Mencari Data di Blog Ini :

Friday, November 26, 2010

Bolehkah Shalat Tahiyyatul Masjid di Mushalla?

Variasi nama tempat shalat memang cukup banyak di negara kita, yaitu mushalla, langgar, surau, masjid, masjid jami‘ dan masjid agung.

Mushalla, yang arti harfiahnya adalah tempat shalat, disepakati oleh masyarakat Indonesia sebagai tempat shalat lima waktu secara berjamaah oleh umat Islam di sekitarnya, tapi tidak digunakan untuk shalat Jum‘at.

Langgar sebenarnya sama dengan mushalla, hanya saja istilah ini dikenal oleh orang-orang Jawa dan Betawi. Biasanya, orang-orang dari Jawa akan menggoda temannya yang belum mengerti istilah “Langgar”. Mereka akan bertanya, “Bolehkah shalat di Langgar?” Tentunya, yang tidak mengetahui istilah “Langgar” akan mendengar pertanyaan tersebut menjadi, “Bolehkan shalat dilanggar?” Pastilah dijawab tidak boleh. Lazimnya akan terjadi sebuah perdebatan, namun tetap diakhiri dengan tertawa bareng (bersama), karena tujuannya memang untuk menggoda.

Surau adalah tempat shalat, biasanya di tempat orang-orang Melayu, dan ini pun sama dengan mushalla.

Masjid, yang arti harfiahnya yaitu tempat bersujud kepada Allah, disetujui oleh masyarakat Indonesia sebagai tempat untuk melaksanakan shalat lima waktu dan shalat Jum‘at.

Masjid jami‘ adalah masjid terbesar di sebuah kecamatan. Keberadaan masjid ini sudah mulai berkurang, karena sekarang masjid di kampung-kampung pun sudah begitu besar.

Masjid agung adalah masjid terbesar di sebuah kota atau kabupaten. Biasanya, di depan masjid agung terdapat pelataran luas yang dikenal dengan nama alun-alun. Kata “alun-alun” berasal dari bahasa Arab al-lawn yang berarti warna, ragam atau corak. Kata ini diucapkan dua kali al-lawn al-lawn (alun-alun) yang maksudnya adalah bahwa tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya segala lapisan masyarakat, rakyat kecil, kaya maupun para pemimpin.

KH. Abdurrahman Navis—pengasuh PP Nurul Huda, Jl. Sencaki Surabaya—menjelaskan bahwa dalam terminologi fiqh, masjid adalah tempat waqaf yang digunakan oleh umat Islam (masyarakat) untuk shalat lima waktu berjamaah. Adapun masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum‘at selain shalat lima waktu berjamaah disebut masjid Jami‘.

Apabila di rumah kita ada sebuah tempat khusus, misalnya sebuah bangunan kecil, ruangan atau kamar kosong yang digunakan untuk shalat oleh anggota keluarga, dalam fiqh tempat ini disebut mushalla. Begitu pula tempat shalat di pom bensin (SPBU) yang merupakan milik pribadi pengusaha serta tidak digunakan berjamaah setiap waktu oleh masyarakat setempat, dalam terminologi fiqh juga disebut mushalla. Jadi kita harus berhati-hati dengan sebuah istilah karena istilah yang berkembang di masyarakat bisa jadi berbeda dengan istilah dalam fiqh.

Dari penjelasan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa shalat Tahiyyatul Masjid bisa dilakukan di masjid atau masjid Jami‘ menurut definisi fiqh. Adapun menurut istilah masyarakat yaitu mushalla, maka shalat Tahiyyatul Masjid bisa dilakukan di mushalla yang digunakan berjamaah setiap waktu oleh masyarakat, karena hal ini sama dengan masjid menurut fiqh. Adapun mushalla di pom bensin (SPBU) atau semacamnya tidak bisa digunakan untuk shalat Tahiyyatul Masjid.

Perlu diketahui bahwa anjuran untuk shalat di rumah adalah shalat sunnah, sedangkan shalat wajib tetap diutamakan berjamaah dengan muslim lainnya.

اِجْعَلُوْا ِفيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
Jadikanlah sebagian dari shalat kalian (dikerjakan) di dalam rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan.
(HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i)

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْـتُوْبَةَ
Shalatlah kalian di rumah kalian, karena sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik ialah di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu.(HR Tirmidzi dan Syaikhân: Bukhari-Muslim)

Anjuran shalat Tahiyyatul Masjid dilakukan ketika datang dan sebelum duduk. Dengan demikian, apabila kita memakai sepatu, maka melepasnya harus sambil berdiri atau jongkok, tidak duduk di lantai. Diriwayatkan dari Abu Qatadah as-Sulami ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Siapa pun di antara kalian masuk ke dalam masjid, shalatlah dua rakaat sebelum duduk.” (HR Bukhari)

Di hadits lain, Jabir ra. menceritakan bahwa ia datang kepada Nabi saw. yang sedang di masjid, maka Rasulullah bersabda padanya,

صَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Shalatlah dua rakaat.” (Muttafaq ‘alayh: Bukhari-Muslim)
Shalat Tahiyyatul Masjid termasuk shalat yang ada sebabnya. Oleh karena itu boleh dilakukan di waktu-waktu yang terlarang untuk shalat yang tidak mempunyai sebab. Waktu-waktu itu di antaranya yaitu setelah shalat Ashar dan shalat Subuh. Adapun bacaan surahnya, pada rakaat pertama membaca QS al-Kâfirûn [109], sedangkan QS al-Ikhlâsh [112] dibaca pada rakaat kedua. Bila ingin membaca surah yang lain juga diperbolehkan.

Seorang teman bertanya, “Apakah doa iftitah juga dibaca ketika shalat Tahiyyatul Masjid? Banyak orang mengira bahwa untuk shalat sunnah tidak perlu membacanya.”

Memang, cukup banyak orang mengira demikian. Penulis sendiri sering menjumpainya. Ketika shalat sunnah, mereka tidak membaca doa iftitah setelah takbiratul ihram, juga tidak membaca shalawat Ibrahimiyah (kamâ shallayta...dst) sesudah tasyahud akhir. Menurut mereka hal ini untuk membedakan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Setelah penulis tanya, ternyata mereka membuat kesimpulan sendiri dari kebiasaan yang dilakukan. Jadi, mereka melakukannya bukan karena penjelasan para ustadz atau kyai.

Doa iftitah dan shalawat Ibrahimiyah tetap disunnahkan dibaca di shalat-shalat sunnah, misalnya shalat Dhuha, Tahiyyatul Masjid dan Tarawih. Oleh karena hukumnya sunnah, jadi boleh tidak dibaca, namun lebih utama dikerjakan. Adapun shalat Mayyit tentunya berbeda kasus karena sudah jelas tuntunannya.

Selain shalat sunnah, kapan pun kita di dalam masjid (dalam terminologi fiqh), janganlah kita lupa untuk senantiasa berniat—sekali lagi berniat—i‘tikaf di dalamnya. I‘tikaf tidak hanya dilakukan di bulan suci Ramadhan. Dengan demikian, setiap tindakan kita, walaupun berdiam diri akan dicatat sebagai amal kebaikan. Bahkan, menurut pendapat Imam Syafi‘i, walau sesaat—selama dibarengi oleh niat yang suci—tetap disebut i‘tikaf dan bernilai ibadah. Wallâhu a‘lam.


Daftar Pustaka:
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • Manshur Ali Nashif, asy-Syaikh, “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah saw. (At-Tâju al-Jâmi‘u lil-Islâmi fî Ahâdîtsi ar-Rasûli)”, CV. Sinar Baru, Cetakan pertama : 1993
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 19, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (5 of 5)

c. Harmonis kepada Allah

Yang dimaksud di sini yaitu harmonis kepada Allah dengan rasa aman dan kebahagiaan menyembah-Nya. Dahulu Abu Muhammad menyendiri di rumahnya dan berkata, “Siapa yang belum basah matanya karena-Mu, maka tidak akan pernah basah matanya. Dan siapa yang belum duduk bersama-Mu, maka takkan ada yang disebut duduk.” Berkata al-Fudhail, “Berbanggalah bagi siapa saja yang merindu dan Allah menemaninya.”

Nabi saw. telah mencapai puncak keharmonisan itu, karena beliaulah makhluk paling sempurna ibadahnya. Beliau tidak memisahkan diri dari manusia, tidak menutup pintu, tidak meletakkan penghalang, tidak tinggal di pegunungan atau gua untuk menyendiri bersama Allah. Beliau tetap duduk bersama para sahabat, membantu para janda dan orang miskin. Meskipun demikian, beliau senantiasa harmonis bersama Allah, terikat tali yang senantiasa menyambungnya dengan Allah.

Di kitab “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”, Imam Nawawi mencantumkan sebuah hadits yang diambil dari kitab Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah. Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata,

كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ: رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kami pernah menghitung bagi Rasulullah sebanyak seratus kali dalam satu majelis beristighfar, ‘Tuhanku ampunilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyanyang’.”(HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

إِنَّهُ لَيُغَانِ عَلَى قَلْبِيْ، وَإِنِّيْ َلأَسْـتَغْفِرُ اللهَ فىِ الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Sesungguhnya adakalanya timbul perasaan dalam hatiku, maka aku memohon ampun kepada Allah (istighfar) dalam sehari seratus kali.
(HR Muslim)

Begitulah kesempurnaan yang telah Rasulullah terima dan teladankan. Beliau menunaikan hak-hak manusia dengan sesempurna mungkin, begitu pula hak-hak diri sendiri dan keluarga. Meskipun demikian, tidak pernah kelu lisan beliau untuk berdzikir kepada Allah. Ketika ingin melaksanakan shalat, beliau meminta Bilal bin Rabah ra.,

أَرِحْـنَا يَا بِلاَلَ
“Tenangkanlah hati kami, wahai Bilal” (HR Abu Daud dan Ahmad)

Yang dapat diambil pelajaran dari semua ini adalah bahwa kita sebaiknya selalu berhubungan dengan Allah, berdzikir kepada-Nya dengan penuh keharmonisan. Allah telah memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan).

وَأَحْسِنُوْۤا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ ٱلمْحُْسِـنِيْنَ
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Baqarah [2]: 195)

وَإِنَّ اللهَ لمَـَعَ ٱلمْحُْسِـنِيْنَ
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS al-‘Ankabût [29]: 69)

Jika kita telah mengetahui keutamaan ihsan (berbuat baik), hakikatnya, kedudukannya, dan pahalanya, maka kita telah diperintahkan untuk berbuat baik dalam segala hal; dalam segala pekerjaan, perkataan dan perbuatan. Bahkan, dalam setiap detak jantung dan sikap diam kita.

Dari ayat ini, marilah kita bersama-sama berusaha agar tidak melampaui batas dalam kesewenang-wenangan, penganiayaan dan kebodohan. Allah adalah Dzat yang membalas apa pun yang kita lakukan. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, tidak ada yang bisa menghindar dari-Nya, dan pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Allah mengawasi bila kita melanggar janji, mengkhianati kesepakatan dan curang dalam perselisihan. Allah mengawasi kita, jika kita meninggalkan kewajiban agama, berbuat maksiat, melanggar batasan-Nya dan melakukan hal-hal yang diharamkan.

Kenikmatan tertinggi yang didapat dari ihsan adalah ridha Allah terhadap hamba-Nya, yaitu pahala yang diberikan Allah kepada hamba yang ridha kepada-Nya.

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS at-Taubah [9]: 72)

Di dalam ayat tersebut, Allah meletakkan kemuliaan ridha Allah lebih tinggi daripada surga-Nya. Keridhaan pemilik surga lebih utama ketimbang surga itu sendiri, bahkan Allah adalah inti dari yang diidamkan para penghuni surga. Rasulullah Muhammad saw. bersabda:

إِنَّ اللهَ يَتَجَلَّى لِلْمُؤْمِنِيْنَ فَيَقُوْلُ: سَلُّوْنِي فَيَقُوْلُوْنَ رِضَاكَ
Sesungguhnya Allah menampakkan diri kepada orang-orang mukmin (di surga), lalu Dia berfirman, “Mintalah kepada-Ku!” Lalu para penghuni surga berkata, “Kami minta keridhaan-Mu.”
(HR al-Bazzar dan Thabrani)
Namun demikian, kita selalu diingatkan untuk selalu introspeksi diri. Al-Fudhail menerangkan, “Sesungguhnya seorang hamba beribadah kepada Allah menurut kedudukannya di sisi-Nya, atau kedudukan Allah dalam jiwanya.” 

Dalam hal yang sama, Abu Thalib al-Makky berkata, “Apabila seorang hamba mengenal Allah, ia tentu akan menghormati serta memuliakan-Nya dengan kecintaan dan kerelaan. Demikian juga Allah, akan memandangnya bersama rahmat dan kasih sayang-Nya.”

مَنْ كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَعْلَمَ مَنْزِلَتَهُ عِنْدَ اللهِ فَلْيَنْظُرْ كَيْفَ مَنْزِلَةَ اللهِ عِنْدَهُ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُنْزِلُ الْعَبْدَ مَنْزِلَتَهُ حَيْثُ أَنْزَلَهُ مِنْ نَفْسِهِ

Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah ia melihat kedudukan Allah pada dirinya, karena sesungguhnya Allah menempatkan seorang hamba di sisi-Nya sebagaimana hamba itu menempatkan Allah dalam dirinya. (HR Hakimhadits dha’if)

Dengan wawasan dari berbagai sumber, semoga Allah menjaga tetapnya iman kita dan menjadikan kita mencapai tingkatan ihsan, amin.
Daftar Pustaka :
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414
Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (4 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 12, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (4 of 5)

b. Malu kepada Allah


Rasa ini merupakan hasil dari pengetahuan kita bahwa Allah memperhatikan kita walau bagaimanapun keadaan kita. Maka, kita akan malu jika Allah menemukan kita sedang melakukan larangan-Nya atau kehilangan dalam pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Buah dari sifat ini adalah keamanan dari kebencian dan siksa, serta keringanan hisab.


Sebuah kalimat bijak dari orang-orang shaleh, “Bersembunyilah dari Allah berdasarkan kekuasaan-Nya padamu. Malulah kepada Allah sebatas kedekatanmu kepada-Nya.”


Al-Qur’an telah menjelaskan tentang kedekatan seorang hamba terhadap Tuhannya di banyak ayat, di antaranya (yang terjemahnya):


Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? (QS al-‘Alaq [96]: 14)


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. (QS al-Baqarah [2]: 186)


Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (al-Mujâdalah [58]: 7)


Rasulullah saw. pernah memberi penjelasan tentang bagaimana malu kepada Allah.


أَيـُّهَا النَّاسُ اسْـتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّا لَنَسْتَحِي مِنَ اللهِ تَعَالَى. فَقَالَ: مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْـتَحْيِـيًا فَلاَ يَبِـيْتُ لَيْلَةً إِلاَّ وَأَجَلُهُ بَيْنَ عَيْنَـيْهِ، وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَالرَّأْسُ وَمَا وَعَى، وَلْيَذْكُِر الْمَوْتَ وَالْبَلَى، وَلْيَتْرُكْ زِيْنَةَ الدُّنْيَا

Wahai manusia, malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kami pasti merasa malu terhadap Allah.” Rasulullah bersabda lagi, “Siapa yang merasa malu, maka hendaklah ia tidak melewati malam kecuali ia ingat kematian ada di pelupuk matanya, dan hendaklah ia senantiasa memelihara perut dan isinya, peliharalah pikiran dan apa yang tersimpan di dalamnya, senantiasa mengigat kematian dan keburukan yang ada padanya, dan hendaklah ia tinggalkan perhiasan dunia.” (HR Ibnu Majah)


اِسْتَحْـيُوْا مِنَ اللهِ تَعَالَى. قَالُوْا: إِنَّا نَسْتَحْيِىْ يَانَبِيَّ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ. قَالَ: لَيْسَ ذٰلِكَ، وَلـٰكِنْ مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَاوَعَى، وَلِيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَاحَوَى، وَلِيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبَلَيَ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذٰلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Malulah kalian pada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu. Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya kami telah merasa malu, wahai Nabi Allah. Kami bersyukur kepada Allah (karena bisa berbuat demikian).” Beliau bersabda, “Bukan demikian. Akan tetapi, orang yang malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya; menjaga perut dan apa yang dihimpunnya; dan ingatlah kalian pada kematian dan bahayanya. Siapa menghendaki kampung akhirat, maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Siapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu.” (HR Tirmidzi)


Al-Junaid pernah ditanya tentang malu, lalu dijawab, “Memandang buruk dan kurang (perbuatan baikmu). Di antara dua perbuatan itu akan lahir suatu kondisi yang dinamakan malu.”


Muhammad al-Wasithi berkata, “Tidak akan merasakan kelezatan malu, seseorang yang merobek ketentuan hukum dan melanggar janji.” Ibnu Atha’ berpesan, “Ilmu terbesar adalah rasa segan dan malu. Jika keseganan dan rasa malu hilang, maka tidak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya.”


Dalam hadist lain Nabi saw. mengingatkan kita tentang bagaimana Allah mendekati dan mengingat kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda:


يَقُوُلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي. فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتـُهُ فِي نَفْسِي. وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍَ، ذَكَرْتـُهُ فِي مَلإٍَ خَيْرٍ مِنْهُمْ. وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا. وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا. وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي، أَتَيْـتُهُ هَرْوَلَةًً

Allah berfirman, “Aku selalu mengikuti sangka hamba-Ku, dan Aku selalu membantunya selama ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam hatinya, maka Aku ingat padanya dalam diriku. Jika ia ingat padaku di tengah-tengah orang banyak, maka Aku ingat padanya di hadapan Malaikat yang jauh lebih baik dari masyarakatnya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepadaku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan bila ia datang kepadaku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim)


Abu Muhammad Ali bin Ahmad Bin Said bin Ibnu Hazm, seorang ulama kenamaan di Andalusia (Spanyol – wafat 456 H) menasihatkan dalam senandung syairnya:


Yang mengenal-Nya, ia tahu keagungan-Nya
Berbeda negeri abadi dengan negeri fana
Berbeda takwa hakiki dengan takwa pura-pura
Si fasik berbeda dengan yang takwa
Si jujur berbeda dengan pembohong setia



Sungguh, Allah telah perintahkan kita
Taat pada-Nya jauhi hawa nafsu durjana
Meski tak ada siksa neraka bagi pendosa
Meski kita tak ada perintah ibadah pada-Nya
Kita harus tetap taat patuh pada-Nya



Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu


Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (3 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (5 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 5, 2010

Ihsan, Di manakah Dikau? (3 of 5)

Seorang hamba tidak lepas dari tiga keadaan, yaitu dalam ketaatan, kemaksiatan dan hal yang mubah. Murâqabah dalam ketaatan adalah dengan hati yang ikhlas, menyempurnakannya, menjaga adab dan memeliharanya dari berbagai cacat. Jika ia melakukan kemaksiatan, maka murâqabah-nya adalah dengan bertaubat, menyesal, meninggalkan langsung kemaksiatan itu, merasa malu dan sibuk melakukan tafakkur. Apabila ia dalam hal yang mubah, maka murâqabah-nya adalah dengan menjaga adab, menyaksikan Sang Pemberi nikmat dalam kenikmatan yang dikecapnya lalu mensyukurinya. Hendaknya kita mengawasi diri sendiri di setiap waktu dalam tiga hal tersebut.

Adapun tentang takut kepada Allah, seorang ahli fiqh, Abul Laits as-Samarqandi mengatakan bahwa tanda rasa takut kepada-Nya tampak jelas dalam delapan perkara, yaitu:

1. Lisan

Kita menahan dan mencegah lisan dari dusta, menggunjing (ghibah) dan berkata yang berlebih-lebihan. Kita berusaha menyibukkan lisan untuk berdzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu.
2. Perut

Kita tidak akan memasukkan apa pun ke dalam perut kecuali yang halal dan secukupnya (tidak berlebih-lebihan).
3. Penglihatan

Kita tidak mau melihat kepada sesuatu yang haram. Kita melihat segala sesuatu sebagai i‘tibar atau teladan.
4. Pendengaran

Kita tidak mau mendengarkan kecuali yang haq (benar).
5. Tangan

Kita tidak akan mengulurkan dan mengayunkan tangan kepada yang haram. Kita melakukannya hanya untuk sesuatu yang menyangkut perbuatan taat kepada Al-Haqq, Allah SWT.
6. Kaki

Kita tidak berjalan dalam perbuatan durhaka kepada Allah, tapi selalu berjalan dalam ketaatan kepada-Nya.
7. Hati

Kita menghindarkan hati dari rasa permusuhan dan memenuhi hati dengan nasihat serta rasa kasih sayang. Kita juga kuatir mempunyai penyakit-penyakit hati, yaitu kafir, munafik, fasik, syirik, riya’, cinta kedudukan dan jabatan, dengki (hasud), membanggakan diri (‘ujub), sombong (takabbur), pelit, tertipu dengan angan-angan kosong (ghurûr), kemarahan dan zhalim, (terlalu) cinta dunia dan mengikuti hawa nafsu.

Tentang angan-angan kosong, Ibnul Qayyim membuat sebuah perumpamaan, “Mengarungi hamparan bahtera angan-angan tak bertepi hanya dikerjakan oleh orang-orang bangkrut. Barang dagangan para penumpangnya adalah janji-janji setan dan hayalan yang menipu. Gelombang angan-angan dusta serta hayalan batil terus bergulung-gulung mempermainkan penumpang, seperti anjing mempermainkan bangkai.”
8. Taat

Kita takut dan kuatir terhadap ketaatan kepada Allah, maka kita selalu berusaha untuk menjadikan ketaatan kita murni dan ikhlas hanya untuk Allah semata.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq—guru Imam al-Qusyairi—pernah berkata, “Takut kepada Allah mempunyai beberapa tingkatan, yaitu khawf, khasy-yah dan haybah.”

Khawf merupakan bagian dari syarat-syarat iman dan hukum-hukumnya, sebagamana firman Allah SWT:
وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
(QS Âli ‘Imrân [3]: 175)

Khasy-yah merupakan bagian dari syarat-syarat mengenal ilmu. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَۤاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS Fâthir [35]: 28)

Sedangkan haybah merupakan bagian dari syarat-syarat ma‘rifat (mengenal Allah). Haybah adalah rasa takut yang bersumber dari rasa hormat terhadap-Nya. Firman Allah:

وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
(QS Âli ‘Imrân [3]: 30)

Abdul Qasim al-Hakim menerangkan bahwa orang yang takut kepada sesuatu, maka ia akan lari darinya. Adapun orang yang takut kepada Allah, maka ia akan lari kepada-Nya.

Di hadapan Tuhan
Tak ada yang bisa disembunyikan
Dan tak ada yang luput dari perhitungan
Di hari pembalasan, si pendosa sesali perbuatan
Seluruh catatan amal besar dan kecil diperlihatkan
Seluruh ruh dikembalikan, seluruh amal diputuskan
Ke surga penuh nikmat, atau neraka penuh siksaan
Dan para pemuja dunia tak pernah memperkirakan
Ada kehidupan yang abadi setelah kematian
(karya Ibnu Hazm al-Andalusi)


Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu


Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (2 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Ihsan, Di manakah Dikau? (4 of 5)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#