Mencari Data di Blog Ini :

Friday, March 25, 2011

Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (4 of 4)

e. Di Seminar, Perlukah Setiap Penanya Mengucapkan Salam?

Fenomena ini biasanya kita jumpai di sebuah seminar, sarasehan, diskusi atau kuliah tamu. Setelah sesi pemaparan oleh nara sumber, biasanya peserta dipersilakan bertanya oleh moderator. Penulis sering menjumpai setiap penanya selain menyebut nama untuk perkenalan, juga mengucapkan salam di awal dan akhir. Apa memang salam dalam situasi ini disunnahkan?
Sebuah seminar akan dibuka oleh moderator dengan ucapan salam. Biasanya, nara sumber juga akan mengucapkan salam ketika akan presentasi. Kedua salam ini ditujukan kepada semua yang hadir, dengan demikian hukum menjawabnya fardhu kifayah. Bila ada yang menjawab, maka gugurlah kewajiban. Namun, bila semuanya menjawab, maka hal ini lebih utama.

Situasi seminar sama seperti situasi sebuah kelas ketika seorang guru/dosen menjelaskan kepada semua murid/mahasiswanya, atau situasi mengaji dimana seorang ustadz menerangkan kitab kepada para santrinya. Sang guru atau ustadz akan memulainya dengan salam, ditujukan kepada para murid atau santri. Nah, bila ada siswa, mahasiswa atau santri yang akan bertanya, apakah disunnahkan mengucapkan salam? Pernahkah kita alami keadaan seperti ini, baik di sekolah, pesantren maupun kampus? Pernahkah kita mengetahui bahwa setiap santri, murid atau mahasiswa yang akan bertanya kepada guru atau dosennya selalu mengucapkan salam di awal dan akhir pertanyaan? Betapa merepotkan dan menyita banyak waktu bila kondisi ini benar-benar terjadi. Bahkan, hanya sedikit pelajar atau santri yang bisa bertanya, hanya karena setiap penanya harus mengucapkan salam dan yang lain menjawabnya.

Salam diucapkan ketika bertemu, akan berpisah, atau pertemuan ulang yang diselingi oleh perpisahan, walaupun tidak lama. Berikut ini dua buah hadits yang tercantum dalam kitab “Riyâdhush Shâlihîn” bab Sunnah Mengulangi Salam Jika Berulang Bertemu.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فىِ حَدِيْثِ الْمُسِئِ صَلاَتَهُ أَنَّهُ جَاءَ فَصَلَّى، ثُمَّ جَاءَ إِلىَ النَِّبىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ، فَقَالَ: اِِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى فَعَلَ ذٰلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Abu Hurairah ra. ketika menceritakan riwayat orang yang salah dalam shalat, ia berkata, “Maka ia shalat kemudian datang kepada Nabi memberi salam dan dijawab oleh Nabi saw. Kemudian Nabi berkata, ‘Kembalilah engkau shalat, karena engkau belum shalat.’ Maka ia pergi shalat kemudian datang lagi kepada Nabi dan memberi salam, hingga tiga kali ia berulang yang demikian itu.” (HR Bukhari dan Muslim)

إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ، فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِـدَارٌ أَوْحَجَرٌ ثُمَّ لَقِـيَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ
Apabila seseorang di antara kalian bersua dengan saudaranya, hendaklah ia mengucapkan salam kepadanya. Apabila jarang di antara keduanya terhalang oleh pohon, tembok atau batu, kemudian bertemu dengannya, hendaklah ia mengucapkan salam kepadanya. (HR Abu Daud)

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa situasi di seminar tidak mendukung sunnahnya mengucapkan salam. Pertemuan sudah lama dimulai dan diawali salam oleh moderator serta nara sumber, serta tidak ada perpisahan. Hal lain yang harus diperhatikan juga yaitu terbatasnya waktu. Dengan tujuan agar waktu bisa dimanfaatkan sebaik mungkin serta agar bisa lebih banyak penanya, maka sebaiknya kita tidak perlu mengucapkan salam ketika akan bertanya dan setelah selesai.

Untuk acara konsultasi atau tanya-jawab di radio, memang ada kondisi pemisah. Namun, mengingat banyak sekali yang antri untuk bertanya, bahkan tidak bisa bertanya karena nada selalu sibuk; sedangkan waktu siaran juga terbatas, maka sebaiknya kita tidak perlu mengucapkan salam kepada ustadz pengasuh. Setelah diterima oleh penyiar, kita sebaiknya langsung saja bertanya, tanpa salam pembuka kepada sang ustadz. Bukankah yang penting pertanyaan kita akan dijawab? Bukankah lebih baik mendahulukan kepentingan saudara-saudara kita yang ingin menyelesaikan masalahnya daripada setiap penanya mengucapkan salam kepada nara sumber? Barulah ketika akan menutup telepon, kita mengucapkan salam sebagai tanda mohon diri (pamit).

Bagaimana bila ustadz pengasuh yang meminta kita untuk mengucapkan salam padanya? Tentu ini kasus lain. Namun, secara mudah bisa kita katakan bahwa ustadz pengasuh akan lebih lelah bila harus menjawab salam berkali-kali dari penelepon, kemudian menjawab persoalan yang diajukan. Wallâhu a‘lam.

f. Menerima Panggilan Telepon, Apa Disunnahkan Salam?

Kasus ini sudah jelas jawabannya. Apabila kita mengetahui bahwa penelepon sudah tercatat di address book dan kita tahu bahwa dia muslim, maka lebih utama bila kita mengucapkan salam. Namun, bila nomornya belum kita catat, maka janganlah kita mengucapkan salam ketika menerima panggilan pertama kali. Siapa tahu orang yang menelepon kita tidak beragama Islam, sedangkan kita dilarang mengucapkan salam kepada mereka. Rasulullah Muhammad asw. (‘alayhish shalâtu was salâm) pernah bersabda:

لاَتَبْدَءُوا الْيَهُوْدَ وَلاَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
Jangan mendahului orang Yahudi dan Nasrani dengan salam. (HR Muslim)

Agar selalu dalam karunia keselamatan dari-Nya, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّناَ رَبَّناَ بِالسَّلاَمِ وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَاذَالْجَلاَلِ وَْلإِكْرَامِ
Ya Allah, Engkau As-Salâm, dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dan masukkanlah kelak di negeri as-Salâm (surga). Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Wahai Dzat Pemilik Keluhuran dan Kemurahan, amin.

Daftar Pustaka:
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414


Tulisan ini lanjutan dari : Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (3 of 4)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 18, 2011

Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (3 of 4)

b. Ucapan Salam dan Jawabannya

Yang paling utama dalam bersalam ialah mengucapkan:

اَلسَّلاَمُ َعَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya terlimpah atas kamu sekalian.
Walaupun kita mengucapkan salam hanya kepada satu orang, tetaplah menggunakan dhamir jamak (kata ganti orang kedua banyak). Ucapan tersebut sama, baik untuk laki-laki maupun perempuan, tidak ada tambahan apa pun meskipun salam ditujukan untuk perempuan. Menambah salam dengan kata wa‘alaykunna setelah as-salâmu ‘alaykum tidak diperkenankan karena tidak sesuai dengan yang warid (berlaku) dari Nabi saw. Apabila ditulis dalam teks Arab, salam yang tidak diperkenankan itu adalah:

اَلسَّلاَمُ َعَلَيْكُمْ وَعَلَيْكُنَّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kita juga kurang dianjurkan mengucapkan salam dengan kata ganti orang kedua tunggal sehingga ucapan salamnya berbunyi:

اَلسَّلاَمُ َعَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Tentang pahala mengucapkan salam, tergantung pada kalimat yang diucapkan, yaitu:

• Sepuluh pahala

اَلسَّلاَمُ َعَلَيْكُمْ

• Dua puluh pahala

اَلسَّلاَمُ َعَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ

• Tiga puluh pahala

اَلسَّلاَمُ َعَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Demikian penjelasannya sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Darimi, Abu Daud dan Tirmidzi melalui Imran bin Husain.

Sedangkan cara menjawabnya minimal sama seperti yang mengucapkan salam, lebih sempurna lebih baik. Adapun jenis-jenis jawaban untuk masing-masing salam yaitu:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Dan semoga keselamatan, rahmat Allah serta berkah-Nya terlimpah pula kepada kalian.

c. Menjawab Titipan Salam
Tentang mendapat salam dari teman lewat seseorang, hal ini diterangkan dalam kisah berikut ini. Siti Aisyah ra. menceritakan bahwa suatu saat Rasulullah memberitahunya bahwa Malaikat Jibril mengirimkan salam kepadanya,

هٰـذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ، قاَلَتْ: قُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Ini adalah Jibril membacakan salamnya buat kamu.” Siti Aisyah ra. melanjutkan kisahnya, “Lalu aku berkata, ‘Dan semoga pula keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya terlimpah atasnya’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mengirim salam untuk orang lain sunnah hukumnya, dan orang yang dititipi wajib menyampaikannya. Bagi yang menerima wajib menjawabnya seketika. Misal teman kita berkata, “Si Fulan menitipkan salamnya buatmu,” maka kita wajib menjawab,

وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Dan semoga keselamatan, rahmat Allah serta berkah-Nya terlimpah pula atasnya (laki-laki).

Bila pengirim salam adalah perempuan, maka dhomir (kata ganti)-nya diganti perempuan, menjadi:

وَعَلَيْهَا السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Dan semoga keselamatan, rahmat Allah serta berkah-Nya terlimpah pula atasnya (perempuan).

Disunnahkan menjawab salam untuk orang yang menyampaikan juga, sehingga menjadi:

وَعَلَيْكُمْ وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Dan semoga keselamatan, rahmat Allah serta berkah-Nya terlimpah pula atasnya dan kamu sekalian.

Jadi, tidak seperti kebiasaan kita saat ini, yaitu menjawab titipan salam dari seseorang dengan jawaban standar, berupa kalimat:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


d. Mengucapkan Salam Tiga Kali

Terkadang, ketika akan memulai ceramah, seorang muballigh mengucapkan salam sebanyak tiga kali. Salah satu alasannya, bila ada yang belum menjawab (karena termasuk fardhu kifayah), diharapkan menjawab pada salam berikutnya. Apa yang dilakukan oleh da‘i ini memang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Sahabat Anas ra. berkata:

أَنَّ النَبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَكَـلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاَثًا حَتَّى تُفْهَمُ عَنْهُ، وَإِذَا أَتَى عَلَى قَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ سَلَّمَ عَلَيْهِمْ ثَلاَثًا

Seseungguhnya Nabi saw. jika mengatakan suatu kalimat, diulanginya tiga kali hingga dimengerti oleh pendengarnya. Demikian pula jika mendatangi suatu kaum, beliau mengulangi salam kepada mereka sampai tiga kali. (HR Bukhari)

Daftar Pustaka:
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414


Tulisan ini lanjutan dari : Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (2 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (4 of 4)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 11, 2011

Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (2 of 4)

a. Hukum Memulai Salam dan Menjawabnya


Di kitab “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah” bab Salam dan Meminta Ijin, sub bab Hukum Salam, dijelaskan bahwa hukum memulai salam adalah sunnah, yaitu sunnah kifayah. Dengan kata lain, jika ada orang terdiri atas jamaah, maka salam cukup dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Jika mereka semua mengucapkan salam, hal ini lebih utama.

Mengenai menjawab salam, apabila yang mendapat salam hanya seorang, maka hukumnya wajib. Namun jika yang mendapat salam terdiri atas banyak orang (seperti jamaah pengajian mendapat salam dari muballigh), maka menjawab salam hukumnya fardhu kifayah. Apabila ada jamaah yang menjawab, maka gugurlah kewajiban. Namun demikian, jika semua jamaah menjawab salam, hal ini merupakan kesempurnaan dan keutamaan yang paling prima.

Apabila ada serombongan orang ternyata semuanya mengucapkan salam kepada seseorang, bagaimana cara menjawabnya? Apakah harus dijawab berulang kali sesuai jumlah salam yang diterima? Al-Mutawalli mengatakan bahwa apabila suatu jamaah mengucapkan salam kepada seseorang, lalu orang itu menjawab “Wa‘alaykumus salâm” dengan niat menjawab kepada semuanya, maka gugurlah fardhu menjawab salam terhadap hak semuanya. Masalah ini sama dengan menshalati beberapa jenazah yang dilakukan oleh satu orang secara sekaligus, maka gugurlah kefardhuan shalat jenazah atas semua kaum muslimin.

Dari Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. bahwa Rasulullah bersabda,


يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوْا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ، وَيُجْزِئُ عَنِ الْجُلُوْسِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ

“Dapat mencukupi sebagai ganti dari jamaah apabila lewat seseorang dari mereka mengucapkan salam, dan dapat mencukupi sebagai ganti dari orang-orang yang duduk bila seseorang dari mereka menjawab salam.(HR Abu Daud)


Menurut keterangan para ulama, hukum menjawab salam adalah wajib, jika salam itu ditujukan langsung (khithâb) untuk kita. Jadi, tidak wajib menjawab apabila ada salam yang sasarannya tidak langsung kepada kita, misalnya:

  • Salam orang shalat ketika selesai.
  • Salam dari tape recorder atau alat-alat rekam lainnya, sebab dianggap sebagai benda tak berakal. Adapun salam para muballigh di radio/televisi (on air) ketika akan memulai ceramah atau salam para penyiar saat membuka acara yang dipandunya dihukumi wajib dijawab karena suara asli orang yang memberi salam.
  • Salam seseorang ketika akan bertamu ke sebuah rumah namun tidak ada yang menjawab, sedangkan kita melewatinya.
  • Salam dari bel elektronik yang bunyinya adalah ucapan salam.
  • Salam dari burung beo yang dilatih untuk mengucapkannya.


Meskipun begitu, menjawabnya adalah keutamaan. Bukankah tidak ada ruginya kita menjawab salam? Bukankah doa adalah sebuah kebaikan, dan kebaikan itu hakikatnya untuk diri kita sendiri?


Kadang kala kita mendengar ada seseorang mengatakan sesuatu sebelum mengucapkan salam, misalnya, “Saudara-saudara sekalian, Assalâmu ‘alaykum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.” Beberapa penyiar radio juga ada yang berkata, “Para pendengar sekalian, jumpa lagi dengan saya, Assalâmu ‘alaykum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.” Bagaimana hukum menjawabnya?


Kaidah yang berlaku dalam pengucapan salam adalah sebelum bercakap-cakap.


اَلسَّلاَمُ قَبْلَ الْكَلاَمِ

Salam itu sebelum pembicaraan.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa salam yang didahului dengan perkataan seperti contoh di atas tidak wajib dijawab, namun menjawabnya tetaplah sebuah keutamaan. Ada juga yang menjelaskan bahwa di mana pun ucapan salam diletakkan—di awal, tengah atau akhir pembicaraan—tetaplah wajib dijawab, karena salam adalah doa. Lebih amannya, kita jawab saja salam tersebut sehingga kita keluar dari perbedaan pendapat. Bagi yang mengatakan tidak wajib hukum menjawabnya, kita tetap mendapat keutamaan; sedangkan bagi yang mengatakan hukumnya wajib, kita telah melaksanakannya. Wallâhu a‘lam.


اَلْخُرُوْجُ مِنَ اخْتِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ

Keluar dari perbedaan pendapat itu disukai (dianjurkan).

Salam merupakan doa kita kepada sesama muslim. Salam bukan sekadar ucapan ketika bertemu, karena ketika berpisah pun kita disunnahkan mengucapkannya. Dengannya, kita telah mendoakan semua kebaikan kepada saudara kita. Bukankah hal demikian sungguh indah? Bukankah kasih sayang antar muslim akan terjalin lebih erat? Tidakkah orang yang didoakan akan sangat bahagia? Apalagi kita mendoakannya dengan penuh ketulusan hati.


Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha memperbaiki salam kita. Ketika kita mengucapkan salam, marilah kita rasakan dan tanamkan pada diri bahwa itu adalah doa kita untuk saudara kita. Begitu pula jawaban salam dari saudara kita, harus kita perlakukan sebagai doa. Semoga kita semua senantiasa dianugerahi keselamatan, rahmat dan berkah dari Allah Yang Maha Pemberi Rahmat, amin.



Daftar Pustaka:

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414


Tulisan ini lanjutan dari : Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (1 of 4)

Tulisan ini berlanjut ke : Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (3 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 4, 2011

Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (1 of 4)

Seorang teman bercerita bahwa keponakannya yang sedang duduk di bangku SD kelas satu, baru saja mendapat pelajaran tentang mengucapkan dan menjawab salam. Masalahnya, ketika ada orang shalat, kemudian membaca salam sebagai tanda selesainya shalat, keponakannya serta merta menjawab,


“Wa‘alaykumus salâm wa rahmatullâhi wa barakâtuh.”
“Apakah memang seperti itu?” tanya teman tadi.
“Haruskah kita menjawab salam orang yang shalat?” lanjutnya.

Selain kreativitas atau kecanggihan anak SD keponakan teman penulis di atas, sebetulnya banyak sekali permasalahan tentang salam dalam keseharian kita, yaitu:


Salam itu doa atau sekadar ucapan? Mengapa ketika kita mengucapkannya, tidak terbersit dalam pikiran kita bahwa itu sebuah doa yang seharusnya disampaikan penuh ketulusan?

Kalau kita mendapat salam dari teman, jawabannya apa? “Wa‘alaykumus salâm”? Ataukah “Wa‘alayhis salâm”?

Mengapa ketika seorang muballigh memulai ceramah, biasanya mengucapkan salam sebanyak tiga kali?

Ketika ada acara seminar atau diskusi, setelah sesi pemaparan oleh nara sumber, biasanya peserta dipersilakan bertanya. Sunnahkah bila setiap penanya mengucapkan salam? Bukankah pembicara akan kelelahan bila harus menjawab 2 kali salam setiap penanya, yaitu sebelum dan sesudah bertanya? Apa kita tidak kasihan?

Tatkala ada tanya-jawab keislaman di radio, biasanya penelepon akan diterima oleh pemandu acara. Penyiar mengucapkan salam kepada penelepon dan penelepon menjawabnya. Setelah itu penelepon bertanya kepada sang ustadz atau kyai pengasuh. Apakah penelepon perlu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada ustadz pengasuh, atau langsung bertanya?

Pada saat telepon kita berdering, apakah disunnahkan mengucapkan salam kepada penelepon?
Pemimpin kita, Nabi Muhammad saw. mengajarkan kita untuk menyebarkan salam. Sahabat

Abdullah bin Salam ra. berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

يَا أَيـُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ، وَصلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَـنَّةَ بِسَلاَمٍ

“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan, hubungkanlah silaturrahim serta shalatlah ketika manusia sedang dalam keadaan tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Sebuah hadits lain dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda,


لاَ تَدْخُلُ الْجَـنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا، وَلاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا، أَوَلاَ أَدُلُّـكُمْ عَلَى شَيْئٍ إِذَا فَعَلْـتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak dapat masuk surga sebelum beriman, dan kalian masih belum beriman hingga kasih sayang kepada sesama. Maukah aku tunjukkan sesuatu hal apabila kalian mengerjakannya niscaya timbul kasih sayang di antara kalian? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR Muslim)


Sesungguhnya di antara tujuan syariat Islam adalah mempersatukan hati, meluruskan shaf, menyatukan ucapan, menjaga agar tidak retak dan menghilangkan penyebab pertentangan.


Segala puji bagi Allah yang telah mempersatukan hati, mempersatukan berbagai jenis manusia dan mempersatukan berbagai warna kulit, bahasa serta kebudayaan.


Allah telah mempersatukan antara Bilal dari Habasyah, Shuhaib dari Roma, Salman dari Persia dan Ali dari Quraisy dalam satu kesatuan dan kasih sayang yang tidak ada dalam sejarah.


Allah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada tali-Nya dan melarang kita saling bertentangan seperti pengelompokan-pengelompokan yang terjadi; partai, suku, adat, warna kulit, warga negara, bahasa dan sebagainya. Semua fanatisme ini tidak dianjurkan dalam Islam dan Nabi Muhammad saw. telah meletakkannya di bawah telapak kaki.


Menyebarkan salam itu bermakna tawadhu‘ kepada hamba Allah dan berdamai kepada mereka, seolah kita tidak membanggakan diri atau sombong kepada mereka. Bila suatu hari kita mulai meremehkan permasalahan yang sangat besar pengaruhnya ini, hingga kita saling berpapasan tanpa mengucapkan salam atau teguran, maka pada saat itu akan muncullah individualitas, kedengkian dan kebencian di antara manusia.


Salam adalah ucapan (slogan) kasih sayang yang telah Rasulullah dirikan serta anjurkan agar para pengikut dan umat setelahnya untuk mengukuhkannya dalam hati. Dalam “Shahîh Bukhari” ada hadits mawqûf kepada ‘Ammar bin Yasir yang berkata, “Tiga perkara, siapa yang mampu mengumpulkannya maka dia telah mengumpulkan iman: berlaku adil dari dirimu, menyebarkan salam kepada dunia dan berinfak dalam kesulitan.”


Menyebarkan salam dilakukan kepada yang kecil (anak-anak atau orang yang lebih rendah kedudukannya) dan yang besar (orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya), juga kepada yang dikenal dan yang tidak dikenal. Orang yang tidak dikenal maksudnya adalah orang Islam tapi belum tahu namanya. Misalnya pergi ke suatu daerah, lalu shalat di masjid. Ketika bertemu dengan orang-orang di masjid tersebut, disunnahkan mengucapkan salam.


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya Rasulullah saw. melewati sekumpulan anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)


يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ، وَالْمَاشِي عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ

Orang muda mengucapkan salam kepada yang lebih tua, orang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang duduk, dan orang yang sedikit jumlahnya mengucapkan salam kepada orang yang banyak bilangannya. (HR Bukhari)


أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Seseorang bertanya kepada Nabi saw., “Apa yang terbaik di dalam Islam?” Jawab Nabi, “Memberi makanan dan memberi salam terhadap orang yang kau kenal atau tidak.” (HR Bukhari dan Muslim)


Daftar Pustaka:

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Tulisan ini berlanjut ke : Ucapan Salam di Akhir Shalat, Haruskah Dijawab? (2 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#