Mencari Data di Blog Ini :

Friday, July 30, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (6 of 12)

Apa yang dinamakan hukum alam tiada lain kecuali “a summary or statistical averages” (ikhtisar dari pukul rata statistik). Einstein dengan tegas menyatakan bahwa semua yang terjadi diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar yang superior), yang dalam bahasa Al-Qur’an adalah Allah Yang Maha Perkasa (Al-‘Azîz) lagi Maha Mengetahui (Al-‘Alîm).

Schwart, seorang pakar matematika Prancis menyatakan, “Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, sampai pun kepada sajak. Sedangkan Fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun.” Sementara itu, Teori Black Hole menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3%, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia.

Kierkegaard, seorang tokoh Eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.” Emanuel Kant pun berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hati saya untuk percaya.”

Mengingat masing-masing dari kita pasti punya kekurangan, janganlah kita menjadi katak dalam tempurung—yang hanya menilai secara sepihak—tanpa mau memperbaiki diri dengan terus-menerus belajar. Mario Teguh berpesan, “Kita seringkali hanya mendengar apa yang ingin kita dengar, dan melihat apa yang ingin kita lihat.” Itulah yang membuat kita tidak bisa berkembang dengan cepat, jika tidak ingin dikatakan tidak berkembang sama sekali.

Seorang pemenang dua kali hadiah Nobel, Albert Szent-Györgyi, M.D, Ph.D menjelaskan, “Penemuan terdiri dari melihat sesuatu yang sama seperti setiap orang lain tetapi menghayatinya secara berbeda.”

Mungkin suatu saat—dengan karunia dari Allah—perkembangan ilmu dan teknologi bisa menjelaskan lebih baik lagi bagaimana mukjizat para nabi atau rasul dan karamah para wali terjadi. Wallâhu a‘lam. Imanlah yang didahulukan, kemudian akal memperkokoh iman. Pertama, kita harus iman (percaya) akan adanya hari akhir, kemudian menjadi yakin (tingkatannya lebih tinggi dari percaya) karena memang tidak bertentangan dengan akal.

Marilah kita bersama-sama belajar secara berkelanjutan kepada ahlinya. Marilah kita bersatu padu untuk mencari kebaikan, dengan cara yang santun, anggun, ramah dan baik. Asalkan semuanya kita niatkan sebagai pengabdian kepada Allah, insya Allah semua hal bisa diselesaikan dengan baik. Kebenaran hanyalah milik Allah. Dengannya, kita berucap, “Wallâhu a‘lam bish-shawâb.”

Kembali ke pembahasan tentang doa sebagai visi dan misi, karena kita adalah manusia biasa, maka kita harus patuh pada hukum alam sesuai yang diketahui saat ini. Dengan doa yang penuh pengharapan, berarti kita menanamkan keinginan tersebut ke otak bawah sadar kita. Hal itu akan membuat kita terus ingat atas yang kita inginkan dan berusaha untuk meraihnya (seperti hipnoterapi). Kita akan bekerja lebih keras dengan cara-cara yang lebih baik dan lebih cerdas untuk menggapai harapan kita. Dengan kondisi ini, insya Allah doa kita akan cepat terkabul. Kita telah melakukan yang seharusnya dilakukan seorang hamba kepada Tuhannya, dan kita juga sudah melaksanakan hal-hal yang sesuai dengan hukum alam yang disepakati pada masa sekarang.

Karena doa adalah visi dan misi, maka doa bisa juga dianalogikan sebuah impian besar. Di buku-buku karyanya, Mario Teguh menjelaskan lebih detail tentang impian ini.

Kita tidak boleh bernegosiasi dengan impian kita. Bernegosiasilah dengan apa yang harus kita lakukan untuk mencapainya. Berdoalah agar kita diberi kemampuan sesuai tugas yang kita emban. Janganlah kita berdoa agar diberi tugas sesuai kemampuan kita.

Tanpa memimpikan keadaan yang lebih baik di masa depan, kita akan kehilangan ketertarikan untuk hidup dengan sepenuhnya. Padahal ketertarikan itu adalah tenaga yang memaksa kita untuk melangkah maju. Tenaga itulah yang membedakan jauhnya perjalanan yang akan ditempuh oleh seseorang; tingginya dan juga indahnya perjalanan itu bila dibandingkan dengan perjalanan yang tidak bertenaga.

Karena hidup ini seyogyanya direncanakan, dan karena impian itu bisa menjadi tenaga bagi upaya pencapaian kualitas hidup yang kita inginkan, maka sebenarnya memimpikan sesuatu adalah sebuah bentuk perencanaan. Impian meliuk lepas dari sarang-sarangnya di angan-angan kita, menuju kenyataan melului lorong-lorong tindakan yang nyata.

Kita tidak akan bisa memungkinkan tercapainya sebuah impian hanya melalui impian-impian yang lain. Kita tidak bisa mengubah mimpi menjadi kenyataan, hanya dengan memimpikan cara-cara mencapainya. Kita harus melakukan sesuatu, dan lakukanlah itu segera.

Begitu sebuah impian berhasil keluar menjadi kenyataan, dia akan memberikan tenaga kepada sang empunya mimpi, untuk memimpikan pencapaian-pencapaian berikutnya. Itu sebabnya, impian selalu berlari lebih cepat dan selalu berada di depan kita.

Bila impian itu indah, dan yang mengejarnya juga mewarnai dirinya dengan sikap-sikap yang baik, maka pengejaran mimpi itu bisa menjadi sebuah perjalanan yang ringan, lincah, ceria dan menyemangati. Dalam keceriaan itu, tanpa kita sadari sebetulnya kita telah mencapai kursi yang kemarin diduduki oleh impian kita, saat dia beristirahat melepas lelah.

Sebetulnya, banyak di antara kita telah hidup dalam impiannya. Hanya saja kecepatan lari impian kita meninggalkan tempat yang telah kita capai itu, membuat kita lupa bahwa kita telah pernah sampai.

Dia yang kesibukannya adalah merajut permadani dengan benang yang terbuat dari serat-serat otot dan otaknya, dengan pola dan corak warna-warni impiannya, telah mencapai bentuk tertinggi dari kehidupannya.

Selain nasihat para movitator seperti di atas, kiranya perlu kita ketahui perkembangan ilmu dewasa ini. Dalam hal pencapaian impian, saat ini para ilmuwan barat berusaha merasionalisasikan terkabulnya sebuah keinginan atau doa. Mereka mendasarkan diri pada disiplin ilmu Fisika Quantum.

Dijelaskan bahwa tubuh kita adalah miniatur jagad raya (mikrokosmos), sedangkan jagad raya sesungguhnya disebut makrokosmos. Jika kita mempunyai sebuah keinginan atau memikirkan sesuatu, maka diri kita akan mengeluarkan energi yang memancar ke jagad raya. Energi itu akan menarik energi-energi yang akan mendukungnya menjadi kenyataan. Mereka menyebutnya “Hukum Tarik-Menarik”, yang dalam bahasa Inggris disebut The Law of Attraction. Hukum Tarik-Menarik adalah hukum alam. Hukum ini sama pentingnya dengan Hukum Gravitasi.

“Permintaanmu adalah tugasku (Your wish is my command),” seperti itulah kira-kira dukungan semesta terhadap pikiran kita. Kita seperti sebuah menara penyiaran, yang memancarkan frekuensi dengan pikiran-pikiran kita. Jika kita ingin mengubah sesuatu di dalam hidup kita, ubahlah frekuensi dengan mengubah pikiran kita.

Pikiran bersifat magnetis, dan pikiran memiliki frekuensi. Ketika kita memikirkan pikiran-pikiran, semua itu akan dikirim ke semesta, dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi yang sama. Segala sesuatu yang dikirim ke luar akan kembali ke sumbernya—Kita.

Pikiran yang sedang kita pikirkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa depan kita. Apa yang paling kita pikirkan atau fokuskan akan muncul sebagai hidup kita. Pikiran kita akan menjadi sesuatu.

Misalnya pada suatu pagi kita minum secangkir kopi hangat, namun tanpa sengaja tumpah, dan mengotori baju kita. Ternyata reaksi kita tidak baik ketika itu terjadi, contohnya mengeluh, mengomel bahkan mengumpat. Ini berarti kita mengirimkan energi negatif ke alam semesta, dan itu akan menarik energi-energi negatif pula. Dengan demikian, hari itu akan kita lalui dengan kesedihan atau kejadian yang tidak menyenangkan. Bisa saja pada siang harinya kita ada masalah di sekolah/kantor, bertengkar dengan teman dan keadaan tidak membahagiakan lainnya. Namun, bila sikap kita tenang dan sabar ketika kopi pagi hari itu tumpah, maka mikrokosmos dalam diri kita mengirimkan energi positif ke makrokosmos. Dengannya, kita akan menjalani hari dengan kegembiraan.


Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Rhonda Byrne, “Rahasia (The Secret)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kelima : Juni 2007
  • Robert K. Cooper, Ph.D dan Ayman Sawaf, “Executive EQ – Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Januari 2001

Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (5 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (7 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, July 23, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (5 of 12)

Berikut ini ada sebuah pertanyaan sederhana untuk menunjukkan bahwa pengetahuan tentang hukum alam berbeda-beda dan bertingkat-tingkat untuk setiap orang. Bisa juga terjadi, sebenarnya sudah tahu tentang sebuah hukum alam, tapi implementasinya kurang luas. Sebuah hukum alam pada dasarnya menjelaskan sebuah kasus inti, dan bisa diterapkan untuk banyak kasus yang serupa (pengembangan kasus utama). Pengetahuan dan pengalaman masing-masing oranglah yang membedakan kualitas pemahaman terhadap hukum alam tersebut.


Pertanyaan ini penulis ambil dari buku yang berjudul “Kalo Einstein Lagi Cukuran, Ngobrolin Apa Ya?”, terjemahan buku “What Einstein Told His Barber – More Scientific Answer to Everyday Questions”. Buku tersebut ditulis oleh Robert L. Wolke, guru besar kimia emeritus di University of Pittsburgh, Pennsylvania—Amerika Serikat.


Pertanyaannya adalah, “Saya tinggal di Miami, Florida sedangkan saudara kembar saya tinggal di Tucson, Arizona. Pada suatu hari, lewat telepon saya katakan padanya bahwa suhu di Miami 80 derajat Fahrenheit (26 derajat Celsius). Lalu ia dengan bercanda mengatakan bahwa di Tucson dua kali lebih panas. Andaikata sungguh demikian, berapakah temperatur di Tucson? Apakah 160 derajat F (71 derajatC)?”


Sebagai catatan, di Amerika memang digunakan skala Fahrenheit, sedangkan di Indonesia menggunakan Celsius. Adapun rumus konversi temperatur yang umum kita kenal yaitu: derajat C = (derajat F-32) / 1,8. Prof. Robert L. Wolke memberikan rumus konversi yang lebih mudah dihapal, yaitu:


Untuk mengubah Celsius ke Fahrenheit, tambahkan 40, kalikan dengan 1,8; kemudian kurangi dengan 40.


Untuk mengubah Fahrenheit ke Celsius, tambahkan 40, bagi dengan 1,8; kemudian kurangi dengan 40.


Sebelum melihat jawaban permasalahan di atas, marilah kita berpikir sejenak, mengerahkan kemampuan logika kita. Mari kita google (mencari sampai ke sub folder paling bawah) semua ilmu dan pengalaman tentang hukum alam di database yang ada di isi kepala kita. Barangkali semuanya sudah didata dengan baik, laksana sebuah database perbankan—yang menggunakan software database server, misalnya Microsoft SQL Server, MySQL, IBM/DB2, Informix, Oracle Database, PostgreSQL atau Sybase. Sedangkan bahasa pemrograman untuk mencarinya juga sudah canggih, yaitu Java, VB.NET, C#.NET, C++, Delphi, Power Builder, Perl, PHP with AJAX, Phyton, bahkan Ruby on Rail.


. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .

Jawabannya bukan 160 derajat Fahrenheit (71 derajat Celsius). Hal ini bukan karena 160 derajat F terlalu panas; bahkan sebaliknya, tidak cukup panas. Temperatur yang “dua kali lebih panas” adalah 621 derajat F (sekitar 327 derajat C). Perlu diingat lagi bahwa di kasus ini sudut pandangnya adalah derajat Fahrenheit, baru kemudian dikonversi menjadi Celsius.


Ceritanya sebagai berikut.


Pertama, kita harus menyadari bahwa panas dan temperatur adalah dua makhluk berbeda. Coba kita ulang kalimat berikut ini, “Panas adalah energi, sedangkan temperatur adalah cara kita mengatakan kepada orang lain tentang seberapa padat konsentrasi panas dalam sebuah benda.”


Mari kita pelajari panas terlebih dahulu.


Jumlah energi panas dalam suatu benda dapat dihitung dalam kalori, sama seperti kita menghitung donat. Kalori adalah satuan untuk mengukur banyak atau kuantitas energi. Kita pasti berpendapat bahwa donat besar memiliki kalori lebih banyak daripada donat kecil, bukan? Baiklah. Ini sama dengan kandungan energi pada benda lain. Seliter air yang sedang mendidih memiliki energi panas dua kali lebih banyak dibanding setengah liter air mendidih, walaupun temperatur keduanya sama-sama 100 derajat C.


Sebuah contoh lain, energi panas dalam bak mandi yang penuh dengan air hangat jauh lebih banyak dibanding dalam segelas kecil berisi air dari bak mandi yang sama, semata-mata karena jumlah molekul air panas dalam bak mandi lebih banyak. Pendek kata, makin banyak zat yang kita miliki, makin banyak pula energi panas yang dikandungnya.


Masalah yang dihadapi saudara kembar tadi, entah disadari atau tidak, adalah membayangkan berapa banyak panas sesungguhnya yang terdapat di udara luar rumahnya, mungkin dalam satuan meter kubik (m^3). Selanjutnya jika panas di situ sungguh 2 kali lebih banyak (diukur dalam m^3) dibanding yang terdapat di Miami, barulah ia dapat mengatakan bahwa udara di Tucson “dua kali lebih panas”.


Bagaimana cara kita menentukan jumlah panas dalam sebuah benda? Mengukur temperaturnya tidak menghasilkan yang kita cari, sebab langkah ini tidak memperhitungkan besar benda yang dimaksud. Sebagaimana kita ketahui ketika bicara soal bak mandi, sebuah benda besar dengan panas berlimpah dapat memiliki temperatur sama dengan sebuah benda kecil dengan panas jauh lebih sedikit.


Terlebih lagi, temperatur—entah diungkapkan dengan Fahrenheit atau Celsius—tidak lebih dari angka-angka sembarang yang ditemukan dua orang yang kemudian dikenal lewat sistem pengukuran temperatur mereka. Keduanya semata-mata hanya label-label yang nyaman untuk dibicarakan—angka-angka yang disepakati oleh kebanyakan orang, atau diperlakukan seperti sebuah fatwa, “Manakala esmu meleleh, sebutlah temperaturnya 32 derajat F atau 0 derajat C. Dan, ketika airmu mendidih, sebutlah itu 212 derajat F atau 100 derajat C.” Jelas bahwa fatwa ini keluar dari mulut manusia, yaitu dari Eyang Gabriel Fahrenheit dan Eyang Anders Celsius.


Jumlah (banyaknya) panas yang terkandung dalam sebuah benda tidak dapat disebut dengan angka-angka sembarangan. Kita memerlukan sebuah cara yang mutlak untuk mengekspresikan kandungan panas setiap benda.


Permasalahan pokoknya adalah pada skala temperatur mana pun yang lazim kita pakai, temperatur 0 (nol) tidak mengandung arti bahwa kandungan panasnya 0 (nol). 0 derajat C misalnya, hanyalah temperatur ketika es meleleh. Apakah itu berarti tidak ada benda yang bisa lebih dingin daripada es yang meleleh? Tentu saja tidak.


Atau kita ambil pola pikir lain, “Bagaimana orang dapat menggunakan skala untuk mengukur sesuatu jika 0 (nol) di situ tidak sungguh-sungguh berarti nol?” Bayangkan meteran dengan tanda “NOL” di tengah, bukan di ujung sebelah kiri. Kita bisa bingung dibuatnya.


Maka jika kita ingin dapat mengukur banyak panas dalam sebuah benda, atau dalam hal ini di udara, kita harus mempunyai skala pengukuran dengan nol yang betul-betul berarti ketiadaan panas sama sekali. Ah, untung ada Tumenggung Kelvin, maksudnya, Lord Kelvin, seorang bangsawan Inggris yang juga ilmuwan (1824-1907). Nama panjangnya adalah William Thomson Kelvin, dan gelar kebangsawanannya Baron.


Kelvin menetapkan sebuah skala temperatur yang dimulai pada kondisi “tanpa panas sama sekali”—temperatur 0 (nol) mutlak, ketika segala sesuatu berada dalam keadaan sedingin-dinginnya, “NOL mutlak”. Selanjutnya ia meminjam ukuran derajat Uwak Celsius dan mulai menghitung ke atas dari situ. Apabila kita melakukannya, temperatur air membeku, 0 derajat C, ternyata sama dengan 273 derajat di atas 0 (nol) mutlak, sedangkan temperatur air mendidih (100 derajat C) sama dengan 373 derajat di atas 0 (nol) mutlak. Temperatur tubuh manusia (37 derajat C) ternyata adalah 310 derajat derajat pada skala mutlak. (Katakan ini kepada dokter kita ketika ia menanyakan suhu tubuh kita). Kita dapat melihat bahwa temperatur mutlak, yang diukur dalam Kelvin demi menghormati Lord Kelvin, adalah temperatur Celsius ditambah 273.


Sekarang kita siap untuk menjawab teka-teki saudara kembar tadi. Jika udara di Tucson mengandung panas dua kali lebih banyak per m^3 dibanding udara Miami, maka yang harus kita gandakan adalah temperatur mutlak udara di Miami. Pertama, karena orang Amerika terbiasa memakai skala Fahrenheit, maka kita harus mengubah 80 derajat F menjadi Celsius, kita mendapatkan 27 derajat C. Kalau kita tambahkan dengan 273, maka kita mendapatkan 300 Kelvin, yang tidak lain adalah ukuran sesungguhnya kandungan panas di udara.


Kalau kita gandakan untuk mendapatkan panas dua kali lipat, kita mendapatkan 600 Kelvin, yang setelah dikonversi menjadi 327 derajat C atau 621 derajat F. Dalam hal ini pastilah ada salah komunikasi. Yang dimaksud saudara kita di Tucson tentunya adalah bahwa temperatur di sana terasa dua kali lipat temperatur di Miami.


Dari pelajaran di atas, kita disadarkan akan keterbatasan logika kita dalam memahami sebuah peristiwa alam. Kita pun jadi sadar bahwa pengetahuan tentang sunnatullah bertingkat-tingkat, ada yang sudah tahu dan ada yang belum; ada yang mengerti dengan baik, namun ada juga yang sekadar tahu; dan ada yang sudah ditemukan, juga ada yang belum.


Daftar Pustaka :

  • Robert L. Wolke, Prof, “Kalo Einstein Lagi Cukuran Ngobrolin Apa Ya? (What Einstein Told His Barber – More Scientific Answer to Everyday Questions)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Agustus 2004


Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (4 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (6 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, July 16, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (4 of 12)

Kalau kita hanya mengandalkan kemampuan logika, mengingkari karamah atau mukjizat dan merasa mengerti betul tentang sunnatullah; mari kita tanyakan sebuah peristiwa kepada logika kita, “Bagaimana mungkin Siti Maryam melahirkan Nabi Isa as., sedangkan beliau belum terjamah oleh laki-laki? Bagaimana pula Nabi Isa as. dapat berbicara ketika masih bayi?”


Ia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.”


Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”


Jibril berkata, “Demikianlah. Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannnya suatu tanda bagi manusiadan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan’.”


Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.

(QS Maryam [19]: 19-22)

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.


Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina!”


Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?”


Berkata Isa, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.


dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;


dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.


Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku (akan) meninggal dan pada hari aku (akan) dibangkitkan hidup kembali.”


Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.


Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah,” maka jadilah ia.


Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.


(QS Maryam [19]: 27-36)


Terhadap kisah tersebut, apa kata logika kita? Apakah logika kita mengatakan bahwa semua kisah itu mengada-ada, karena tidak sesuai dengan sunnatullah yang kita ketahui?


Perlu kita ingat lagi bahwa iman harus terlebih dulu ada. Janganlah hanya karena logika kita belum bisa merasionalisasi suatu kejadian, kemudian kita menghakimi dan memvonis secara sepihak. Bukankah logika hanya akan memproses sesuatu sesuai informasi, ilmu, pengalaman dan sudut pandang yang kita miliki? Apakah kita merasa telah mempelajari semua disiplin ilmu, mempunyai pengalaman yang sangat lengkap dan sudut pandang yang menyeluruh seperti lingkaran (360 derajat, integral holistic), bukan parsial?


Kita andaikan saja saat ini bukan zaman modern. Sampai hari ini belum ditemukan listrik oleh Thomas Alfa Edision, telepon oleh Alexander Graham Bell, gelombang elektromagnetik oleh Heinrich Rudolf Hertz, dan radio oleh Guglielmo Marconi; dan keempat orang itu hidup pada masa sekarang. Minyak bumi juga belum ditemukan. Dalam kehidupan seluruh umat manusia di bumi, kita masih diterangi oleh cahaya api dari kayu bakar, sesuai dengan ayat Al-Qur’an, “yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu (pohon) yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu” (QS Yâsîn [36]: 80). Bila kita berbicara, suara kita bisa didengar oleh lawan bicara dalam jarak dekat. Kalaupun berteriak, tidak lebih dari 415 meter, suara kita sudah hilang ditelan angin.


Apa yang akan kita katakan pada mereka, seandainya Bell, Hertz dan Marconi memberi tahu kita bahwa suara kita bisa didengar oleh orang yang berada di jarak berkilo-kilo meter jauhnya? Bagaimana pendapat kita jika Edison mengumumkan bahwa sebuah benda bisa mengeluarkan cahaya sangat terang sehingga bisa menerangi rumah, bahkan bila diatur sedemikian rupa bisa menerangi dunia? Padahal semua itu tidak ada di dalam Al-Qur’an—hadits—atsar (perkataan sahabat/tabi‘in), menyimpang dari kondisi masyarakat internasional (khâriq al-‘âdat) dan tidak terpikir oleh nalar kita, bahkan nalar semua orang?


Apakah kita akan mengatakan bahwa mereka telah tersesat, melanggar sunnatullah, melakukan syirik, khurafat, klenik, tahayul, membual, bahkan tidak menggunakan akal sehat? Apakah semua itu akan kita lakukan hanya karena logika kita belum mampu untuk mencernanya? Ataukah karena kita merasa bahwa kitalah yang paling mengerti kandungan Al-Qur’an serta hadits tentang hidup dan kehidupan? Adakah kita juga mengira bahwa hanya kita yang paling paham maksud ayat-ayat Allah (qauliyah maupun kauniyah) dan hadits-hadits rasul-Nya?


Apakah kita akan mengatakan bahwa Galileo Galilei memang pantas dihukum karena membuat pernyataan bahwa bumi ini beredar (berotasi mengelilingi sumbunya dengan kecepatan lebih dari 1600 km/jam sambil berevolusi mengelilingi matahari dengan kecepatan lebih dari 16.000 km/jam), sedangkan logika kita berkata sebaliknya—jika memang bumi beredar sedemikian cepat, kenapa kita tidak merasakannya dan tidak pula terlempar darinya?


Karena penulis pernah menjumpai seseorang yang masih belum mengerti jika memang bumi berputar, oleh karena itu perlu penulis tampilkan di sini penjelasan Prof. Robert L. Wolke, guru besar kimia emeritus di University of Pittsburgh, Pennsylvania—Amerika Serikat. Kenapa di bumi kita bisa berjalan; bisa mengejar hewan? Padahal bumi kan berputar. Bagaimana penjelasan ilmiah/logisnya?


Kita bisa melakukan itu semua karena bumi berputar dengan kecepatan konstan (tetap), tidak berubah-ubah. Sebagai ilustrasi, jika kita naik bus, kereta api atau pesawat, bukankah kita bisa jalan-jalan di dalamnya? Bukankah kita bisa mengejar orang di dalamnya? Itu semua bisa kita lakukan karena kecepatan kendaraan konstan. Coba saja bila bus, kereta api atau pesawat sering berubah kecepatannya, misalnya sedikit-sedikit ngerem atau ngegas, tentu kita susah sekali berjalan apalagi kejar-kejaran di dalamnya.


Apakah kita akan mengatakan bahwa bumi ini datar dan mengingkari penemuan bahwa bumi berbentuk bulat dengan agak lonjong di ujung? Sedangkan logika kita mengatakan, jika bumi tidak datar berarti ketika posisi kita di bawah (lihat globe), kita akan terjatuh? Dan, itu semua kita katakan hanya karena kita belum memahami teori gravitasi yang ditemukan oleh Newton? Juga karena kita belum pernah ke luar angkasa? Padahal yang sebenarnya terjadi adalah logika mereka jauh di atas logika kita, karena pemahaman mereka yang memang jauh lebih baik.


Apakah kita akan mengatakan bahwa mukjizat para nabi atau rasul dan karamah para wali hanyalah cerita yang dibesar-besarkan serta dibuat-buat; hanya karena kita tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu dan tidak sesuai logika kita? Bahkan, jika kita menyaksikannya secara langsung, kita tetap akan mengingkarinya karena kita tidak bisa berbuat hal yang sama?


Apakah kita akan mengatakan bahwa apa pun yang menurut akal kita tidak mungkin, berarti tidak sesuai dengan sunnatullah? Kemudian kita mencari hujjah—dalil ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi atau argumen lain yang harus mendukung opini kita—dan bila tidak sesuai pendapat kita, lantas kita tafsirkan agar sesuai dengan logika kita? Bahkan, bila tidak bisa disesuaikan dengan akal kita, langkah terakhir adalah kita pertanyakan keshahihan hadits tersebut, atau penafsiran oleh para ulama yang kita salahkan—dengan dalih bahwa dalil itu mengandung keraguan, bisa ditakwilkan dan mempunyai banyak arti?


Apakah kita akan mengatakan bahwa kita sangat mengerti dan paham 100% tentang apa serta bagaimana cara kerja sunnatullah itu? Adapun orang lain yang berbeda pemikiran dengan kita, kita anggap tidak mengerti sunnatullah dan tidak pernah belajar tentangnya?


Daftar Pustaka :

  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Robert L. Wolke, Prof, “Kalo Einstein Lagi Cukuran Ngobrolin Apa Ya? (What Einstein Told His Barber – More Scientific Answer to Everyday Questions)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Agustus 2004


Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (3 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (5 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, July 9, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (3 of 12)

Tentang karamah para wali, sebagian dari kita mempunyai persepsi kurang tepat, ada yang terlalu mengagungkan dan ada pula yang mencibir. Yang mencibir beralasan bahwa hal itu mustahil terjadi karena tidak sesuai dengan sunnatullah. Cerita yang kita dengar selama ini dianggap hanya bualan, dibesar-besarkan dan cenderung hiperbolik. Karamah para wali dianggap sebagai sebuah pengkultusan individu, karena itu harus dikarang cerita di mana sang wali bisa melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Semua hal harus sesuai hukum alam, dan karamah bertentangan dengannya.



Lebih mengherankan lagi, ada pula yang berkata bahwa mukjizat para nabi pun tidak mungkin terjadi, karena tidak sesuai dengan hukum alam dan logika. Dengan alasan seperti ini, dikatakan perlu penafsiran ulang yang dilakukan secara logis dan tidak melanggar hukum alam; agar tidak ada penafsiran yang mengundang khurafat, klenik dan tahayul. Demikianlah pendapat orang yang menafikan karamah para wali, bahkan mukjizat para nabi atau rasul.


Mengagung-agungkan karamah tidak boleh terjadi. Perlu kita ketahui bahwa bagi wali Allah, memiliki kemampuan di luar kebiasaan manusia saat sang wali hidup (khâriq al-‘âdat), hanyalah hiasan atau permainan semata. Misalnya seorang wali bisa berjalan di atas air atau di udara, melipat bumi (pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dalam sekejap), menembus dinding, menyembuhkan orang sakit parah atau yang lain. Jadi, seorang wali Allah, walaupun tidak mempunyai kemampuan di atas, tetaplah wali Allah karena kedekatan dengan-Nya. Setan atau Iblis, meskipun bisa pergi dari masyriq (ujung timur bumi) ke maghrib (pojok barat dunia) dalam sekejap, tetaplah mal‘ûn (terlaknat).


Ada juga wali yang memohon kepada Allah agar tidak dikaruniai hiasan-hiasan. Namun, karena memang tujuan perjalanannya adalah Al-Haqq, maka biasanya (boleh tidak) hiasan itu menempel dengan sendirinya. Hal ini juga sebagai ujian baginya. Kalau ia terpesona dan terjebak dengan permainan-permainan seperti itu, maka ia tidak akan pernah sampai kepada Al-Haqq, Allah SWT.


Di kitab “Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf” dijelaskan bahwa karamah terbesar yang dimiliki oleh seorang wali yaitu selalu mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga (mahfûzh) dari kemaksiatan dan pertentangan. Jadi, bukan permainan-permainan seperti tersebut di atas.


Abul Abbas al-Mursi berkata, “Orang yang karamah bukan karena ia bisa melipat dunia, lalu dalam waktu singkat ia telah berada di Mekah atau negeri lain. Orang yang karamah adalah orang yang mampu melipat hawa nafsunya sehingga ia terhindar dari maksiat dan langsung berhadapan secara ihsan dengan Allah SWT.”


Sahal bin Abdullah mengingatkan, “Sebesar-besar karamah adalah perubahan akhlak tidak baik (madzmûmah) menjadi akhlak terpuji (mahmûdah).”


Abu Yazid al-Busthami berpesan, “Jika kamu melihat seseorang yang telah diberi karamah sampai ia bisa terbang di udara sekalipun, maka janganlah tertipu dengannya, sehingga kamu dapat menilai kesungguhannya dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah, dalam menjaga batas-batas hukum Allah, dan dalam melaksanakan syariat Allah.”


Rabi‘ah al-‘Adawiyah pernah memberi nasihat, “Kalau bisa terbang disebut istimewa dan kita bangga sekali mempunyai kemampuan itu, berarti derajat kita lebih rendah daripada seekor lalat. Kemampuan kita terbang masih belum secanggih lalat, sedangkan Allah menciptakan kita dengan sempurna, tidak seperti lalat. Apakah itu tidak berarti bahwa lalat lebih mulia daripada kita, jika memang kemuliaan hanya dipandang dari permainan-permainan semacam itu? Begitu pun dengan jalan di atas air. Bukankah ikan dan makhluk-makhluk Allah di sungai dan lautan tidak hanya berjalan di atas air, tetapi hidup di dalamnya?”


Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa karamah para wali dapat dibenarkan dengan dua syarat. Pertama, karamah tersebut berasal dari orang yang mengamalkan Kitab dan Sunnah. Kedua, karamah tersebut menguatkan Al-Qur’an dan Sunnah; dalam pengertian bahwa karamah yang didapat seorang wali dipergunakan untuk meninggikan panji Islam dan dakwah kepada Allah, Dzat Yang Maha Kuasa.


Bagi yang menafikan, janganlah ekstrim seperti itu, hanya karena kekurangpahaman kita akan mukjizat atau karamah. Bukankah kita harus senantiasa husnuzh zhan serta berpikir positif? Boleh bertanya, tapi jangan menuduh sembarangan. Bertanya pun harus dengan niat yang baik. Jangan bertanya namun tujuannya untuk mengejek.


Seorang teman pernah bertanya, “Apakah mungkin kita bisa bisa pergi ke Mekah dalam waktu singkat (melipat bumi)? Logika dan penjelasan ilmiahnya bagaimana? Tidakkah itu mengada-ada?” Saat ini memang belum ada rumusan ilmiah yang tepat sama untuk menjelaskannya. Hal itu masih dalam penelitian. Secara logika ilmiah sederhana bisa dijelaskan seperti berikut ini.

Misalnya kita punya sebuah kertas seperti gambar di bawah ini. Bagaimana cara tercepat dari titik A menuju D?


Untuk menuju D dari A, ada beberapa cara, yaitu:



  • A – B – D

  • A – C – D

  • A – D (sesuai garis diagonal berdasarkan rumus Pitagoras, c^2=a^2+b^2; dimana c adalah panjang garis diagonal, sedangkan a dan b masing-masing adalah panjang sisi-sisi pembentuk sudut siku segitiga ABD atau ACD). Cara inilah yang tercepat karena jarak tempuhnya lebih pendek.

Saat ini, lagi diuji cara tercepat dari A menuju D dengan melipat kertas, mempertemukan titik A dengan D. Dengan demikian jarak tempuh limit mendekati 0 (nol) cm, sehingga waktu yang dibutuhkan pun limit mendekati 0 (nol) detik. Kapan percobaan ini bisa diimplementasikan? Belum bisa dipastikan. Kita tunggu saja tanggal mainnya :).


Banyak sekali percobaan ilmiah yang menjelaskan hal-hal yang menurut kita aneh (khâriq al-‘âdat), sehingga nantinya semua orang bisa melakukannya. Bukankah semua fasilitas yang kita nikmati di zaman modern ini adalah hal yang mustahil, tidak sesuai dengan hukum alam yang diketahui waktu itu, serta di luar kebiasaan masyarakat ketika masih dalam penelitian?


Namun, setelah seluruhnya dibuktikan, mengapa semua ikut menyetujui bahwa hal itu tidak bertentangan dengan hukum alam? Di manakah mereka yang mengatakan bahwa semua percobaan yang dulu dilakukan adalah mengada-ada, tidak mungkin dan tidak masuk akal? Ke manakah orang-orang yang mengatakan bahwa para peneliti adalah orang yang tidak menggunakan pikiran yang sehat, karena mencoba melakukan sesuatu di luar kesepakatan masyarakat? Lupakah kita bagaimana hukuman yang harus diterima oleh para peneliti karena meyakini hal di luar nalar orang-orang saat itu? Dan, kitalah yang menikmatinya. Menikmati hasil penelitian sesuatu yang di luar kebiasaan (khâriq al-‘âdat).


Saat ini, semua orang bisa berjalan di atas air atau terbang di udara, dengan menggunakan kapal laut dan pesawat terbang. Kita pun bisa melihat apa yang sedang dilakukan oleh orang yang berada jauh dari kita, dengan adanya siaran langsung televisi, kamera CCTV untuk keamanan atau web cam lewat jalur internet.


Bahkan sekarang, HT dari beberapa frekuensi (misal HT Polisi dan HT ambulans yang awalnya tidak bisa saling berhubungan karena beda frekuensi), handphone dan komputer sudah bisa saling berkomunikasi secara audio. Kalau saja penulis tidak menyaksikan sendiri demonya, mungkin penulis tidak akan percaya. Untunglah penulis pernah mengikuti sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Cisco Systems Indonesia. Waktu itu, salah satu hal yang didemokan adalah Unified Communications, integrasi komunikasi dari berbagai teknologi.


Mungkin kita akan berkilah, “Hal-hal di atas wajar saja terjadi. Itu semua karena perkembangan ilmu dan teknologi. Jadi, semuanya sesuai dengan logika dan sunnatullah.” Baiklah, kalau memang kita termasuk orang yang keras kepala, susah menerima kebenaran dan hanya ingin mencari pembenaran pendapat pribadi.


Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419

Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (2 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (4 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, July 2, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (2 of 12)

b. Doa adalah visi dan misi

Dengan berdoa berarti kita menetapkan visi dan misi dalam kehidupan kita. Kita harus memiliki keinginan yang kuat (‘azam) untuk mewujudkan permohonan visi dan misi itu.

“Seseorang yang memiliki cita-cita, akan dengan senang hati tidur lebih akhir dan bangun lebih awal untuk mewujudkannya. Dia juga tidak akan membiarkan tubuh meminta istirahat sebelum waktunya. Dia akan memastikan tubuhnya patuh pada pikirannya dan tidak sebaliknya.” Demikianlah nasihat seorang motivator, Mario Teguh.


Kita adalah hamba Allah dengan derajat umum, bukan khusus. Jika kita mengharapkan kesejahteraan hidup, janganlah mengira tiba-tiba akan turun dari langit, satu peti berisi emas berkilauan, intan, berlian, zamrud dan permata. Semua itu harus sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk kita, yang oleh kebanyakan orang diterjemahkan sebagai hukum alam. Menurut Prof. M. Quraish Shihab, adalah salah kaprah jika sunnatullah diartikan hukum alam. Apa pun itu, kita tidak akan memperdebatkannya. Anggap saja bahwa apa yang terjadi di alam ini memang ada hukumnya.

Dan ternyata, sebagian mukjizat para Nabi dan karamah para wali juga bisa dijelaskan sesuai hukum yang berlaku, walaupun tidak sesempurna karunia Allah untuk para kekasih-Nya.

Mukjizat Nabi Isa as. yang bisa menyembuhkan orang sakit lepra atau orang buta, saat ini sudah dapat dilakukan oleh para dokter. Penyakit lepra sudah bisa diobati. Untuk orang buta, memang dengan transplantasi mata, tidak bisa langsung sembuh seketika seperti yang dilakukan Nabi Isa atas ijin Allah SWT.

Bagaimana Nabi saw. menuju ke Masjid al-Aqsha di Palestina dari Masjid al-Haram di Mekah dalam waktu yang singkat, bisa dijelaskan dengan adanya pesawat terbang atau roket.

Mukjizat lain yang dimiliki Nabi Muhammad saw. yaitu dari tangan beliau bisa keluar aliran air yang cukup deras. Mukjizat ini terdapat di sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas bin Malik ra.. Anas berkata, “Saya telah melihat Rasulullah saw. ketika tiba waktu shalat ashar, sedang orang-orang mencari air untuk wudhu dan tidak dapat. Kemudian dibawakanlah kepada Nabi saw. air wudhu sedikit dalam bejana. Lalu Nabi saw. meletakkan tangannya di dalam bejana, dan menyuruh orang-orang supaya wudhu dari air itu.”


Anas melanjutkan lagi, “Aku melihat air yang menyumber dari bawah jari-jari Nabi saw. sehingga semuanya selesai wudhu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagaimana tercantum dalam kitab “Al-Lu’lu’ wal-Marjân – fî mâ Ittafaqa ‘Alayhi asy-Syaykhân”. Hadits dengan muatan yang sama tercantum juga dalam kitab “Mukhtashar Shahîh al-Bukhârî”.

Hukum alam sudah menjelaskan bahwa jika udara didinginkan, maka akan mengembun, sehingga menjadi air. Itulah yang menjelaskan kenapa es batu di dalam gelas bisa menghasilkan embun (air) yang menempel di luar gelas. Hal yang sama terjadi dengan AC (Air Conditioner), yang akan menghasilkan air sebagai akibat dari pendinginan yang terjadi. Berarti, bisa jadi waktu itu tangan Rasulullah menjadi dingin sehingga udara mengembun. Namun, karena yang beliau miliki adalah mukjizat, maka air memancar dengan deras. Wallâhu a‘lam. Sampai saat ini, derasnya pancaran air dari tangan Nabi belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Ini menunjukkan bahwa kita adalah hamba Allah yang bodoh, yang hanya mempunyai ilmu sedikit sekali.

Ada orang sakit diobati dengan lantaran air yang telah dibacakan doa. Dr. Masaru Emoto telah menguji dan membuktikan bahwa air yang dibacakan doa membentuk struktur molekul yang sangat bagus dan kokoh. Itulah hukum alamnya.

Jika ada yang shalat istisqa’ kemudian Allah menurunkan hujan, hal ini juga bisa diimplementasikan dengan konsep hujan buatan.

Cerita tentang Sahabat Ali bin Abi Thalib yang terkena panah, kemudian anak panah itu dicabut saat beliau shalat dan tidak terasa sakit; dalam dunia kedokteran sudah terbukti secara ilmiah. Pembiusan (anestesi) bisa dilakukan tidak hanya dengan obat-obat kimiawi. Rasa senang, bahagia dan cinta juga bisa digunakan untuk pembiusan. Bukankah kalau kita sedang bahagia melakukan sesuatu, waktu pun terasa begitu cepat berlalu? Tubuh juga tidak terasa lelah? Dicubit orang yang kita cintai juga tidak akan terasa sakit, malah minta dicubit lagi J. Beda sekali kalau dicubit oleh orang lain yang tidak kita kasihi, apalagi jika orang itu kita benci. Itulah anestesi non kimiawi, berdasarkan penjelasan Prof. Dr. Moh. Sholeh, PNI (PsychoNeuroImmunolog).

Bahkan, sekarang telah ditemukan sebuah cara atau terapi agar para ibu tidak sakit ketika melahirkan sang jabang bayi, buah hati yang didamba-dambakan. Salah satu caranya dengan hipnosis/hipnoterapi (orang yang ahli hipnosis disebut hipnotis), yang memanfaatkan gelombang otak, biasanya pada gelombang Teta. Dan ini ilmiah, bukan khurafat atau klenik. Jadi, cerita Ali bin Abi Thalib kw. di atas semakin masuk akal.

Timbul pertanyaan baru, “Apakah ini berarti kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tua, terutama sang ibu jadi berkurang? Toh, sang ibu tidak lagi merasakan kesakitan yang sangat, seperti perjuangan antara hidup dan mati.”

Sebaiknya kita ingat lagi bahwa hidup ini antara kita dengan Allah, antara hamba dengan sang Pemilik Kehidupan. Allah telah memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua, dan hadits Rasulullah telah menjelaskan bahwa nama ibu disebut tiga kali dibandingkan sang ayah. Dengan demikian, apa pun perkembangan ilmu dan teknologi, hal itu tidak mengubah kewajiban kita untuk berbakti kepada kedua orang tua, baik mengurangi apalagi menghapusnya. Bukankah sebelum terapi itu ditemukan, sudah ada operasi cesar yang notabene tidak sesakit seperti melahirkan normal?

Barangkali kita akan bertanya, “Kalau memang hidup ini antara kita dengan Allah, apakah kita tidak wajib menaati orang tua jika Allah memerintahkan demikian?”

Ya. Allah telah memerintahkan kita untuk tidak taat kepada orang tua apabila orang tua kita memerintahkan untuk bermaksiat kepada-Nya. Tentunya tetap dengan cara yang baik dan santun. Dan, itu berlaku bukan hanya kepada orang tua, tapi kepada siapa pun.

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فىِ مَعْصِـيَةِ الْخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khâliq (Allah).

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ummu Sa‘d berkata kepada anaknya, “Bukankah Allah menyuruh engkau berbuat baik kepada ibu-bapakmu? Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga mati, atau engkau kufur (kepada Muhammad).” Maka turunlah ayat yang artinya:


Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(QS al-‘Ankabût [29]: 8)

Perlu kita ingat lagi, janganlah kita durhaka kepada orang tua. Berikut ini sebuah syair dari seseorang yang disakiti anaknya. Orang itu mengadu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah bertanya, “Apakah engkau akan membacakan syair tentang anakmu?” Hal ini karena orang Arab terbiasa menghilangkan duka dengan syair. Orang itu berkata,

Aku memberimu makan saat engkau masih bayi
dan aku penuhi kebutuhanmu saat engkau remaja
Engkau makan dengan apa yang kubawakan untukmu dan minum
Jika malam datang membawa penyakit aku terjaga
Hanya bisa mengeluh dan bergelimpangan oleh sakitmu
Rasanya diriku yang menderita, bukan kamu
Oleh derita itu, dan air mataku meleleh
Saat engkau menginjak usia dan batas yang
Aku bisa menaruh padamu harap
Engkau jadikan balasan untukku sikapmu yang kasar dan kejam
Seolah engkau yang memberi dan menganugerahi
Andaikata dirimu, jika engkau tak menjunjung tinggi hak orang tuamu
Maka engkau telah berbuat seperti tetangga dekatmu melakukannya
(HR Thabrani)

Ketika berbicara tentang bakti kepada ibu-bapak, Al-Qur’an menggunakan kata penghubung bi, misalnya wa bi al-wâlidayni ihsânâ (QS al-Baqarah [2]: 83). Sebenarnya, bahasa membenarkan penggunaan li yang berarti “untuk” dan ilâ yang berarti “kepada” sebagai penghubung kata ihsân di atas.

Menurut pakar-pakar bahasa, kata ilâ mengandung makna “jarak”, sedang Allah tidak menghendaki adanya jarak walau sedikit dalam hubungan antara anak dan orang tuanya. Anak harus selalu mendekat dan merasa dekat kepada ibu-bapaknya, bahkan kalau bisa ia melekat kepadanya. Oleh karena itu digunakan kata bi yang mengandung arti ilshâq, yakni kelekatan. Itu pula sebabnya tidak dipilih kata penghubung li yang mengandung makna peruntukan itu.


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Mohammad Sholeh, Dr., “Terapi Salat Tahajud – Menyembuhkan Berbagai Penyakit”, Hikmah Populer, Cetakan I : Maret 2006/Safar 1427
  • Mohammad Sholeh, Prof., “Pelatihan Sholat Khusyuk”, Makalah, April 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Qamaruddin Shaleh dan A. Dahlan, Kyai, “Asbâbun Nuzûl (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an) – Edisi Kedua”, Penerbit Diponegoro, Cetakan Ke-10 : 2001
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
  • Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabîdî, asy-Syaikh, “Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Al-Tajrîd as-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi‘ as-Shahîh)”, Penerbit Mizan, Cetakan III : Dzulhijjah 1419/April 1999
Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (1 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (3 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#