c. Harmonis kepada Allah
Yang dimaksud di sini yaitu harmonis kepada Allah dengan rasa aman dan kebahagiaan menyembah-Nya. Dahulu Abu Muhammad menyendiri di rumahnya dan berkata, “Siapa yang belum basah matanya karena-Mu, maka tidak akan pernah basah matanya. Dan siapa yang belum duduk bersama-Mu, maka takkan ada yang disebut duduk.” Berkata al-Fudhail, “Berbanggalah bagi siapa saja yang merindu dan Allah menemaninya.”
Nabi saw. telah mencapai puncak keharmonisan itu, karena beliaulah makhluk paling sempurna ibadahnya. Beliau tidak memisahkan diri dari manusia, tidak menutup pintu, tidak meletakkan penghalang, tidak tinggal di pegunungan atau gua untuk menyendiri bersama Allah. Beliau tetap duduk bersama para sahabat, membantu para janda dan orang miskin. Meskipun demikian, beliau senantiasa harmonis bersama Allah, terikat tali yang senantiasa menyambungnya dengan Allah.
Di kitab “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”, Imam Nawawi mencantumkan sebuah hadits yang diambil dari kitab Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah. Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata,
كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ: رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kami pernah menghitung bagi Rasulullah sebanyak seratus kali dalam satu majelis beristighfar, ‘Tuhanku ampunilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyanyang’.”(HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:
إِنَّهُ لَيُغَانِ عَلَى قَلْبِيْ، وَإِنِّيْ َلأَسْـتَغْفِرُ اللهَ فىِ الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Sesungguhnya adakalanya timbul perasaan dalam hatiku, maka aku memohon ampun kepada Allah (istighfar) dalam sehari seratus kali.
(HR Muslim)
(HR Muslim)
Begitulah kesempurnaan yang telah Rasulullah terima dan teladankan. Beliau menunaikan hak-hak manusia dengan sesempurna mungkin, begitu pula hak-hak diri sendiri dan keluarga. Meskipun demikian, tidak pernah kelu lisan beliau untuk berdzikir kepada Allah. Ketika ingin melaksanakan shalat, beliau meminta Bilal bin Rabah ra.,
أَرِحْـنَا يَا بِلاَلَ
“Tenangkanlah hati kami, wahai Bilal” (HR Abu Daud dan Ahmad)
Yang dapat diambil pelajaran dari semua ini adalah bahwa kita sebaiknya selalu berhubungan dengan Allah, berdzikir kepada-Nya dengan penuh keharmonisan. Allah telah memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan).
وَأَحْسِنُوْۤا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ ٱلمْحُْسِـنِيْنَ
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Baqarah [2]: 195)
وَإِنَّ اللهَ لمَـَعَ ٱلمْحُْسِـنِيْنَ
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS al-‘Ankabût [29]: 69)
Jika kita telah mengetahui keutamaan ihsan (berbuat baik), hakikatnya, kedudukannya, dan pahalanya, maka kita telah diperintahkan untuk berbuat baik dalam segala hal; dalam segala pekerjaan, perkataan dan perbuatan. Bahkan, dalam setiap detak jantung dan sikap diam kita.
Dari ayat ini, marilah kita bersama-sama berusaha agar tidak melampaui batas dalam kesewenang-wenangan, penganiayaan dan kebodohan. Allah adalah Dzat yang membalas apa pun yang kita lakukan. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, tidak ada yang bisa menghindar dari-Nya, dan pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Allah mengawasi bila kita melanggar janji, mengkhianati kesepakatan dan curang dalam perselisihan. Allah mengawasi kita, jika kita meninggalkan kewajiban agama, berbuat maksiat, melanggar batasan-Nya dan melakukan hal-hal yang diharamkan.
Kenikmatan tertinggi yang didapat dari ihsan adalah ridha Allah terhadap hamba-Nya, yaitu pahala yang diberikan Allah kepada hamba yang ridha kepada-Nya.
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS at-Taubah [9]: 72)
Di dalam ayat tersebut, Allah meletakkan kemuliaan ridha Allah lebih tinggi daripada surga-Nya. Keridhaan pemilik surga lebih utama ketimbang surga itu sendiri, bahkan Allah adalah inti dari yang diidamkan para penghuni surga. Rasulullah Muhammad saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ يَتَجَلَّى لِلْمُؤْمِنِيْنَ فَيَقُوْلُ: سَلُّوْنِي فَيَقُوْلُوْنَ رِضَاكَ
Sesungguhnya Allah menampakkan diri kepada orang-orang mukmin (di surga), lalu Dia berfirman, “Mintalah kepada-Ku!” Lalu para penghuni surga berkata, “Kami minta keridhaan-Mu.”
(HR al-Bazzar dan Thabrani)
Namun demikian, kita selalu diingatkan untuk selalu introspeksi diri. Al-Fudhail menerangkan, “Sesungguhnya seorang hamba beribadah kepada Allah menurut kedudukannya di sisi-Nya, atau kedudukan Allah dalam jiwanya.”
Dalam hal yang sama, Abu Thalib al-Makky berkata, “Apabila seorang hamba mengenal Allah, ia tentu akan menghormati serta memuliakan-Nya dengan kecintaan dan kerelaan. Demikian juga Allah, akan memandangnya bersama rahmat dan kasih sayang-Nya.”
Dalam hal yang sama, Abu Thalib al-Makky berkata, “Apabila seorang hamba mengenal Allah, ia tentu akan menghormati serta memuliakan-Nya dengan kecintaan dan kerelaan. Demikian juga Allah, akan memandangnya bersama rahmat dan kasih sayang-Nya.”
مَنْ كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَعْلَمَ مَنْزِلَتَهُ عِنْدَ اللهِ فَلْيَنْظُرْ
كَيْفَ مَنْزِلَةَ اللهِ عِنْدَهُ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُنْزِلُ الْعَبْدَ مَنْزِلَتَهُ
حَيْثُ أَنْزَلَهُ مِنْ نَفْسِهِ
Siapa yang ingin mengetahui
kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah ia melihat kedudukan Allah pada
dirinya, karena sesungguhnya Allah menempatkan seorang hamba di sisi-Nya
sebagaimana hamba itu menempatkan Allah dalam dirinya. (HR Hakim—hadits dha’if)
Dengan wawasan dari berbagai sumber, semoga Allah menjaga tetapnya iman kita dan menjadikan kita mencapai tingkatan ihsan, amin.
Daftar Pustaka :
- Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
- Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414
Tulisan ini lanjutan dari : Ihsan, Di manakah Dikau? (4 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment