Variasi nama tempat shalat memang cukup banyak di negara kita, yaitu mushalla, langgar, surau, masjid, masjid jami‘ dan masjid agung.
Mushalla, yang arti harfiahnya adalah tempat shalat, disepakati oleh masyarakat Indonesia sebagai tempat shalat lima waktu secara berjamaah oleh umat Islam di sekitarnya, tapi tidak digunakan untuk shalat Jum‘at.
Langgar sebenarnya sama dengan mushalla, hanya saja istilah ini dikenal oleh orang-orang Jawa dan Betawi. Biasanya, orang-orang dari Jawa akan menggoda temannya yang belum mengerti istilah “Langgar”. Mereka akan bertanya, “Bolehkah shalat di Langgar?” Tentunya, yang tidak mengetahui istilah “Langgar” akan mendengar pertanyaan tersebut menjadi, “Bolehkan shalat dilanggar?” Pastilah dijawab tidak boleh. Lazimnya akan terjadi sebuah perdebatan, namun tetap diakhiri dengan tertawa bareng (bersama), karena tujuannya memang untuk menggoda.
Surau adalah tempat shalat, biasanya di tempat orang-orang Melayu, dan ini pun sama dengan mushalla.
Masjid, yang arti harfiahnya yaitu tempat bersujud kepada Allah, disetujui oleh masyarakat Indonesia sebagai tempat untuk melaksanakan shalat lima waktu dan shalat Jum‘at.
Masjid jami‘ adalah masjid terbesar di sebuah kecamatan. Keberadaan masjid ini sudah mulai berkurang, karena sekarang masjid di kampung-kampung pun sudah begitu besar.
Masjid agung adalah masjid terbesar di sebuah kota atau kabupaten. Biasanya, di depan masjid agung terdapat pelataran luas yang dikenal dengan nama alun-alun. Kata “alun-alun” berasal dari bahasa Arab al-lawn yang berarti warna, ragam atau corak. Kata ini diucapkan dua kali al-lawn al-lawn (alun-alun) yang maksudnya adalah bahwa tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya segala lapisan masyarakat, rakyat kecil, kaya maupun para pemimpin.
KH. Abdurrahman Navis—pengasuh PP Nurul Huda, Jl. Sencaki Surabaya—menjelaskan bahwa dalam terminologi fiqh, masjid adalah tempat waqaf yang digunakan oleh umat Islam (masyarakat) untuk shalat lima waktu berjamaah. Adapun masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum‘at selain shalat lima waktu berjamaah disebut masjid Jami‘.
Apabila di rumah kita ada sebuah tempat khusus, misalnya sebuah bangunan kecil, ruangan atau kamar kosong yang digunakan untuk shalat oleh anggota keluarga, dalam fiqh tempat ini disebut mushalla. Begitu pula tempat shalat di pom bensin (SPBU) yang merupakan milik pribadi pengusaha serta tidak digunakan berjamaah setiap waktu oleh masyarakat setempat, dalam terminologi fiqh juga disebut mushalla. Jadi kita harus berhati-hati dengan sebuah istilah karena istilah yang berkembang di masyarakat bisa jadi berbeda dengan istilah dalam fiqh.
Dari penjelasan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa shalat Tahiyyatul Masjid bisa dilakukan di masjid atau masjid Jami‘ menurut definisi fiqh. Adapun menurut istilah masyarakat yaitu mushalla, maka shalat Tahiyyatul Masjid bisa dilakukan di mushalla yang digunakan berjamaah setiap waktu oleh masyarakat, karena hal ini sama dengan masjid menurut fiqh. Adapun mushalla di pom bensin (SPBU) atau semacamnya tidak bisa digunakan untuk shalat Tahiyyatul Masjid.
Perlu diketahui bahwa anjuran untuk shalat di rumah adalah shalat sunnah, sedangkan shalat wajib tetap diutamakan berjamaah dengan muslim lainnya.
اِجْعَلُوْا ِفيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
Jadikanlah sebagian dari shalat kalian (dikerjakan) di dalam rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan.
(HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i)
(HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i)
عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْـتُوْبَةَ
Shalatlah kalian di rumah kalian, karena sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik ialah di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu.(HR Tirmidzi dan Syaikhân: Bukhari-Muslim)
Anjuran shalat Tahiyyatul Masjid dilakukan ketika datang dan sebelum duduk. Dengan demikian, apabila kita memakai sepatu, maka melepasnya harus sambil berdiri atau jongkok, tidak duduk di lantai. Diriwayatkan dari Abu Qatadah as-Sulami ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Siapa pun di antara kalian masuk ke dalam masjid, shalatlah dua rakaat sebelum duduk.” (HR Bukhari)
Di hadits lain, Jabir ra. menceritakan bahwa ia datang kepada Nabi saw. yang sedang di masjid, maka Rasulullah bersabda padanya,
صَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Shalatlah dua rakaat.” (Muttafaq ‘alayh: Bukhari-Muslim)
Shalat Tahiyyatul Masjid termasuk shalat yang ada sebabnya. Oleh karena itu boleh dilakukan di waktu-waktu yang terlarang untuk shalat yang tidak mempunyai sebab. Waktu-waktu itu di antaranya yaitu setelah shalat Ashar dan shalat Subuh. Adapun bacaan surahnya, pada rakaat pertama membaca QS al-Kâfirûn [109], sedangkan QS al-Ikhlâsh [112] dibaca pada rakaat kedua. Bila ingin membaca surah yang lain juga diperbolehkan.
Seorang teman bertanya, “Apakah doa iftitah juga dibaca ketika shalat Tahiyyatul Masjid? Banyak orang mengira bahwa untuk shalat sunnah tidak perlu membacanya.”
Memang, cukup banyak orang mengira demikian. Penulis sendiri sering menjumpainya. Ketika shalat sunnah, mereka tidak membaca doa iftitah setelah takbiratul ihram, juga tidak membaca shalawat Ibrahimiyah (kamâ shallayta...dst) sesudah tasyahud akhir. Menurut mereka hal ini untuk membedakan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Setelah penulis tanya, ternyata mereka membuat kesimpulan sendiri dari kebiasaan yang dilakukan. Jadi, mereka melakukannya bukan karena penjelasan para ustadz atau kyai.
Doa iftitah dan shalawat Ibrahimiyah tetap disunnahkan dibaca di shalat-shalat sunnah, misalnya shalat Dhuha, Tahiyyatul Masjid dan Tarawih. Oleh karena hukumnya sunnah, jadi boleh tidak dibaca, namun lebih utama dikerjakan. Adapun shalat Mayyit tentunya berbeda kasus karena sudah jelas tuntunannya.
Selain shalat sunnah, kapan pun kita di dalam masjid (dalam terminologi fiqh), janganlah kita lupa untuk senantiasa berniat—sekali lagi berniat—i‘tikaf di dalamnya. I‘tikaf tidak hanya dilakukan di bulan suci Ramadhan. Dengan demikian, setiap tindakan kita, walaupun berdiam diri akan dicatat sebagai amal kebaikan. Bahkan, menurut pendapat Imam Syafi‘i, walau sesaat—selama dibarengi oleh niat yang suci—tetap disebut i‘tikaf dan bernilai ibadah. Wallâhu a‘lam.
Daftar Pustaka:
- Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
- Manshur Ali Nashif, asy-Syaikh, “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah saw. (At-Tâju al-Jâmi‘u lil-Islâmi fî Ahâdîtsi ar-Rasûli)”, CV. Sinar Baru, Cetakan pertama : 1993
- Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
Di Malaysia sudah ada fatwa mengatakan tidak boleh solat tahiyatul masjid di surau atau musolla. Fatwa itu menasakhkan fatwa yang terkebelakangnya yang mengatakan boleh.
ReplyDeletesaudariku puteri yang baik,
ReplyDeleteterima kasih saya haturkan atas sharingnya...
saudariku,
surau/mushalla yg boleh dilakukan shalat tahiyyatul masjid adalah:
"tanah wakaf & dipergunakan u/ shalat berjamaah 5 waktu oleh masyarakat" -> ini disebut masjid menurut fiqh. hanya saja masyarakat Indonesia tetap menyebutnya sbg mushalla...
adapun yang digunakan juga u/ shalat jum'at disebut masjid jami' (menurut fiqh)...
Adapun mushalla menurut definisi fiqh yang tdk boleh dilakukan shalat tahiyyatul masjid, contohnya sbb:
1. tanah/lapangan u/ shalat 'id.
2. kamar/bangunan milik pribadi u/ shalat
3. bangunan di mall/pusat perbelanjaan milik pribadi pengusaha u/ shalat para pengunjungnya
4. bangunan di pom bensin (SPBU) milik pribadi pengusaha u/ shalat orang2 yg mengisi bahan bakar
mungkin definisi surau/mushalla yang ada di fatwa tsb. adalah yg saya sebut terakhir, jd memang menurut fiqh disebut mushalla, bukan masjid...
mohon kiranya sampean copas (copy & paste) fatwa tsb...
begitu dulu, saudariku...
terimakasih Atas ilmunya, mohon ijin untuk bahan referensi pengajaran.
ReplyDeleteTerima kasih, informasinya sangat mencerahkan.
ReplyDeleteAlhamdulilah,semoga saya bs senantiasa menjalankannya,Amin
ReplyDeleteAlhamdulillah, trm ksh info nya, nambah ilmu lagi ...
ReplyDeleteBermanfaat.
ReplyDeleteMonggo saling berkunjung ke griya maya saya ; www.nooraflah.wordpress.com
Bermanfaat.
ReplyDeleteMonggo saling berkunjung ke griya maya saya ; www.nooraflah.wordpress.com
kalo musholla disekolah apakah boleh tahiyatul masjid ya?
ReplyDelete