Mencari Data di Blog Ini :

Friday, March 30, 2012

Setiap Kita Penyabar (Ketika Belum Ada Masalah) (2 of 3)

b. Sabar Meninggalkan Maksiat

Syaikh Sa‘id Hawwa menerangkan bahwa Allah telah menghimpun macam-macam kemaksiatan di dalam firman-Nya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS an-Nahl [16]: 90)
Rasulullah saw. bersabda:
اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِيْ طَاعَةِ اللهِ  وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوْبَ
Orang yang berjihad adalah orang yang memerangi hawa nafsunya dalam ketaatan kepada Allah. Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan ketidakbaikan dan dosa. (HR Baihaqi  dan Hakim)
Banyak imam meriwayatkan hadits sejenis tapi per bagian, yaitu definisi orang berjihad di sebuah hadits dan definisi orang berhijrah di hadits lain.  Hadits riwayat Imam Baihaqi dan Imam Hakim di atas langsung menyebutkan dua definisi. Adapun lafazh hadits tersebut menurut riwayat Imam Baihaqi di kitab “Syu‘bul Îmân”.
Kemaksiatan merupakan dorongan hawa nafsu. Berikut ini contoh kesabaran atas perbuatan maksiat:
  • Sabar atas kemaksiatan yang telah dianggap lumrah oleh lingkungan. Misal kita bergaul dengan teman/orang yang menganggap taruhan adalah penyemangat menonton sepak bola. Tanpa taruhan dianggap tidak seru, menonton bola menjadi hambar.
  • Sabar atas kemaksiatan yang mudah dikerjakan sendiri, misalnya menggunjing, berbohong, memuji diri sendiri (‘ujub) dan riya’.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tinggi/rendahnya kesabaran berkaitan dengan kuat/lemahnya kemaksiatan itu sendiri. Apabila kita merasa berat apalagi tidak mampu bersabar atas meninggalkan perbuatan maksiat, maka hendaknya kita ‘uzlah (mengasingkan diri) atau sering menyendiri. Bersabar ketika dalam kesendirian lebih mudah daripada saat berkumpul dengan banyak orang.

c. Sabar Mendapat Cobaan

Dunia ini memang tempat ujian dan cobaan, bahkan para nabi dan rasul pun tak luput dari cobaan.
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءَ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang mengikuti para nabi, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. (HR Ahmad, Baihaqi, Hakim, Ibnu Abi Syaibah, Nasa’i dan Thabrani)
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang shaleh, kemudian yang seperti mereka lalu yang seperti mereka. (HR Thabrani)
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْعُلَمَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian ulama, kemudian yang seperti mereka lalu yang seperti mereka (HR Hakim)
Kalau para nabi dan rasul saja mendapat cobaan, masa kita tak mau mendapat cobaan? Kalau manusia yang paling dekat kepada Allah saja mengalami ujian hidup, masa kita merasa tak ingin mengalami ujian dalam kehidupan ini?
Semasa pelajar penulis pernah berkhayal, “Apa yang akan terjadi bila dalam hidup tidak ada kesulitan apalagi cobaan?”
Cara termudah mengimplementasikannya adalah dengan membuat sebuah cerpen atau novel. Sejak SD kita dibiasakan oleh guru kita membuat karangan, misalnya tentang liburan sekolah. Saat SMA/SMU, bahkan mungkin ada yang sejak SMP, sudah ada tugas membuat cerpen.
Berikut ini sebuah cerpen ala kadarnya yang penulis karang untuk mewujudkan khayalan bagaimana bila dalam hidup tidak ada cobaan, ujian dan kesulitan.
Di sebuah rumah mewah nan megah, sepasang suami-istri muda sedang berbahagia menimang-nimang buah hati mereka yang baru berumur seminggu.
Hari demi hari mereka lalui penuh kebahagiaan. Sang buah hati sehat selalu, sehingga tak perlu repot-repot ke dokter. Kala malam tiba, tidur mereka pun pulas tak pernah diganggu tangisan bayi. Maklumlah, ruang tidur senantiasa sejuk karena ber-AC serta popok bayi merek mahal senantiasa membalut si kecil.
Tahun demi tahun silih berganti, tak terasa sang buah hati sudah usia sekolah. Karena kecerdasan yang begitu hebat, walau bermain setiap saat dan tanpa perlu susah payah belajar, sang anak senantiasa menjadi juara kelas bahkan juara umum antar kelas.
Setiap mata pelajaran dilahapnya dengan ringan, tak satu pun yang tak dikuasainya. Tak hanya pandai di pelajaran sekolah, sang buah hati juga sering menjadi juara lomba antar sekolah, baik yang berhubungan dengan keilmuan maupun olah raga. Bermain voli, basket, soft ball, sepak bola bahkan bela diri adalah bidang keahliannya. Ia pun sangat super bergaul sehingga setiap orang menyukainya.
Menjadi juara seperti membalikkan tangan baginya, tak butuh usaha keras. Juara lomba level sekolah hingga internasional senantiasa didapatnya.
Kondisi ini berlangsung terus hingga lulus kuliah. Dengan pertimbangan berbagai prestasi yang diraih, IPK sempurna 4.0 skala 4 dengan waktu kuliah tercepat mengalahkan semua mahasiswa sejak kampus berdiri menjadikannya wisudawan terbaik dengan predikat “Summa Cumlaude Berpenghargaan”. Sungguh super!!!
Orang tua mana yang tidak bahagia melihat sang anak menjadi wisudawan terbaik sejak kampus berdiri?
Setelah wisuda, mulailah sang anak diberi kepercayaan memimpin perusahaan sang ayah. Berbekal kecerdasan yang dimiliki, tanpa ada halangan sedikit pun usaha ayahnya meraih laba 100x lebih besar hanya dalam tempo sebulan.
Bisa dibayangkan dalam setahun berapa kali untung yang didapat. Dalam dua tahun saja, sang anak berhasil meraih predikat orang terkaya nomor 1 di dunia versi Majalah Forbes. Wow, dahsyat!!!
Berkat kepiawaian, kecerdasan, kecanggihan dan kehebatan sang anak, kondisi ini tak pernah tergantikan oleh orang terkaya manapun di jagad ini. Luarrr biasa!!!
Meski tampan, berbadan atletis serta menjadi orang terkaya sejagad, sang anak tak punya sifat sombong, tak pernah menjadi play boy atau hal-hal negatif lainnya.
Karena tabiat yang begitu mengagumkan, ia bertemu dengan wanita rupawan bak rembulan di pertengahan bulan dengan kepribadian yang sungguh memesona. Si jelita inilah yang menjadi pendamping hidup dirinya dan mereka pun berbahagia selamanya.
Setelah membaca adi karya “fenomenal” tersebut, kira-kira apa komentar kita? Mari berpikir sejenak.

*******#######*******

 Daftar Pustaka


Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, March 23, 2012

Setiap Kita Penyabar (Ketika Belum Ada Masalah) (1 of 3)

Ketika musim hujan, di suatu Senin sore mendung tebal memayungi sebagian wilayah Surabaya. Sunnatullah pun berlaku, hujan akhirnya turun begitu lebat, bak ribuan anak kecil berkejar-kejaran dengan riangnya. Alhamdulillâh, saat pulang kerja curah hujan berkurang, hanya rintik-rintik sehingga hawa sejuk menyelimuti tubuh. Demi melindungi pakaian, penulis berkendara menggunakan jas hujan model lowo yang terbuka di kedua sisinya.
Ketika penulis melewati area Rungkut Industri, air menggenang di tepi sungai yang memisahkan jalur ke arah Rungkut Kidul dan Kutisari. Melihat air tergenang cukup banyak, penulis naik motor perlahan-lahan serta senantiasa berada di sisi kiri menuju Rungkut Kidul.
Tak disangka, sebuah taxi melaju cukup kencang. Byor..., sekawanan air merangkul penulis tanpa permisi. Pakaian basah di sisi kanan. “Yok opo, rek… Pelan-pelan po’o…,” gumam penulis perlahan. Bibir tersenyum kecut dibuatnya, tapi bagaimana pun semua t'lah terjadi. Ternyata, bersabar membutuhkan latihan secara konsisten dan persisten.

*******#######*******

Dalam keseharian, biasanya tutur kata kita mencerminkan bahwa kita seorang penyabar, apalagi ditunjang “keahlian” kita menasihati orang lain. Sayang beribu sayang, sifat dan sikap tersebut kita miliki hanya ketika kita sendiri belum mengalami masalah.
Bagaimana diri kita sebenarnya tercermin tatkala bertemu masalah. Saat muncul masalah, maka masalah itulah yang akan memisahkan dan menggolongkan tingkatan kita—apakah kita berada di level TK, SD, SMP, SMA atau yang lain.
Manusia secara alami memang mempunyai kemampuan bersabar. Hal ini telah diakui oleh para pakar ilmu jiwa. Freud berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan memikul sesuatu yang tidak disenangi.
Lalu, bilamana kita bisa disebut penyabar? Penilaian sabar atau tidak dilakukan saat kita pertama kali menerima masalah. Jadi ketika ada masalah, reaksi pertama kitalah sebagai penentu sabar/tidaknya kita.
إنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُوْلىَ
Sesungguhnya sabaryang sangat terpujiitu pada pukulan pertama (di kala mendadaknya kedatangan musibah). (Muttafaq ‘alayh)
Bila setelah beberapa lama kemudian baru kita berkata, “Aku sekarang sudah bersabar tertimpa musibah”, maka kita belum bisa disebut seorang penyabar. Namun demikian, untuk pembelajaran, hal ini tetaplah baik. Intinya semakin cepat kita menguasai diri semakin baik. Seterusnya kita berlatih agar bisa bersabar pada saat pertama kali mengalami peristiwa apa pun.
Lawan sifat sabar adalah keluh kesah (jaza‘) yang merupakan perbuatan tercela dan kufur yang akan membawa kepada kehancuran. Tidak ada pilihan bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupan ini kecuali harus bersabar. Hal yang tidak terpisahkan dari sifat sabar adalah berserah diri (taslîm) dan ridha kepada takdir Allah.
Telah sering dijelaskan pula oleh para ulama bahwa kesabaran itu dalam tiga kondisi, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah (shabrun ‘alâ ath-thâ‘ah), sabar dalam meninggalkan maksiat (shabrun ‘an al-ma‘shiyah) dan sabar ketika mendapat cobaan (shabrun ‘alâ al-balâ’).
Semua itu (ketaatan, kemaksiatan dan cobaan) merupakan gambaran sebuah kehidupan. Oleh karenanya, sabar adalah separuh keimanan karena setiap cabang iman memerlukan sifat sabar.

a. Sabar dalam Ketaatan

Mari kita lihat apakah kita sabar dalam ketaatan. Asumsikan saja bahwa kita senantiasa shalat Dhuha dan membaca Al-Qur’an dalam keseharian. Suatu ketika perusahaan tempat kita bekerja mengadakan rekreasi ke luar kota untuk seluruh karyawan dan keluarga. Berangkat rekreasi hari Jum’at malam dan pulang Minggu malam.
Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri yaitu, “Apakah kita tetap shalat Dhuha dan membaca Al-Qur’an di hotel/penginapan?” Ataukah kita akan berkata, “Sekali-sekali ngga apa-apalah ngga shalat Dhuha dan baca Al-Qur’an. Toh cuma dua hari saja.” Nah, manakah yang kita pilih?
Kemungkinan besar kita akan enggan melaksanakannya karena keadaan yang menurut kita kurang memungkinkan. Argumentasi kita karena acara yang disusun panitia cukup padat dan menarik, selain itu disertai door prize sehingga kita merasa rugi besar bila melewatkan setiap event.
Mari merenung sejenak. Untuk contoh sederhana begitu saja, kita sudah dikalahkan oleh situasi dan kondisi. Entah apa yang kita lakukan bila yang kita alami lebih rumit. Entah apa pula yang akan kita lakukan bila kita sedang berada di puncak bukit kesedihan atau di dasar lembah kegalauan. Mungkin saja kita akan meninggalkan semua ibadah sunnah dan hanya mengerjakan yang fardhu, itu pun demi menggugurkan kewajiban sajalamcing (habis salam, langsung plencing). Semoga Allah senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita agar bisa sabar dan istiqamah dalam beribadah, amin.
Tentang kesabaran dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, di buku “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin” Syaikh Sa‘id Hawwa menjelaskan diperlukan tiga hal berikut ini:
  • Sebelum melaksanakan ketaatan
Kita harus meluruskan niat, ikhlas dan menghindari hal-hal berbau riya’. Ini merupakan kesabaran yang berat bagi yang mengerti hakikat niat dan ikhlas serta bahaya riya’.
  • Ketika melakukan ketaatan
Kita tidak boleh lalai kepada Allah di tengah ibadah yang dilakukan dan tidak boleh malas-malasan menyempurnakan adab dan sunnah ibadah serta menjaganya hingga selesai. Dengan kata lain kita harus sabar mendapatkan kesempurnaan dalam beribadah.
  • Setelah mengerjakan ketaatan
Kita harus tetap sabar menghindari timbulnya riya’ dan sum’ah (ingin dipuji) setelah mengerjakan ibadah. ’Ujub (bangga terhadap diri sendiri karena telah beribadah) juga harus dihindari karena dapat menggugurkan pahala ibadah. Dalam bersedekah misalnya, tidak boleh disebut-sebut atau diungkit-ungkit (manna), juga dilarang menyakiti perasaan penerima dengan perkataan (adza).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Baqarah [2]: 264)

 Daftar Pustaka

Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
M. Quraish Shihab,Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, March 16, 2012

Perkelahian/Tawuran, Bukti Kehebatankah?! (2 of 2)

b. Selamat dari Lisan dan Tangan

Sebagai bahan renungan, mari kita pahami lagi sabda Rasulullah Muhammad saw berikut ini:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim ialah seseorang dimana muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)
Apa yang dimaksud dengan “selamat” di hadits tersebut?
Prof. Quraish Shihab menjelaskan ada dua jenis selamat. Misal kita naik bis, kereta atau pesawat. Di samping kita duduk orang lain. Orang yang duduk di samping kita dikatakan selamat dari kita bila:
  • Kita diam, tidur atau membaca buku/koran/majalah sehingga tidak mengganggunya. Ini disebut as-salâm as-salbiy (السّلام السلبي) atau damai pasif.
Di buku “Membumikan Al-Qur’an Jilid 2” beliau menguraikan bahwa damai pasif adalah batas antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Seorang muslim menyandang sifat damai, paling tidak, jika dia benar-benar tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya maka jangan sampai dia mencelakakannya. Kalau tidak bisa memberi, maka paling tidak tidak mengambil hak orang lain. Kalau tidak dapat menggembirakan pihak lain, maka paling tidak tidak meresahkannya.
Atau yang lebih baik lagi:
  • Kita sapa orang tersebut lalu berbincang ramah. Ini disebut as-salâm al-îjâbiy (السّلام الإيجابي) atau damai aktif, lalu mencapai puncaknya dengan ihsân.
Nah, Apakah berkelahi, adu otot, adu jotos, saling tendang, hajar-menghajar atau tawuran sesuai dengan definisi “selamat”? Tentu tidak, bukan?
Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Sahabat Salman al-Farisi ra. seraya berkata,
“Wahai hamba Allah, nasihatilah aku!”
“Jangan marah!” Jawab Salman al-Farisi ra.
“Aku tidak mampu.”
“Bila kamu marah, tahanlah lidahmu (dari mengatakan hal-hal jelek) dan tanganmu (dari melakukan perbuatan maksiat).”
Ada sebuah pertanyaan yang terdengar agak aneh sekaligus “lucu” dilontarkan sehubungan dengan hadits di atas. Begini pertanyaannya, “Di hadits tersebut kan disebutkan sesama muslim. Berarti kalau non muslim, boleh dong kita hajar?”
Mungkin karena belum pernah belajar ushul fiqh sehingga pertanyaan tersebut terlontar akibat permainan kata dan logika. Mari kita bahas demi pemahaman keagamaan yang benar.
Pertanyaan tersebut termasuk kategori mafhûm mukhâlafah dan mafhûm mukhâlafah seperti ini keliru.
Apa itu mafhûm mukhâlafah? Bagaimana mafhûm mukhâlafah yang benar?
Di buku “Ushul Fiqih” Prof. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan dilâlah mafhûm al-mukhâlafah sebagai berikut:
Dilâlah mafhûm al-mukhâlafah ialah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthûq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya. Dengan demikian suatu nash sekaligus dapat menunjukkan dua hukum, yaitu hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi lafazh (manthûq) suatu nash dan hukum yang dipahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan pada hukum halal dengan adanya batasan (qayd), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan bila qayd-nya tidak ada. Seperti firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. (QS an-Nisâ’ [4]: 25)
Bunyi (manthûq) ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita merdeka.
Ayat tersebut juga dapat dipahami kebalikan (mafhûm mukhâlafah) dari bunyinya yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya bila ia mampu menikah dengan wanita merdeka.”
Sebagai catatan tambahan, manthûq adalah hukum yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri. Adapun mafhûm ialah hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan lafazh tersebut.
Itulah definisi mafhûm mukhâlafah. Lantas, bagaimana mafhûm mukhâlafah yang benar? Di buku “Usul Fiqih” A. Hanafie, MA menjelaskan bahwa untuk sahnya mafhûm mukhâlafah diperlukan empat syarat, yaitu:
  1. Mafhûm mukhâlafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthûq maupun mafhûm muwâfaqah.
Contoh yang berlawanan dengan dalil manthûq:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (QS al-Isrâ’ [17]: 31)
Mafhûm mukhâlafah­-nya kalau bukan karena takut kemiskinan berarti boleh dibunuh. Tetapi mafhûm mukhâlafah ini bertentangan dengan dalil manthûq:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (QS al-Isrâ’ [17]: 33)
Adapun conton yang berlawanan dengan mafhûm muwâfaqah sebagai berikut:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka (QS al-Isrâ’ [17]: 23)
Yang disebutkan hanya kata-kata kasar. Mafhûm mukhâlafah­-nya berarti boleh memukuli. Tapi, mafhûm mukhâlafah ini bertentangan dengan mafhûm muwâfaqah-nya, yaitu kata-kata keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
  1. Yang disebutkan (manthûq) bukan suatu hal yang biasa terjadi.
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri (QS an-Nisâ’ [4]: 23)
Dengan perkataan “yang dalam pemeliharaanmu”, tidak boleh dipahami bahwa yang tidak dalam pemeliharaan boleh dinikahi. Perkataan itu disebutkan sebab biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
  1. Yang disebutkan (manthûq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim ialah seseorang dimana muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)
Dengan perkataan muslim lainnya” tidak boleh dipahami bahwa orang-orang non muslim boleh diganggu. Perkataan tersebut dimaksudkan alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
Selain itu, sekian banyak dalil menjelaskan bahwa kita harus berakhlak baik kepada siapa pun, menjadi rahmat bagi segenap alam, toleransi antar sesama dan sebagainya.
Penjelasan ini adalah jawaban pertanyaan yang sedang kita bahas.
  1. Yang disebutkan (manthûq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti yang lain.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. (QS al-Baqarah [2]: 187)
Tidak boleh dipahami kalau tidak i’tikaf di masjid boleh mencampuri, karena syarat melakukan i’tikaf adalah di masjid, kalau tidak di masjid i’tikaf tidak sah.
Jadi, perkataan i’tikaf dikumpulkan dengan perkataan masjid, karena masjid ini menjadi syaratnya.
Demikianlah uraian ringkas tentang mafhûm mukhâlafah. Semoga Allah SWT senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita semua sehingga bisa menjadi hamba shaleh, amin.

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
A. Hanafie, MA, “Usul Fiqh”, Penerbit Widjaya Jakarta, Cetakan kesebelas, 1989
Mario Teguh, “One Million 2nd Chances [Personal Excellence Series]”, Penerbit Progressio, November 2006
Muhammad Abu Zahrah, Prof, “Ushul Fiqih”, Pustaka Firdaus, Cetakan kesebelas, Mei 2008
M. Quraish Shihab, Dr,Membumikan Al-Qur’an Jilid 2—Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VI: Shafar 1432/Januari 2011
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Web site:


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 9, 2012

Perkelahian/Tawuran, Bukti Kehebatankah?! (1 of 2)

Katanya sih, masa muda memang mudah naik darah.
Katanya sih, masa muda mudah melampiaskan amarah.
Katanya sih, masa muda sah-sah saja melancarkan bogem mentah.
Katanya sih, masa muda wajar-wajar saja meluncurkan tendangan ke arah muka.
Katanya sih, masa muda dimaklumi sebagai masa kesetiakawanan dalam perkelahian antar sekolah.
Katanya sih, masa muda adalah masa mencari jati diri, sehingga semua orang diwajibkan memaklumi, mengerti dan memahaminya. Adapun yang sedang menjalani masa muda boleh-boleh saja tak memahami orang lain. “Toh masih muda, Wajar dong!” Itu alasannya.
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah. (Muttafaq ‘alayh: Bukhari-Muslim)
Penulis yakin kita telah sering mendengar hadits di atas. Sabda Rasul saw tersebut ditujukan untuk kita semua, bukan hanya para pelajar atau pemuda. Kehebatan, kekuatan dan keperkasaan bukanlah diukur dari berapa banyak perkelahian fisik yang dimenangkan, tapi dari penguasaan diri atas amarah yang sedang menyala.
Namun, entah mengapa, nasihat Rasulullah saw itu tak kita indahkan, seolah tak pernah kita ketahui bahwa ada nasihat seperti itu.
Kita masih sering marah-marah karena alasan yang tidak prinsip, bahkan cenderung sepele dan remeh-temeh.
Kita masih mudah tersinggung hanya karena guyonan, gojlokan, ejekan atau dipanas-panasi sedikit.
Kita masih sering menganggap simbol keberanian adalah dengan pertarungan fisik. Mungkin karena asumsi inilah sering terjadi perkelahian, baik satu lawan satu, banyak lawan satu atau banyak lawan banyak (tawuran).
Kita masih memiliki rasa bangga bila bisa mengalahkan lawan, menonjok hidung, menendang perut, memukul muka atau menginjak-injak orang lain. Na‘ûdzubillâh. Apa kita tidak tahu bahwa yang kita sakiti itu orang hidup, bukan boneka kayu? Apa kita mengira sedang bermain Play Station atau game persilatan?
Tak mau kalah dengan pelajar, mahasiswa dan yang sudah berkeluarga pun ada yang terlibat perkelahian. Lantas, kesalahan siapakah ini? Tak perlu kita menuding orang/pihak lain. Mari kita introspeksi dan perbaiki diri sendiri terlebih dahulu.
Bila kita termasuk yang terlibat perkelahian/tawuran, mari kita tanyakan diri sendiri, “Buat apakah saya berkelahi? Apa manfaat dunia-akhirat yang saya dapat?”
Jika kita guru, dosen atau praktisi pendidikan, mari kita perbaiki lagi cara mengajar dan mendidik. Mungkin selama ini terlalu banyak teori yang kita sampaikan tapi kurang penanaman nilai-nilai luhur. Mungkin pula ajaran kebaikan hanya sebatas transfer ilmu tanpa implementasi nyata.
Kalau kita orang tua, mari kita perhatikan lagi peran kita dalam pendidikan keluarga. Apakah kita sepenuhnya hanya menyerahkan pendidikan anak ke guru sekolah, guru les dan pelatih ekstrakulikuler, sementara kita sibuk sendiri dengan urusan menambah pundi-pundi uang? Ataukah kita juga tetap memegang kendali pendidikan anak dengan prinsip tanggung jawab anak sepenuhnya di tangan orang tua, karena anak adalah amanah Allah?
Jikalau kita tokoh masyarakat, tokoh agama atau pejabat pemerintahan, mari kita cari solusi bersama agar tak terulang lagi.

Pergi ke pasar membeli kain
Kain batik kebanggaan bangsa
Daripada menyalahkan orang lain
Menilik diri itu yang utama
Di tulisan ini, dibahas jika kita adalah pihak yang terlibat perkelahian atau tawuran. Mari kita telaah lagi, apakah tindakan kita bisa dibenarkan, baik dari sudut pandang norma masyarakat, norma hukum apalagi norma agama?
Ibnul Mubarak mengatakan, “Seorang mukmin menuntut adanya saling pengertian, sedangkan orang munafik menghendaki seseorang untuk terjerumus dalam kesesatan.”
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Memaafkan kesalahan saudara menunjukkan keluhuran budi seseorang.”

a. Kekuatan adalah Anugerah Allah

Perlu kita renungkan lagi bahwa kekuatan yang kita miliki adalah anugerah Allah SWT. Kekuatan bukan untuk menganiaya orang lain. Di buku “Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an” M. Quraish Shihab menerangkan bahwa Allah Al-Qawiyy adalah Dia yang sempurna kekuatan-Nya. Dalam genggaman kekuasaan-Nya segala kekuatan. Dia pula yang menganugerahkan kekuatan kepada makhluk-makhluk-Nya dalam tingkat berbeda-beda.
 Kekuatan yang kita miliki tidaklah langgeng. Adakalanya juga melemah dan pada kesempatan lain kuat kembali, kemudian lemah lagi.
اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS ar-Rûm [30]: 54)
Ada baiknya kita camkan bagaimana Al-Qur’an menyifati makhluk yang terpuji, manusia, jin dan malaikat ketika memiliki kekuatan. Berikut ini contoh ayat yang menggunakan kata qawiyy yang menyifati makhluk:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26)
قَالَ عِفْرِيتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". (QS an-Naml [27]: 39)
Kekuatan makhluk baru terpuji bila disertai oleh sifat amanah (terpercaya). Tanpa sifat ini, kekuatan dan kekuasaan daat digunakan untuk menganiaya dan menindas orang lain. Kita harus menyadari bahwa sumber kekuatan adalah Allah. Kekuatan yang menyertai kita hanya sekelumit anugerah Allah.
Seorang arif memberi nasihat, “Jika kekuatan Anda mengundang Anda menganiaya orang lain, maka ingatlah Allah yang menganugerahkannya kepada Anda. Ingat pula kekuatan Allah terhadap diri Anda.”
Mari kita resapi juga nasihat yang disampaikan oleh seorang motivator dan inspirator, Mario Teguh, “Betapapun Anda menyukai permainan, janganlah bermain-main dengan hidup Anda.”
“Ingatlah bahwa Anda hanya sepenting yang Anda kerjakan.”
“Bila Anda ingin mengenal apa yang Anda lakukan di masa lalu, kenalilah keadaan Anda sekarang. Bila Anda ingin mengetahui masa depan Anda, perhatikanlah yang sedang Anda kerjakan sekarang.”
“Orang-orang yang bersifat beruntung adalah orang-orang yang ikhlas memperbaiki kemampuan, sikap dan cara-cara mereka dari waktu ke waktu. Tetapi sebagaian besar orang adalah makhluk kebiasaan yang tidak memperbaiki cara-cara mereka dalam menggunakan waktu. Itu sebabnya sebagian besar dari kita adala orang-orang yang sedang merugi.” Demikian nasihatnya. Hal ini selaras dengan firman Allah:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
(QS al-‘Ashr [103]: 1-3)
Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa di ayat kedua digunakan lafazh فِيْ (di dalam). Sebagaimana kalimat, “Baju itu di dalam almari,” berarti keseluruhan bagian baju ditutupi oleh almari. Maka, diri kita berada di dalam “almari” kerugian.
Bagaimana supaya tidak berada di dalam “almari” kerugian? Ayat selanjutnya menjelaskan dengan sangat gamblang. Di ayat terakhir dijelaskan tentang kesabaran. Nah, bukankah kita iman kepada Al-Qur’an? Lalu, mengapa tak kita laksanakan?

 

Daftar Pustaka

Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Mario Teguh, “One Million 2nd Chances [Personal Excellence Series]”, Penerbit Progressio, November 2006
M. Quraish Shihab,Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Web site:


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, March 2, 2012

Provokasi dan Emosi (3 of 3)

b. Manusia Berdasarkan Sifat Marah

Berdasarkan kemarahan yang ada, manusia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
  1. Tafrîth
Bila kita termasuk kelompok ini, maka kita tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk marah. Ini termasuk hal tercela. Kita termasuk orang yang tidak dapat melindungi diri sendiri. Imam Syafi’i ra. berkata, “Barangsiapa yang mengharuskan ia marah (seperti melihat kezhaliman) tapi ia tidak marah, maka ia keledai. Barangsiapa yang telah kehilangan kemampuan untuk marah dan melindungi dirinya, maka ia adalah orang yang memiliki banyak kekurangan.”
  1. Ifrâth
Jika kita berada di kelompok ini, kita marah berlebihan sehingga melakukan perbuatan yang keluar dari akal sehat, bertentangan dengan syariat dan ketaatan kepada Allah. Pada saat itu kita tidak dapat berpikir jernih dan mengendalikan diri. Diri kita dikuasai kemarahan.
Kemarahan seperti ini disebabkan dua perkara, yaitu:
·   Tabiat (gharîzah)
Kebiasaan membiarkan gejolak emosi dalam hati tanpa ada upaya untuk meredam menjadikan kita memiliki tabiat pemarah. Karena marah berasal dari api (panas), maka untuk melawannya adalah dengan kesejukan.
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ، وَإِنَّمَا تُطْـفَأُ النَّارُ باِلْمَاءِ، فَإِذَا غَضَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya marah itu berasal dari setan, sedangkan setan diciptakan dari api, dan api dipadamkan dengan air. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudhu. (HR Abu Daud)
·   Pergaulan (i‘tiyâdiyyah)
Penyebab kedua karena kita bergaul dengan kelompok yang mudah melampiaskan amarah dan membiarkan hawa nafsu. Kita mengira dengan begitu kita akan disebut pemberani dan kesatria.
Akibat pergaulan ini kita akan berkata, “Saya adalah orang yang tidak bisa sabar apabila ada orang menyinggung saya. Saya tidak dapat menahan amarah ini untuk keluar dari diri saya.”
Perkataan seperti ini sebenarnya berarti, “Saya tidak mempunyai akal sehat dan sifat lemah lembut.” Tapi dengan kebodohan diri, kita mengumbar emosi di depan orang.
Ketika amarah menguasai diri, kita tak dapat berpikir jernih karena telah ditutupi kegelapan emosi. Kita juga tidak dapat meredakan emosi karena diri kita telah dikuasainya. Kita membiarkan diri melampiaskan emosi kepada apa/siapa yang dapat dilampiaskan, hingga tenaga habis barulah kita tenang.
Keadaan seperti ini lebih berbahaya daripada seseorang yang naik perahu di saat ombak besar. Pada saat itu masih ada orang yang berusaha mengendalikan perahu hingga kembali tenang atau tidak termakan ombak. Sedangkan bila amarah sudah menguasai hati, maka siapa yang dapat mengendalikan hati, karena hati ibarat nahkoda perahu yang dapat melakukan apa saja.
  1. I‘tidâl
Kemarahan yang terpuji adalah kemarahan yang berkaitan dengan menegakkan ajaran agama. Kemarahan muncul ketika diperlukan dan padam ketika harus mengambil sifat kasih sayang (hilmi). Kita harus selalu berada dalam rel syariat (istiqâmah) yaitu mengambil pertengahannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
خَيْرُ الأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya. (HR Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
Kita tidak menghilangkan sifat marah dari dalam hati sehingga terperosok dalam keadaan lemah dan hina. Kita juga tidak mengumbar amarah yang menyebabkan melakukan perbuatan melanggar syariat dan bertentangan dengan akal sehat.
Kita memohon kepada Allah semoga diberikan petunjuk yang Dia ridhai. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas apa yang dikehendaki-Nya, amin.

c. Keutamaan Menahan Marah

Untuk lebih memantapkan hati, mari kita pelajari dan dalami lagi keutamaan menahan amarah.
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رِضًى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa dapat menahan amarah pada saat ia mampu melakukan pembalasan dan melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari Kiamat. (HR Ibnu Abi Dunya)
مَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa dapat menahan amarah pada saat ia mampu melakukan pembalasan dan melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan pengharapan (ampunan dan balasan baik) pada hari Kiamat. (HR Thabrani)
Siapakah yang tak ingin selamat di hari Kiamat nanti? Siapa yang tak ingin ridha Allah di hari dimana tiada guna mobil mewah, tanah di mana-mana, rumah di setiap sudut kota maupun uang melimpah ruah?
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. (QS asy-Syu‘arâ’ [26]: 88)
Sahabat Umar bin Khaththab ra. berkata, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, ia tidak akan melampiaskan amarahnya. Barangsiapa takut kepada Allah, ia tidak akan melakukan semaunya (mengikuti hawa nafsu). Kalau bukan karena adanya hari Kiamat (pembalasan), maka akan terjadi sesuatu yang tidak kalian lihat (peperangan, pertengkaran dan pembalasan dendam).”
Sufyan ats-Tsauri bercerita, “Suatu hari Abu Khuzaimah al-Yarbu’i bertemu dengan Fudhail bin Iyadh untuk membahas masalah zuhud. Mereka sepakat bahwa perbuatan paling baik adalah bermurah hati (al-hilmu) ketika sedang marah dan sabar (tenang) ketika dalam keresahan.”
Mari bersama-sama meraih pahala besar dari Allah dengan menahan marah (yang batil). Semoga Allah mengelompokkan kita ke dalam hamba-hamba yang diridhai-Nya, amin.
مَا مِنْ جُرْعَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا عِنْدَ اللهِ مِنْ جُرْعَةِ غَيْظٍ كَظَمَهَا عَبْدٌ اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ
Tidak ada tegukan yang lebih besar pahalanya daripada orang yang meneguk kemarahan demi mengharap ridha Allah. (HR Ibnu Majah)

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Tulisan ini lanjutan dari : Provokasi dan Emosi (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#