Mencari Data di Blog Ini :

Friday, March 26, 2010

Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (2 of 8)

Berikut ini kasus terakhir yang benar-benar menguji logika kita, karena logika kita akan dibandingkan dengan logika anak kecil. Sehebat apakah logika kita dibandingkan anak kecil? Bila kita kalah, tidakkah itu berarti bahwa logika kita bukanlah segala-galanya?


Suatu hari, sebuah toko furniture mengirim perabotan rumah ke seorang pelanggan. Termasuk dalam daftar kiriman adalah sebuah almari besar dan mahal. Semuanya dikirim dengan sebuah truk. Setelah jalan beberapa lama, truk itu harus lewat di bawah sebuah viaduk (semacam jembatan layang/fly over). Ternyata, ketika sampai di tengah viaduk, truk tiba-tiba berhenti. Bagian atas almari tertahan oleh viaduk. Kalau terus maju, maka almari itu akan rusak. Begitu juga bila dimundurkan. Almari itu dicoba untuk dimiringkan (supaya posisinya berubah menjadi tidur), ke kiri, ke kanan, ke manapun, ternyata tidak bisa. Hingga beberapa jam, kondisi itu tak kunjung teratasi. Kemacetan pun tak terelakkan.

Nah, bagaimana logika kita menyelesaikan masalah ini? Bagaimana supaya almari tadi tidak rusak, karena harganya sangat mahal? Bisakah kita? Mari kita merenung sejenak, sebelum melihat jawabannya.
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Setelah semua usaha tidak berhasil, ternyata ada seorang bocah lelaki kecil melintas naik sepeda mininya. Ia punya pengalaman yang mirip dengan yang dialami truk itu. Dengan polosnya ia mendekati sang sopir truk sambil berkata, “Ban truknya dikempesin saja, Om. Nanti kan almarinya tidak lagi tertahan, terus truknya didorong.” Duhai saudaraku, apakah logika kita menemukan solusi yang lebih hebat daripada logika anak kecil ini?

Iman jauh melampaui logika. Sahabat Abu Bakar ra. mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa Rasulullah diperjalankan oleh Allah menuju Masjid al-Aqsha (Isra’), padahal waktu itu logika manusia tidak mungkin membenarkannya. Namun, imanlah yang membuat Abu Bakar ra. meyakininya. Berabad-abad kemudian, barulah para ilmuwan menemukan pesawat atau roket yang bisa membuat orang pindah dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh dalam waktu singkat. Bukankah itu berarti logika tertinggal berabad-abad dibandingkan iman? Layakkah kita mengatakan logika lebih hebat daripada iman?

Mungkin kita akan berkilah, “Kalau saya mempelajari Al-Qur’an dimulai dari iman, maka pasti benar semua dong. Padahal saya bermaksud untuk menilainya dengan tidak memihak.”

Baiklah kalau begitu. Para ilmuwan Fisika Quantum sudah menemukan “Hukum Tarik-Menarik (The Law of Attraction)”. Bila yang ada di pikiran kita positif, maka energi positif dari diri kita akan menarik semua energi positif yang ada di alam semesta. Begitu juga sebaliknya, bila energi negatif keluar dari mikrokosmos tubuh kita, maka makrokosmos juga mengirimkan energi negatif ke kita, karena kitalah yang meminta dan menariknya.

Bukankah sudah kita pahami bahwa tidak ada yang disebut tidak memihak? Semua tergantung pikiran kita. Kalau kita berpikiran baik, maka kita akan menemukan hal-hal baik. Jika pikiran kita dipenuhi oleh ketidakbaikan, maka kejelekan dan keburukanlah yang akan kita dapat. Itu semua ilmiah dan masuk akal. Sebagai contoh, seorang penjahat akan selalu curiga terhadap orang lain. Namun, orang baik tidak akan curiga, hanya waspada. Bukankah sudah jelas perbedaannya antara curiga dan waspada?

Contoh lain, sikap terhadap seorang teman. Cobalah berniat dan tetapkan pada pikiran kita bahwa kita akan mencari semua kekurangan dan kelemahan teman kita, sekecil apa pun. Kalau itu kita setting, pastilah kita akan menemukan banyak sekali kekurangan dan kelemahan teman kita, bahkan sampai hal-hal yang sangat kecil, yang diabaikan oleh orang lain. Namun, jika kita biasa-biasa saja tentang teman kita, maka kesalahan-kesalahan yang sangat kecil tidak akan nampak, karena kita sudah memerintahkan pikiran kita bahwa itu bukanlah sebuah masalah. Itu manusiawi dan wajar.

Intinya, jika kita mencari kebenaran, sah-sah saja kita mempunyai pendapat yang didasarkan pada logika, karena akal memang tercipta untuk mengokohkan iman. Namun, jika kita hanya ingin mencari pembenaran, maka akan tertutuplah kebenaran dari diri kita. Hal ini sudah terbukti, baik secara nash, yaitu bahwa Allah sesuai prasangka hamba-Nya maupun secara ilmiah.

Kalau kita memang benar-benar mencari kebenaran, itu akan terlihat dari sikap kita. Kita akan dengan senang hati dan rendah hati menerima ilmu dari orang lain. Kita cenderung untuk bertanya, bukan membantah apalagi “membantai” nasihat orang lain. Tujuan kita berdiskusi bukanlah untuk membenarkan pendapat, tapi mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Bila suatu saat kita berdialog dengan seseorang, namun orang itu kurang cakap, maka kita tidak mempermasalahkannya. Ilmu orang itu kita serap sebanyak mungkin. Kita tidak berdiskusi dengannya untuk membuktikan bahwa pendapat kitalah yang benar, valid dan uptodate. Kita mencari ilmu dengan membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu. Dengan demikian, kita akan memungut ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun berasal dari anak kecil. Itulah ciri-ciri jika kita memang mencari kebenaran, bukan pembenaran.

Jika kita mencari kebenaran, maka iman harus tertanam di dalam dada. Sekarang, marilah kita pelajari bersama-sama tentang Al-Qur’an, untuk kemudian kita hayati dan amalkan dalam keseharian.

Al-Qur’an adalah wahyu suci yang terjaga dari segala yang berbau imajinasi dan ilusi, sehingga tidak mengandung kesia-siaan.

A-Qur’an adalah kitab yang isinya dinukil melalui cara yang benar-benar meyakinkan, diceritakan secara jujur, dan adil dalam keputusan.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia.

Al-Qur’an adalah garis-garis besar haluan umat yang abadi, kebanggaan sekaligus kemuliaan bagi umat Islam.

Al-Qur’an adalah kitab abadi yang telah memerdekakan umat dari kesesatan menuju hidayah, membuka mata hati, memberi pelajaran dan menegakkan kepala.

Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Ilahi yang menjadi air kehidupan bagi ruhani manusia, juga rahmat yang tiada ada taranya bagi alam semesta.

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah, yang isinya mencakup semua pokok syariat yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya.

Al-Qur’an adalah kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan terpelihara.

Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar, bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda.

Al-Qur’an adalah kitab yang tidak ada satu keraguan pun di dalamnya, sebagaimana tercantum dalam sebuah ayat:

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 2)

Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 19, 2010

Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (1 of 8)

Hidup ini memang penuh keanehan. Entah apa maksudnya, namun ada juga orang yang berkata, “Kalau kita ingin mengecek kebenaran Al-Qur’an, maka kita tidak boleh memihak atas dasar iman. Dengannya, kita benar-benar obyektif dalam menilai Al-Qur’an. Itulah logika yang tepat untuk memutuskan sesuatu valid atau tidak, benar atau salah.”


Kembali ke prinsip awal, janganlah kita menyalahkan orang lain atas pernyataan mereka yang memang terdengar aneh. Mungkin mereka memang belum mengerti, sehingga mencari kebenaran, dan semoga bukan sekadar mencari pembenaran atas pendapat pribadi.

Kalau orang seperti itu hanya mencari pembenaran atas pendapatnya, maka butuh usaha ekstra keras untuk bisa berdialog dengannya. Ia sudah menutup pintu masuk pendapat orang lain. Pikirannya telah dikunci dan dibentengi dengan segala macam argumen. Kata-kata maupun intonasinya juga kurang enak didengar, cenderung melindungi diri, kurang bersahabat bahkan menjatuhkan. Yang lebih enak, bila orang itu ingin mencari kebenaran.

Namun demikian, marilah kita bahas pernyataan tersebut. Bukankah akal memang diciptakan untuk memperkokoh iman? Bukankah Nabi Ibrahim pun ingin ditunjukkan kekuasaan Allah untuk menghidupkan yang sudah mati? Bedanya, Nabi Ibrahim didahului iman, lalu di-“bumi”-kan dalam tataran akal. Sedangkan orang ini, dimulai dari akal, tanpa didahului iman. Semoga saja niatnya memang untuk mencari kebenaran, amin.

“Obyektif”, sebuah kata sakti dalam sebuah pendapat atau diskusi. Sebenarnya tidak ada yang disebut obyektif murni. Obyektif hakikatnya adalah subyektif. Kalau kita meminta pendapat pada si A tentang sebuah persoalan, maka dia akan berusaha untuk menyampaikan pendapat secara obyektif. Coba kita tanyakan hal yang sama pada 8 (delapan) orang yang lain. Dengan kata sakti “obyektif”, setiap orang juga akan memberikan pendapatnya. Pertanyaannya adalah, “Pendapat A yang katanya obyektif dan pendapat delapan orang lainnya yang juga obyektif, apakah sama? Ataukah berbeda? Jika memang berbeda, bukankah itu berarti pendapat-pendapat itu bersifat subyektif?”

“Logika”, sebuah kata sakti lain supaya dianggap modern dan ilmiah. Mari kita tanyakan pada logika tentang sebuah masalah. Contoh ini sudah kita ketahui bersama. Ada sebuah gelas yang berisi air setengahnya. Apa kata logika tentang kondisi ini? Logika pertama akan berkata, “Air di gelas itu separuh penuh.” Adapun logika yang lain mengatakan, “Air di gelas itu tinggal separuh.”

Siapa yang benar di antara kedua logika tersebut? Semuanya benar karena memang kondisinya seperti itu. Namun, efek yang ditimbulkan oleh masing-masing pernyataan sungguh sangat berbeda. Logika pertama akan membuat orang menjadi optimis, sedangkan logika kedua sebaliknya, membuat orang pesimis. Kenapa? Jawabannya sudah banyak dibahas di buku-buku tentang motivasi dan berpikir serta berjiwa besar. Jadi, tidak perlu lagi kita jelaskan di sini.

Logika juga yang menyatakan, “Setiap wadah menumpahkan isinya.” Sebuah teko akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Bila diisi air putih, maka akan keluar air putih dari teko itu. Begitu pun bila diisi air susu, madu atau air comberan. Isi yang keluar sesuai dengan yang diisikan di dalamnya. Nah, kalau kita mau membahas Al-Qur’an tanpa didahului iman, hanya bermain logika, maka sudahkah otak kita terisi hal-hal yang baik dan hebat? Bukankah sudah diketahui bersama bahwa orang yang paling cerdas pun tidak sampai menggunakan 5% dari kemampuan otaknya? Lalu, sehebat apakah logika (kemampuan) kita?

Marilah kita lihat lagi secanggih apa logika kita. Di sini tidak ada benar atau salah, hanya untuk melihat kemampuan logika kita.

Suatu ketika, Thomas Alfa Edison menguji dua orang calon karyawan. Tesnya sederhana saja, yaitu mengukur volume sebuah bola lampu.

Calon karyawan pertama mengukur dengan teliti setiap bagian bola lampu, mulai jari-jari lingkaran, panjang, lebar, tinggi dan semua yang dibutuhkan. Dia melakukan perhitungan matematis yang cukup rumit, menggunakan rumus integral rangkap tiga (∫∫∫). Akhirnya, dia pun menemukan berapa volume bola lampu itu.

Calon karyawan kedua menggunakan cara lain. Dia mengisi bola lampu dengan air sampai penuh, kemudian air itu dituangkannya ke sebuah gelas ukur. Dari gelas ukur itulah diketahui berapa volume bola lampu yang dimaksud. Kedua-duanya berhasil menghitung volume bola lampu sesuai permintaan. Apakah logika kita bisa menemukan cara selain yang dipaparkan oleh dua calon karyawan itu?

Di sebuah perusahaan yang memproduksi sabun mandi batangan, ternyata ada kesalahan mesin. Ditemukan beberapa sabun mandi yang sudah terbungkus rapi, tapi isinya kosong. Bagian QC (Quality Control) jadi sibuk sekali karena harus memeriksa satu per satu sabun hasil produksi. Perusahaan itu akhirnya mendatangkan dua orang ilmuwan untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu mengetahui sabun-sabun kosong dan memisahkannya dari sabun yang ada isinya.

Ilmuwan pertama melakukan analisis lengkap. Dia membuat sebuah studi kelayakan (feasibility study). Dia melakukan analisa secermat mungkin dengan menggunakan semua metode, yaitu Cost-Benefit Analysis, Risk Analysis dan Capital Investment Analysis. Dia menghitung dengan teliti tentang Payback Period, Cost-Benefit Ratio, Return on Investment (ROI), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Setelah dikalkulasi, dia membutuhkan waktu 7 bulan dan dana sebesar Rp 700.000.000,- untuk membuat sinar infra merah lengkap dengan robot yang bisa menyingkirkan secara otomatis sabun-sabun kosong.

Ilmuwan kedua mengusulkan agar ketika sabun-sabun itu selesai diproduksi, dalam perjalanan menuju bagian packaging, dipasang saja sebuah kipas angin. Kipas angin itu diputar dengan kecepatan yang cukup untuk menerbangkan sabun-sabun kosong. Dua orang ilmuwan itu telah berhasil menemukan metode menemukan sabun kosong dan menyingkirkannya. Logika mereka sama-sama benar, walaupun beda caranya. Nah, logika kita akan memilih solusi yang mana? Ataukah kita punya solusi sendiri sesuai logika kita?

Para astronot mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa menulis dengan pulpen ketika berada di angkasa. Kalau di bumi, tinta yang ada di pulpen bisa keluar dari tempatnya karena ada gravitasi bumi. Sedangkan di angkasa, gravitasi bumi kecil sekali, juga ada gaya sentripetal. Itu artinya tinta pulpen tidak akan pernah keluar, dan itu berarti para astronot tidak bisa menulis apa pun. Penulisan pada kertas tetap dibutuhkan, selain karena praktis, juga sebagai backup, bagian dari contingency atau disaster recovery plan. Dua orang fisikawan didatangkan.

Fisikawan pertama mengatakan akan melakukan penelitian. Dia akan membuat sebuah percobaan dengan menggunakan berbagai zat cair dan gas. Dia berharap akan menemukan sebuah pulpen jenis baru yang bisa digunakan untuk menulis di angkasa. Dia membutuhkan waktu selama 3 bulan dengan biaya Rp 255.255.000,-.

Ahli Fisika kedua mengatakan, “Kenapa kita harus menggunakan pulpen? Bukankah tujuan utamanya supaya bisa menulis? Pakai saja pensil. Di manapun kita berada, kita tetap bisa menulis, tidak perlu gravitasi.” Nah, condong ke pendapat siapakah logika kita? Atau, logika kita mempunyai pendapat sendiri?

Tulisan ini berlanjut ke : Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (2 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 12, 2010

Merasa Diri Shaleh?!

Mari perhatikan lagi setiap tulisan, komentar dan ucapan kita. Kiranya bila memberi komentar, baik di internet (blog, mass media atau jejaring sosial), radio maupun percakapan dengan orang lain, akan terlihat bahwa kita termasuk orang shaleh yang senantiasa mengerjakan kebaikan. Kalau saja kita mengarsip/merekam setiap komentar yang telah lalu, maka orang lain bahkan diri kita sendiri pun akan berkesimpulan bahwa kita orang shaleh.

Mengapa ketika berkomentar, kita cenderung menunjukkan bahwa diri kita termasuk orang shaleh? Apakah memang demikian keadaannya ataukah hal itu sekadar kamuflase agar orang lain memperhatikan ucapan, tulisan atau komentar kita? Agar orang lain menganggap kita orang alim dengan segudang ilmu?

Mari kita teropong diri sendiri, tak perlu berepot ria menilai tulisan, perilaku serta tutur kata orang lain.

Mungkin kita bertanya, “Salahkah bila kita berkomentar dengan muatan sarat ilmu dan hikmah?”

Tidak ada yang salah dengan segenap tulisan maupun tutur kata yang mengandung ilmu. Semua itu baik dan memperbaiki. Namun, mari kita tanya hati nurani sendiri sesuai konsep istafti qalbak. Apakah komentar yang ada benar-benar kita niati untuk memperbaiki diri sendiri dan orang lain, ataukah hanya untuk menunjukkan bahwa kita berilmu dan berwawasan luas? Jawaban pertanyaan ini tak perlu kita ucapkan dengan lisan, cukup di dalam hati.

Untuk mengetahui keadaan diri, kita harus tahu dulu kriteria shaleh. Telah dijelaskan oleh para ulama bahwa shaleh menyangkut ritual dan sosial. Terkadang bahkan mungkin kerapkali kita hanya berusaha memenuhi salah satu kriteria, biasanya lebih mudah memenuhi kriteria shaleh ritual yang hanya berhubungan dengan Allah (hablum minallâh).

Kita rajin shalat nafilah, baca Al-Qur’an, dzikir/wirid serta ibadah sunnah lainnya, tapi lidah tak henti-henti membicarakan orang lain (ghibah), melakukan intrik tak sehat dalam “perebutan” tampuk kepemimpinan, mengolok-olok saudara sesama muslim, membuang sampah sembarangan, berkendara seenaknya di jalan dan berbagai tindakan negatif lainnya. Na‘ûdzubillâh min dzâlik

Entah mengapa hal itu kita lakukan. Apa kita belum tahu bahwa segala perbuatan menyakiti orang lain—baik secara langsung maupun tidak—dilarang agama? Apa kita mengira semua ibadah ritual kita diterima, sehingga begitu mudahnya kita menyakiti sesama dengan dalih masih lebih banyak pahala daripada dosa yang kita perbuat? Apa malaikat telah mengirim SMS atau email kepada kita tentang berita tersebut?

Ada hal yang cukup aneh kerap terjadi pula, yaitu kita menceritakan kepada orang lain tentang berbagai macam ibadah yang kita lakukan. Kita berkata kepada teman kita, “Ini bukan pamer atau sombong lho, ya… Tiap hari kalau tahajud, saya pasti menangis tersedu-sedu… Ketika banyak orang keluar rumah bahkan berpesta pora saat malam tahun baru, saya tafakkur di rumah, menangis di hadapan Allah sampai pagi menjelang…”

Apa maksud kita menceritakan semua itu? Apa kita telah melupakan keberadaan penyakit riya’ yang bisa menelusup secara samar? Apa kita lupa bahwa penyakit ini akan menggerogoti pahala kebajikan kita hingga tak bersisa?

Kita tidak pernah tahu pasti keadaan amal ibadah kita di sisi-Nya. Oleh karena itu, rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.

Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri yaitu, “Apa benar kita ingin menjadi orang shaleh? Jika ya, mengapa kita masih melakukan hal yang menyakiti hati orang lain, baik langsung maupun tidak, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi?”

Menjadi shaleh merupakan dambaan setiap insan. Setiap shalat, kita senantiasa memohon kepada Allah agar menjadikan diri kita termasuk golongan orang-orang shaleh. Hal ini tersirat dalam bacaan surah al-Fâtihah yang terjemahnya :

Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS al-Fâtihah [1]: 6-7)

Di tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.”

و{الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ} هم المذكورون في سورة النساء، حيث قال: {وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا * ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيمًا}

Yang dimaksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” yaitu sebagaimana tercantum di surah an-Nisâ’ [4]: 69-70 yang artinya:

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.


Dengan demikian, nyatalah bahwa kita sangat berharap menjadi orang shaleh. Minimal 17x sehari—dalam 17 rakaat—kita memohon kepada-Nya, belum lagi bila ditambah shalat-shalat sunnah.

Lalu, mengapa sikap, tingkah laku serta tutur kata kita masih mencerminkan sikap kurang/tidak shaleh, entah shaleh ritual ataupun sosial? Bukankah lucu bila kita berdoa agar menjadi orang shaleh tapi perilaku sehari-hari tidak mencerminkan hal itu? Adakah kita hendak bermain-main dengan doa kita? Adakah kita hendak mengelabui Allah, manis di bibir tapi lain di kenyataan? Semoga keadaan kita seperti itu bukanlah kehendak untuk mempermainkan Allah, tapi semata-mata karena kelemahan kita.

Begitu mulianya orang-orang shaleh, sampai-sampai mereka didoakan saat tahiyyat dalam setiap shalat.


السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

Semoga keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh. (HR Bukhari-Muslim)

Tidakkah kita perhatikan bagaimana doa seluruh umat Islam dicurahkan untuk orang-orang shaleh? Tidakkah kita ingin didoakan oleh segenap kaum muslim di seluruh penjuru dunia? Tidakkah kita berbahagia bila nama kita tertulis di jajaran orang-orang yang dimohonkan keselamatan oleh setiap mushalliy (orang yang shalat)?

Sebagai penutup, mari bersama-sama bermunajat kepada Allah:


اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ

Ya Allah jadikanlah hamba termasuk golongan orang yang suka bertaubat dan bersuci serta golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh, amin.


Daftar Pustaka :

  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Khasiat Zikir dan Doa – Terjemah Kitab Al-Adzkaarun Nawawiyyah”, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Cetakan I : Rabiul Awal 1416/Agustus 1995
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 5, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (4 of 4)

Tentang riya’ dan sum‘ah, sungguh kedua penyakit hati itu bisa menghancurkan semua amal baik kita, jika kita melakukan setiap ibadah karena keduanya. Seorang penyair berkata :


Pakaian riya’ menggambarkan apa yang dibaliknya
Jika memakainya, sebenarnya engkau sedang telanjang

Nabi saw. bersabda :

مَنْ سَمَّعَ سُمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِ اللهُ بِهِ
Siapa yang berlaku sum‘ah maka akan diperlakukan dengan sum‘ah oleh Allah (diumumkan aib-aibnya di akhirat); dan siapa yang berlaku riya’ maka akan dibalas oleh Allah dengan riya’ (diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya). (HR Bukhari)

Di hadits lain dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wasallam bersabda yang artinya:

Pada hari Kiamat, Allah menuju para hamba untuk mengadili mereka yang sedang berlutut. Orang pertama kali yang dipanggil adalah orang yang mengumpulkan Al-Qur’an, orang yang berjihad di jalan Allah, dan orang yang banyak hartanya. Allah berfirman kepada yang membaca Al-Qur’an,
“Tidakkah sudah Kuajari apa yang Kuturunkan untuk Rasul-Ku?”
Dia menjawab, “Iya, Tuhanku.”
Allah berfirman, “Apa yang kau amalkan dari yang kau ketahui?”
Dia menjawab, “Aku melaksanakannya sepanjang malam dan siang hari.”
Maka, Allah berfirman kepadanya, “Kau bohong.”
Malaikat berkata, “Kau bohong.”
Allah berfirman, “Kamu hanya ingin dikatakan bahwa fulan itu pembaca (Al-Qur’an), dan itu telah dikatakan.”
Kemudian didatangkanlah orang yang mempunyai harta dan Allah berfirman kepadanya,
“Bukankah Kami telah melapangkanmu hingga kau tidak memerlukan bantuan orang lain?”
Dia menjawab, “Benar Tuhanku.”
Allah berfirman, “Jadi apa yang kau amalkan dengan yang Kuberi?”
Dia menjawab, “Aku menyambung silaturrahim dan bersedekah.”
Maka Allah berfirman, “Kau bohong.”
Dan malaikat mengatakan, “Kau bohong.”
Allah berfirman, “Kamu hanya ingin dikatakan bahwa fulan itu dermawan, dan itu telah dikatakan.”
Setelah itu didatangkanlah orang yang berjihad di jalan Allah dan Allah berfirman kepadanya,
“Mengapa kau berjihad?”
Dia menjawab, “Aku diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, aku pun membunuh hingga aku terbunuh.”
Maka Allah berfirman, “Kau bohong.”
Dan malaikat mengatakan, “Kau bohong.”
Allah berfirman, “Kamu hanya ingin dikatakan bahwa fulan itu pemberani, dan itu telah dilakukan.”
Hai Abu Hurairah, ketiga orang itu ciptaan Allah yang pertama kali disengat api neraka pada hari Kiamat. (HR Tirmidzi)

Allah SWT juga mengingatkan kita dalam firman-Nya yang terjemahnya:

Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
(QS Hûd [11] : 15-16)


Marilah kita instropeksi diri. Sudah cukupkah tiram mutiara yang kita peroleh, dan tidak ada yang tumpah? Sehingga bila suatu saat kita harus muncul ke permukaan menemui Pencipta kita, Allah SWT, Beliau ridha menerima kita. Hatim, seorang penyair berkata :

Ketahuilah, sesungguhnya harta itu akan pergi dan sirna
Yang tersisa dari harta itu hanyalah pembicaraan dan kenangan
Ketahuilah, kekayaan itu tidak ada faedahnya bagi seseorang
Yakni kala napas di tenggorokan dan dada tak lagi mampu memuat

Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Sayyid M. Nuh, Dr, “Penyebab Gagalnya Dakwah (Âfâtun ‘Alâ ath-Tharîq) – Jilid 1 dan 2”, Gema Insani Press
Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#