Mencari Data di Blog Ini :

Friday, December 31, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)

Sebaliknya, jika kita senantiasa di jalan-Nya dalam kehidupan ini, insya Allah kita akan siap ketika ajal menjemput. Adz-Dzahabi mengisahkan bahwa ketika Abu Zar‘ah dalam keadaan sakaratul maut, tiba-tiba Abu Zar‘ah pingsan. Murid-muridnya ingin mentalqinnya dengan kalimat “Lâ ilâha illallâh,” namun mereka tidak tahu bahwa gurunya pingsan. Mereka ternyata juga malu untuk mentalqin gurunya, karena Abu Zar‘ah adalah seorang syaikh imam muslimin. Akhirnya mereka menemukan cara. Mereka berkata,


“Kami ingat sanad (susunan periwayat) hadits tentang Lâ ilâha illallâh. Jika kami mengingatkannya pada sanad tersebut, maka guru kami akan mengingat isi hadits, karena beliau adalah orang yang meriwayatkan hadits dan merupakan bencana besar jika yang meriwayatkan hadits tidak tahu sanadnya.”


Maka, seorang di antara mereka berkata,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan.” Lalu dia diam. Yang lain berkata,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan dari Fulan,” lalu terpotong. Maka, berkatalah Abu Zar‘ah,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan hingga lengkap sanadnya pada Muadz bahwa Rasulullah bersabda, ‘Siapa akhir ucapannya di dunia Lâ ilâha illallâh, maka dia masuk surga’.”


Kemudian, Abu Zar‘ah pun meninggal dunia. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita sehingga kita bisa seperti Syaikh Abu Zar‘ah, amin.


Dari cerita di atas, apakah kita sudah menyiapkan diri kita untuk menghadapi tamu kita yang pasti datang, yaitu Malaikat maut? Sudahkah kita membiasakan diri dengan hal-hal baik? Apa kita juga sudah bersiap-siap untuk menolak tawaran Iblis, tatkala rasa haus begitu mendera? Juga mengingkari perintahnya walaupun ia menyerupai orang yang kita segani?


Kita memang bertabiat sering GR (Gede Rasa). Ketika ada pembahasan tentang kebaikan, entah dari guru, ustadz, kyai, da‘i atau buku, kita merasa diri kita sudah melakukan itu semua.
Kita merasa sudah melaksanakan semua jenis shalat selain lima waktu, yaitu Dhuha delapan rakaat, Hajat, Rawatib (Qabliyah dan Ba‘diyah), Ba‘dal Wudhu, Tahajud, Tahiyyatul Masjid, Taubat, Tasbih, Witir dan shalat Mutlak yang tak ada batasan jumlah rakaatnya.


Kita merasa sudah banyak bersedekah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.


Kita merasa sudah banyak menolong orang secara non materi, bantuan moril, dukungan atau nasihat.


Kita merasa sudah baik dalam pergaulan dengan orang lain, karena kita menerapkan prinsip simpati dan empati dalam keseharian.


Kita merasa sudah sering berpuasa sunnah, misalnya Senin-Kamis, yawm al-bîdh (tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariyah), enam hari di bulan Syawal, Tasu‘a (9 Muharram), ‘Asyura (10 Muharram) dan ‘Arafah (9 Dzulhijjah).


Kita merasa sudah menjalankan puasa Ramadhan dengan sangat baik, bahkan khatam Al-Qur’an minimal sekali dalam bulan itu.


Kita merasa sudah mendapatkan lailatul qadar karena kita i‘tikaf di sepuluh hari terakhir pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhan.


Kita merasa sudah banyak berdzikir menyebut asma Allah. Bahkan, karena bilangan dzikir kita sudah mencapai ribuan, maka kita mengganti tasbih dengan alat hitung yang bisa mencapai angka 9999.


Kita merasa sudah melaksanakan umrah berkali-kali bahkan haji juga lebih dari sekali, sehingga kita merasa haji kita adalah haji mabrur.


Kita merasa yakin bahwa hidup kita sudah baik, benar dan pasti masuk surga.


Sebaliknya, tatkala ketidakbaikan diceritakan, serta merta kita berkata pada diri sendiri bahwa pelaku ketidakbaikan itu bukanlah diri kita. Malah, kita sibuk mencari siapa yang melakukan ketidakbaikan itu. Sungguh, kita memang mudah terjangkit penyakit ‘ujub (membangga-banggakan amal ibadah sendiri). Na‘ûdzubillâh.


Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Kita sering membawa tasbih atau sejenisnya, untuk menghitung berapa banyak dzikir yang sudah kita ucapkan. Pernahkah dengan tasbih itu, kita menghitung berapa banyak kata-kata yang tidak berguna apalagi sia-sia yang telah kita katakan?”


Sebuah nasihat yang lain berbunyi, “Kita ini memang kapitalis sejati. Kalau kita menuduh negara-negara lain sebagai kapitalis, maka yang lebih pantas mendapat menyandang gelar ‘Kapitalis Sejati’ adalah diri kita sendiri. Kita selalu hitung-hitungan dengan Allah. Kita sering sekali menghitung balasan yang akan kita dapatkan dari ibadah kita. Kalau kita membaca shalawat, berapa banyak rahmat yang akan kita peroleh? Kalau kita membaca Al-Qur’an, dosa-dosa kita sudah terhapus berapa banyak? Berapa derajat yang kita peroleh dengan melakukan shalat berjamaah? Tidakkah cukup dikatakan bahwa karena kita adalah hamba, maka kita seharusnya tunduk, patuh dan pasrah kepada Sang Pemilik hamba? Kurang ilmiahkah jika alasan kita melakukan semuanya adalah karena rasa syukur dan cinta kita kepada Dzat yang telah menciptakan kita dengan begitu sempurna? Kurangkah anugerah, karunia dan rahmat yang dicurahkan oleh Yang Memiliki Kehidupan kepada kita, hamba-Nya? Bukankah itu berarti kita berperi laku ‘kurang sopan’ terhadap Yang Memiliki kita, Allah SWT?”


Pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri sendiri adalah, “Apakah kita lupa bahwa iman itu bisa bertambah, namun juga bisa berkurang (al-îmânu yazîdu wa yanqush)? Bukankah iman itu mengalami pasang surut, tergantung situasi dan adanya sebab-musabab? Apa kita yakin bahwa ibadah kita diterima Allah 100%, tidak kurang dari itu? Yakinkah kita bahwa dosa-dosa kita telah lebur 100%, tidak ada yang tersisa; ataupun bila tersisa, itu hanya sedikit saja? Lupakah kita bahwa kualitas amal dan ibadah itu diperhitungkan? Sudah yakinkah kita bahwa kualitas ibadah kita sudah baik?”


Ibnu Athaillah berpesan, “Ketaatan kepada Allah bukanlah suatu amal yang harus dibangga-banggakan, dipamerkan atau semisalnya. Ketaatan adalah hiasan jiwa yang bertahtakan ketulusan di dalamnya. Ketaatan itu sendiri belum menjadi jaminan seseorang untuk masuk surga, karena hal ini memerlukan ujian yang sangat istimewa. Pada dasarnya ketaatan adalah karunia yang sangat mahal harganya bagi hamba Allah yang perlu mendapatkan penjagaan terus-menerus sepanjang hayatnya. Setiap karunia yang menjadi anugerah Allah berupa apa pun, terutama jiwa yang taat merupakan hidayah dari Allah.”



Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”


Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (4 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 24, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)

Di kitab “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”, dijelaskan dengan detail tentang maksud ayat Al-Qur’an:


وَلاَ تَمُوْ تُنَّ إِلاَّ وَأَنْتـُمْ مُسْـلِمُوْنَ

Dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Âli ‘Imrân [3]: 102)


Di ayat tersebut, kita dipesan agar ketika meninggal dunia tetap dalam Islam, karena Nabi saw. bersabda bahwa siapa yang meninggal dalam keadaan iman dan Islam, maka masuk surga. Diriwayatkan dari Abu Dzar ra. bahwa Rasulullah bersabda,


أَتَانِيْ آتِ مِنْ رَبِّي فَأَخْبِرْنِيْ، أَوْ قَالَ بَشَّرَنِيْ، أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لاَيُشْرِكْ بِاللهِ شَـيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Telah datang kepadaku utusan Tuhan dan memberitakan bahwa siapa meninggal dari umatku dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, pasti masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)


Memang, pesannya hanya ketika meninggal dunia, tapi di ayat itu (QS Âli ‘Imrân [3]: 102) ada penguatan kata (tawkîd), yaitu lâ tamûtunna (janganlah sekali-kali kalian mati). Secara etimologi, kata lâ tamûtunna berasal dari kata:


لاَ تَـمُوْ تُوْا

yang berarti janganlah kalian mati. Kata itu adalah kata kerja bentuk larangan (fi‘il nahiy), kemudian dimasuki oleh dua buah nûn tawkîd untuk menguatkan larangan, yaitu nûn tawkîd tsaqîlah.

Peraturan yang berlaku adalah fi‘il (kata kerja) yang dikuatkan dengan nûn tawkid apabila bersambung kepadanya alif itsnayn (huruf alif yang menunjukkan arti dua), wau jama‘ (huruf wau yang menunjukkan makna banyak) atau ya’ mukhâthabah (huruf ya’ yang menunjukkan kata ganti orang kedua perempuan); maka huruf sebelum alif diberi harakat fathah, huruf sebelum wau diberi harakat dhammah dan huruf sebelum ya’ diberi harakat kasrah. Dhamir (kata ganti) harus dibuang apabila berupa wau atau ya’, dan dibiarkan apabila berupa alif. Sebetulnya bentuk tambahannya berbunyi:


لاَ تَـمُوْ تُوْنَنَّ

Namun, karena peraturan tersebut, maka hasil akhirnya adalah:


لاَ تَـمُوْ تُنَّ

Huruf nun dibuang karena beriringan dengan huruf yang serupa dan huruf wau dihilangkan pula karena pertemuan dua huruf sukun (wau sukun dan nun pertama dari nun yang ditasydid).


Dengan demikian, kata lâ tamûtunna menunjukkan adanya kewajiban ketika kita hidup di dunia, untuk menyiapkan diri, supaya ketika sang Malaikat maut datang menjemput, kita sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan baik (dzikrullâh). Ketika sakaratul maut (ajal menjemput), seseorang akan melakukan sesuai kebiasaannya di dunia. Oleh karena itu, kalau kita tidak biasa berbuat baik, menjaga diri, menuntut ilmu-ilmu yang diwajibkan, shalat serta berdzikir (mengingat Allah) semasa hidup; maka ketika Izrail datang, bagaimana kita bisa tetap dalam iman dan Islam? Sedangkan kondisi setiap insan pada saat itu benar-benar payah, rasa haus yang sangat dan ada godaan setan atau Iblis. Sudah siapkah kita?


Di kitab “Syarah Daqâiq al-Akhbâr fî Dzikri al-Jannah wan-Nâr” dibahas bahwa Iblis akan datang untuk menggelincirkan orang yang sedang menghadapi maut. Setan memang tak kenal lelah menggoda kita. Dikisahkan, ketika Abu Zakaria az-Zahid datang ajal, datanglah seorang kawannya untuk membimbing dalam menghadapi sakaratul maut. Sang teman mengajarkan kepadanya,


لاَإِلـٰهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Ternyata Abu Zakaria memalingkan wajah dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Temannya pun mengajari untuk yang kedua kali, namun tetap saja Abu Zakaria memalingkan wajah. Ketika temannya mengajarkan untuk yang ketiga kali, Abu Zakaria malah berkata,


“Aku tidak mau mengucapkan!”


Melihat kondisi yang demikian, sang kawan dan keluarga yang hadir menjadi cemas dibuatnya.


Setelah beberapa saat, penderitaan Abu Zakaria berkurang. Dia lalu membuka matanya perlahan. Kemudian dia bertanya,


“Apakah kalian mengatakan sesuatu kepadaku?”


“Ya, telah kami ajarkan kepadamu syahadat tiga kali, namun kamu berpaling dua kali. Bahkan pada kali ketiga, kamu berkata, ‘Aku tidak mau mengucapkan’.”


Mendengar penjelasan tersebut, Abu Zakaria terdiam sejenak. Kemudian dia bercerita,


“Iblis telah datang kepadaku dengan membawa segelas air minum. Dia berdiri di sebelah kananku dengan menggerak-gerakkan gelas itu seraya berkata,


‘Katakanlah, ‘Isa al-Masih adalah anak Allah’.’


Maka aku memalingkan muka darinya. Kemudian dia datang dari arah kakiku dan berkata dengan ucapan yang sama. Pada perkataan yang ketiga, Iblis berkata,


‘Katakan, ‘Tidak ada Tuhan!’’


Lalu aku menjawab, ‘Aku tidak mau mengucapkan!’


Setelah itu Iblis mencampakkan gelasnya ke lantai dan pergi sambil berlari. Jadi, aku tadi menolak Iblis itu, bukan menolak kalian. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”


Bahkan ada sebuah nasihat bahwa ketika seseorang sedang sakaratul maut, Iblis bisa menyerupai wajah guru, orang tua atau orang yang disegani. Iblis akan berkata, “Hai Fulan, aku ini Gurumu. Kamu tahu bahwa aku sudah mati lebih dulu, dan ternyata setelah aku cari di alam kematian ini, Tuhan itu tidak ada. Sebagai muridku yang baik dan patuh, sekarang katakanlah bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak ada!”


Ibnul Qayyim menceritakan tentang orang fasik ketika sakaratul maut. Dikatakan pada orang itu (ditalqin),


لاَإِلـٰهَ إِلاَّ اللهُ

Orang itu ternyata mengulang lagu-lagu yang dahulu didengarnya ketika hidup masih dinikmati. Orang itu berdendang,


هَلْ رَأَى الْحُبُّ سُكٰرٰى مِثْـلَناَ

“Apakah cinta melihat orang yang mabuk seperti kami?”

Maka dia mati dengan kalimat terakhir adalah lagu itu, karena dia hidup dengannya.

Daftar Pustaka:

  • Abdullah Ba‘alawi Al-Haddad, asy-Syaikh, “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”
  • Abdurrahim bin Ahmad al-Qadhi, asy-Syaikh, “Syarah Daqâiq al-Akhbâr fî Dzikri al-Jannah wan-Nâr”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Terjemah Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil (karya Syaikh Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil) – Jilid 1 dan 2”, Penerbit Sinar Baru, Cetakan Pertama : 1992
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (1 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 17, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (1 of 9)

Di sebuah pesantren, seorang santri yang baru mondok setahun berkeluh kesah (curhat) kepada ustadz-nya,


“Ustadz, kenapa sih saya harus repot-repot mengaji seperti ini?”


“Lho, sampean (bahasa Jawa, artinya kamu, tapi lebih sopan) kan sedang mondok di pesantren ini, ya harus mengikuti semua kajian kitab,” jawab sang ustadz.


“Saya capek, Ustadz. Kitabnya ganti-ganti terus. Hari Senin habis maghrib belajar nahwu (gramatika bahasa Arab), terus setelah Isya’ mengaji sharaf (perubahan kata dasar bahasa Arab. Sharaf adalah gandengan nahwu. Ibarat orang tua, nahwu seumpama ayah, sedangkan sharaf laksana ibu). Hari Selasa ba‘da maghrib belajar Taqrîb (kitab fiqh), ba‘da Isya’ ganti kitab Mushthalâh al-Hadîts (ilmu tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan hadits). Setiap hari ganti kitab. Belum lagi, saya kan juga sekolah, Ustadz.”


“Memangnya kenapa? Kan masih kitab-kitab dasar. Belum susah kan?” kata sang ustadz mencoba untuk menghibur.


“Iya, sih… Tapi Ustadz, kitab-kitab itu kan berlanjut terus. Nahwu saja ada tingkatan-tingkatannya. Setelah khatam Jurumiyah, lalu dilanjut ke ‘Imrîthiy. Setelah ‘Imrîthiy, masih harus lanjut ke Mutammimah, dan terakhir kitab Alfiyyah Ibnu Malik Syarah Ibnu ‘Aqil.”


“Lho… justru itu, kan nanti jadi pintar. Tambah hebat, gitu loh…:)”


“Iya, sih… Tapi kan, Itu baru nahwu. Kitab-kitab lain juga banyak sekali lanjutannya, Ustadz.”


Si santri diam sejenak. Dia berusaha menyusun kata-kata yang akan diucapkan berikutnya, laksana seorang pengarang sedang mencari ilham. Dia lalu berkata,


“Eeeee…Ustadz…?”


“Hemmm….Ada apa…?”


“Lebih enak jadi orang awam, ya Ustadz… Cukup tahu kayfiyyah (tata cara) shalat, ilmu fiqh untuk permasalahan sehari-hari dan bisa membaca Al-Qur’an dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hija’iyah dari mulut atau tenggorokan) yang benar serta sesuai tajwid, sudah bagus sekali. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup, tidak perlu susah-susah begini…,” rajuk si santri.


“Mmm… Maksud sampean?”


“Yang penting kan, di akhirat nanti kita masuk surga, Ustadz… Yaaa…, cukup surga tingkat terendah sajalah… Bukankah kemewahan surga tingkat terendah minimal 10 kali seluruh kenikmatan dunia, Ustadz? Cukuplah, nggak perlu tinggi-tinggi banget!”


Sang ustadz pun tertawa mendengar imajinasi santri yang terlampau jauh, aneh pula.


“Ya… ya… ya…,” kata sang ustadz sambil manggut-manggut.


“Ya apanya, Ustadz?”


“Aku mengerti maksud sampean…”


“Nah, gitu dong, Ustadz…”


Sejenak suasana menjadi hening. Si santri merasa plong karena apa yang telah menyesakkan dadanya telah keluar dengan lancar. Sebaliknya, sang ustadz berpikir keras untuk bisa menasihati si santri, tapi dengan nasihat yang mudah dimengerti sekaligus tepat sasaran. Beberapa saat kemudian sang ustadz pun berkata,


“Memang aneh santri zaman sekarang.”


“Aneh kenapa, Ustadz?”


“Kalau dikasih uang, lalu disuruh memilih, mau uang seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, satu juta, sepuluh juta, seratus juta, satu milyar atau satu trilyun; malah memilih yang seribu. Kenapa tidak uang terbesar saja yang diambil…?” nasehat sang ustadz pada santrinya.


“Kalau diberi hadiah rumah, lalu diminta memilih, apa mau tipe 27, 36, 45, 60, 75, 90, 120, atau tipe 200; kok yang dipilih ternyata tipe RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali). Mengapa tidak menginginkan rumah mewah sekalian?” lanjut sang ustadz.


Santri itu termenung mendengar nasihat ustadz-nya yang begitu sederhana namun mengena. Cukup lama dia merenung.


“Saya ingin uang satu trilyun dan rumah tipe 200, Ustadz! Bahkan lebih besar lagi!” kata si santri setengah berteriak karena semangat.


“Bener, nih…?” canda sang ustadz.


“Ya, iya laaah,” jawab si santri sambil tertawa.


“Nah, gitu dong…,” kata sang ustadz sambil tersenyum.


Dari cerita di atas, apakah kita cukup dengan keinginan untuk masuk surga tingkat terendah, seperti keinginan awal santri tersebut? Jika ya, maka pertanyaan selanjutnya adalah,


“Apakah kita yakin bahwa kita akan masuk surga, walaupun itu level terbawah?”


“Siapa yang menjamin?”


“Siapa yang bisa mengetahui masa depan?”


“Apa kita bisa memastikan diri bahwa kita akan husnul khâtimah, meninggal tetap dalam iman dan Islam?”


Rasulullah saw. bersabda:


لاَ تَعْجَـبُوْا ِلعَمَلِ عَاِملٍ حَتَّى تَنْظُرُوْا ِبمَ يَخْتُمُ لَهُ

Jangan cepat tertarik pada amalan seseorang sebelum engkau melihat bagaimana akhirnya (meninggalnya). (HR Ahmad)


Ibnu Taimiyah berkata, “Yang menjadi ukuran adalah kesempurnaan akhir, bukan kekurangan pada awalnya.” Artinya adalah bahwa seorang mukmin kadang kala imannya tampak lemah. Kemudian dia berupaya untuk mendapatkan tambahan petunjuk, nur, amal shaleh, berteman dengan orang-orang shaleh, mencari pengetahuan agama, mencintai orang-orang baik, dan mencari manfaat dari para ulama, sehingga dengan demikian bertambahlah cahayanya. Sebaliknya, bila tidak dijaga, maka iman bisa berkurang. Iman memang mengalami pasang surut.


Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006


Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 10, 2010

Memahami Makna Istighfar (2 of 2)

Di buku “‘Menyingkap ’Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa di beberapa kamus dinyatakan pada dasarnya kata ‘afwu berarti menghapus (habis tiada berbekas), membinasakan dan mencabut akar sesuatu.

Allah adalah Al-‘Afuww, yakni Dia yang menghapus kesalahan hamba-hamba-Nya, serta memaafkan pelanggaran-pelanggaran mereka.

Sifat ini mirip dengan sifat Al-Ghafûr, hanya saja menurut Imam Ghazali, pemaafan Allah lebih tinggi nilainya dari maghfirah. Bukankah kata ‘afwu mengandung makna menghapus, mencabut akar sesuatu, membinasakan dan sebagainya, sedang kata ghafûr terambil dari akar kata yang berarti menutup?

Sesuatu yang ditutup pada hakikatnya tetap wujud hanya tidak terlihat, sedangkan yang dihapus, hilang, kalau pun ada tersisa, paling hanya bekas-bekasnya.

Selain ghafara dan ‘afwu, terdapat kata ash-shafh. Pakar bahasa Al-Qur’an, ar-Raghib al-Asfahani, menulis dalam Mufradât-nya bahwa apa yang dinamai ash-shafh, yang antara lain berarti “lembaran yang terhampar” memberi kesan bahwa yang melakukannya membuka lembaran baru—putih bersih—belum pernah dipakai, apalagi dinodai oleh sesuatu yang dihapus. Dengan demikian, ash-shafh lebih dalam maknanya dibandingkan ghafara dan ‘afwu.

Sedikit menyimpang dari tema pokok, jabat tangan
(مُصَافَحَة) yang bentuk dasarnya (ثُلاَثِيْ مُجَرَّدْ) adalah shafaha (صفح) dianjurkan dalam agama. Di sebuah hadits disebutkan:


مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hasan al-Bashri menuturkan, “Berjabat tangan dapat menambah kasih sayang.”

Penulis pernah ditanya, “Istighfar mempunyai bentuk dasar ghafara. Jika ghafara bermakna menutup, lalu bagaimana cara memohon ash-shafhu kepada Allah, agar catatan amal jelek kita dibuang dan diganti lembaran baru yang putih bersih?”

Di kitab Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn Bab Taubat—Hadits ke-1/13 (Hadits ke-1 Bab Taubat/Hadits ke-13 Kitab Riyadhush Shalihin) diuraikan:


أستغفر: أي أطلب المغفرة وهي الصفح عن الذنب

Kalimat “astaghfiru” artinya hamba mencari (memohon) maghfirah, dengan maksud ash-shafhu dari dosa (agar catatan ketidakbaikan dibuang dan diganti lembaran baru yang putih bersih)

Jadi, bila kita ber-istighfar, misalnya dengan kalimat
أَسْتَغْفِرُ الله, hal itu berarti kita memohon, “Ya Allah, buanglah catatan amal tidak baik hamba dan gantilah dengan lembaran baru yang putih bersih.”

Ibnul ‘Arabi berpendapat bahwa kalimat اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ juga dipahami dalam arti, “Ya Allah, perbaikilah keadaan hamba.”

Dengan pengertian istighfar ini, para ulama menasihatkan agar kita tidak merasa diri lebih baik dibandingkan orang lain. Bahkan terhadap orang yang berbuat dosa besar pun, kita dilarang. Siapa tahu dia bertaubat dan Allah menerima taubatnya, sehingga kondisinya seperti orang yang tidak pernah punya kesalahan karena telah dibuang catatan kesalahannya serta dibuka lembaran baru (ash-shafhu).


التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ، وَإِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا لمَ ْيَضُرُّهُ ذَنْبٌ

“Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya.” (HR Ibnu Majah)

Abu Hamid al-Ghazali memberi saran agar kita senantiasa rendah hati terhadap siapa pun. Jika kita bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah di dalam hati, “Orang ini lebih tua dari saya, pastilah amal ibadahnya lebih banyak dari saya. Allah jelas lebih memuliakan orang tua ini dibandingkan saya.”

Bila kita menjumpai orang yang lebih muda, maka kita dinasihati untuk berkata dalam hati, “Usia orang ini lebih muda dari saya, tentunya kemaksiatan dan dosa yang diperbuat lebih sedikit dari saya. Sungguh, dia lebih terhormat di sisi Allah daripada saya.”

Yang terakhir, tatkala kita melihat anak kecil yang belum baligh, maka berucaplah, “Anak ini belum punya dosa. Dia mendapat jaminan surga. Bagaimana dengan saya?”



Daftar Pustaka:

  • Mushthafa Sa‘id al-Khin, Mushthafa al-Bugha, Muhyiddin Mustu, ‘Ali asy-Syarbaji dan Muhammad Amin Luthfi, asy-Syaikh, “Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari: Memahami Makna Istighfar (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 3, 2010

Memahami Makna Istighfar (1 of 2)

رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْـبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ

Wahai Tuhan hamba, ampunilah hamba, rahmatilah hamba, cukupilah hamba, angkatlah derajat hamba, berilah hamba (kecukupan) rezeki, berilah hamba hidayah, anugerahilah hamba 'afiat (kesehatan yang digunakan untuk hal-hal yang Engkau ridhai), dan maafkanlah segala kesalahan hamba


Demikianlah doa yang senantiasa kita baca ketika duduk di antara dua sujud. Di dalam doa tersebut, terkandung permintaan “ampun” (اغْفِرْ) di awal serta permohonan “maaf” (اعْفُ) di akhir doa. Apa perbedaan “ampun” dan “maaf”?

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan antara “ampun” dan “maaf”. Berikut ini penjelasannya:

  • am·pun n 1 pembebasan dr tuntutan krn melakukan kesalahan atau kekeliruan; maaf: ia selalu berdoa dan memohon -- atas segala dosa dan kesalahannya; 2 kata yg menyatakan rasa heran kesal: -- , anak ini nakalnya bukan main; 3 cak bukan main: aduh baunya, -- , deh;
    am·puni v maafkan: ya Tuhan, -- lah segala kesalahan dan dosaku;
    meng·am·puni v memberi ampun; memaafkan: ~ kesalahan;
  • ma·af n 1 pembebasan seseorang dr hukuman (tuntutan, denda, dsb) krn suatu kesalahan; ampun: minta --; 2 ungkapan permintaan ampun atau penyesalan: -- , saya datang terlambat; 3 ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu: -- , bolehkah saya bertanya;
    ber·ma·af-ma·af·an v ampun-mengampuni; saling memberi ampun: pd hari Lebaran mereka -;
    me·ma·afi v memberi ampun kpd; mengampuni: sudilah Tuanku - hamba yg hina ini;
    me·ma·af·kan v memberi ampun atas kesalahan dsb; tidak menganggap salah dsb lagi: ia telah - kesalahanku;

Menurut kebiasaan masyarakat, kata “maaf” digunakan kepada sesama manusia, sedangkan kata “ampun” untuk Allah SWT. Hal ini terbukti saat lebaran (Idul Fitri), belum pernah penulis temukan seseorang berkata kepada temannya, “ampuni kesalahanku, ya…” atau “mohon ampun lahir dan batin...” Mungkin bila benar-benar dipraktikkan, sungguh terasa sangat menggelikan :).

Kata ghafara (غفر) yang sering diterjemahkan “mengampuni” asalnya bermakna menutup (ستر). Di kitab Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn Bab Taubat—Hadits ke-1/13 (Hadits ke-1 Bab Taubat/Hadits ke-13 Kitab Riyadhush Shalihin) dijelaskan:


وأصل الغفر الستر

Asal makna “ghafara” adalah menutup


Di buku “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab menerangkan 3 sifat Allah yang terambil dari akar kata ini, yaitu:

  • غَافِرْ (Ghâfir)
  • غَفَّارْ (Ghaffâr)
  • غَفُوْر (Ghafûr)

Ibnul ‘Arabi mengemukakan beberapa pendapat meyangkut perbedaan kata-kata tersebut. Ghâfir adalah pelaku. Maksudnya sekadar menetapkan adanya sifat ini kepada sesuatu, tanpa memandang ada/tidaknya yang diampuni atau ditutupi.


Allah adalah Al-Ghaffâr yang salah satu artinya Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan anugerah-Nya.


Perbedaan antara Ghaffâr dan Ghafûr adalah Ghaffâr yang menutupi aib/kesalahan di dunia, sedangkan Ghafûr menutupi aib di akhirat.



Ghafûr dapat juga berarti banyak memberi maghfirah, sedang Ghaffâr mengandung arti banyak dan berulangnya maghfirah serta kesempurnaan dan keluasan cakupannya. Dengan demikan, Ghaffâr lebih dalam dan kuat kandungan makna-Nya dari Ghafûr, dan karena itu pula ada yang berpendapat dapat mencakup orang-orang yang bermohon maupun yang tidak bermohon.


Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa Al-Ghaffâr adalah Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa-dosa adalah bagian dari sejumlah keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengenyampingkan siksa-Nya di akhirat.


Imam al-Ghazali dalam membedakan sifat Al-Ghafûr dan Al-Ghaffâr menulis bahwa keduanya bermakna sama, hanya saja Ghafûr mengandung semacam mubâlaghah (kelebihan penekanan) yang tidak dikandung oleh kata al-Ghaffâr, karena al-Ghaffâr menunjukkan mubâlaghah dalam maghfirah (pengampunan menyeluruh/penutupan yang rapat) disamping berulang-ulang, sedang Ghafûr menunjuk kepada sempurna dan menyeluruhnya sifat tersebut. Allah Ghafûr dalam arti sempurna pengampunan-Nya hingga mencapai puncak tertinggi dalam maghfirah.


Daftar Pustaka:

  • Mushthafa Sa‘id al-Khin, Mushthafa al-Bugha, Muhyiddin Mustu, ‘Ali asy-Syarbaji dan Muhammad Amin Luthfi, asy-Syaikh, “Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005
  • http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

Tulisan ini berlanjut ke : Memahami Makna Istighfar (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#