Mencari Data di Blog Ini :

Friday, February 24, 2012

Provokasi dan Emosi (2 of 3)

a. Agar Tidak Mudah Terprovokasi

Tidak mudah terprovokasi, tidak gampang naik darah, menjadi bijak dan sifat-sifat baik lannya bukanlah sulap. Semua itu membutuhkan latihan (riyâdhah). Bagaimana metode agar tak mudah diprovokasi?
  • Senantiasa memohon kepada Dzat Yang Membolak-balikkan hati (Muqallibal Qulûb) agar menjadikan jiwa kita tenang (nafsu al-muthma’innah).
  • Bersahabat, berkumpul atau bergaul dengan orang-orang yang lebih arif dan sabar.
Beberapa kali terjadi kasus seorang anak yang di rumah terlihat baik, alim dan tidak suka bertengkar, ternyata di luar ikut-ikutan baku hantam.
Tak ada yang akan mengelak bahwa lingkungan ikut mempengaruhi tabiat dan perbuatan.
Tak ada yang akan mendebat bahwa pertemanan sedikit/banyak menyumbangkan kebiasaan.
Tak ada yang akan menolak bahwa pergaulan membawa dampak pada kepribadian.
Tak ada yang akan membantah bahwa sifat baik/jelek akan menular. Lebih cepat menular bila yang memiliki suatu sifat lebih banyak jumlahnya. 
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang mengikuti agama kawannya. Karena itu, lihatlah olehmu siapakah yang menjadi kawannya. (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
  • Mengisi jiwa dengan aktif mengaji serta mendengar nasihat bijak dari siapa pun asal tidak bertentangan dengan syariat.
Di kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim” terdapat sebuah nasihat:
أَفْضَلُ الْعِلْمِ عِلْمُ الْحَالِ * وَأَفْضَلُ الْفِعْلِ حِفْظُ الْحَالِ
Ilmu yang paling utama adalah ilmu yang mengatur sikap perilaku
Dan perbuatan yang paling utama adalah menjaga sikap perilaku
Sekian banyak motivator dan inspirator di negeri ini. Semua mengajarkan dan menganjurkan kebaikan. Selama nasihat-nasihat yang disampaikan tidak bertentangan dengan syariat, maka hikmah harus diambil dari mana pun asalnya.
Saat wawancara di sebuah televisi swasta acara “Just Alvin—Episode The Motivators’” hari Minggu, 25 September 2011, Gede Prama—seorang motivator—menjelaskan bahwa yang dia sampaikan adalah kebaikan universal. Itu mengapa dia kerap diundang oleh berbagai kalangan dari perusahaan, golongan dan agama apa pun.
Nah, jika nasihat dari siapa pun dianjurkan untuk ditaati, apalagi nasihat dari ulama. Saat ini kita sangat dimudahkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi.
Berbeda dengan ulama-ulama zaman dulu yang harus berjalan kaki sekian kilo meter untuk mengaji, sekarang justru para ulama yang mendatangi kita, via televisi, radio, CD/VCD, jejaring sosial, blog dan berbagai ragam cara lainnya.
Bila memang demikian banyak pilihan mengaji, masa kita masih malas mendengarkan nasihat ulama?
  • Berkata “Tidak!” bila ada ajakan tidak baik.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan (QS al-Mâidah [5]: 2)
Seorang Motivator, Mario Teguh, menasihatkan, “Kata ‘Tidak’ adalah sebuah keindahan yang sederhana. Sebuah hidup bisa diubah dengan cepat, kuat dan langsung berdampak hanya dengan menjadikan diri ini tegas mengatakan ‘Tidak’ kepada hal-hal yang tidak berguna, yang memboroskan waktu dan yang tidak meninggikan orang lain.
Semua orang yang telah menerima kebaikan sebagai jalan hidup sangat mengerti bahwa mengatakan ‘Ya’ adalah bagian termudah dari sebuah keimanan, tetapi mengatakan ‘Tidak’ kepada yang menjadikan kita orang tidak baik adalah warna peperangan sepanjang hidup.”
  • Bila menerima informasi, harus dicerna dulu. Berita belum tentu sama dengan fakta. Oleh karena itu, cek dan ricek harus dilakukan agar terhindar dari kecerobohan menerima dan mengolah informasi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS al-Hujurât [49]: 6)
Walau semua teori telah dipahami agar tak mudah terprovokasi, namun karena sifat teori membutuhkan latihan agar benar-benar terpatri dalam jiwa, maka bisa saja suatu saat kita agak terpengaruh atas provokasi yang menimpa kita.
Bila hal ini terjadi, maka prinsip pertama adalah jika sampai marah harus dilakukan tanpa ada orang sehingga tidak melukai orang lain. Misal kita masuk ke rumah/kamar.
Agar intensitas kemarahan cepat menurun, kita ambil air wudhu dengan tenang lalu shalat dua rakaat, bisa shalat muthlaq, shalat hajat, atau shalat apa pun yang memang pada saat itu dimungkinkan.
إِذَا غَضَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ بِالْمَاءِ فَإِنَّمَا الْغَضَبُ مِنَ النَّارِ
Apabila salah satu dari kalian dalam keadaan marah maka berwudhulah, sesungguhnya marah itu berasal dari api. (HR Abu Daud)
Setelah kemarahan mereda, kita pikirkan/olah lagi informasi yang diterima. Sebaiknya minta nasihat juga kepada orang yang telah dikenal sebagai penyabar dan bijak.
Di buku “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin” Syaikh Sa‘id Hawwa menjelaskan bahwa kemarahan yang zhalim termasuk penyakit hati kesembilan.
Apabila sifat marah (yang batil) sudah menjadi tabiat kita, akan lebih banyak timbul kehancuran daripada kemakmuran. Oleh karena itu harus ada usaha keras untuk menghadapi sifat ini demi tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, karena kita bisa masuk neraka karena sifat marah. Bukan hanya itu, hal ini juga menghancurkan kehidupan kita.
Suri teladan terbaik dalam masalah marah dan pemaaf adalah Rasulullah saw. Beliau tidak pernah marah untuk diri beliau sendiri, walaupun ada orang yang menyakiti, beliau tetap bersikap lemah lembut.
Rasulullah saw. marah hanya ketika melihat umat beliau melanggar larangan-larangan Allah. Selain itu, beliau tidak pernah marah. Marah seperti inilah yang diperintah Allah kepada manusia dalam mencegah kemungkaran.
Berikut ini intisari perkataan Imam Ghazali mengenai marah. Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah ra.:
 أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Sesungguhnya seseorang berkata kepada Nabi saw., “Berilah saya nasihat.” Rasululla saw. menjawab, “Jangan marah.” Lalu orang itu mengulang lagi perkataannya, dan beliau saw. menjawab, “Jangan marah.” (HR Bukhari)
Hasan al-Bashri menasihatkan, “Wahai anak keturunan Adam, setiap kamu marah dan tidak terkendali, takutlah apabila dirimu yang tidak terkendali terperosok ke neraka.”
Salah satu orang Anshar berkata, “Puncak kebodohan adalah kekejaman, dan pemimpinnya adalah kemarahan.”
Seorang ulama memberi petuah bijak, “Jauhilah kemarahan karena kemarahan itu akan menjadikanmu merasa terhina untuk minta maaf (gengsi meminta maaf).”
Ulama lain menuturkan, “Hati-hatilah dengan kemarahan. Sesungguhnya ia akan merusak keimanan seperti pohon yang buahnya pahit merusak manisnya madu.”
Seorang ayah menasihati anaknya, “Wahai anakku, akal tidak dapat berpikir jernih ketika marah, sebagaimana ular tidak dapat merayap di atas tungkupanas. Orang yang paling sedikit marah adalah orang yang paling cerdas.”
Urwah bin Muhammad ra. dinasihati ayahnya, “Apabila kamu marah, maka lihatlah ke langit dan ke bumi, muliakanlah Tuhanmu.”

Daftar Pustaka

Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Az-Zarnuji, asy-Syaikh, Ta‘lîm al-Muta‘allim”
Mario Teguh, “One Million 2nd Chances [Personal Excellence Series]”, Penerbit Progressio, November 2006
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Tulisan ini lanjutan dari : Provokasi dan Emosi (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Provokasi dan Emosi (3 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, February 17, 2012

Provokasi dan Emosi (1 of 3)

“Provokator,” sebuah kata yang sering terucap saat ada kerusuhan. Apa itu provokasi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), provokasi berarti:
pro·vo·ka·si n perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan: sebaiknya mereka menyadari bahwa -- yg ditimbulkannya itu akan mengundang pertumpahan darah;
ter·pro·vo·ka·si v terpancing atau terpengaruh untuk melakukan perbuatan negatif, msl perusakan: pengunjuk rasa sempat ~
“Emosinal,” sebuah kata yang kerap kita sandangkan kepada siapa pun yang mudah naik pitam/panas hati. Apa sebenarnya arti emosi? Di KBBI, emosi berarti:
emo·si /émosi/ n 1 luapan perasaan yg berkembang dan surut dl waktu singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (spt kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yg bersifat subjektif); 3 cak marah;
-- keagamaan getaran jiwa yg menyebabkan manusia berlaku religius;
ke·e·mo·si·an n perihal emosi: kalau pendekatan ini yg dipakai, kita akan dapat menggambarkan derajat ~ seseorang
Berdasarkan penjelasan tersebut, provokasi memang berkonotasi negatif. Adapun emosi tergantung suasana, karena kegembiraan, keharuan dan kecintaan termasuk di dalamnya. Dengan demikian, emosi tidak selalu bermakna negatif.
Hanya saja, bila dua kata ini disandingkan, yaitu provokasi dan emosi, maka yang dimaksud adalah emosi kemarahan akibat terprovokasi oleh pihak lain. Emosi yang terjadi bisa mengakibatkan perkelahian, perusakan atau hal-hal lain yang tidak diinginkan bersama.
Sebenarnya kita sudah sama-sama mengerti bahwa kita tidak boleh terpancing emosi karena provokasi.
Sebenarnya kita sudah sama-sama paham bahwa kita dilarang memprovokasi orang.
Sebenarnya kita sudah sama-sama tahu bahwa baik secara adat, norma masyarakat, hukum negara maupun ajaran agama menjadi provokator tidak diperbolehkan.
Sebenarnya kita sudah sangat canggih berdalil, berteori, berpidato, berargumentasi maupun berdebat bahwa mudah terprovokasi itu tidak baik.
Namun, kenyataan membuktikan sebaliknya.
Kita mudah terbakar emosi ketika ada berita yang memerahkan dan memekikkan telinga.
Kita gampang merasa terhina tatkala mendengar desas-desus yang menyinggung harga diri.
Kita laksana secarik kertas tersulut puntung rokok waktu mengetahui ada isu yang merendahkan martabat.
Mengapa hal ini terjadi?
Sebuah rumus umum dikemukakan, “Praktik tidak semudah teori.” Kalimat ini terkesan “meremehkan” teori, namun maksud sebenarnya bukan seperti itu. Berikut ini contoh implementasi kalimat tersebut.
Misal kita belajar mengendarai mobil. Setelah tahu teori cara menjalankan mobil, bahkan di luar kepala, ketika praktik pertama kali tetap akan gugup dan gagap. Praktik membutuhkan latihan, belajar dari pengalaman, latihan lagi, belajar lagi, begitu seterusnya.
Praktik bukanlah sim salabim. Bahkan, seorang ahli pidato pun, jika lama tak berorasi (misal setahun), lalu tiba-tiba diminta bicara di atas podium, akan kurang fasih. Santri yang telah khatam Al-Qur’an tapi setelah itu tidak pernah mengaji, akan kurang lancar ketika membaca Al-Qur’an lagi. Demikianlah sifat praktik dalam hal apa pun.

Ke Surabaya naik kereta
Di stasiun bertemu teman
Meski paham tata cara
Berlatih harus dilakukan

 

Daftar Pustaka

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005

Web site:

Tulisan ini berlanjut ke : Provokasi dan Emosi (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, February 10, 2012

Walau Sedikit, yang Penting Ikhlas?! (4 of 4)

Tentang keikhlasan, ada yang mengajukan pertanyaan, “Bila kita sedekah dengan tujuan agar gaji kita naik, dagangan laris, lulus ujian atau kepentingan duniawi lainnya, apa itu disebut ikhlas?”
Prinsipnya, kita beramal atau ibadah lainnya, misalnya shalat Dhuha atau shalat Hajat semata-mata karena Allah. Setelah itu, kita berdoa dengan wasilah amal kita tadi agar Allah mengabulkan hajat kita di dunia ini.
Di kitab Riyadhush Shalihin terdapat hadits ke-12 Bab “Ikhlas dan Niat” tentang doa dengan wasilah amal shaleh. Berikut ini redaksi (matan) hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim tersebut:
وعن أبي عبدِ الرّحْمٰنِ عبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ بنِ الخطابِ رضيَ اللهُ عنهما قَالَ: سمعتُ رسولَ الله - صلى الله عليه وسلم - يقول: انْطَلَقَ ثَلاثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمَبِيْتُ إِلى غَارٍ فَدَخلُوهُ، فانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الغَارَ، فَقالُوا: إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أنْ تَدْعُوا اللهَ بصَالِحِ أعْمَالِكُمْ.

قَالَ رجلٌ مِنْهُمْ: اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوانِ شَيْخَانِ كَبيرانِ، وكُنْتُ لا أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أهْلاً ولاَ مالاً، فَنَأَى بِي طَلَبُ الشَّجَرِ يَوْماً فلم أُرِحْ عَلَيْهمَا حَتَّى نَامَا، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُما نَائِمَيْنِ، فَكَرِهْتُ أنْ أُوقِظَهُمَا وَأَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أهْلاً أَوْ مالاً، فَلَبِثْتُ - والْقَدَحُ عَلَى يَدِي - أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُما حَتَّى بَرِقَ الفَجْرُ والصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمِيَّ، فاسْتَيْقَظَا فَشَرِبا غَبُوقَهُما. اللَّهُمَّ إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابِتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هذِهِ الصَّخْرَةِ، فانْفَرَجَتْ شَيْئاً لا يَسْتَطيعُونَ الخُروجَ مِنْهُ.

قَالَ الآخَرُ: اللَّهُمَّ إنَّهُ كانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ، كَانَتْ أَحَبَّ النّاسِ إلَيَّ - وفي رواية: كُنْتُ أُحِبُّها كأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النساءَ - فأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسِهَا فامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلَمَّتْ بها سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءتْنِي فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دينَارٍ عَلَى أنْ تُخَلِّيَ بَيْني وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفعَلَتْ، حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا - وفي رواية: فَلَمَّا قَعَدْتُ بَينَ رِجْلَيْهَا، قالتْ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفُضَّ الخَاتَمَ إلاّ بِحَقِّهِ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهيَ أَحَبُّ النَّاسِ إليَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُها. اللَّهُمَّ إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابْتِغاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فيهِ ، فانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا.

وَقَالَ الثَّالِثُ: اللَّهُمَّ اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ وأَعْطَيْتُهُمْ أجْرَهُمْ غيرَ رَجُلٍ واحدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهبَ، فَثَمَّرْتُ أجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنهُ الأمْوَالُ، فَجَاءنِي بَعدَ حِينٍ، فَقالَ: يَا عبدَ اللهِ، أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي، فَقُلْتُ: كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ: مِنَ الإبِلِ وَالبَقَرِ والْغَنَمِ والرَّقيقِ، فقالَ: يَا عبدَ اللهِ، لاَ تَسْتَهْزِئْ بِيْ! فَقُلْتُ: لاَ أسْتَهْزِئ بِكَ، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنهُ شَيئاً. الَّلهُمَّ إنْ كُنتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحنُ فِيهِ، فانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ


Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Dulu, ada tiga orang sebelum kalian yang berjalan hingga akhirnya mereka mendapatkan sebuah gua yang dapat mereka manfaatkan untuk menginap. Kemudian mereka mamasuki gua tersebut. Tiba-tiba ada sebuah batu besar yang menggelinding dari atas bukit dan menutupi pintu gua sehingga mereka tidak dapat keluar. Kemudian mereka berkata,
‘Sesungguhnya tidak ada yang dapat menyelamatkan dari batu besar ini kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan berbagai amal shaleh kalian.’
Lalu ada salah seorang di antara mereka berdoa,
‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai orang tua yang sudah lanjut usia. Aku terbiasa tidak memberi minum susu pada keluarga dan sahaya sebelum menyuguhkan kepada beliau berdua. Pada suatu hari aku terlambat pulang mencari kayu dan ketika aku kembali menemuinya, beliau berdua telah tidur. Lalu aku memerah susu untuk beliau berdua, dan aku mendapatkan beliau berdua masih terlelap tidur. Aku enggan membangunkan beliau berdua dan (enggan) memerah susu untuk keluarga atau sahaya sebelum aku memberikannya untuk kedua orang tua hamba. Dengan mangkuk yang masih berada di tangan hamba, hamba masih terus menunggu beliau berdua terbangun hingga terbit fajar. Adapun anak-anak hamba merengek di kedua kai hamba. Setelah beliau berdua bangun, hamba meminumkan susu kepada mereka. Ya Allah, jika hamba melakukan hal tersebut karena mengharap ridha-Mu, maka berikanlah jalan keluar kepada kami dari batu besar yang menutupi ini.’
Maka batu itu pun bergeser sedikit, namun mereka belum bisa keluar dari gua. Kemudian yang lain berdoa,
 ‘Ya Allah, sesungguhnya paman hamba mempunyai seorang anak perempuan yang sangat hamba cintai (Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Hamba mencintainya seperti lazimnya laki-laki mencintai wanita.’). Hamba bermaksud mencampurinya tapi ia selalu menolak. Setelah beberapa tahun berlalu, ia mendapat kesulitan sehingga memaksanya datang kepada hamba. Hamba memberinya seratus dua puluh dinar dan setelah itu ia akan membiarkan diri hamba berbuat apa saja terhadapnya. Maka hamba pun melakukan apa yang menjadi kehendak hamba, hingga ketika hamba hendak mencampurinya (dalam riwayat lain disebutkan, ‘Ketika hamba duduk di antara kedua kakinya), ia berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, janganlah engkau memecah cincin kecuali dengan haq.’ Maka hamba pun berpaling darinya, padahal ia adalah orang yang paling hamba cintai. Hamba pun meninggalkan emas yang telah hamba berikan kepadanya. Ya Allah, jika hamba melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka berikanlah jalan keluar bagi kami dari keadaan yang kami alami ini.’
Maka batu besar itu pun bergeser, namun mereka tetap belum dapat keluar dari tempat itu. Kemudian orang ketiga berdoa,
‘Ya Allah, hamba mempekerjakan beberapa orang dan hamba telah memberikan upah masing-masing kecuali satu orang saja tersisa. Ia meninggalkan bagiannya kemudian pergi. Kemudian hamba mengembahkan upahnya hingga dari upah itu berkembang menjadi harta benda yang banyak. Setelah beberapa lama, ia mendatangi hamba seraya berkata, ‘Hai hamba Allah, berikanlah upahku.’ Hamba katakan, ‘Semua yang engkau saksikan ini upahmu, baik berupa unta, sapi, kambing maupun budak-budak.’ Lalu ia berkata, ‘Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokku.’ ‘Aku sama sekali tidak memperolok-olokmu,’ sahut hamba. Kemudian ia mengambil dan membawa semuanya tanpa menyisakan sedikit pun. Ya Allah, jika hamba melakukan hal tersebut karena mengharap ridha-Mu, maka berikanlah jalan keluar kepada kami dari tempat ini.’
Maka batu besar itu pun akhirnya bergeser, sehingga mereka semua dapat keluar dengan berjalan kaki.” (Muttafaq ‘alayh)
Karena uraian seperti ini sering kita dengar, maka ada kalanya kita berucap, “Saya beribadah semata-mata demi menggapai ridha Allah, bukan takut neraka ataupun ingin masuk surga.” Kita berkata demikian padahal ibadah yang kita lakukan termasuk kategori kurang semangat. Mengaji ala kadarnya, shalat sunnah tidak rutin, sedekah secukupnya dan ibadah-ibadah lain pun jauh dari yang dilakukan para ulama.
Memang, karena kita belum pernah disiksa di neraka atau menikmati fasilitas surga, maka surga dan neraka seolah-olah abstrak, sehingga mudah sekali kita berkata tak takut neraka atau tak mengharap surga kala beribadah.
Untuk mengetahui apa benar kita tak takut neraka, mari kita jawab contoh pertanyaan ini, “Apa setiap hari kita shalat Dhuha minimal empat rakaat? Baca Al-Qur’an minimal satu juz? Bila belum, bagaimana bila ada penguasa yang akan menghukum cambuk kita seribu kali bila kita tidak shalat Dhuha empat rakaat dan baca Al-Qur’an satu juz setiap hari?”
Apakah dengan ancaman hukuman cambuk tersebut kita jadi rajin beribadah? Jika ya, berarti kita sangat takut masuk neraka, hanya saja karena kita belum pernah disiksa, maka dengan mudahnya kita berkata bahwa kita ibadah bukan karena takut neraka.
Lantas benarkah kita ibadah bukan mengharap surga? Jika ya, apa kita meraih setinggi-tingginya setiap ibadah yang kita lakukan? Untuk mengetahuinya, mari kita jawab contoh pertanyaan ini, “Apa setiap hari kita istiqamah shalat Dhuha delapan rakaat? shalat Tahajud delapan rakaat? Shalat witir tiga rakaat? Baca Al-Qur’an sepuluh juz? Shalat sunnah rawatib baik yang mu’akkad maupun ghayru mu’akkad?”
Bila belum, mengapa? Bagaimana bila ada seorang triliuner lagi dermawan yang akan memberi hadiah sebuah mobil mewah keluaran terbaru serta uang tunai Rp 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah) bila kita dalam satu bulan saja melaksanakan jenis-jenis ibadah di atas? Apa kita mau dalam sebulan itu setiap hari shalat Tahajud, shalat Dhuha, shalat Witir, baca Al-Qur’an dan permintaan lainnya?
Jika ya, berarti kita ibadah sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan. Kalau mendapat mobil dan uang saja membuat kita semangat dalam beribadah, bagaimana bisa kita mengatakan beribadah tak mengharap surga? Sungguh, pernyataan kita jauh panggang dari sate!
KH. Asrori al-Ishaqi rahimahullâh—pendiri Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah memberi nasihat yang intinya bahwa surga dan neraka memang kelihatan masih jauh. Itu kenapa kita lebih takut miskin daripada neraka. Kita lebih senang dapat rumah dan banyak uang daripada surga.

Daftar Pustaka

Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, Riyâdhush Shâlihîn 
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Misbahus Surur, “Dahsyatnya Shalat Tasbih”, Qultum Media, 2009
Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, February 3, 2012

Walau Sedikit, yang Penting Ikhlas?! (3 of 4)

c. Beribadah Demi Meraih Ridha Allah

Kita diajarkan untuk mencintai Allah dan rasul-Nya. Hanya saja kita sering lupa terhadap prinsip ini.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Âli ‘Imrân [3]: 31)
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga perkara, yang siapa memilikinya, ia dapat merasakan manisnya iman, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul melebihi cintanya kepada selain keduanya, cinta kepada seseorang karena Allah dan membenci kekafiran sebagaimana ia tidak mau dicampakan ke dalam api neraka” (Muttafaq ‘alayh: Bukhari-Muslim)
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (Muttafaq ‘alayh)
Mari kita perhatikan apa yang terjadi bila cinta yang melandasi setiap hal. Kita ambil contoh orangtua yang sangat mencintai anak.
Suatu pagi, sang ayah membeli 4 bungkus nasi pecel untuk dimakan sekeluarga, untuk dirinya, sang istri serta kedua anak tersayang. Karena enak, jatah sang ayah dan ibu dihabiskan oleh kedua anaknya. Adakah sang orang tua akan marah?
Kasus lain. Sepasang suami-istri yang lama belum punya momongan akhirnya dikaruniai buah hati. Tatkala sedang terlelap dibuai semilir hembusan angin, tiba-tiba sang bayi menangis karena ngompol dan haus. Adakah sang ayah/ibu kesal karena terbangun oleh tangisan buah hati mereka?
Bila cinta yang jadi dasar, kita akan berusaha sekuat-kuatnya memberikan yang terbaik yang bisa kita usahakan.
Bila cinta yang melandasi setiap kegiatan, kita tak kan mudah mengomel, kesal apalagi geram.
Bila cinta yang menjadi acuan, kita tak kan mudah menyerah, rasa capek yang mendera juga tak gampang menurunkan asa.
Bila ibadah kita dilandasi cinta (mahabbah), ta‘zhîm akan keagungan Allah (mengagungkan Allah) dan demi menggapai ridha-Nya, insya Allah kita tak akan hitung-hitungan. Segenap waktu, pikiran, tenaga bahkan hembusan nafas senantiasa kita baktikan untuk Allah. Semoga Allah memberi hidayah dan pertolongan kepada kita sehingga kita bisa masuk tingkatan ini, amin.
Ada sebuah pertanyaan, “Mengapa keinginan masuk surga berada di bawah level keinginan meraih cinta dan ridha Allah? Mengapa kebahagiaan menikmati fasilitas surga yang kemewahannya tak terjangkau berada di bawah kebahagiaan bertemu dengan Allah?”
وَعَدَ اللهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS at-Taubah [9]: 72)
Di dalam ayat tersebut, Allah meletakkan kemuliaan ridha Allah lebih tinggi daripada surga-Nya. Keridhaan pemilik surga lebih utama ketimbang surga itu sendiri, bahkan Allah adalah inti dari yang diidamkan para penghuni surga.
Ibarat kita diundang oleh raja yang dikagumi segenap lapisan rakyat, semua kemewahan istana terasa hampa sebelum bertemu sang raja. Pertemuan dengan sang rajalah yang didamba-damba. Contoh ilustrasi lain, bukankah kebahagiaan bersama anak tercinta jauh melebihi kebahagiaan berada di rumah mewah?
إِنَّ اللهَ يَقُولُ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُونَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ هَلْ رَضِيتُمْ فَيَقُولُونَ وَمَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ فَيَقُولُ أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُونَ يَا رَبِّ وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُ أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Sesungguhnya Allah berfirman kepada ahli surga, “Wahai ahli surga. Mereka berkata: “Labbaik, ya Tuhan, wa sa’daik. Segala kebaikan ada di dalam kekuasaan Tuhan. Allah berfirman, “Adakah kalian sudah ridha? Mereka menjawab, “Bagaimana kita tidak akan merasa ridha, ya Tuhan kami, sedangkan Engkau telah memberi kami karunia-karunia yang tak pernah Engkau berikan kepada seseorang pun dari makhluk-Mu. Allah berfirman lagi, “Tidakkah kalian suka kalau Aku berikan yang lebih utama lagi dari yang demikian itu? Mereka bertanya, “Apakah yang lebih utama dari yang demikian itu? Allah kemudian berfirman, “Aku menempatkan keridhaanKu pada kalian semua maka Aku tidak akan murka pada kalian setelah itu selama-lamanya. (Muttafaq ‘alayh)
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ - قَالَ - يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ - قَالَ - فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ
Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah berfirman, Maukah kalian kutambah sesuatu?” Mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menghindarkan kami dari neraka?” Kemudian disingkapkanlah penghalang itu, tidak ada sesuatu yang paling diinginkan melainkan hanya melihat wajah Tuhan mereka. (HR Muslim)

Daftar Pustaka

Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Misbahus Surur, “Dahsyatnya Shalat Tasbih”, Qultum Media, 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#