Mencari Data di Blog Ini :

Friday, September 25, 2009

Renungan Idul Fitri : Antara Ketulusan, Tradisi dan Basa-Basi (2 of 2)

Ketulusan adalah bahasa kalbu yang tertanam (ter-install) dalam fitrah manusia.

Ketulusan adalah bahasa universal yang dapat menembus batas gender, usia, suku dan wilayah.

Ketulusan adalah bahasa yang bisa dimengerti orang awam, dipahami cerdik cendekia, didengar si tuna rungu, dilihat sang tuna netra dan dirasakan setiap jiwa.

Ketulusan adalah hiasan indah, namun beribu sayang kita sering membuang serta mengabaikannya seolah sepatu usang.

Ketulusan tak kan lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, dan tak kan menua karena usia zaman.

Ketulusan itu sejernih tetes embun, sehangat dekapan ibu, seindah lukisan alam dan seharum wewangian surga.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوْرًا

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS al-Insân [76] : 9)

Tak peduli dengan jatuhnya gengsi, permintaan maaf harus kita haturkan bila memang kita bersalah, tanpa perlu berbelit-belit membuat argumentasi pembenaran perilaku diri.

Tak peduli apa pun sikap orang lain—apakah mereka minta maaf atau tidak—pemberian maaf seharusnya kita curahkan kepada siapa pun. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa sepanjang penelitiannya, beliau tidak pernah menemukan dalam Al-Qur’an perintah meminta maaf. Ayat-ayat yang ditemukan adalah perintah atau permohonan agar memberikan maaf.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A‘râf [7]: 199)

Ketiadaan perintah meminta maaf, bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya, tetapi yang lebih perlu adalah menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air mukanya dengan suatu permintaan—walaupun permintaan itu adalah pemaafan.

Tak peduli apa pun perbuatan orang terhadap kita setelah lebaran, perbaikan diri harus kita lakukan dengan mengabaikan persepsi keliru yang berkembang di tengah masyarakat, yaitu “Setelah meminta dan memberi maaf berarti 0-0 sehingga sesudah Idul Fitri saatnya berbuat dosa lagi. ”

Idul Fitri hakekatnya sebuah rangkaian peristiwa dan waktu dalam perjalanan kita menuju Allah. Adakah kita hendak mengisi perjalanan tersebut dengan permainan-permainan (sesuatu) yang tidak diridhai Allah?

Idul Fitri hakekatnya sebuah momen bagi setiap muslim untuk meningkatkan amal dan ibadah, bukan malah bersantai-santai dengan dalih menikmati masa rehat setelah berbagai aktivitas ibadah Ramadhan. Hal ini selaras dengan nama bulan saat Idul Fitri, yaitu Syawal (dalam bahasa Arab disebut Syawwâl).

Syawwâl (شَوَّالْ) berasal dari kata syawala (شَوَلَ). Menurut ilmu sharaf, syawala termasuk Binâ’ Ajwaf Wâwi karena ‘ain fi‘il berupa wawu (salah satu dari tiga huruf ‘illat, yakni wawu, alif dan ya’). Pada Binâ’ Ajwaf, huruf alif selalu digunakan sebagai pengganti huruf wawu bila Binâ’ Ajwaf Wâwi dan pengganti huruf ya’ bila Binâ’ Ajwaf Yâ’i. Dengan demikian syawala (شَوَلَ) berubah menjadi syâla (شَالَ).

Untuk mempermudah pemahaman, penulis sajikan dua contoh lain Binâ’ Ajwaf Wâwi yang lazim kita dengar, yaitu kata qawala (قَوَلَ) berubah menjadi qâla (قَالَ) dan kata shawama (صَوَمَ) berubah menjadi shâma (صَامَ).

Di Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia, syâla berarti naik, oleh karena itu syawwâl berarti peningkatan. Jadi bulan Syawal adalah bulan peningkatan amal kebajikan, baik kuantitas maupun kualitas.

“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah ucapan indah yang setiap orang bisa melafalkannya.

“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah kalimat sarat makna yang setiap pelajar dapat menuliskannya.

“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah retorika bermutu tinggi yang setiap insan dapat meneriakkannya.

Namun,

“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” hanyalah sebuah slogan kampanye bila kita tidak terus memonitor ibadah harian diri.

“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” hanyalah sebuah janji politik kita terhadap diri sendiri bila tanpa bukti nyata. Anehnya, mengapa kita tidak menagih janji itu ketika kita malas dalam beribadah? Mengapa kita rajin menuntut orang lain memenuhi janjinya tapi enggan menuntut diri sendiri?
Sebagai penutup, mari kita tanamkan benar-benar sebuah cambuk jiwa, pelecut asa dan penguat semangat berikut ini :
مَنْ كاَنَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْـبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرّاً مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
Siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin maka ia orang beruntung. Siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia tertipu dan siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin maka ia orang terlaknat.


Daftar Pustaka :

  • Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat belas 1997
  • M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 18, 2009

Renungan Idul Fitri : Antara Ketulusan, Tradisi dan Basa-Basi (1 of 2)

Duhai hati…
Kurendam engkau di air kelapangan jiwa
Kukerik kerak yang mulai mengeras
Kucuci hingga suci tak bernoda
Kujemur di bawah cahaya Ilahi

Duhai hati…
Itulah hasratku
Itulah kehendakku
Itulah ‘azam­-ku
Itulah visi dan misiku

Duhai hati…
Tapi diri ini lebih senang menunda
Semua jadi teori dan omong kosong belaka
Cuma desain tanpa implementasi nyata
Hebat kata-kata namun hampa adanya


Setiap kita tentu tulus saat menulis maupun mengucapkan permohonan maaf kala Idul Fitri tiba.

Setiap kita tentu tulus saat melafalkan kalimat pemberian maaf kepada orang yang mengharap maaf kita kala Idul Fitri datang.

Pertanyaannya adalah :
  • Ketika meminta maaf kepada seseorang, pernahkah kita—di dalam hati—menyebut apa saja kesalahan kita kepadanya? Ataukah kita hanya mengikuti sebagaimana lazimnya, yaitu dengan mengucap “Mohon dimaafkan atas segala kesalahan, baik disengaja maupun tidak”? Padahal kita sendiri tidak tahu (atau bahkan tidak mau tahu) kesalahan apa yang telah kita perbuat?
  • Misal kita khilaf telah meng-copas tulisan orang lain tapi tidak mencantumkan nama atau alamat web/blog orang tersebut.

    Maukah dengan jujur kita segera mencantumkan namanya, lalu secepatnya memohon keikhlasan darinya?

    Ataukah dengan egoisme tinggi kita enggan melakukannya karena para pengunjung blog telah mengira bahwa artikel tersebut tulisan kita, dan bila kita revisi, ada kekuatiran harga diri akan jatuh?
  • Apakah pemberian maaf kita hanya berlaku untuk orang yang secara langsung memohon maaf kepada kita?

    Bagaimana bila ada orang yang bersalah kepada kita tapi tidak minta maaf? Akankah kita juga memaafkannya? Apakah di hari nan fitri kita berniat memaafkan semua orang, baik yang menghaturkan kata maaf maupun tidak?

    Ataukah kita hendak berkata, “Kalau dia ngga minta maaf terlebih dahulu, aku ngga sudi memaafkannya. Jangankan memberi maaf, melihat mukanya saja aku tak mau!”
  • Apabila kita murid/mahasiswa, setelah bermaaf-maafan dengan guru/dosen, apa di bulan-bulan berikutnya kita masih mengulangi kebiasaan kita, yaitu membicarakan (ngrasani) guru/dosen kala berkumpul (kongkow/cangkruk) bareng teman-teman?
  • Kalau kita guru/dosen/ustadz, sesudah saling meminta dan memberi maaf kepada siswa/mahasiswa/santri, masihkah kita bersikap merasa diri lebih tua, lebih pengalaman dan lebih-lebih lainnya sehingga tidak boleh ada satu siswa/mahasiswa/santri pun mendebat atau membantah kita? Masihkah kita berprinsip “kalah–menang nyérék” (apa pun yang terjadi—walaupun kita salah—keputusan dan kekuasaan berada di tangan kita sehingga kita senantiasa menang)?
  • Jika kita atasan, setelah lebaran, apakah kita benar-benar memperbaiki kualitas kepemimpinan sehingga kesalahan yang telah lalu tak terulang lagi? Begitu pula sebagai karyawan, apakah kita sungguh-sungguh meningkatkan kinerja sebagai bukti tulus permintaan maaf kita kepada atasan?
  • Bila kita pejabat, apakah permintaan dan pemberian maaf kepada rakyat akan membuahkan kejujuran yang senantiasa mengalir bersama aliran darah dan menyatu dalam diri sehingga tak kan pernah ada kamus membohongi publik, korupsi dan sejenisnya di benak kita?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “tulus” bermakna sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas. Adapun ketulusan berarti kesungguhan dan kebersihan (hati); kejujuran.

Berdasarkan Kamus Al-Munawwir Indonesia—Arab serta software Kamus Al-Mufid versi 1.0, terjemah kata “tulus” dalam bahasa Arab adalah ikhlâs (إخلاص).

Sebagaimana telah dibahas di artikel “
Benarkah Kita Hamba Allah? (1 of 2),” ikhlas berarti semua hal dilakukan semata-mata untuk dan karena Allah, apa pun sikap/perlakuan orang terhadap kita.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An‘âm [6] : 162)

Dari uraian di atas, bukankah wajar bahkan sebuah keharusan bila kita bertanya kepada diri sendiri, “Tuluskah saya ketika meminta dan memberi maaf? Jika memang tulus, apa buktinya?”

Mari kita lihat diri sendiri, tak perlu repot-repot menilai orang lain. Bukankah orang terdekat adalah diri sendiri? Bukankah semakin dekat seharusnya semakin mengerti betul kekurangan/kesalahan yang ada? Anehnya, justru karena sangat dekat itulah sehingga kita kesulitan bahkan tak dapat melihat kekurangan diri sendiri.


Daftar Pustaka :
  • Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, “Kamus Al-Munawwir Indonesia—Arab Terlengkap”, Pustaka Progressif, Cetakan Pertama 2007
  • Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 11, 2009

Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (3 of 3)

b. Shalat Tarawih Berpindah-pindah Masjid


Tabiat manusia memang mudah bosan—dan itu wajar—namun harus dicari solusinya, tidak berdiam diri. Barangkali karena setiap hari melaksanakan shalat Tarawih di tempat sama, maka semangat untuk mengerjakannya tidak seperti saat awal Ramadhan. Shalat Tarawih seolah menjadi sebuah ritual dan rutinitas tanpa ruh. Salah satu cara untuk tetap menjaga semangat dalam menjalankan shalat Tarawih dengan baik adalah dengan berpindah-pindah masjid.

Kita bisa melakukan wisata religi dengan pergi ke masjid-masjid lain. Kalau di Surabaya, kita bisa melakukan shalat Tarawih di Masjid Agung Sunan Ampel, Masjid Al-Akbar yang merupakan salah satu masjid terbesar di Indonesia dengan daya tampung 30.000 jamaah, Masjid Al-Falah, Masjid Kemayoran, Masjid Muhammad Cheng Hoo, masjid-masjid kampus atau masjid mana pun, demi mendapatkan suasana dan pengalaman baru.


Lebih mengasyikkan lagi jika kita ikut buka bersama di masjid yang dituju. Kebersamaan dalam menikmati takjil, shalat Maghrib dan makan bersama dengan menu seadanya, sungguh tak terperikan. Betapa kerukunan dan kekompakan yang terjalin bisa menjadi kenangan terindah bagi memori kita. Setelah itu dilanjutkan dengan shalat Isya’ dan Tarawih berjamaah. Selain tujuan tersebut, kita bisa mempelajari keunikan (ciri khas), arsitektur, arti filosofis bangunan, sejarah dan hal-hal lain yang ada di masjid yang sedang kita kunjungi, misalnya ziarah ke makam Sunan Ampel bila kita di Masjid Ampel.

Biasanya, para pelajar dan mahasiswa senang sekali melakukan wisata religi ini. Tujuan utama tetaplah ibadah. Barakah dari ibadahlah yang menyebabkan bisa buka bersama secara gratis, tiap hari pula. Uang saku pun tidak banyak berkurang :-).


c. Shalat Tarawih Hanya Untuk Hari itu


Rasa malas untuk melaksanakan shalat Tarawih, apalagi harus sendirian, biasanya muncul karena adanya anggapan bahwa kemarin kita sudah melaksanakannya, dan esok pun masih ada. Bahkan, sering kita berkata pada diri sendiri, “Tahun depan kan masih ada Tarawih, jadi tidak perlu bersusah-payah. Apalagi saat ini tugas menumpuk.” Dengan persepsi seperti ini, kita telah memperkenankan diri kita untuk membuat berbagai alasan (excuse) supaya tidak shalat Tarawih.


Bila pikiran itu mendera kita, maka solusinya adalah melupakan bahwa kita pernah Tarawih dan masih ada kesempatan lagi esoknya. Anggaplah bahwa kita hanya hidup di hari itu. Anggaplah bahwa hari itu adalah hari di mana kita shalat Tarawih pertama dan/atau terakhir kali, dan esok sudah tidak ada lagi Tarawih. Isilah hari itu dengan kebaikan apa pun yang bisa dilakukan. Dengannya, kita akan mempunyai semangat untuk melaksanakan shalat Tarawih, bagaimana pun kondisinya.

Biasanya, nasihat “Hiduplah hari ini. Lupakan kemarin dan esok”, diberikan oleh seorang motivator untuk orang-orang yang takut akan masa depan dan trauma dengan masa lalunya. Namun, nasihat ini juga bisa digunakan untuk senantiasa memperbaiki ibadah kita dalam keseharian. Kita lupakan bahwa kita pernah beribadah, dan jangan berpikir bahwa kita bisa beribadah esok hari.

‘Aidh al-Qarni berpesan, “Harimu adalah hari ini. Umur Anda, mungkin tinggal hari ini. Maka, anggaplah masa hidup Anda hanya hari ini, atau seakan-akan Anda dilahirkan hari ini dan akan mati hari ini juga. Pada hari ini pula, sebaiknya Anda mencurahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja keras. Pada hari inilah, Anda harus bertekad mempersembahkan kualitas shalat yang paling khusyu‘, bacaan Al-Qur’an yang sarat tadabbur (penghayatan), dzikir dengan sepenuh hati, keseimbangan dalam segala hal, keindahan dalam akhlak, kerelaan dengan semua yang Allah berikan, perhatian terhadap keadaan sekitar, perhatian terhadap kesehatan jiwa dan raga, serta perbuatan baik terhadap sesama.”

Dalam keberagamaan, kita sering mendapat nasihat agar berbuat untuk akhirat seolah-olah esok kita telah tiada.
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ ِلآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Berbuatlah untuk duniamu, seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah engkau mati esok pagi.
Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub dan al-Albani, kalimat di atas bukan hadits marfu’ (ucapan Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wasallam) dan berstatus dha‘if. Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab “Gharîb al-Hadîts” dengan sanad mauquf (terhenti pada sahabat). Ibnu Mubarak dalam kitab “Az-Zuhud” juga meriwayatkannya dengan sanad lain yang mauquf dan munqathi’ (apabila di tengah rangkaian sanad ada keterputusan; baik satu tempat atau lebih selama tidak terputus secara berturut-turut pada generasi di bawah tingkatan shahabat).

Saat mengaji di pesantren kyai kami, KH. Asep Saifuddin Chalim menerangkan maksud nasihat ini adalah bila kita mengerjakan sesuatu yang bersifat duniawi—tidak berhubungan dengan akhirat—maka kerjakan sewajarnya saja karena seolah-olah kita hidup selamanya, berarti masih ada hari esok. Namun bila berhubungan dengan akhirat, kita harus bersungguh-sungguh karena seolah-olah esok telah tiada. Hal ini sesuai dengan ayat,

َوَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi  (QS al-Qhashas [28]: 77)

Ayat ini menerangkan agar kita mencari kebahagiaan akhirat, sedangkan untuk urusan dunia dipesan “jangan lupa”. Ini berarti penekanan ada di akhirat atau bisa juga bermakna urusan dunia pun harus untuk bekal di akhirat. Wallâhu a‘lam.

Al-Ghazali menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat—misalnya selesai shalat Subuh—untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah). Pada kondisi itu, katakanlah kepada jiwa,

“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.

Seandainya aku diwafatkan oleh-Nya, niscaya aku berharap untuk dikembalikan ke dunia satu hari saja sehingga aku bisa beramal shaleh. Anggaplah wahai jiwa, bahwa engkau telah wafat, kemudian engkau dikembalikan ke dunia lagi, maka jangan sampai engkau menyia-yiakan hari ini karena setiap nafas merupakan mutiara yang sangat berharga.

Ketahuilah wahai jiwa bahwa sehari-semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah pada hari ini untuk mengisi lemarimu. Jangan kau biarkan dia kosong tanpa barang-barang simpanan. Janganlah engkau cenderung kepada kemalasan, kelesuan dan kesantaian sehingga engkau tidak dapat meraih derajat tinggi (‘illiyyîn) yang dapat diraih orang lain, lalu engkau penuh sesal.”

Semoga Allah senantiasa menolong kita untuk bisa mengabdi kepada-Nya, dan memberikan maaf serta ampunan-Nya kepada kita, amin. Marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :
َاللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا


Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia. Engkau menyukai sikap pemaaf, maka maafkanlah kami, amin.
Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, September 4, 2009

Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (2 of 3)

Kala kegiatan begitu menumpuk, misalnya belajar ketika ada ujian bagi pelajar atau mahasiswa, kursus atau kuliah sore, kerja lembur, shift sore, tugas di posko, sedang di perjalanan atau yang lain, maka shalat Tarawih sendirian memang terasa begitu berat. Terkadang ada juga yang mengalami kejenuhan karena shalat Tarawih dilakukan setiap hari. Ibarat makanan, hari pertama sangat berselera, tapi setelah beberapa hari, selera pun menurun.


Memang, agama itu mudah, tapi jangan diremehkan. Itulah maksud sebenarnya. Semangat untuk tetap Tarawih harus tetap dipupuk. Apa pun alasannya kita harus berusaha sekuat-kuatnya untuk melaksanakan Tarawih, karena kelak di hari akhir, kita akan dihadapkan kepada diri sendiri guna mempertanggungjawabkan perbuatan di dunia ini.
اِقْرَأْ كِتٰـبَكَ كَفٰى بِنَفْسِكَ ٱلْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْـبًا

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” 
(QS al-Isrâ’ [17] : 14)


Selain itu, mari kita pahami penggalan ayat berikut ini:

لَهَا مَا كَسَـبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَـبَتْ

Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(QS al-Baqarah [2] : 286)

Perbuatan-perbuatan buruk manusia dinyatakan dengan “iktasabat”, sedangkan perbuatan baik dengan “kasabat”. M. Quraish Shihab mengutip ulasan Muhammad Abduh di tafsir “Al-Manâr” menjelaskan bahwa kata “iktasabat” dan semua kata yang berpatron demikian, memberi arti adanya upaya sungguh-sungguh dari pelaku; sedangkan kata “kasabat” berarti dilakukan dengan mudah.
Di buku “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi” juga diuraikan bahwa salah satu faedah pola (wazan) “ifta‘ala — yafta‘ilu” yaitu menunjukkan arti bertambah bobotnya makna fi‘il. Adapun contoh faedah ini sebagai berikut:


اِكْتَسَبَ زَيْدٌ
Zaid bekerja keras (Zaid bersungguh-sungguh dalam bekerja).

Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan.
Dari penjelasan di atas, marilah kita bahas hal-hal yang bisa meringankan pikiran kita, sehingga apa pun yang terjadi, kita tetap mempunyai keinginan kuat (‘azam) untuk melaksanakan shalat Tarawih, baik berjamaah maupun sendirian.

a. Pahala Shalat Tarawih Tak Terkira

Tentang ganjaran shalat malam di bulan Ramadhan (Tarawih), Rasulullah Muhammad saw. bersabda :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang bangun (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
(Muttafaq ‘alayh)

Sebagaimana kita ketahui bersama dari penjelasan para ulama bahwa di bulan Ramadhan, Allah mencurahkan semua rahmat dan melipatgandakan pahala, jauh melebihi selain Ramadhan. Bahkan, dalam sebuah nasihat (bukan hadits Nabi) dituturkan bahwa tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah ibadah. Tentunya hal ini bila dibandingkan dengan melakukan kemaksiatan atau berkata yang tidak bermanfaat, seperti menggunjing.

Dengan adanya keutamaan ini, janganlah kita menganggap bahwa shalat Tarawih “hanyalah” shalat sunnah. Dengan anggapan seperti ini, maka kita sudah memerintahkan otak dan diri kita, bahwa melaksanakannya akan mendapat pahala, dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Dengannya, kita akan tenang-tenang saja walau tidak pernah Tarawih. Kita tidak akan merasa kehilangan apalagi menyesal.

Kita harus meyakini bahwa shalat Tarawih bukan sekadar shalat sunnah. Shalat Tarawih nilainya begitu besar, bahkan dalam kitab “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah” dijelaskan bahwa pahala shalat sunnah di bulan Ramadhan sama dengan shalat fardhu di luar Ramadhan. Adapun shalat wajib di bulan Ramadhan setara dengan tujuh puluh shalat fardhu selain Ramadhan. Betapa agung karunia Allah di bulan mulia ini, bulan Ramadhan.

Dengan keyakinan tersebut, maka kita akan bersemangat dalam menjalankan Tarawih, meskipun badan lelah setelah bertugas, waktu terbatas dan mengerjakannya pun harus sendirian. Ini juga berarti, kita telah menabung dengan nilai yang sangat besar untuk kehidupan di akhirat nanti. Mengabaikan Ramadhan berarti menyia-nyiakan masa depan. Bukankah kita akan menanamkan modal di tempat teraman dengan hasil investasi berlipat ganda? Ramadhan adalah investasi teraman dengan hasil luar biasa, bahkan hanya Allah Yang Maha Tahu tentang besar balasan yang diberikan kepada kita. Dan, shalat Tarawih adalah salah satu jenis investasinya, laksana saham yang tak akan membuat kita rugi.

‘Aidh al-Qarni berkata, “Jika seorang hamba dikaruniai semangat besar, maka dia akan berjalan di atas jalan keutamaan dan akan menaiki tangga derajat yang tinggi. Dan, itu adalah salah satu ciri Islam.”

Semangat adalah pusat penggerak yang membentuk kepribadian dan mengawasi organ-organ tubuh.

Semangat adalah bahan bakar jiwa dan kekuatan berkobar-kobar, yang akan menggerakkan pemiliknya untuk melompat cukup tinggi dan memburu nilai-nilai kemuliaan.

Semangat besar akan mendatangkan—dengan izin Allah—kebaikan tak terhingga. Dengan begitu kita bisa naik pada tangga kesempurnaan, urat nadi kita teraliri darah ksatria, dan kita terdorong ke wilayah ilmu dan amal.

Semangat besar membuat kita berdiri di semua pintu kemuliaan dan terlibat dalam perburuan bersama mereka yang juga memburu nilai-nilai keutamaan.

Semangat besar membuat kita tidak pernah puas dengan tingkatan rendah, tidak pernah berhenti meski telah sampai batas dan tidak pernah puas dengan yang sedikit.

Misalnya ada seorang pengusaha berkata kepada para karyawannya, “Bulan ini adalah bulan kelahiran saya. Saya ingin memberi bonus besar-besaran kepada Anda semua. Saya tahu uang transport Anda setiap hari sebesar Rp 33.000,-. Sedangkan untuk makan siang sudah tersedia di kantin. Khusus bulan ini, siapa yang masuk kantor setiap hari—tidak ada ijin—maka saya akan memberinya bonus 700 kali uang transport setiap hari, bahkan lebih bila dia dinilai baik. Di akhir bulan, saya bayar dia sebesar 1000 kali gaji bulanan yang diterima selama ini.”

Jika kita adalah karyawan di perusahaan tersebut, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita tidak terpengaruh dengan bonus itu? Mungkin ada di antara teman kita berkata, “Ah, santai saja. Toh, saya tetap dapat uang transport setiap hari. Walaupun nilainya biasa-biasa saja, tidak apa-apa. Cukuplah uang harian seperti yang saya terima di luar bulan ini. Gaji pun cukup seperti biasanya. Tak perlu berusaha keras untuk masuk terus dan bekerja dengan lebih baik di bulan ini.”

Apa pendapat kita tentang teman kita tadi? Setujukah kita dengannya, dan kita pun akan berbuat yang sama? Ataukah dengan semangat membara kita rajin masuk dan memperbaiki kinerja, demi mendapatkan bonus dan masa depan yang lebih baik?

Abu Hamid al-Ghazali menyatakan,

“Apabila seseorang sudah tidak memiliki perhatian terhadap suatu perkara, ia akan melihat perkara itu besar dan caranya sangat sulit. Akan tetapi, jika ia memiliki perhatian besar, semangat tinggi dan kemauan yang kuat pula, maka ia akan menemukan berbagai jalan yang dapat ditempuh untuk sampai kepada tujuannya.

Bahkan, dengan kemauan kuat dan kemampuan tinggi, ia akan dapat menangkap burung yang terbang di udara, mendapatkan ikan yang berenang di dasar laut, mengeluarkan emas dan perak dari dasar gunung, berburu binatang liar di hutan atau padang pasir, menjinakkan binatang buas, menangkap ular berbisa dan mengambil bisa dari mulutnya, membuat sutra, menghitung jarak antar galaksi, melatih kuda untuk ditunggangi, anjing untuk berburu, elang untuk menangkap burung dan lain-lain.

Semua itu dapat dilakukan bila seseorang memiliki kemauan kuat, semangat tinggi dan kemampuan memadai.”


Daftar Pustaka :
  • Abdullah Ba‘alawi Al-Haddad, asy-Syaikh, “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (3 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#