Mencari Data di Blog Ini :

Friday, July 31, 2009

Apa Kita Termasuk Mukmin Kuat dan Bermanfaat? (1 of 2)

Berat rasanya jemari tangan mengetik posting kali ini. Malu kepada diri sendiri, Rasul saw. dan Ilahi membuat penulis hampir tak ada daya meneruskan ide di benak menjadi aliran kata penguat jiwa.

Kondisi penulis masih jauh sekali dari judul artikel. Penulis belum punya prestasi yang telah diukir, manfaat yang ditebar, ilmu dan pengalaman yang dibagi, apalagi buah karya untuk dinikmati.


Namun, penulis teringat sebuah pengakuan ‘Aidh al-Qarni yang terjemah bebasnya, “Ketika saya hendak bersedih, saya katakan kepada diri sendiri,

‘Bukankah Engkau penulis buku Lâ Tahzan? Lâ Tahzan! Jangan bersedih!’ ”

Meneladani ‘Aidh al-Qarni, penulis berharap coretan ini bisa menjadi pelecut jiwa saat malas mendera, menjadi penghangat tubuh sebelum dingin membuat tulang ngilu, menjadi pembakar semangat bila lelah terlalu cepat meronta, menjadi charger ketika baterai melemah dan menjadi cahaya kala kabut menyelimuti asa.

*******#######*******

Sebagai seorang mukmin (orang beriman), ada pertanyaan yang harus kita renungkan dan jawab, yaitu “Sudahkah kita memantaskan diri sehingga wajar menyandang gelar seorang mukmin? Lalu, mukmin seperti apakah kita?”

Rasulullah Muhammad saw. berpesan agar kita menjadi mukmin kuat.

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

Seorang mukmin kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin lemah. (HR Muslim)

Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullâh menjelaskan makna “kuat” di kitab Syarah Muslim yang intinya bahwa kita harus kuat di segala bidang yang bernilai ibadah dan dalam menegakkan agama Allah.

Mukmin kuat
, dalam menuntut dan memperdalam ilmu tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh derasnya hujan.

Renungan

  • Bila kita mahasiswa, saat hujan turun begitu deras, apa kita tetap berangkat kuliah tepat waktu? Ataukah ditunda sampai hujan reda dengan dalih telat kuliah termasuk wajar bahkan sebuah kebiasaan? Ataukah lebih parah lagi, kita tidak masuk kuliah dan TA (Titip Absen)?
  • Jika kita hendak menghadiri majelis ta’lim, apa semangat mengaji tetap membara ketika hujan lebat? Ataukah kita segera meraih selimut 'tuk menghangatkan diri di atas spring bed, dengan argumentasi masih ada pengajian lagi minggu/bulan berikutnya?
مَنْ خَرَجَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Siapa keluar dalam rangka menuntut ilmu, maka dia berada dalam sabilillah hingga kembali. (HR Tirmidzi – hadits hasan gharib)

إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya berarti ia mengambil bagian yang banyak. (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Mukmin kuat, dalam berbagi ilmu, pengalaman serta kebenaran tak akan susut oleh situasi dan tak akan marah karena keadaan sepele apalagi remeh-temeh.


Renungan
  • Apabila ada orang bertanya atau mendebat kita dengan gaya bahasa yang kurang enak didengar, apakah kita membalas dengan nada pembicaraan sama ataukah tetap santun, ramah dan indah?
  • Asumsikan saja pada hari Senin kita sedang mengajar murid/santri/mahasiswa kita tentang sebuah pelajaran, yaitu istilah perempuan yang tidak boleh dinikahi disebut mahram, bukan muhrim. Muhrim arti sebenarnya adalah orang yang berpakaian ihram, namun telah terjadi salah kaprah di tengah masyarakat kita.

    Esok harinya ada seorang anak didik kita, sebut saja Fulan, yang bertanya lagi perbedaan mahram dan muhrim. Dengan telaten kita menjelaskan ulang.

    Hari pun berganti. Ternyata Fulan masih belum paham juga perbedaan tersebut. Untuk ketiga kali kita menerangkan lagi perbedaan yang dimaksud.

    Pada hari ke-4—hari Kamis—Fulan tetap menanyakan masalah sama karena dia masih kebingungan dengan kedua kata berbahasa Arab tersebut.

    Pertanyaannya, “Apakah kita masih akan tetap menjawab dengan nada merdu dan terasa renyah di indra pendengaran sebagaimana membahasnya pertama kali? Ataukah suara kita sudah naik 1 (satu) oktaf bahkan lebih, serta tak ada kendali nada (pitch control)? ”
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah. (Muttafaq ‘alayh)

Peribahasa mengatakan, “Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan ragam”—menghadapi kesukaran (tantangan), yang berusia muda maupun tua hendaklah bersabar.

Mukmin kuat, di bidang kehidupan apa pun yang sedang digeluti, selalu berusaha sekuat tenaga menggapai prestasi setinggi-tingginya.

Renungan
  • Sebagai murid, santri atau mahasiswa, sudahkah prestasi kita, baik intra maupun ekstra kulikuler memuaskan semua pihak? Apakah nilai ujian kita termasuk kategori papan atas? Memang, nilai bukan segala-galanya, namun bukankah salah satu parameter prestasi adalah nilai akademik?
  • Sebagai karyawan, apakah kita senantiasa memelototi kalender untuk menghitung berapa buah tanggal merah 'tuk bersantai? Berapa lama cuti bersama yang bisa dinikmati? Ataukah kita justru mempertanyakan kenapa begitu banyak tanggal merah karena kita jadi tidak produktif?
  • Sebagai entrepreneur (pengusaha), sudahkah kita menyejahterakan karyawan dengan layak bahkan lebih baik lagi dengan niat mencari ridha Allah? Menambah wawasan para pegawai melalui diklat, training atau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi? Memfasilitasi kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya pengajian rutin dan shalat berjamaah? Menganggap karyawan adalah mitra sehingga prinsip saling membutuhkan dan melayani selalu terpatri di dalam dada?
الْفَتَى رَجُلٌ رِجْلُهُ فىِ الثَّرَى وَهِمَّتُهُ فىِ الثُّرَيَّا

Pemuda adalah orang yang kakinya menginjak tanah tapi cita-citanya menyentuh bintang Kartika.

Mukmin kuat, dalam beribadah senantiasa berusaha istiqamah demi meraih ridha Allah, bukan gegap-gempita tepuk tangan serta riuh-rendah pujian manusia yang fana.

Renungan

  • Jika kita blogger, apakah posting kita yang bernilai ibadah senantiasa hadir menyapa dunia secara berkala? Ataukah kita aktif menulis hanya jika sedang mood dan bila banyak komentar indah para pengunjung?
  • “Bila hendak menghadiri pengajian umum, janganlah meninggalkan mengaji kitab yang tiap hari kita lakukan setelah Isya’. Walau cuma 15 menit, mengaji kitab harus tetap dilakukan demi menjaga istiqamah, baru kemudian kita bersama-sama menghadiri pengajian umum PHBI (Peringatan Hari Besar Islam),” pesan Ust. Drs. Damanhuri, ustadz yang mengasuh penulis kala mengaji di kampung halaman.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُِئلَ : أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ : أَْدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

Bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Amal apakah yang paling disukai Allah?” Jawab beliau, “Yang paling mudawamah (terus-menerus atau istiqamah) sekalipun sedikit.” (HR Muslim)

Mukmin kuat, meneladani Al-Qawiyy (Yang Maha Kuat) dengan menyadari sepenuhnya bahwa sumber kekuatan adalah Allah SWT. Dengan demikian, kita tak akan merasa diri sebagai orang hebat, brilian, layak dihormati dan sederet sebutan lainnya.

Renungan
  • Seorang arif memberi wejangan, “Jika apa pun kekuatan yang Anda miliki justru men-zhalimi orang lain, maka ingatlah Allah yang telah menganugerahkannya kepada Anda. Ingat pulalah kekuatan Allah terhadap diri Anda.”
أَنَّ الْقُوَّةَ ِللهِ جَمِيْعًا
Sesungguhnya kekuatan itu seluruhnya milik Allah. (QS al-Baqarah [2] : 165)


Begitu banyak deskripsi mukmin kuat yang bisa diuraikan. Mari kita tambahkan sesuai bidang keahlian/ilmu kita masing-masing.

Mukmin kuat, . . .

Mukmin kuat, . . .

Mukmin kuat, . . .


Daftar Pustaka :
  • Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004
  • Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat belas 1997
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006

Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Termasuk Mukmin Kuat dan Bermanfaat? (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, July 17, 2009

Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (4 of 4)

Marilah kita ingat lagi nasihat junjungan kita bahwa sebagai seorang mukmin, sudah seharusnya kita senantiasa membaca Al-Qur’an. Dari Abu Musa al-Asy‘ari ra., Rasulullah Muhammad saw. mengingatkan kita dalam sebuah hadits,


مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ اْلأُتْرُجَةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ، وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ لا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لاَرِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ، ومَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Qur’an seperti buah limau (jeruk), baunya harum dan rasanya lezat. Orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti tamar/kurma, dia tidak berbau sedang rasanya manis. Orang munafik yang membaca Al-Qur’an seperti pohon kemangi, baunya enak sedang rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti labu pahit, dia tidak berbau sedang rasanya pun pahit”
(HR Sab‘ah : Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Al-Qur’an juga merupakan hidangan (jamuan) dari Allah. Kalau kita dijamu oleh manusia saja kita bergembira, apakah kita tidak bahagia dijamu oleh Allah? Khalifah Ustman bin Affan ra. berkata, “Demi Allah, andaikan hati kita bersih, niscaya ia tidak akan merasa kenyang dengan Al-Qur’an.”

Untuk bisa memahami bahwa Al-Qur’an adalah hidangan dari Allah, maka kita harus senantiasa belajar untuk menertibkan bacaan, memahami, menghayati dan mengamalkannya. Bukankah sudah kita ketahui bersama bahwa membaca Al-Qur’an secara berulang-ulang akan menimbulkan makna dan pemahaman baru? Dengannya, kita bisa menikmati ayat-ayat Al-Qur’an, merasa senang membaca dan mendengarnya.

Ibnu Athaillah menjelaskan, “Siapa dapat merasakan buah amal ibadahnya di dunia, itulah tanda amal ibadahnya diterima di akhirat.” Buah amal ibadah dapat dirasakan manis-lezatnya. Ketika seorang hamba melaksanakan ibadah, maka dapat dirasakan kelezatan dan kenikmatan yang tiada tara. Apabila seorang hamba belum mampu merasakan kelezatan dan manisnya amal ibadah yang ia lakukan, berarti ia belum mengenyam buah dari ibadahnya.

‘Aidh al-Qarni menerangkan, “Kebajikan itu sebajik namanya, keramahan seramah wujudnya, dan kebaikan sebaik rasanya. Orang-orang yang dapat merasakan manfaat semua itu adalah mereka yang melakukannya. Mereka akan merasakan ‘buah’-nya seketika itu juga dalam jiwa, akhlak dan nurani mereka.”

Abul Laits as-Samarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas‘ud ra. Ibnu Mas‘ud berkata,

إِنَّ هٰذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللهِ فَتَعَلَّمُوْا مَأْدُبَةَ اللهِ مَااسْتَطَعْـتُمْ. إِنَّ هٰذَا الْقُرْآنَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنِ وَنُوْرٌ مُبِيْنٌ وَشِفَاءٌ نَافِعٌ وَعِصْمَةٌ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ وَمَنْجَاةٌ لِمَنِ اتَّبَعَهُ لاَيَعْوَجُ فَيُقَوَّمُ وَلاَيَزِيْغُ فَيَسْتَعْـتِبَ وَلاَتَنْقَضِى عَجَائِـبُهُ وَلَمْ يَخْلَقْ عَنْ كَثْرَةِ التِّرْدَادِ أُتْلُوْهُ فَإِنَّ اللهَ تَعَالىَ يَأْجُرُكُمْ عَلَى تِلاَوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَـنَاتٍ أَمَا إِنِّيْ لاَأَقُوْلُ آلمۤ عَشَرَةٌ وَلـٰـكِنَّ اْلأَلِفَ عَشَرَةٌ وَاللاَّمَ عَشَرَةٌ وَالْمِيْمَ عَشَرَةٌ

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini sebagai hidangan (jamuan) Allah, maka pelajarilah hidangan Allah itu sedapat-dapatnya. Sesungguhnya Al-Qur’an ini sebagai tali hubungan kepada Allah yang sangat kukuh, sebagai cahaya yang menerangi, obat penyembuh yang sangat berguna, dapat memelihara siapa yang berpegang padanya, menyelamatkan siapa yang mengikutinya, tidak kuatir berbelok untuk ditegakkan dan tidak akan menyesatkan, tidak akan habis hikmah mutiaranya dan tidak lapuk karena sering diulang-ulang. Bacalah ia, maka Allah akan memberimu pahala untuk tiap huruf sepuluh kebaikan. Ingatlah Aku tidak mengatakan ‘alif lâm mîm’ itu hanya sepuluh kebaikan, tetapi alif sepuluh, lâm sepuluh dan mîm sepuluh.”

Saat ini, banyak sekali buku, kitab atau software untuk mengetahui arti ayat-ayat Al-Qur’an berikut penjelasannya, antara lain :
  • “Al-Qur’an dan Terjemahnya” oleh Lembaga Penyelenggara Penerjemah Kita Suci Al-Qur’an, yang menerjemahkan per ayat.
  • Al-Ibrîz oleh Kyai Bisyri Mustofa – Rembang, menerjemahkan per kata dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf-huruf Arab (istilahnya Arab Pego).
  • “Terjemah Al-Qur’an Secara Lafzhiyah – Penuntun Bagi Yang Belajar” oleh Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam (YA SALAM) Al-Hikmah Jakarta.
  • Al-Qur’an digital, software-software Al-Qur’an dan terjemahnya.
  • Situs-situs di internet.
  • Tafsir-tafsir yang ditulis oleh mufassir (ahli tafsir) Indonesia, misalnya Tafsir Al-Misbah karya Prof. M. Quraish Shihab.
  • Tafsir-tafsir terjemahan dari karya ulama-ulama salaf (zaman dulu) maupun khalaf (modern), yang edisi aslinya dalam bahasa Arab; misalnya Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir dan masih banyak lagi.
Namun demikian, janganlah kita lupa bahwa belajar itu harus dibimbing oleh seorang guru. Setinggi apa pun pendidikan kita, marilah kita serahkan setiap urusan kepada ahlinya. Janganlah hanya dengan membaca terjemah Al-Qur’an, kemudian kita mencoba untuk menafsirkan berdasarkan logika semata. Sebagaimana kita ketahui bersama, setiap ilmu punya tingkatan. Setiap tingkat punya syarat yang harus dipenuhi sebelum mempelajari dan memahaminya.
Akhirnya, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :

اللَّهُمَّ ارْحَمْنَا بِالْقُرآنِ وَاجْـعَلْهُ لَنَا إِمَامًا وَنُوْرًا وَهُـدًى وَرَحْمَـةً
Ya Allah, sayangilah kami dengan Al-Qur’an. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai imam, cahaya, petunjuk dan rahmat bagi kami, amin.
Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
Tulisan lanjutan dari : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (3 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, July 10, 2009

Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (3 of 4)

Supaya kita senang membaca Al-Qur’an, salah satu caranya adalah membeli mush-haf yang indah dan tulisan Arabnya sejuk dipandang mata. Mata kita beribadah dengan memandang ayat-ayat suci Al-Qur’an. Jenis-jenis khath (kaligrafi Arab) ada beberapa, yaitu naskhi, riq‘ah, rayhani, tsuluts, farisi, diwani, diwani jali dan khawfi. Dengan tulisan yang indah, setidaknya kita akan tertarik, senang dan bahagia untuk senantiasa membuka mush-haf Al-Qur’an al-Karim.

Saat ini, sudah ada mush-haf Al-Qur’an dengan huruf berwarna-warni sesuai hukum ilmu tajwid, misalnya izh-hâr berwarna biru laut, ikhfâ’ hijau daun, ghunnah jingga dan seterusnya termasuk bacaan gharîb. Tentunya hal ini sangat membantu kita dalam rangka membaca dengan baik dan benar.

Membaca Al-Qur’an dapat menyucikan jiwa, memberi tahu kita tuntutan yang harus dilaksanakan dan membangkitkan berbagai nilai yang diinginkan dalam penyucian jiwa.

Membaca Al-Qur’an dapat melenyapkan godaan setan dan bisikan dalam hati untuk melakukan keburukan.

Membaca Al-Qur’an membawa kesembuhan lahir dan batin serta membimbing kita menuju surga.

Membaca Al-Qur’an menyempurnakan fungsi shalat, zakat, puasa dan haji dalam mencapai derajat kehambaan kepada Allah SWT.

Membaca Al-Qur’an menuntut penguasaan yang sempurna mengenai hukum tajwid dan komitmen harian untuk mewiridkannya.

Membaca Al-Qur’an disunnahkan dengan suara yang bagus lagi merdu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْـوَاتِكُمْ

Hendaklah kamu sekalian menghiasi Al-Qur’an dengan suara merdu.
(HR Darimi)

حَسِّـنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ، فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَـنًا

Perindahlah Al-Qur’an dengan suaramu. Sesungguhnya suara indah akan menambah keindahan Al-Qur’an.

(HR Darimi, Bukhari dan Muslim)

لِكُلِّ شَيْئٍ حِلْيَةٌ وَحِلْيَةُ الْقُرْآنِ الصَّوْتُ الْحَسَنِ

Setiap sesuatu mempunyai hiasan dan hiasan Al-Qur’an adalah suara indah.
(HR adh-Dhiya’ Abdurrazaq dari Anas bin Malik)

Abu Hurairah berkata bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,

لَمْ يَأْذَنِ اللهُ لِشَيْئٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَـغَنَّى بِالْقُرْآنِ

“Allah tidak mendengarkan sesuatu sebagaimana mendengarkan seorang Nabi yang membaca Al-Qur’an dengan suara merdu.”

(HR Bukhari dan Muslim)

Abu Musa al-Asy‘ari berkata bahwa Rasulullah bersabda padanya,

يَا أَبَا مُوْسَى، لَقَدْ أُتِيْتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِ آلِ دَاوُ ُدَ

“Wahai Abu Musa, sungguh Allah telah memberikan padamu tenggorokan sebagaimana tenggorokan Nabi Daud.”
(HR Bukhari dan Muslim)

Al-Qur’an berbicara kepada kita tentang tauhid, kemudian beranjak kepada tema shalat. Selesai membahas tema shalat, Al-Qur’an beralih kepada pembicaraan tentang hari akhir, kemudian berpindah ke persoalan jihad; karena Al-Qur’an diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui rahasia langit dan bumi. Para sahabat Rasulullah sangat menginginkan sesuatu yang dapat mendekatkan mereka kepada penghayatan ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu, mereka sangat teduh mendengarkan ayat-ayat itu dilantunkan dengan suara yang indah.

Suara indah memang memesona dan dapat mendatangkan pengaruh yang baik dalam hati, jika suara indah itu melantunkan ayat-ayat Allah yang terang dan pesan-pesan ayat yang agung.

Hati yang senang menikmati suara bagus dan indah, juga merasa santai jika mendengarkannya adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari. Anak kecil akan tenang jika mendengar suara yang enak. Bahkan, unta yang berjalan dengan kasar dan berat oleh muatan di punggungnya akan menjadi tenang dan santai jika mendengar suara pengiring unta yang merdu dan lembut.

Imam Malik berkata, “Tidak mengapa jika seorang imam memperindah suaranya saat membaca Al-Qur’an, dan ini bukan perbuatan yang mengada-ada.”

Nabi saw. juga memberikan semangat pada kita untuk senantiasa membaca Al-Qur’an. Dari Aisyah, Rasulullah bersabda,

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السًّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَـعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌ لَهُ أَجْرَانِ

“Orang yang membaca Al-Qur’an, (dan) ia mahir, kelak mendapat tempat dalam surga bersama-sama dengan para rasul yang mulia lagi baik. Dan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan tampak agak berat lidahnya (belum lancar), ia akan mendapat dua pahala (pahala karena mau belajar dan pahala membaca Al-Qur’an).”
(HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadist lain dari Abu Umamah ra., Rasulullah bersabda,

اِقْرَؤُا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَـةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ

“Bacalah Al-Qur’an oleh kamu sekalian, sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menjadi syafa‘at/penolong bagi para pembacanya di hari Kiamat.”
(HR Muslim)

Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • M. Misbachul Munir, “325 Contoh Kaligrafi Arab”, Penerbit Apollo, Jumadil Awal 1412H/Nopember 1991
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan lanjutan dari : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (2 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (4 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, July 3, 2009

Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (2 of 4)

Nah, apakah kita melaksanakan perintah pemimpin besar kita, Nabi Muhammad saw. tersebut? Sudahkan setiap hari kita membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an di rumah, walaupun hanya satu ayat, asalkan istiqamah?

Kalau kita diundang oleh orang lain untuk membaca Al-Qur’an di rumahnya, mungkin berbentuk pengajian, khataman Al-Qur’an, atau yang lain, apakah kita mendatanginya?

Kenapa kita mau bahkan aktif membaca Al-Qur’an di rumah orang lain sementara di rumah sendiri kita malas? Apakah karena kalau kita membaca firman Allah di rumah orang yang mengundang kita, kita akan mendapat makan secara gratis? Kemudian ketika pulang, kita akan membawa tentengan berupa satu kotak makanan? Ataukah kita lebih parah lagi, kita tidak pernah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain, kecuali ketika shalat?

Apakah kita sengaja membiarkan rumah kita gelap gulita? Itukah yang kita inginkan? Bukankah Rasulullah telah memerintahkan kita agar menerangi rumah kita dengan membaca Al-Qur’an? Memang, rumah kita sudah ada penerangan listrik, tetapi secara hakikat—dalam pandangan Allah dan para malaikat—rumah kita terasa suram dan buram, bila tak ada cahaya Al-Qur’an. Marilah kita introspeksi diri sendiri, tidak usah mencari-cari kesalahan orang lain.

Pada waktu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), penulis beserta semua santri mendapat nasihat dari ustadz yang mengajar mengaji. Sang ustadz menasihatkan bahwa kalau kita sudah bekerja, kecil kemungkinan bisa membaca Al-Qur’an di rumah setiap hari secara istiqamah, walaupun satu ayat. Akan ada saja alasannya, mungkin tidak ada waktu karena sebagai profesional kita sibuk sekali. Jika kita seorang entrepreneur (pengusaha), kita merasa tidak sempat karena bisnis harus tetap jalan bahkan meningkat sehingga cash flow perusahaan aman. Kalau kita adalah karyawan, kita akan mengemukakan alasan lembur, lelah dan ingin istirahat.

Apabila kita aktif di organisasi, alasan kita adalah banyaknya kegiatan di luar, rapat kerja, konfrensi, musyawarah besar/nasional, muktamar, pelatihan kepemimpinan dan sebagainya. Apalagi bagi yang sudah tua namun belum bisa membaca Al-Qur’an, karena waktu mudanya tidak mengaji. Jangankan membaca, belajar pun enggan karena merasa bukan waktunya lagi. Karena sudah tua, dikatakan bahwa pikiran lambat, lidah kaku, mata lamur, sudah udzur dan banyak lagi argumen yang akan dikemukakan.

Pesan itu terasa aneh pada saat penulis mendengarnya. Maklum, waktu itu masih SMP, masih banyak waktu untuk membaca Al-Qur’an di rumah. Kegiatan pun sudah terjadwal dengan baik. Setelah penulis bekerja, barulah penulis merasakan sendiri kebenaran nasihat tersebut. Memang, butuh usaha keras untuk bisa istiqamah membaca Al-Qur’an setiap hari di rumah, walaupun hanya satu ayat. Padahal, kalau kita melakukannya, tidak membutuhkan waktu lama, paling-paling hanya 5 (lima) menit. Hawa nafsu dan setan memang tak kenal istirahat untuk menggoda kita. Wal‘iyâdzu billâh.

Wajarkah kita mengemukakan alasan-alasan di atas? Dengan berbagai argumentasi, kita merasa tidak sempat membaca Al-Qur’an walaupun satu ayat? Bagi yang belum bisa membaca, sahkah alasan kita tidak mau belajar karena merasa lidah ngilu dan kaku? Baiklah kalau memang kita anggap semua itu wajar dan sah.

Misalnya ada seseorang yang sangat dermawan, kemudian orang itu berkata pada kita, “Bapak/Ibu yang baik, saya seorang biliuner. Saya ingin agar setiap orang mau membaca Al-Qur’an di rumah setiap hari. Saya merindukan lantunan ayat suci kalâm Allah bisa terdengar dari setiap rumah seperti zaman Rasulullah dan para sahabat. Betapa mengharukan dan mempertebal iman jika semua itu terlaksana. Saya ingin berbuat sesuatu untuk Islam dan beramal untuk diri saya. Nah, Bapak/Ibu, maukah Bapak/Ibu membaca Al-Qur’an secara istiqamah, setiap hari satu jam, berapa pun ayatnya; dan sebagai imbalan untuk satu jam itu, Bapak/Ibu akan saya beri uang Rp 99.000.000,- setiap hari? Dan itu berlaku selama 61 tahun Masehi atau 63 tahun Hijriyah. Apa Bapak/Ibu punya waktu dan sempat melakukannya? Kalau Bapak/Ibu belum bisa membaca Al-Qur’an, dengan imbalan sebesar itu, apakah Bapak/Ibu mau belajar? Dengan hadiah itu, maukah Bapak/Ibu bersabar untuk mengatasi kakunya lidah dan lambatnya pikir?”

Apa jawaban kita seandainya itu benar-benar terjadi? Penulis yakin seyakin-yakinnya (haqqul yaqîn) bahwa kita akan punya waktu untuk melakukannya. Bukan hanya 5 (lima) menit, tapi 60 (enam puluh) menit atau 1 (satu) jam, sesuai permintaan biliuner tersebut. Lalu, bagaimana dengan alasan-alasan kita sebelumnya? Bukankah itu menunjukkan bahwa argumen-argumen kita ibarat bangunan keropos?

Kalau saja Allah mau memberikan pahala berupa uang atau permata, pastilah kita akan saling berpacu untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Namun, hal ini sudah kita bahas di tulisan “Mengapa Pahala Tidak Berbentuk Harta Saja, Ya...?” bahwa dunia adalah ladang untuk ditanami dan dituai di akhirat kelak.

Kita, sebagai seorang mukmin, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Sabda Nabi saw. :


خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَـلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَـلَّمَهُ

Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya. (HR Bukhari)

Belajar Al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapat tingkatan, yaitu :

  • Belajar membaca sampai lancar dan baik, sesuai qaidah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid.

    مَۤا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ ِلتَشْقىٰ

    Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
    (QS Thâhâ [20] : 2)

    وَلَقَدْ يَسَّرْناَ ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

    Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?
    (QS al-Qamar [54] : 17)

  • Belajar arti dan maksudnya (tafsir) sampai mengerti akan maksud yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

  • Belajar menghapalnya di luar kepala, sebagaimana yang dikerjakan oleh para sahabat pada masa Rasulullah sampai saat ini. Namun, kewajiban ini bukanlah fardhu ‘ain. Walaupun begitu, kita harus tetap belajar menghapal beberapa ayat atau surah, setidaknya untuk dibaca ketika shalat.


Daftar Pustaka :

  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan lanjutan dari : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (1 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (3 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#