Mencari Data di Blog Ini :

Friday, April 27, 2012

Setia Kawan Janganlah Menabrak Tatanan (3 of 3)

d. Solidaritas Sosial

Solidaritas sosial yang ditetapkan syariat Islam berupaya membentuk tatanan sosial sehingga terdapat saling ketergantungan setiap individu di dalamnya terhadap ketetapan prinsip ini.
Wajib kifâyah adalah bentuk kewajiban sosial yang dibebankan kepada masyarakat, di mana bila dipenuhi oleh sebagian saja, maka gugur kewajiban. Orang yang tidak ikut memenuhi kewajiban ini tidak dikenakan sangsi. Namun, bila tidak ada satu pun yang melaksanakannya, maka setiap individu berdosa. Contoh yang paling masyhur adalah shalat jenazah. Contoh lain yaitu harus ada orang yang mengerti pengobatan karena masyarakat membutuhkan hal ini.
Pada kehidupan bermasyarakat, syariat menetapkan kewajiban yang bermaslahat untuk kehidupan bertetangga. Tidak satu pun ayat yang menyebut tentang perbuatan baik terhadap orang-orang terdekat kecuali disertai pula ketetapan untuk bersikap baik terhadap tetangga. Syariat juga memerintahkan kita memuliakan tamu.

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. (QS an-Nisâ’ [4]: 36)

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ 
Siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklan ia menghormati tamunya. (Muttafaq ‘alayh)
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washil dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam memasukkan kewajiban zakat dalam bahasan “Solidaritas Sosial”, meski penulis lebih cenderung memasukkannya bersama infak dan sedekah ke bahasan “Mendekatkan Si Kaya dan Si Miskin”. Wallâhu a‘lam.
Dalam ruang lingkup umat secara keseluruhan, Asy-Syâri (Allah SWT) telah mewajibkan zakat dengan syarat-syarat tertentu untuk kemaslahatan fakir-miskin yang membutuhkan.
Definisi fakir adalah orang yang penghasilannya kurang dari separuh kebutuhan, misalnya dia butuh 10 tapi punya 3. Adapun miskin adalah orang yang penghasilannya lebih dari separuh kebutuhan tapi masih kurang, misalnya dia butuh 10 tapi punya 7.

e. Solidaritas dalam Tanggung Jawab

Rasa tanggung jawab ini direalisasikan dalam bentuk kewajiban-kewajiban atas individu masyarakat berupa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Âli ‘Imrân [3]: 104)

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS al-A‘râf [7]: 199)
Apa yang dimaksud ma’ruf?
Di buku “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat” Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ‘urf  dan  ma‘rûf  pada  ayat-ayat  tersebut  mengacu  kepada kebiasaan  dan  adat  istiadat  yang tidak bertentangan dengan al-khayr, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam.
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat  beragam  sesuai  dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat  lain.  Apabila rincian   maupun  penjabaran  itu  tidak  bertentangan  dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai ‘urf/ma’ruf.

f. Pemanfaatan Kekayaan untuk Kesejahteraan Sosial

Syariat Islam mewajibkan pemilik kekayaan agar selalu memanfaatkan hartanya untuk hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi diri dan masyarakat. Asy-Syâri juga memberi peringatan keras atas berbagai tindakan atau praktikyang mengancam keutuhan prinsip ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya sebahagian besar orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
(QS at-Taubah [9]: 34-35)

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof, “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)”, AMZAH, Cetakan pertama : Februari 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits



#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, April 20, 2012

Setia Kawan Janganlah Menabrak Tatanan (2 of 3)

a. Persaudaraan

Persaudaraan dalam agama yang dimaksud adalah persaudaraan Islam (al-ukhuwwah al-Islâmiyyah), dan ini bentuk persaudaraan khusus.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS al-Hujurât [49]: 10)

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ
Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak menzhaliminya, tidak membiarkannya (saat butuh pertolongan) dan tidak menghinakannya. (HR Ahmad, Baihaqi dan Muslim)
Adapun persaudaraan umum adalah persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwwah al-wathaniyyah), yaitu berkumpulnya orang-orang muslim dan non muslim agar dapat hidup bersama atas prinsip persaudaraan kemanusiaan umum (al-ukhuwwah al-insâniyyah atau al-ukhuwwah al-basyariyyah). Persaudaraan ini dalam bingkai kasih sayang dan tolong-menolong di bawah panji norma-norma syariat Islam umum, yang seluruhnya tunduk terhadapnya dari segi hak dan kewajiban.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. (QS al-Hujurât [49]: 13)
أَنْتُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
Kalian adalah keturunan Nabi Adam dan Nabi Adam berasal dari tanah. (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
KH. Achmad Shiddiq rahimahullâh, mantan Rais ‘Am PBNU, menyebut konsep al-ukhuwwah al-Islâmiyyah, al-ukhuwwah al-wathaniyyah dan al-ukhuwwah al-basyariyyah dengan istilah trilogi persaudaraan.

b. Anti Diskriminasi

Syariat Islam tidak mengenal sistem kasta atau strata sosial dalam kehidupan. Tingkat keutamaan dan kemuliaan ditetapkan berdasarkan keimanan, ketakwaan serta amal shaleh bagi diri dan masyarakat.
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta benda kalian, tapi Dia melihat hati dan amal kalian. (HR Muslim)
Syariat Islam mencegah efek pangkat dan kekuasaan yang mengarah pada terciptanya pengkotak-kotakan masyarakat dalam berbagai tingkat sosial. Para pemimpin Islam generasi awal dari masa keemasan Islam dulu melaksanakan roda pemerintahan atas dasar realisasi prinsip ini dengan penuh amanah dan keikhlasan.

c. Mendekatkan Si Kaya dan Si Miskin

Kaya dan miskin adalah fakta empiris kehidupan dalam setiap komunitas. Perbedaan tingkat ekonomi merupakan keniscayaan. Perbedaan tersebut mencakup kemampuan intelektualitas, materi, penghasilan, jabatan dan tugas sosial.
Atas dasar tersebut, syariat Islam berusaha mengatasi kemiskinan dengan mengeliminir faktor-faktor penyebabnya sehingga dapat semaksimal mungkin mempersempit jurang pemisah antara si kaya dan si miskin melalui berbagai sarana, di antaranya:
  • Syariat menolak tegas dan mengecam orang yang mampu dan kuat secara fisik namun enggan berusaha. Syariat memberi penghormatan terhadap hasil kerja keras.

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya sendiri. (HR Baihaqi, Bukhari dan Thabrani. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Bukhari)
  • Pemenuhan nadzar. Misal ada siswa berkata, “Jika aku diterima di sekolah/perguruan tinggi X, aku akan sedekah kepada 100 fakir-miskin.” Nadzar ini wajib ditepati karena termasuk janji/komitmen terhadap Allah.
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (QS al-Hajj [22]: 29)

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Siapa bernadzar untuk menaati Allah maka laksanakanlah. Siapa bernadzar untuk maksiat kepada Allah maka janganlah dilakukan. (HR Abu Daud, Ahmad, Baihaqi, Bukhari, Darimi, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah, Malik, Nasa’i, Syafi’i, Thabrani dan Tirmidzi)
  • Pelaksanaan kaffârah. Sebagai contoh kaffârah sumpah, yaitu memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian 10 orang miskin, atau membebaskan seorang budak. Kalau tidak mampu salah satu dari tiga itu maka dengan berpuasa tiga hari berturut-turut.

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS al-Mâidah [5]: 89)

Daftar Pustaka


Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof, “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)”, AMZAH, Cetakan pertama : Februari 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, April 13, 2012

Setia Kawan Janganlah Menabrak Tatanan (1 of 3)

Setia dan sigap membela kawan, kolega atau sahabat termasuk sikap dan tindakan terpuji. Namun semua itu harus sesuai koridor. Dalam hal ini norma adat (kemasyarakatan), hukum negara dan agama wajib menjadi pertimbangan utama.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/ permusuhan. (QS al-Mâidah [5]: 2)
Sebenarnya, prinsip di atas sudah kita ketahui dan pahami. Sayang beribu sayang, entah mengapa praktik kehidupan sehari-hari berbeda dari seharusnya. Cukup banyak kasus wujud kesetiakawanan malah menabrak tatanan.
Mungkin kita merasa sudah cukup dengan kondisi yang penting canggih berteori, berpidato, berdalih, berdebat dan berargumen. Tujuan pokok kita agar orang lain tahu kita pandai dan hebat. Titik!
Mungkin kita merasa sudah cukup dengan posisi diri dianggap “pahlawan” oleh sobat kita meski hukum tak merestui tindakan kita. “Saya tidak mau dianggap pecundang,” dalih kita.
Mungkin kita merasa yang penting diterima dalam pergaulan daripada dianggap angin lalu oleh kawan. “Siapa sih yang tak ingin diakui keberadaannya oleh lingkungan pergaulan?” alasan kita.

Jika seperti itu alasan kita, apa kita lupa bahwa orang baik akan diterima oleh siapa pun termasuk oleh orang kurang baik?
Apa kita lupa bahwa seorang pembunuh sekalipun tak ingin menikahkan putrinya dengan pembunuh?
Apa kita lupa bahwa seorang perampok tetap menginginkan orang jujur untuk mengelola keuangannya?
Apa kita lupa bahwa orang terkasar pun tetap senang bila ada orang yang berbicara dengannya penuh sopan-santun?
Hal ini berarti bila kita bergaul dengan sobat yang kurang santun, kita harus tetap sopan, dengan harapan bisa memberi pengaruh positif kepada lingkungan.
Jika kita punya teman pemabuk, janganlah ikut-ikutan, kita harus tetap taat beribadah dan baik kepadanya. Dakwah dengan contoh bisa lebih efektif dibanding kata-kata.
Jika sahabat kita berkelahi dengan orang lain karena kesalahpahaman, kita jangan malah menjadi bensin bagi api yang sedang membara sehingga terjadi tawuran. Kesabaran dan kebijaksanaan harus dimiliki supaya setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan baik. Bukankah hidup terasa nikmat bila rukun?
Tidak ada ruginya menjadi orang baik. Tapi entah mengapa kok sepertinya kita kurang semangat menjadi orang baik.
Mungkin ada yang bertanya, “Apa definisi orang baik atau dalam bahasa agama disebut orang shaleh?”
Penulis tak hendak berbelit-belit atau berputar-putar pada definisi. Bila hendak bicara definisi, bisa dibaca di kamus misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab al-Mu‘jam al-Wasîth, al-Qâmûs al-Muhîth dan Lisânul ‘Arab. Intinya, orang baik itu taat norma kemasyarakatan, hukum negara dan ajaran agama. Sederhana, bukan?
Perlu kita renungkan lagi bahwa hidup ini antara kita dan Allah. Teman, kolega atau sahabat bersifat sementara karena kita bisa berpisah dengannya. Adakalanya perpisahan disebabkan karena pindah sekolah, tempat kerja atau tempat tinggal, adakalanya memang dipisahkan oleh kehidupan, salah satu ada yang berpulang ke hadirat Ilahi.
Dari kenyataan yang ada, ke mana lagi kita akan kembali kalau bukan kepada Allah? Apa kita akan tetap hendak menabrak tatanan dengan dalih setia kawan? Apa kawan kita akan membela kita di Hari Penghitungan nanti? Apa kawan kita juga siap dan sigap menyelamatkan kita bila ternyata kita disiksa dahsyatnya api neraka?


Hati-hati bawa belati
Salah pakai bisa cedera
Kalau memang kawan sejati
Dia kan ajak kita ke surga
Kiranya perlu kita pahami lagi bahwa ajaran agama mendukung penuh persahabatan, baik sesama muslim maupun non muslim, tapi harus tetap dalam batas tatanan. Sebagai bahan kajian yang sedikit lebih mendalam, mari kita pelajari prinsip-prinsip terpenting yang mengatur masyarakat dalam bingkai kaidah syara’.
Uraian berikut ini penulis rangkum dari buku “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)” karya Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washil dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam. Penulis juga menambah keterangan seperlunya.
Ada sejumlah prinsip yang dijaga dan diperhatikan Pembuat hukum syara’ (Al-Musyarri‘) ketika membangun norma-norma penetapan hukum Islam, karena prinsip-prinsip inilah yang menimbulkan efek langsung bagi tiap individu dari segi kepuasan, implementasi dan kemudahan penerapan nash-nash ketentutan hukum.
Prinsip-prinsip tersebut adalah persaudaraan, anti diskriminasi, mendekatkan si kaya dan si miskin, solidaritas sosial, solidaritas dalam tanggung jawab dan pemanfaatan kekayaan untuk kesejahteraan sosial.

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof, “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)”, AMZAH, Cetakan pertama : Februari 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, April 6, 2012

Setiap Kita Penyabar (Ketika Belum Ada Masalah) (3 of 3)

Menelaah karya sastra yang begitu “memukau” di atas, mungkin akan muncul komentar-komentar berikut ini:
“Sungguh membosankan!”
“Baru baca tiga alenia (paragraf) saja, saya sudah mengantuk.”
“Tidak realistis.”
“Karya sastra ngawur! Tak mengikuti kaidah yang berlaku, tak ada klimaks, anti klimaks dan lainnya.”
Too good to be true. Lebih khayal dari dongeng anak-anak. Dongeng anak saja masih ada unsur usaha mengatasi berbagai rintangan, tapi cerita tersebut tak tampak perjuangan sedikit pun. Benar-benar cerita di alam mimpi.”
Mari merenung sejenak.
Mengapa tatkala membaca cerpen atau novel yang pelaku-pelakunya tak ada konflik, tak ada yang menderita sakit, tak mengalami kesedihan, tak harus bersusah payah meraih kesuksesan dan tak usah berjuang menggapai harapan, kita malah protes?
Bukankah dalam kenyataan hidup kita sedih mendapat cobaan?
Bukankah dalam kenyataan hidup kita ingin jadi orang kaya, bukan orang miskin papa?
Bukankah dalam kenyataan hidup kita ingin sehat selalu, bahkan flu saja kalau bisa tidak pernah?
Mengapa saat kita sendiri membuat drama kehidupan dalam bentuk cerita, justru kita yang menginginkan sebagian pelakunya mendapat ujian dan cobaan?
Mengapa justru kita yang membuat sebagian pelakunya harus menderita, misalnya sakit parah, kecelakaan atau kehilangan orang yang dicintai seperti ayah, ibu, anak atau istri?
Mengapa justru kita yang menjadikan sebagian pelakunya harus berperan sebagai orang melarat?
Mengapa…?! Mengapa…?! Mengapa…?!
Kira-kira, apa jawaban kita seandainya para pelaku cerita itu protes kepada kita karena peran yang dimainkan tak mengenakkan? Apa kita akan menjawab sudah demikianlah sewajarnya yang disebut cerita? Apa kita akan berargumen bahwa kehidupan memang berjalan seperti itu?
Jika memang demikian adanya, bukankah itu berarti kita tidak perlu protes kepada Allah bila mengalami kesulitan?
Jika memang demikian adanya, bukankah itu berarti kita tak boleh sedih berkepanjangan tatkala mendapat cobaan?
Jika memang demikian adanya, bukankah sabar ketika mendapat musibah tidak perlu lagi dipertanyakan?
Ada ungkapan salah kaprah yang kadang kita ucapkan ketika mendapat rintangan, baik berupa kesulitan hidup, cemoohan, gangguan orang lain atau lainnya, “Sabar itu ada batasnya. Sekarang saya sudah tidak bisa lagi bersabar lagi.”
Sebenarnya sabar itu tak terbatas dan tak bertepi, kita sendirilah yang membatasi. Di kitab “Bahjatul Majâlis wa-Ansul Majâlis Imam Ibnu ‘Abdil Barr menulis:
قاَلَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ
Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi tubuh. Tidak sempurna iman seseorang bila tidak punya kesabaran.”

Senada dengan nasihat tersebut, Ibnul Qayyim menuturkan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi tubuh. Apabila kepala terpotong maka tak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”

Mencari kata di kamus besar
Supaya makna menjadi jelas
Pahamilah hakikat sabar
Ia tak bertepi maupun berbatas
Lantas, bagaimana kiat agar bisa bersabar? Sekian banyak tips dan trik telah dikemukakan. Salah satunya sebagaimana nasihat bijak berikut ini,
Masalah dalam hidup seperti garam.
Rasa asin(pedih, stres, sakit, penat, pening, lelah dsb.) yang dialami sangat tergantung dari besarnya kalbu yang menampung. Supaya tidak terlalu menderita, janganlah jadi segelas air. Segelas air bila diberi segenggam garam akan terasa sangat asin. Oleh karena itu, jadikan kalbu di dalam dada sebesar danau. Berlapang dadalah, niscaya memanggul masalah apa pun tidak akan terasa berat. ”
Inti nasihat tersebut yaitu semua hal tergantung kepada diri kita sendiri, bukan pada masalah yang terjadi. Masalah sama akan berbeda hasilnya bila disikapi dengan cara berbeda.
Tentang kesabaran, Al-Qur’an bahkan dua kali berpesan agar menjadikan kesabaran (dan shalat) sebagai sarana untuk memperoleh segala yang dikehendaki.
وَاسْتَعِْينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan (melalui) sabar dan (mengerjakan) shalat. (QS al-Baqarah [2] : 45)
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ اسْتَعِْينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan (melalui) sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Baqarah [2]: 153)
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa di ayat-ayat tersebut terlihat yang didahulukan adalah kesabaran, baru shalat. Hal ini bukan saja karena shalat pun membutuhkan kesabaran, tetapi juga karena syarat utama tercapainya yang dikehendaki adalah kesabaran dan ketabahan dalam memperjuangkannya. Kebajikan dan kedudukan tertinggi diperoleh seseorang karena kesabarannya.
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. (QS as-Sajadah [32]: 24)
Orang sabar diberi keberkahan, rahmat dan petunjuk. Ganjaran pahala bagi penyabar juga sangat besar. Sekian banyak ayat berbicara tentang kemuliaan sifat sabar.
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قَالُوْا إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ (157)
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji‘ûn (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali)”.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS al-Baqarah [2]: 156-157)
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS az-Zumar [39]: 10)
Sabar biasanya pahit di awal, namun manis di akhir. Semoga Allah senantiasa memberi rahmat dan menolong kita sehingga bisa menjadi penyabar, amin.

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#