewajiban berdoa karena diperintahkan, akhirnya diambil jalan tengah oleh para sufi. Jika dalam suatu kondisi, dengan berdoa dirasa lebih utama, maka mereka berdoa. Hal ini tidak menggugurkan maqam ridha. Namun, apabila berada di situasi yang dianggap diam lebih baik, maka mereka berdiam diri, bersyukur dan ridha atas apa pun yang dianugerahkan oleh Allah. Ini berarti, mereka tetaplah berdoa kepada Allah, karena doa adalah ibadah.


Doa adalah cara seorang hamba melahirkan isi hatinya di hadapan Allah, karena si hamba memerlukan Allah dan tahu akan kekurangan serta kelemahannya. Di sini hamba menempatkan dirinya sebagai ‘âbid (penyembah) di hadapan Ma‘bûd (Yang disembah). Si hamba mengadukan persoalannya dan menuturkan ketidakmampuannya.


Ibnu Athaillah berpesan, “Jangan sampai permohonanmu kepada Allah hanya sebagai alat untuk mendapatkan pemberian-Nya, karena perbuatan seperti itu berarti engkau tidak memahami kedudukanmu terhadap-Nya. Bermohonlah dengan melahirkan dirimu sebagai hamba, karena kewajibanmu terhadap Tuhanmu.”


Abu Nasr as-Saraji menuturkan bahwa ia telah menanyakan kepada para Syaikh tentang orang berdoa dengan seluruh penyerahan diri kepada Allah. Mereka menjawab, “Berdoa kepada Allah ada dua maksud. Pertama sebagai hiasan lahiriah si hamba dengan doa yang dikehendakinya, karena doa adalah tanda khidmatnya hamba kepada Tuhannya. Sebab khidmat itu, si hamba berkehendak agar seluruh anggota lahirnya terhias. Kedua, bahwasanya doa itu adalah perintah Allah, dan si hamba menaati perintah itu.” Dalam hal ini ada seorang penyair yang mengatakan:


Jika air Nil tidak lagi mengalir,
aku tidak akan memohonnya dari uluran telapak tangan-Mu,
kalau saja Engkau tidak mengajariku berdoa

Abu Hasan menjelaskan, “Jangan sampai yang menjadi tujuan doamu itu hanya tercapainya permintaan dan hajatmu. Sebab, apabila cara itu yang engkau lakukan, maka terhijablah (terpisah oleh ”tirai” penutup) engkau dengan Allah. Yang benar, jadikanlah doa-doamu itu munajat (bisikan jiwa) antara engkau dengan Tuhanmu.”


Ibnul Qayyim menerangkan:


إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ ذِكْرٌ لِلْمَدْعُوْ سُبْحَانَهُ

Sesungguhnya doa adalah dzikir kepada Yang dimohon, yaitu Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ.

Oleh karena doa adalah ibadah dan doa juga bisa dikategorikan sebagai dzikir untuk mengingat Allah, maka tidak ada alasan untuk malas berdoa, marah karena doa belum dikabulkan, acuh tak acuh terhadap doa dan hal-hal lain yang membuat kita enggan berdoa. Apa pun yang terjadi, doa harus tetap dipanjatkan dengan penuh keyakinan pada Allah Jalla Jalâluh.


Allah senang jika engkau memohon pada-Nya
Sedangkan engkau melihat manusia marah jika ia dipinta
Jangan pernah memohon pada sesama manusia sesuatu pun kebutuhan
Tapi mohonlah pada Yang pintu-Nya tak pernah terhalang
(buah karya ‘Aidh al-Qarni)


Sebagai bukti bahwa Allah senang terhadap para hamba yang memohon kepada-Nya, di dalam Al-Qur’an, Allah memuji sebagian hamba-Nya yang berdoa.


Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‘ kepada Kami. (QS al-Anbiyâ’ [21]: 90)


Di kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” tercantum hadits ke-1578 yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia merafa‘kannya.


لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَـاءِ

Tidak ada satupun (amal hati) yang lebih mulia dalam pandangan Allah dibandingkan doa. (HR Ibnu Hibban dan Hakim)


Daftar Pustaka :

  • A. Hassan, “Tarjamah Bulughul Maram”, Penerbit Diponegoro, Cetakan XXIII, Oktober 1999
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm”
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (2 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 18, 2010

Satu Jasad dan Satu Bangunan

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih, sayang dan kecenderungan jiwa (simpati) seperti perumpamaan jasad/tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, yaitu tidak bisa tidur dan (sakit) demam. (HR Ahmad, Baihaqi, Muslim, Thabrani dan Qudha‘i. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Muslim)


اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Orang mukmin bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (HR Abu Ya‘la, Ahmad, Bukhari, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Muslim, Nasa’i, Thabrani, Tirmidzi dan Qudha‘i )

Di Shahih Bukhari dan Musnad Syihab al-Qudha‘i, untuk hadits terakhir terdapat tambahan:
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.

Kemudian beliau menggabungkan jari-jari tangan beliau.

Mari kita perhatikan peristiwa sehari-hari. Ketika kaki tersandung batu, seluruh bagian tubuh bersimpati dan empati. Otak memerintahkan kaki 'tuk berhenti berjalan, mata berkaca-kaca, lisan membaca istirjâ‘ (innâ lillâhi...), bibir melengkung ke bawah bak busur panah :(, tangan pun turut serta memegang dan memijit dengan penuh telaten. Hebatnya, semua itu terjadi secara otomatis. Begitulah sunnatullah berjalan. Subhânallâh.

Sebuah gedung, betapa pun serasi warna cat yang digunakan serta kokoh pondasi dan tiang pancangnya, namun bila kondisi pintu dan jendela yang ada sangat parah, maka bangunan tersebut tidak mengagumkan. Keadaan seperti ini sangat rapuh terhadap pencurian, juga tidak indah.

Itulah perumpamaan umat Islam, laksana satu jasad atau satu bangunan. Hanya saja, pemahaman ini sangat kita mengerti saat berada di majelis ta'lim, pengajian, pesantren atau masjid. Bagaimana kondisi kita selain di area itu?

Coba kita ingat lagi tingkah laku kita di luar tempat-tempat sakral tersebut. Di jalan raya, apakah kita masih memandang dan memerlakukan pengguna jalan lain sebagai saudara kita? Ketika naik sarana transportasi umum—angkutan kota (angkot/lyn), bus, kereta api atau lainnya—adakah perilaku kita senantiasa santun, ramah dan indah kepada sesama penumpang (saudara kita)?

Di blog, forum atau jejaring sosial, adakah tulisan kita selalu dihiasi kata-kata sarat makna, enak dibaca dan terasa “merdu” di telinga? Ataukah justru menjewer bahkan memerahkan telinga sang lawan diskusi? Penulis pernah juga menerima pertanyaan sekaligus pernyataan seorang teman diskusi yang menurut konvensi umum kurang elok didengar.

Hidup ini antara kita dan Allah. Pertemuan dan perjumpaan dengan orang lain hanyalah sementara. Semua itu rangkaian peristiwa dalam perjalanan menuju Al-Haqq. Oleh karena itu, bagi penulis, apa pun ungkapan yang ditujukan kepada penulis, tak jadi masalah. Apakah kasar, tidak sopan, tanpa tata krama/etika atau apa pun tak jadi soal. Bagi penulis, semua kritik adalah sarana untuk memperbaiki diri.

Namun demikian, jika akan mengajukan pertanyaan/komentar kepada orang lain, hendaknya kita memilih dan memilah kata. Dikuatirkan akan menyinggung lawan bicara. Bukankah sudah tertera di sebuah petuah bijak, “Jikalau pedang lukai tubuh, masihlah ada harapan sembuh. Tapi jika lidah lukai hati, kemana obat hendak dicari?” Bukankah sesama muslim bersaudara? Bukankah kita ibarat satu jasad dan satu bangunan?



Daftar Pustaka:

Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, June 11, 2010

Menghayati Ayat-Ayat Al-Qur’an (2 of 2)

  1. Ta’atstsur, yaitu hati kita terpengaruh dengan beragam kesan sesuai dengan beragam ayat yang kita hayati.

    Wahib bin al-Ward berkata, “Kami memperhatikan hadits-hadits dan nasihat-nasihat, tetapi kami tidak dapati sesuatu yang lebih memperhalus hati dan lebih mudah mendatangkan kesedihan selain dari membaca Al-Qur’an dan menadabburinya.”

    Ia melanjutkan, “Terpengaruhnya seorang hamba dengan bacaan Al-Qur’an adalah dengan menghayati ayat yang dibacanya. Misalnya ketika membaca ancaman dan pembatasan ampunan dengan beberapa syarat, ia merasa lemas karena begitu takutnya seakan-akan nyaris mati. Saat membaca ayat rahmat dan ampunan, ia amat gembira seakan-akan nyaris terbang.”

    “Tatkala disebutkan Allah, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, ia menundukkan kepala seraya meresapi keagungan-Nya. Ketika orang-orang kafir mengatakan sesuatu yang mustahil bagi Allah, seperti perkataan mereka bahwa Allah mempunyai anak dan istri, maka ia merendahkan suaranya, mengingkari dalam batinnya karena sangat malu dengan perkataan mereka yang buruk itu. Saat disebutkan gambaran surga, ia bersemangat dengan batinnya karena sangat rindu kepadanya. Tatkala disebutkan gambaran neraka, tubuhnya bergetar karena sangat takut kepadanya,” terangnya kemudian.

    Seorang qari’ berkata, “Aku membacakan Al-Qur’an kepada seorang guruku. Kemudian aku kembali untuk membacakannya lagi. Ia menegurku seraya berkata, ‘Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai amal perbuatan kepadaku. Pergilah dan bacakanlah kepada Allah! Lihatlah apa yang diperintah dan yang dilarang!’”

    Begitulah kesibukan ahli Al-Qur’an, karena membaca Al-Qur’an dengan benar ialah dengan ikut sertanya lisan, akal dan hati. Tugas lisan adalah membetulkan huruf dengan tartil. Tugas akal adalah menafsirkan maknanya. Tugas hati adalah mengambil pelajaran serta menghayati perintah dan larangan. Jadi, lisan membaca, akal menerjemahkan dan hati mengambil pelajaran.

    “Rasakanlah keagungan Al-Qur’an, sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu,” nasihat Syaikh Muhammad Abduh.

  2. Taraqqi, yaitu meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan Al-Qur’an langsung dari Allah SWT, bukan dari diri kita. Tingkatan membaca Al-Qur’an ada tiga, yaitu:

    · Tingkat terendah, yaitu kita merasakan seolah-olah kita membaca Al-Qur’an kepada Allah, kita membaca di hadapan-Nya; sementara Allah melihat dan mendengarkan. Dengan perasaan seperti ini, kita berada dalam keadaan memohon, merayu, merendahkan diri dan berdoa.

    · Menyaksikan dengan hati seakan-akan Allah melihat kita, berbicara kepada kita dengan berbagai taufik-Nya, membisikkan kepada kita dengan berbagai nikmat dan kebaikan-Nya; sehingga kita berada dalam keadaan malu, ta‘zhîm, menyimak dan memahami.

    · Tingkat tertinggi, seolah-olah melihat Dzat yang berfirman (Mutakallim) pada setiap firman (kalâm) yang kita baca, melihat sifat-sifat-Nya pada kalimat-kalimat yang ada. Dengan begitu, perhatian terfokus hanya kepada Mutakallim, pikiran tertambat kepada-Nya, seakan hanyut dalam menyaksikan Mutakallim sehingga tidak memperhatikan selain-Nya. Ini merupakan tingkatan muqarrabîn (orang-orang yang dekat dengan Allah). Utsman bin Affan dan Hudzaifah ra. berkata, “Apabila hati bersih, niscaya hati itu tidak pernah merasa kenyang (puas) dari membaca Al-Qur’an.” Muhammad Iqbal mengatakan, “Bacalah Al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan kepadamu.”

  3. Tabarri, yaitu melepaskan diri dari daya dan kekuatan, serta tidak memandang diri dengan pandangan ridha dan penyucian.

    Apabila kita membaca ayat-ayat janji dan pujian bagi orang-orang shaleh, maka kita merasa bukan termasuk golongan ini. Dengan begitu, kita akan memperbaiki diri dan berdoa semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang shaleh.

    Jika kita membaca ayat-ayat kecaman dan celaan bagi orang-orang yang durhaka dan lalai, kita menyaksikan diri kita termasuk di dalamnya. Kita merasa diri kitalah yang dimaksud oleh ayat-ayat itu. Dengan demikian, kita akan terus memperbaiki ibadah kita kepada Allah dan memohon dijauhkan dari golongan orang-orang yang dimurkai dan sesat.

    Ulama-ulama terdahulu benar-benar menghayati ketika membaca Al-Qur’an. Marilah kita bersama-sama berusaha mencontohnya, walaupun sedikit demi sedikit, step by step. Semoga Allah menolong kita untuk bisa berada dalam golongan orang-orang shaleh, amin.

    Dikisahkan bahwa Ibrahim an-Nakha’i, jika membaca ayat,

    وَمَا كَانَ مَعَهُ ُ مِنْ إِلـٰهٍ

    “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya” (QS al-Mu’minûn [23]: 91)

    Ia merendahkan suaranya seperti orang yang malu menyebutkan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Di saat yang lain, seluruh anggota badannya bergetar ketika ia mendengar bacaan,

    إِذَا ٱلسَّمَاۤءُ ٱنْشَقَّتْ

    “Apabila langit terbelah,” (QS al-Insyiqâq [84]: 1)

    Dari Abu Hatim bahwa Rasulullah pernah suatu malam berjalan untuk mencari tahu bagaimana para sahabatnya menjalankan shalat, bagaimana mereka berdoa dan menangis. Di sebuah rumah, beliau mendengar seorang wanita tua membaca ayat Al-Qur’an sambil menangis. Wanita itu membaca ayat,

    هَلْ أَتٰكَ حَدِيْثُ ٱلْغَاشِيَـةِ

    “Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?” (QS Al-Ghâsyiyah [88]: 1)

    Wanita itu membaca berulang-ulang dan selalu menangis. Mendengar bacaan tersebut, Rasulullah hanya bisa menangis dan menyandarkan kepala beliau di daun pintu rumahnya. Kemudian beliau berkata,

    “Ya, telah datang kepadaku berita itu.”

    Apakah kita bisa menyamai wanita tua ini dalam bertahajud, dalam tilawah dan perenungan atas Al-Qur’an? Kita adalah umat yang kekal, tetapi kita tidak akan kekal selain dengan Kitab yang agung. Kita tidak akan kekal selain dengan syariat Nabi kita saw. Jika kita mengabaikan dan meninggalkannya, niscaya kita akan hilang ditelan masa.


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Menghayati Ayat-Ayat Al-Qur’an (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, June 4, 2010

Menghayati Ayat-Ayat Al-Qur’an (1 of 2)

Allah SWT berfirman:


أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلىٰ قُلُوْبٍ أَقْـفَالهُـَا

Maka apakah mereka tidak tadabbur (memperhatikan dan merenungkan) Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS Muhammad [47]: 24)


Al-Qur’an akan dapat berfungsi dengan baik jika dalam membacanya disertai dengan adab-adab batin dalam perenungan, khusyu‘ dan penuh penghayatan.


Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan ada sepuluh amalan batin dalam membaca Al-Qur’an, yaitu:

  1. Memahami keagungan dan ketinggian firman, karunia dan kasih sayang Allah kepada makhluk dengan turunnya Al-Qur’an dari ‘Arsy kemuliaan-Nya, sampai ke derajat pemahaman makhluk-Nya.

  2. Mengagungkan Dzat yang berfirman, yaitu Allah.

    Ketika mulai membaca Al-Qur’an, hendaknya kita menghadirkan keagungan Allah di dalam hati, mengetahui bahwa yang kita baca bukanlah perkataan manusia, juga mengatahui bahwa membaca kalâm Allah sangat penting.

    Mengagungkan firman berarti mengagungkan Dzat yang berfirman. Keagungan Dzat yang berfirman tidak akan hadir di dalam hati kita selagi kita tidak memikirkan sifat-sifat, perbuatan dan kemuliaan-Nya.

    Kita menghadirkan dalam pikiran tentang ‘Arsy, langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya; baik jin, manusia, binatang dan pepohonan; kemudian kita mengetahui bahwa Pencipta, Penguasa, Pemberi rejeki seluruh makhluk adalah Allah, Tuhan Yang Esa.

    Kita juga berpikir bahwa semua makhluk berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, terombang-ambing antara rahmat dan siksa-Nya. Jika Allah memberi nikmat, maka hal itu karena kebaikan-Nya; dan jika membalas kejahatan manusia, maka hal itu karena keadilan-Nya.

    Dengan memikirkan hal-hal seperti ini, pengagungan (ta‘zhîm) Dzat yang berfirman dan pengagungan firman-Nya akan hadir di dalam hati.

  3. Kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa.

    Sebagian ulama terdahulu (salaf), jika membaca suatu ayat tetapi hatinya tidak bersamanya, maka ia mengulangi bacaan itu.

  4. Tadabbur, yaitu memperhatikan dan merenungi makna-makna Al-Qur’an.

    Disunnahkan membaca Al-Qur’an secara tartil (perlahan-lahan), karena tartil secara lahiriah dapat membantu tadabbur dengan batin. Karena rasa ta‘zhîm (pengagungan) yang sudah tinggi, Ali bin Abi Thalib kw. sampai berkata, “Tidak ada kebaikan pada ibadah tanpa pemahaman di dalamnya, dan tidak ada kebaikan pada bacaan tanpa tadabbur di dalamnya.”

    Diceritakan dari Sulaiman ad-Darani, “Sesungguhnya aku tertambat membaca satu ayat selama empat atau lima malam. Seandainya aku tidak memutuskan perenungannya, niscaya aku tidak dapat beralih kepada ayat lainnya.”

  5. Tafahhum, yaitu mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat.

    Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat Allah, berbagai perbuatan-Nya (menciptakan langit, bumi dan semuanya), ihwal para nabi, ihwal orang-orang yang mendustakan para nabi dan bagaimana mereka dibalas, serta beragam perintah dan larangan-Nya, juga surga dan neraka.

    Hendaknya kita merenungkan makna-makna berbagai sifat ini agar dapat menyingkap rahasianya, karena di dalamnya terdapat banyak makna terpendam. Kita sudah seharusnya berkeinginan keras untuk mendapatkan pemahaman tersebut.

    “Untuk mengantarkanmu mengetahui rahasia ayat-ayat Al-Qur’an, tidaklah cukup engkau membacanya empat kali sehari,” pesan Al-Maududi.

    Ibnu Mas‘ud berpesan, “Siapa menghendaki ilmu orang-orang terdahulu dan kemudian, hendaknya ia mendalami Al-Qur’an. Ilmu Al-Qur’an adalah yang paling agung di bawah nama-nama dan sifat-sifat Allah.

  6. Menghindari hambatan-hambatan pemahaman yang membuat kita tidak bisa menyaksikan keajaiban rahasia Al-Qur’an.

    Contoh yang menghambat pemahaman yaitu terus-menerus melakukan dosa, bersifat angkuh, atau terjangkit penyakit hawa nafsu kepada dunia yang diperturutkan. Semua itu merupakan penyebab timbulnya kegelapan dan karat pada hati. Ia seperti debu yang menumpuk pada sebuah cermin sehingga menghalangi munculnya kebenaran secara jernih. Oleh karena itu, Allah mensyaratkan inabah (kembali/bertaubat) untuk bisa mendapatkan pemahaman dan pelajaran.

    Dan tiadalah mendapatkan pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah) (QS al-Mu’min [40]: 13)

  7. Takhshîsh, yaitu menyadari bahwa diri kitalah sasaran pembicaraan (khithâb) yang ada di dalam Al-Qur’an.

    Apabila kita membaca suatu perintah atau larangan, maka kita pahami bahwa diri kitalah yang diperintahkan dan dilarang. Begitu pula jika kita membaca janji dan ancaman. Apabila kita membaca kisah orang-orang terdahulu dan para nabi, maka kita mengetahui bahwa kisah-kisah itu tidak dimaksudkan sebagai bahan cerita semata, melainkan untuk diambil pelajarannya dan bekal-bekal yang diperlukan.

    Muhammad bin Ka‘ab al-Qurazhi berkata, “Siapa yang Al-Qur’an telah sampai kepadanya, maka seakan-akan ia diajak bicara oleh Allah.”

    Sebagian ulama berpesan, “Al-Qur’an adalah surah-surah yang datang dari Tuhan kita dengan segala janji-Nya. Kita menadabburinya dalam shalat, merenungkannya di tempat-tempat sepi, dan melaksanakannya dalam berbagai bentuk ketaatan.”

    “Apakah tanaman Al-Qur’an di dalam hati kalian, wahai ahli Al-Qur’an? Sesungguhnya Al-Qur’an adalah penyubur bagi orang mukmin, sebagaimana air hujan menjadi penyubur tanah,” ungkap Malik bin Dinar.

    Berikut ini contoh takhshîsh dalam membaca Al-Qur’an. Misalkan kita sedang membaca ayat,

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 183)

    Dengan menyadari bahwa kitalah sasaran (khithâb) perintah ini, maka seolah-olah Allah memerintahkan kita,

    “Hai faisol, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

    Dengan takhshîsh seperti ini, akan tampak sekali perbedaan efek pada diri kita, dibandingkan tidak melakukan takhshish. Kalau tidak kita lakukan, maka kita hanya seperti membaca sebuah berita atau narasi, sehingga sulit sekali membekas di dalam dada.


Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006


Tulisan ini berlanjut ke : Menghayati Ayat-Ayat Al-Qur’an (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#