Mencari Data di Blog Ini :

Friday, February 26, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)

Orang-orang shaleh dan orang-orang thaleh (fasik) keduanya mengadu dan menangis karena sempitnya umur. Orang-orang shaleh menangis karena berharap kalau saja mereka dapat menambah amal baiknya. Sedangkan orang thaleh menangis karena menyesal tidak bersiap-siap demi hari esok nan kekal. Mereka belum membekali diri dengan amal shaleh. Tentang amal shaleh, Muhammad Abduh mendefinisikannya sebagai, “Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.” Tentunya hal ini harus disertai iman dan ilmu.


Ibnu Athaillah berpesan, “Penundaanmu untuk beramal karena menanti waktu senggang adalah timbul dari hati yang bodoh.” Waktu yang ada pada diri seorang manusia berpacu dengan usia, sedangkan usia diakhiri dengan maut. Waktu bertambah dan umur manusia terus menyusut. Siapakah yang mengetahui sampai kapan seorang anak manusia berkuasa atas waktunya di dunia ini?


“Kekecewaan dari semua kekecewaan adalah ketika kalian berkesempatan tetapi kalian tidak menghadap Allah. Saat sedang ada sedikit halangan, kalian juga tidak mendatangi Allah,” kata Ibnu Athaillah melanjutkan nasihatnya.


Al-Ghazali menasihatkan agar dalam hidup ini kita selalu menempa jiwa, jangan sampai kita terpesona oleh tipu dayanya dan terperdaya karena manipulasinya. Perlu kita sediakan waktu khusus untuk merenung—melakukan kontemplasi—berkata kepada jiwa kita,


“Bagaimana jalan pikiranmu, andai banjir besar melanda dan akan menenggelamkan penduduk suatu negeri, tetapi mereka tetap bertahan di tempat tinggal mereka dan tidak mengambil langkah-langkah penyelamatan karena ketidaktahuan mereka terhadap situasi yang terjadi; sedangkan engkau wahai jiwa, mampu meninggalkan mereka dan naik ke atas perahu agar selamat dari banjir itu?


Apakah masih terpikirkan olehmu bahwa musibah yang terjadi secara meluas itu akan menjadi baik dengan sendirinya, sehingga engkau tidak perlu menyelamatkan diri? Ataukah engkau akan segera mengambil langkah penyelamatan?


Jika musibah itu hanya terjadi beberapa hari atau minggu, dan engkau segera menyelamatkan diri—maka, apakah engkau wahai jiwa, tidak akan melarikan diri dari siksa abadi di neraka?
Wahai jiwa, isilah hidup ini dengan bersungguh-sungguh (mujâhadah) dalam mengabdi kepada Allah.”


Ibnu Athaillah berkata, “Sesungguhnya hamba Allah yang shaleh akan banyak meluangkan waktu untuk merenungkan dirinya, mengevaluasi amal ibadahnya, mencuci hati dan pikirannya dengan perenungan suci, dan memberi arah kepada pikirannya dengan logika yang sehat dan wawasan yang dalam. Di saat jiwa kita jernih, maka akan jernih pula hati dan pikiran kita. Saat hati kita lapang, maka akan lapang juga pikiran dan akal kita.”


Seseorang bertanya kepada al-Ghazali, “Jiwaku tidak mau mengikutiku untuk mujâhadah dan senantiasa menjaga wirid, lalu bagaimana cara mengobatinya?” Apabila jiwa telah diperbudak oleh hawa nafsu, maka jiwa itu telah kehilangan keseimbangan, cenderung dibelenggu oleh kesenangan maksiat, dan tidak merasakan perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta, Allah SWT.


Menjawab pertanyaan ini, Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Caranya adalah dengan memperdengarkan kepadanya (jiwa) berbagai hadits mengenai keutamaan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mujtahidîn). Salah satu terapi yang paling bermanfaat adalah bersahabat dengan salah seorang hamba Allah yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, sehingga Anda dapat memperhatikan ucapan-ucapannya dan menjadikannya sebagai teladan.”


Di buku “Sentuhan Kalbu”, Permadi Alibasyah membuat perumpamaan yang begitu indah tentang kehidupan di dunia ini. Janganlah kita terlena akan kesenangan dunia yang sesaat, dan melupakan tujuan diciptakannya kita.


Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS al-Hadîd [57] : 20)


Perjalanan hidup manusia tak ubahnya bagaikan kisah penyelam mutiara. Seorang penyelam mutiara, dalam melaksanakan tugasnya selalu dibekali dengan tabung oksigen yang terpasang di punggungnya. Pada saat ia terjun menyelam, niatnya bulat ingin mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya. Tetapi begitu ia berada di bawah permukaan laut, ia mulai lupa pada apa yang harus dicarinya. Kenapa? Ternyata pemandangan di dalam laut sangat memesona. Bunga karang melambai-lambai seolah-olah memanggilnya, ikan-ikan hias berwarna-warni saling berkejaran dengan riangnya membuatnya terpana. Ia pun terlena, lalu ikut bercanda ria, melupakan tugasnya semula untuk mencari tiram mutiara yang berada jauh di dasar laut sana.


Hingga pada suatu saat, dia terkejut manakala disadarinya oksigen yang berada di punggungnya tinggal sedikit lagi. Timbullah rasa takutnya. Tak terbayang olehnya bagaimana kemarahan majikannya bila ia muncul ke permukaan tanpa membawa tiram mutiara sebanyak yang diharapkan. Maka dengan tergopoh-gopoh ia pun berusaha untuk mencari tiram mutiara yang ada di sekitarnya. Namun sayang, kekuatan fisiknya sudah melemah, energinya sudah habis terkuras bercanda ria dengan keindahan alam bawah laut.


Akhirnya isi tabung oksigennya benar-benar kosong, sehingga walaupun tiram mutiara yang diperolehnya sangat sedikit, ia mau tidak mau harus muncul ke permukaan. Malangnya lagi, karena tergesa-gesa dia tidak sempat mengikat kantongnya dengan baik, sehingga ketika tersenggol ikan yang berseliweran di sampingnya, tiram mutiara yang sudah didapatnya dengan susah payah itu sebagian tertumpah ke luar.


Di permukaan, majikannya telah menunggu. Begitu dilihatnya isi kantong si penyelam tidak berisi tiram mutiara sebagaimana yang ia harapkan, maka tumpahlah ketidaksenangan sang majikan. Saat itu juga si penyelam dipecat. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana gundahnya perasaan si penyelam.


Dengan penuh rasa penyesalan, si penyelam berusaha minta kesempatan ulang untuk menyelam kembali. Dia memohon,


“Tuan, ijinkanlah aku untuk menyelam lagi, pasti aku akan mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya.”


“Percuma engkau aku beri kesempatan, ternyata engkau hanya pandai membuang-buang oksigen saja!” tolak majikannya dengan tegas.


Kisah ini amat mirip dengan perjalanan hidup kita di dunia. Tabung oksigen adalah perlambang usia kita, tiram mutiara mengibaratkan pahala yang harus kita kumpulkan dan tiram mutiara yang tumpah mengumpamakan pahala yang hilang, misalnya karena riya’ (menampakkan amal shaleh agar dilihat orang lain supaya mendapat penghargaan atau kedudukan) dan sum‘ah (menceritakan amal shaleh agar didengar orang lain supaya dipuji). Adapun keindahan yang ada di dalam lautan melambangkan godaan-godaan kenikmatan duniawi.


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (4 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, February 19, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)

Dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak, sebenarnya kita telah melupakan bahwa kita hidup untuk beribadah kepada-Nya. Kita memberi informasi pada otak bawah sadar kita bahwa “menyembah” berarti ibadah ritual, sesuatu yang hukumnya wajib (fardhu) atau sunnah. Kegiatan sehari-hari kita anggap hukumnya mubah—dilaksanakan tidak berpahala, ditinggalkan pun tidak berdosa—jadi tidak termasuk ibadah. Untuk mengetahui keadaan diri, coba kita jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  • Kalau kita adalah murid sekolah atau mahasiswa, apa tujuan kita pergi ke sekolah, kuliah atau mengikuti bimbingan belajar?
  • Jika kita adalah pegawai dan suatu saat mengikuti kursus atau training, apa tujuan kita?
  • Sebagai orang yang sudah bekerja, buat apa kita bekerja?
  • Apabila ada tamu bertandang ke rumah, kemudian kita suguhkan sekadar makanan ringan, apa niat kita saat menyajikannya?
  • Tatkala kita akan mengikuti rapat, musyawarah, konferensi, muktamar atau sejenisnya, adakah yang kita niatkan dari rumah?
  • Jikalau kita membersihkan kamar kos, rumah, lingkungan atau sekolah (bagi para siswa), apa yang kita katakan di dalam hati sebelum melaksanakannya?
  • Saat kita membeli pakaian, kendaraan, rumah atau yang lain, apa niat kita?
Apakah dalam jawaban-jawaban tersebut, kita menyebut asma Allah? Apakah lafazh “Allah” terkandung di dalamnya? Jika tidak, mengapa?

Para ulama (terutama masa lampau) telah mengajarkan kepada kita agar berniat ketika melaksanakan sesuatu semata-mata karena Allah meski asalnya berstatus mubah, misal makan dan minum. Saat makan kita berniat agar kuat menjalankan ibadah lain, seperti membaca Al-Qur’an dan shalat. Ketika menyuguhkan hidangan untuk tamu, contoh niatnya adalah, “Saya niat menghormati dan memuliakan tamu karena Allah Taâlâ.

Waktu cepat berlalu. Zaman telah berubah, kebiasaan pun mengikutinya. Kandungan lafazh “Allah” dalam setiap niat dihilangkan demi mempersingkat kalimat, mempercepat waktu dan praktisnya kegiatan. Pada awalnya, walaupun lafazh “Allah” dihilangkan dari niat, tetaplah pada diri setiap insan selalu ingat bahwa itu semua untuk Allah. Dalam konteks bahasa, hal ini disebut Majas Metonimia.

Majas Metonimia adalah majas yang mengungkapkan sesuatu dengan menyebutkan sebagian dari orang atau barang yang dimaksud. Contoh penggunaannya adalah, “Saya suka membaca Chairil Anwar”. Yang dimaksud adalah, “Saya suka membaca puisi karya Chairil Anwar.” Contoh lain yang sering kita gunakan dalam keseharian yaitu, “Saya ingin membeli lima dos Aqua, Ades, Cheers, Vit dan Club.” Semua itu nama merk air minum dalam kemasan. Tanpa disebutkan “air minum dalam kemasan”, semua orang sudah mengerti maksudnya.

Bumi terus berotasi dan berevolusi. Waktu terasa lebih cepat berlalu. Zaman sudah modern, perbuatan pun tunduk padanya. Bagi sebagian orang, 24 jam sehari terasa sangat kurang untuk menjalankan beragam aktivitas. Di era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau dalam bahasa Inggris disebut Information and Communication Technology (ICT) ini, berniat sudah dianggap membuang-buang waktu. Akhirnya setiap kegiatan dilakukan tanpa niat. Pokoknya, tahu sama tahu, sama seperti kemarin—idem.

Seperti kita pahami bersama, kita dibentuk oleh kebiasaan yang kita lakukan. Sebagai manusia, kita pun mempunyai sifat lupa. Sifat lupa ini sebenarnya banyak sisi positifnya. Andaikan ada seseorang tidak pernah lupa, tentu ia tidak akan bisa istirahat, apalagi tidur. Ia akan teringat akan masa lalunya yang bisa saja tidak menyenangkan. Apakah ia tidak akan trauma? Di sisi lain, karena kita terbiasa menghilangkan niat, maka kita akan lupa bahwa niat harus ada. Karena kita meniadakan lafazh “Allah” dalam niat, kita juga dibuat lupa bahwa harus ada Dzat sebagai tujuan kita.

Sebagai hasilnya, kita tidak merasa bahwa segala yang kita lakukan adalah ibadah kepada Allah. Ibadah-ibadah ritual sajalah yang benar-benar kita niatkan untuk-Nya. Itu pun karena niat termasuk rukun dalam ibadah tersebut, dan batal/tidak sah jika tidak melakukannya. Dan, kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang membuat kita merasakan kedekatan diri dengan Allah hanya saat di dalam masjid, sedangkan di luar masjid, semua kegiatan kita tidak ada urusan dengan Allah. Begitulah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih “menakjubkan” lagi, jika pada masa kini ada seseorang yang tetap menjaga niat dalam setiap kegiatan, banyak orang akan menyebutnya ketinggalan zaman, tidak praktis, atau lebih parah lagi, “sok alim”.

“Sok alim”, sebuah mantra yang bisa menggoyahkan keinginan untuk senantiasa dalam kebaikan.

“Sok suci”, sebuah mantra lain yang bisa menghancurleburkan semangat untuk meninggalkan perbuatan tidak baik.

Perlu kita pahami lagi bahwa hidup ini antara kita dengan Allah. Janganlah kita sibuk mengurusi kekurangan orang lain, meremehkan apalagi mencemoohnya. Sebaliknya, jika ingin beribadah, jangan pula kita dipusingkan oleh ungkapan-ungkapan yang kurang enak didengar. Kita beribadah untuk mengabdi kepada-Nya, bukan untuk sebutan alim, shaleh atau sejenisnya.
Jadi, kalau dikatakan “sok alim”, jawab saja bahwa kita bukan orang alim. Jika disindir “sok suci”, katakan saja bahwa kita ini banyak dosa, tidak ada orang suci, kecuali para nabi dan rasul. Dengan menyadari dan mengakui kekurangan diri, kita tidak akan terbebani dengan sebutan-sebutan di atas. Terkadang, kalau sindiran tidak ditanggapi, atau hanya dibalas dengan senyuman, maka lama-kelamaan akan hilang sendiri. Tentang respons yang tepat, memang kondisional. Tugas kita adalah mencari cara untuk tetap berhubungan baik dengan siapa pun—karena itu juga ibadah, dan istiqamah melakukan kebaikan lainnya demi mengabdi kepada Allah.

Allah menganugerahkan umur sebagai simpanan kita. Dalam pandangan Allah, umur kita adalah umur yang pendek, bagai awan lalu. Jika kita mempergunakannya dengan baik, maka kita menjadi penghuni kenikmatan, surga nan abadi. Sebaliknya, apabila umur kita salah gunakan, maka neraka telah siap menanti.

Maka, wajib bagi kita untuk bersegera melaksanakan perbuatan shaleh sebelum tidak dapat melaksanakannya, sebelum dihalangi oleh pekerjaan, penyakit atau kematian. Rasulullah saw. bersabda:

اِغْـتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
Jagalah (manfaatkanlah) lima perkara sebelum datang lima perkara : masa mudamu sebelum tua, waktu sehatmu sebelum jatuh sakit, masa kayamu sebelum jatuh miskin, waktu luangmu sebelum kau sibuk dan hidupmu sebleum matimu. (HR Hakim dan Baihaqi)

نِعْمَتَانِ مَغْـبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Ada dua nikmat yang membuat banyak orang tertipu, (yaitu) kesehatan dan waktu luang. (HR Bukhari)
Daftar Pustaka:
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
http://id.wikipedia.org/wiki/Majas

Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, February 12, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)

Beragam pertanyaan diajukan tentang hidup. Pertanyaan ini tetap saja ada, hanya dari orang yang berbeda atau penanya adalah generasi baru yang belum pernah menerima pengajaran tentangnya.

“Kita hidup untuk bekerja ataukah bekerja untuk hidup?”

“Kita makan untuk hidup ataukah kita hidup untuk makan? Senyampang masih hidup, kita harus pernah mencicipi makanan dan minuman beraneka ragam dari berbagai daerah atau negara. Tidak perlu menanyakan halal atau haram, yang penting kita sudah pernah merasakannya. Begitukah?”

“Kita menggeluti dunia seni untuk hidup, hidup untuk seni, ataukah seni untuk seni?”

Para ulama sudah menjelaskan dengan sangat gamblang dan itu pun berulang kali, “Kita hidup untuk mengabdi kepada Allah, beribadah kepada-Nya.” Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti seluas-luasnya, tak terbatas pada ibadah mahdhah (ibadah murni atau ritual). Dengan demikian, bekerja, belajar, berorganisasi atau apa pun bisa diniatkan—sekali lagi diniatkan—sebagai ibadah semata-mata untuk-Nya. Lebih lanjut, para ulama menjelaskan bahwa tujuan hidup ini adalah untuk hidup lagi, yaitu hidup sesungguhnya—hidup kekal abadi di surga nanti.

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱْلإِنْسَ إِلاّ لِيَعْـبُدُوْنِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS adz-Dzâriyât [51] : 56)

Dari ayat tersebut, Al-Qur’an menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Qur’an memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.

Banyak ulama mengartikan hidup makhluk sebagai Mâ bihî al-hissu wal-harakah, yakni sesuatu yang menjadikannya merasa/mengetahui dan bergerak. Yang tidak memiliki pengetahuan, tidak merasa, tidak juga dapat bergerak/menggerakkan dirinya sendiri, maka ia tidaklah dianggap hidup yang sesungguhnya. Pengetahuan atau kesadaran adalah menyadari dirinya sendiri. Semakin banyak pengetahuan dan kesadaran, serta semakin peka perasaan, maka semakin tinggi kualitas hidup. Oleh karena itu, hidup bertingkat-tingkat.

Hidup bagi manusia hendaknya tidak hanya terbatas pada hari ini atau sepanjang usia di dunia saja, tetapi harus melampaui generasinya, bahkan melampaui batas usia manusia di dunia ini. Memang, manusia tidak dapat hidup langgeng dan abadi sebagaimana Allah. Manusia juga tidak mampu melampaui batas usianya di dunia, tetapi ia dapat melanggengkan hidupnya dengan keharuman nama—khususnya setelah kematiannya—serta pada karya-karyanya yang bermanfaat, sehingga dinikmati manusia sepanjang masa.

Kelanggengan hidup manusia juga diraih melalui kekekalan hasil karya-karyanya itu di akhirat kelak, dalam bentuk ganjaran Ilahi, yakni surga nan abadi. Bagi orang kafir, tidak ada satu karya pun yang dapat langgeng sehingga mereka tidak akan menikmati kekekalan.

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS al-Furqân [25] : 23)

Al-Qur’an menilai ada orang-orang yang walaupun masih dapat menarik dan menghembuskan nafas, masih berfungsi otak dan beredar darahnya, tetapi dinilai sebagai orang mati, karena tidak mendengar dan memperkenankan panggilan Allah dan rasul-Nya.

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. (QS an-Naml [27] : 80)

Ada juga yang telah berhenti denyut jantungnya, telah terkubur jasadnya, tetapi mereka masih dinilai hidup oleh Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah yang artinya:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS al-Baqarah [2] : 154)

Apa yang akan terjadi bila nasihat ini benar-benar disadari oleh setiap orang? Apa yang akan kita saksikan bila setiap manusia mempraktekkan bahwa hidup ini untuk mengabdi kepada-Nya? Apa yang akan dilakukan oleh setiap insan jika semuanya ingin agar bisa benar-benar hidup dan tetap hidup dalam kematiannya?

Di setiap pertandingan olah raga, tidak akan pernah terjadi kekisruhan, kerusuhan dan pertengkaran. Setiap orang berniat bahwa olah raga yang dilakukan adalah untuk menjaga tubuh, karunia dan titipan dari Allah, agar tetap sehat, sehingga bisa senantiasa menjalankan perintah-perintah-Nya. Setiap orang berniat bahwa pertandingan adalah ajang silaturrahim. Dengannya, kita menambah eratnya persaudaraan dan kasih sayang. Semua itu demi mengabdikan diri kepada Yang Maha Memberi Perintah, Allah SWT.

Di setiap kejuaraan, tidak akan ada upaya-upaya yang tidak baik. Semua orang berlomba-lomba menampilkan yang terbaik dengan cara-cara yang baik (fastabiqul khayrât). Semua orang sadar bahwa tujuan utama mereka bukanlah meraih kemenangan, piala, trofi ataupun bonus berupa rumah, kendaraan atau uang. Semua orang berlomba dengan tujuan melaksanakan ibadah, semata-mata untuk Sang Pencipta, Allah SWT.

Di setiap organisasi, baik keagamaan, kemasyarakatan, kemahasiswaan, perusahaan, pemerintah, faksi/partai politik, atau apa pun—tidak akan ada gontok-gontokan, propaganda negatif, mendekat ke atasan/pimpinan agar aman, saling menonjolkan diri untuk sebuah kesombongan, saling menjatuhkan, saling jegal, saling sikut atau saling gasak-gesek-gosok. Semua orang bekerja sama dengan baik, indah, ramah, santun dan anggun. Setiap orang menundukkan hati dan jiwa, menyerahkan segalanya di hadapan Sang Penguasa Alam, Allah SWT.

Dalam urusan makan, setiap orang akan otomatis memilih dan memilah mana makanan yang halal—mana yang tidak dan mana yang baik (thayyib) bagi dirinya (termasuk kesehatannya)—mana yang tidak. Semuanya demi beribadah kepada Yang Memiliki Kehidupan, Allah SWT.

Pada setiap hobi, kreativitas maupun pekerjaan, setiap insan akan berlomba-lomba untuk meraih yang terbaik, yang paling bermanfaat bagi kemanusiaan serta bernilai ibadah tinggi.

Mengapa rasanya hal-hal di atas masih jauh dari kenyataan? Jauh panggang dari api? Atau diplesetkan menjadi “Jauh panggang dari sate”? Bukankah nasihat tentang buat apa kita hidup sudah sering disampaikan dalam setiap ceramah atau pengajian?


Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, February 5, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (8 of 8)

Ary Ginanjar Agustian memberikan saran dan aplikasi untuk iman dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut dengan istilah Membangun Mental (Mental Building).
  1. Prinsip Satu – Prinsip Bintang (Star Principle)

    · Bekerjalah karena Allah, bukan karena pamrih kepada orang lain. Maka, Anda akan memiliki integritas tinggi, yang merupakan sumber kepercayaan dan keberhasilan.

    · Jangan berprinsip kepada yang selain Allah. Jangan berprinsip pada sesuatu yang labil dan tidak pasti seperti harta, nafsu hewani, kedudukan, penghargaan orang lain atau apa pun selain Allah. Yakinlah, dengan hanya berprinsip kepada-Nyalah akan membuat mental Anda lebih siap menghadapi kemungkinan apa pun di hadapan Anda.

    · Lakukanlah segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya karena Allah, dan ingatlah selalu Allah Yang Maha Tinggi. Maka, Anda akan mendapatkan hasil yang jauh berbeda dan jauh lebih baik.

    · Berpedomanlah selalu pada sifat-sifat Allah, seperti ingin selalu maju, ingin selalu adil, ingin selalu memberi, ingin selalu memberi kasih dan sayang, ingin selalu kreatif dan berinovasi, berpikir jernih, mau belajar, ingin selalu bijaksana dan ingin selalu memeliharanya.

    · Bangun kepercayaan dari dalam diri, jangan karena penampilan fisik, tetapi iman Andalah yang akan memancarkan kharisma diri Anda.

    · Bangun motivasi Anda karena Anda adalah makhluk Allah yang sempurna, dan Anda adalah wakil Allah. Raihlah cita-cita dan harapan Anda dengan kemauan yang kuat membara.

    · Dzikirlah dengan Lâ ilâha illallâh.

  2. Prinsip Dua – Prinsip Malaikat (Angel Principle)


    Apabila bekerja, kerjakanlah sesuatu dengan tulus, ikhlas dan jujur, seperti malaikat. Ingatlah bahwa Anda bekerja karena Allah bukan karena yang lain, jadikan ini ibadah kepada Allah. Berprestasilah dengan setinggi-tingginya di setiap pekerjaan, karena Allah melihat Anda. Tidak perlu minta diawasi oleh orang lain, atau meminta penghargaan dari orang lain, biarlah Allah yang menghargai, bukan mereka. Jangan setengah-setengah. Anda akan meraih kepercayaan! Ingat, integritas adalah sumber persahabatan dan kepercayaan.

  3. Prinsip Tiga – Prinsip Kepemimpinan (Leadership Principle)

    · Berilah perhatian kepada semua orang dengan tulus agar Anda dicintai dan binalah selalu tali hubungan persahabatan.

    · Bantu orang lain dengan ikhlas, pelajari apa tangisan dan apa impian mereka, lalu bantulah mereka.

    · Selalu mau mengajari dan mendidik orang lain yang membutuhkan bimbingan.

    · Jagalah selalu sikap dan tingkah laku Anda, karena hal ini bisa meningkatkan bahkan menurunkan kepercayaan dari diri Anda, dan ini akan berpengaruh pada lingkungan Anda.

    · Jadilah pemimpin karena pengaruh Anda, bukan karena hak Anda.

    · Dengarkanlah selalu suara hati, pimpinlah hati mereka bukan kepala mereka.

    · Jadikanlah Rasulullah sebagai suri teladan.

  4. Prinsip Empat – Prinsip Pembelajaran (Learning Principle)

    · Bacalah buku-buku, teruslah belajar. Jikalau Anda malas membaca, cukup baca satu lembar saja per hari. Ingatlah bahwa membaca koran atau majalah bukanlah dikatakan “membaca”, karena isinya banyak merupakan informasi atau gosip yang seringkali memengaruhi pikiran Anda.

    · Baca selalu situasi lingkungan Anda, pelajari dan analisa, ambil selalu hikmahnya, kemudian upayakan suatu langkah perbaikan dan penyempurnaan.

    · Bacalah Al-Qur’an dan Hadits, jangan hanya bunyinya saja, namun ambillah makna dan inti sarinya.

    · Apabila Anda sedang bingung untuk mengambil keputusan, carilah petunjuk dalam Al-Qur’an dan Hadits. Insya Allah Anda akan melihat jawaban dari setiap permasalahan yang Anda temui.

    · Baca lingkungan dan situasi, bandingkan dengan ilmu Islam yang Anda miliki, nilailah dengan jernih, ambil filosofinya dan jadikan sebagai pelajaran yang berharga.

    · Perbaikilah kembali.

    · Baca Al-Qur’an

  5. Prinsip Lima – Prinsip Masa Depan (Vision Principle)

    · Milikilah tujuan dan misi jangka pendek dan jangka panjang.

    · Bedakan mana pekerjaan penting dan mana yang tidak penting!

    · Tentukan mana yang harus diprioritaskan. Ingat orang yang sibuk itu ada dua jenis : sibuk mencapai tujuan dan sibuk mengisi waktu.

    · Mulailah bekerja dengan doa dan target yang jelas.

    · Buat rencana kerja untuk esok hari pada sore atau malam hari.

    · Evaluasilah setiap pekerjaan yang dilakukan hari ini pada sore atau malam hari.

    · Tuliskan pada buku harian Anda.

    · Buat target kerja tahunan, bulanan, mingguan dan harian.

    · Laksanakanlah dengan penuh komitmen dan kekonsistenan.

  6. Prinsip Enam – Prinsip Keteraturan (Well Organized Principle)

    · Buat semuanya serba teratur dalam suatu sistem.

    · Tentukan rencana atau tujuan Anda secara jelas.

    · Bagaimana organisasinya dan faktor-faktor pendukung lainnnya? Jadikan dalam satu kesatuan yang harus dibangun dan dipelihara.

    · Bagaimana sitem motivasinya, agar semuanya bergerak sesuai harapan?

    · Bagaimana sistem pengawasan dan kontrolnya agar sesuai dengan rencana?

    · Laksanakanlah dengan sangat disiplin, karena kesadaran diri, bukan karena orang lain.
    · Ikhlas


Akhirnya, agar senantiasa dalam limpahan rejeki-Nya, marilah kita bersama-sama memohon kepada Allah :

أَللَّهُمَّ اكْـفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِـكَ

Ya Allah, cukupkanlah kami dari rejeki yang halal, bukan dari barang haram, amin.


Daftar Pustaka :

  • Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual – ESQ (Emotional Spiritual Quotient)”, Penerbit Arga, Cetakan Kedua puluh sembilan : September 2006


Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (7 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#