Mencari Data di Blog Ini :

Friday, September 24, 2010

Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (1 of 4)

“Taubat”, sebuah kata yang kadang kita abaikan. Kita sering menganggap bahwa taubat hanyalah untuk para residivis dan penghuni hotel prodeo (lembaga pemasyarakatan). Akibatnya, ketika mendengar kata “taubat” disebut bahkan dibahas oleh para muballigh, nyaris tak ada efek sedikit pun pada diri kita.

Entah dapat jaminan dari mana sehingga kita meyakini bahwa diri kita termasuk golongan orang-orang yang tidak perlu bertaubat.

Entah dapat jaminan dari mana sehingga kita mengira amal ibadah kita sudah cukup, bahkan lebih.

Entah dapat jaminan dari mana sehingga kita merasa bahwa dosa kita tidak banyak.

Entah dapat jaminan dari mana sehingga kita berasumsi bahwa kita tahu apa yang telah dicatat oleh Malaikat Raqib dan ‘Atid.

Entah dapat jaminan dari mana sehingga kita berpikir bahwa semua kebaikan kita diterima oleh Allah dan seluruh kesalahan kita telah diampuni-Nya.

Tidak ada orang yang tidak pernah berbuat dosa, kecuali Rasulullah karena beliau dijaga oleh Allah dari kesalahan atau dosa (ma‘shûm). Dalam perjalanan menuju Allah, kita tidak terlepas dari maksiat dan kekurangan, seperti melakukan perbuatan yang melanggar syariat, baik yang bersifat zhahir maupun batin. Maka, taubat terus-menerus adalah bekal perjalanan menuju Al-Haqq. Nabi Muhammad saw. bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّائُوْنَ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ الْمُسْـتَغْفِرُوْنَ
Setiap manusia melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah orang yang bertaubat dan memohon ampun. (HR Tirmidzi)

Tentunya yang dimaksud kesalahan di atas adalah dosa-dosa kecil, karena memang ada orang yang menjaga diri dan ditolong Allah untuk tidak berbuat dosa besar. Meskipun begitu, sekecil apa pun ukuran dosa kita, kita tetaplah harus memohon ampun kepada Allah dan bertaubat. Dan, tidak ada sesuatu yang disebut kecil bila dilakukan terus-menerus. Marilah kita memohon perlindungan dan pertolongan Allah agar dijauhkan dari dosa-dosa besar. Namun demikian, jika ada di antara kita pernah melakukan dosa besar, janganlah kita pesimis karena Allah Maha Penerima Taubat (At-Tawwâb), Maha Pemaaf (Al-‘Afuww) dan Maha Pengampun (Al-Ghafûr).

Perlu kita ingat lagi bahwa memohon ampun bukan hanya sekadar membaca istighfar, tapi benar-benar memohon ampunan Allah. Kita memang seringkali membaca istighfar, namun sangat jarang mohon ampunan Allah. Dengannya, marilah bersama-sama kita perbaiki diri, sehingga kita tidak hanya membaca istighfar, tapi benar-benar ber-istighfar. Namun, hendaknya ini jangan diartikan bahwa membaca istighfar tidak baik. Yang dimaksudkan di sini adalah kita perbaiki lagi sehingga benar-benar sesuai yang diperintahkan.

Allah adalah At-Tawwâb, dalam arti Allah yang kembali berkali-kali menuju cara yang memudahkan taubat untuk hamba-hamba-Nya, dengan jalan menampakkan tanda-tanda kebesaran-Nya, menggiring mereka kepada peringatan-peringatan-Nya, sehingga bila mereka telah sadar akan akibat buruk dari dosa-dosa, dan merasa takut dari ancaman-ancaman-Nya, mereka kembali (bertaubat) dan Allah pun kembali kepada mereka dengan anugerah pengabulan. Allah juga senang menerima taubat hamba-hamba-Nya. Rasulullah saw. bersabda:

اللهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ مِنْ رَجُلٍ نَزَلَ فِيْ أَرْضٍ دَوِيَّةٍ مُهْلِكَةٍ مَعَهُ رَاحِلَـتُهُ عَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَوَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ نَوْمَةً فَاسْتَيْقَظَ وَقَدْ ذَهَبَتْ رَاحِلَـتُهُ فَطَلَبَهَا حَتَّى إِذَا اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْحَرُّ وَالْعَطْشُ أَوْ مَاشَاءَ اللهُ قَالَ: أَرْجِعُ إِلَى مَكَانِي الَّذِي كُنْتُ فِيْهِ فَأَنَامُ حَتَّى أَمُوْتُ، فَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى سَاعِدِهِ لِيَمُوْتُ، فَاسْتَيْـقَظَ فَإِذَا رَاحِلَـتُهُ عِنْدَهُ عَلَيْهَا زَادُهُ وَشَرَابُهُ. فَاللهُ تَعَالَى أَشَدَّ فَرْحًا بِتَوْبَةِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ مِنْ هَذَا بِرَاحِلَـتِهِ
Sesungguhnya Allah sangat berbahagia dengan taubat seorang hamba yang mukmin daripada kebahagiaan seorang laki-laki ketika berada di daerah yang sangat berbahaya (tandus) bersama kudanya, dan ia membawa makan dan minuman yang diletakkan di atas kuda tersebut. Lalu ia meletakkan kepalanya ke tanah dan tidur dengan nyenyak. Saat ia bangun ternyata kudanya telah hilang (bersama perbekalannya), maka ia mencarinya sampai ia merasakan sangat panas dan kehausan serta penderitaan lainnya. Lalu ia berkata, “Lebih baik aku kembali ke tempat tadi dan tidur sampai menunggu kematianku.” Maka diletakkan kepalanya di atas tangannya untuk menunggu kematian menjemputnya. Ketika terbangun, ia melihat kudanya beserta perbekalannya sudah kembali dan ada di hadapannya. Sesungguhnya kegembiraan Allah melihat hamba-Nya bertaubat lebih besar daripada kegembiraan orang yang kehilangan kudanya itu. (HR Muslim)

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa karena gembiranya ia—sampai-sampai, sambil memegang kendali untanya—ia berseru keseleo lidah, “Wahai Tuhan, Engkau hambaku dan aku Tuhan-Mu.” Perkataan sebenarnya bertujuan untuk bersyukur kepada Allah.

Pemaafan Allah tidak hanya tertuju kepada hamba yang bersalah secara tidak sengaja, atau melakukan kesalahan karena tidak tahu. Pemaafan Allah juga tidak selalu menunggu yang bersalah untuk meminta maaf. Sebelum manusia meminta maaf, Allah telah memaafkan banyak hal. Allah adalah Al-‘Afuww, yakni Beliau Yang menghapus kesalahan hamba-hamba-Nya, serta memaafkan pelanggaran-pelanggaran mereka.

Allah, Al-Ghafûr dalam arti sempurna pengampunan-Nya hingga mencapai puncak tertinggi dalam ampunan.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS Âli ‘Imrân [3]: 133)

Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS az-Zumar [39]: 53)

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. (QS Hûd [11]: 114)


يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Hambaku, seandainya engkau datang kepada-Ku membawa dosa hampir seisi bumi, Aku akan datang menyambutmu dengan ampunan hampir seisi bumi, selama engkau tidak menyekutukan Aku (dengan sesuatu).
(HR Tirmidzi—hadits hasan gharib)

Daftar Pustaka:
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006

Tulisan ini berlanjut ke : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (2 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 17, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (12 of 12)

Lalu, mengapa di dalam doa kita menggunakan fi‘il amr? Apakah ada doa yang tidak menggunakan fi‘il amr?


Perlu kita ingat lagi bahwa hidup ini antara kita dengan Allah. Karena Allah memberi contoh seperti itu, maka kita pun menggunakannya. Itu berarti bahwa kita mematuhi perintah Allah, bukan sebaliknya—kita memerintah Allah. Tidak semua doa menggunakan fi‘il amr. Berikut ini contoh-contohnya:


رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِـيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS al-Baqarah [2]: 286)


رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنْفُسَـنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَاسِرِيْنَ

Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS al-A‘râf [7]: 23)


اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ سَلاَمَةً فىِ الدِّيْنِ

Ya Allah, kami bermohon kepada-Mu keselamatan dalam (urusan) agama


اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ

Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari azab kubur dan neraka


أََسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ

Hamba memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung


رَحِمَهُ اللهُ

Semoga Allah mengasihinya


رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Semoga Allah meridhoinya


عَلَيْهِ السَّلاَمُ

Semoga salam tetap atas beliau


صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Semoga shalawat dan salam tetap atas beliau


Bahkan, doa yang paling utama adalah alhamdulillâh, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:


أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ ِللهِ

Seutama-utama doa adalah alhamdulillâh. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Adapun contoh doa yang menggunakan alhamdulillâh diantaranya yaitu doa setelah makan, sesudah bangun tidur, keluar dari kamar kecil dan setiap kita berdoa pasti membaca hamdalah.


Memperbanyak doa bukan berarti kita tidak menggunakan karunia Allah berupa otak, justru Allah senang sekali kalau kita berdoa. Doa adalah ibadah. Doa adalah munajat dan dzikir kepada Allah.


Lantas, permohonan apa yang paling utama untuk dimintakan kepada Allah?


Ibnu Athaillah menerangkan, “Sebagus-bagusnya permohonan yang patut disampaikan kepada Allah adalah semua yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan.”


Jika ada yang patut diminta kepada Allah sebagai hamba, maka yang paling pantas ialah mengharap kepada Allah agar meneguhkan iman dan keyakinan dengan kemantapan hati yang sungguh-sungguh (istiqamah) kepada ajaran Islam dengan persembahan ibadah. Itulah yang paling bagus dan paling bergengsi bagi hamba yang memohon kepada Allah. Permohonan istiqamah dalam Islam itu sudah termasuk kepentingan dunia dan akhirat.


Sangat baik apabila seorang hamba memohon kepada Allah agar bisa senantiasa menaati-Nya, melaksanakan ibadah tanpa halangan, dan agar Allah memudahkan segala yang berkaitan dengan urusan Islam dan umat Islam. Demikian juga memohon kepada Allah agar terlepas dan tidak tergelincir pada perbuatan maksiat dan dosa, serta diberi kekuatan untuk melaksanakan semua ketaatan. Tak lupa memohon agar selalu dalam keadaan dzikir dan senantiasa berada dalam suasana tentram dalam mengingat Allah SWT.


Demi terkabulnya semua doa, marilah kita bersama-sama memohon kepada Allah:


رَبَّناَ تَقَبَّلْ دُعَـاءَنَا إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَـوَاتِ. وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَـيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Ya Tuhan kami, terimalah doa kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Dekat, Maha Mengabulkan doa-doa (hamba-Mu). Semoga shalawat/rahmat dan kasih sayang tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan sahabat beliau, amin.


Daftar Pustaka :

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • A. Hanafi, MA, “Usul Fiqh”, Penerbit Widjaya Jakarta, Cetakan kesebelas, 1989
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh, “Al-Ushûl min ‘Ilmil Ushûl”
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414

Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (11 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, September 10, 2010

Idul Fitri, Ketaatan Bertambah Ataukah…???

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَلـٰكِنَّ الْعِيْدَ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ

(Hakikat) Idul Fitri bukan bagi orang-orang yang (hanya mengandalkan) pakaian baru
Tetapi, (hakikat) Idul Fitri itu bagi orang-orang yang bertambah ketaatannya

Idul Fitri sering diidentikkan dengan sarung dan baju koko baru.
Idul Fitri sering diidentikkan dengan mukena baru.
Idul Fitri sering diidentikkan dengan pakaian baru.
Idul Fitri sering diidentikkan dengan cat rumah baru.
Idul Fitri sering diidentikkan dengan uang baru.
Idul Fitri sering diidentikkan pula dengan kue baru. Tapi, khusus yang satu ini harus, karena nggak boleh kadaluarsa :).


Ternyata tak berhenti sampai di situ. Merk pakaian pun menjadi pertimbangan khusus dengan berbagai argumentasi—karena awet, enak dipakai, lebih lembut dan sejenisnya. “Harga tak jadi masalah, toh setahun sekali,” kata kita Bahkan, kadang kita merasa jika tidak memakai merk tertentu dianggap kurang afdholllll (dengan 5 buah huruf “L”).
Ada-ada saja memang perilaku kita dalam meyongsong, menjalani dan memaknai Idul Fitri.

Lantas, salahkah itu semua? Tak ada yang salah jika memang sesuai ajaran agama, misal bukan termasuk pemborosan (mubadzir), niat pamer (sombong) atau hal lain yang tidak diperbolehkan.

Meskipun demikian, hendaklah kita renungkan bersama nasihat yang tercantum di awal tulisan ini. Sejatinya, bertambahnya ketakwaan tak harus saat Idul Fitri. Bukankah sudah tertera dalam sebuah petuah bijak bahwa hari ini harus lebih baik daripada kemarin?

Namun, tak mengapa Idul Fitri dijadikan sebuah momen introspeksi diri sekaligus meningkatkan ketaatan kepada Allah. Para ustadz sering menjabarkan bahwa Ramadhan adalah bulan pelatihan, bulan penggemblengan serta kawah candradimuka. Setelah training, peningkatan harus menjadi sebuah keniscayaan.

Mari kita ingat lagi sabda Rasulullah saw, yang penulis yakin kita tak ingin termasuk anggotanya:


كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

Betapa banyak orang berpuasa namun tidak mendapat apa-apa kecuali lapar.
Betapa banyak orang menghidupkan malam Ramadhan namun tidak mendapat apa-apa kecuali (sekedar) begadang.
(HR Ahmad, Darimi, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mubarak, Ibnu Majah, Nasa’i, Thabrani dan Qudha‘i. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Ahmad)
Jika memang tak ingin puasa kita sia-sia, langkah nyata apa yang harus kita lakukan sejak hari nan fitri?

Sebagaimana telah dijelaskan Rasulullah saw bahwa puasa, shalat tarawih dan lailatul qadar bisa membuat dosa-dosa kita diampuni oleh Allah, maka kita harus berlaku seperti orang yang telah diampuni dosa-dosanya, meskipun hakikatnya kita tidak tahu.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسـَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa puasa Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh)

مَنْ قََامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسـَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa shalat malam di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh)

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَـابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari)

Bagaimana contoh ciri orang yang telah diampuni dosanya oleh Allah?

Pada hakikatnya hanya Allah Yang Maha Tahu tentang hal ini. Namun sebagai ilustrasi sederhana seperti diterangkan al-Ghazali, kita ambil contoh segelas air jernih atau sebuah kaca bening.

Bila segelas air jernih terkena noda, pasti terlihat nyata. Jangankan noda pekat, satu “sentuhan” teh celup saja sudah terlihat perubahannya. Jika hati yang bersih dikotori oleh perbuatan tidak baik, misalnya menggunjing (ghîbah) maka hati akan gelisah, gundah, resah dan sedih karena telah melakukan ketidaktaatan kepada Allah.

Hati yang demikian kondisinya tak akan sanggup berbuat dosa besar karena dosa kecilpun telah membuatnya tak tenang. Hal ini juga mengandung pelajaran bahwa kalau kita berani berbuat dosa besar, biasanya itu menunjukkan kita rutin berbuat dosa kecil. Ibarat tabungan, dosa kecil yang terus dilakukan akan menumpuk sehingga jadi banyak/besar.

Tatkala air sudah sedemikian keruh, maka noda hitam pekat pun tak akan berdampak banyak terhadap kondisi air itu. Saat kita sudah berlumuran dosa kecil, maka melakukan dosa besar pun tak akan membuat hati kita menangis karena kondisi hati telah begitu kotor.

Di sebuah hadits yang tercantum di kitab Riyadhush Shalihin riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dikisahkan ada seseorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan (99) orang. Dia ingin taubat dan bertanya kepada seorang rahib apakah taubatnya akan diterima Allah. Rahib itu menjawab tidak, maka orang tadi membunuh sang rahib sehingga genap seratus (100) orang telah ia tumpahkan darahnya. 
Salah satu pelajaran yang bisa kita petik dari kisah tersebut adalah saat hati begitu kotor atau kita terbiasa melakukan maksiat apalagi dosa besar, maka melakukan dosa lain tak akan terasa berat. Semoga Allah menjaga kita dari hal-hal demikian, amin.


Ketika diri malas melakukan shalat sunnah, hati yang suci akan bergejolak karena merasa rugi tak dapat meraih kedekatan dengan Sang Khaliq. Apatah lagi melakukan ibadah wajib kalau yang nafilah saja seperti itu. Hati yang suci akan selalu ingin dekat dengan Yang Maha Suci (Al-Quddûs).
Sebagaimana kaca yang semakin bening dengan semakin sering dibersihkan, hati pun semakin tenang dan bahagia saat diri melakukan aktivitas ibadah apapun.

Tatkala kaca terkena kotoran sedikit saja, tentu kita berusaha membersihkannya agar tetap kinclong. Begitu pula hati, saat khilaf melakukan ketidakbaikan, kita harus segera beristighfar untuk menjaga kebersihan hati dan jiwa.

Demikianlah seharusnya kondisi kita di hari nan fitri. Semoga pertolongan Allah SWT tetap atas kita sehingga bisa istiqamah berada di jalan-Nya guna meraih ridha-Nya, amin.


Daftar Pustaka:

Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, September 3, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (11 of 12)

Doa harus dimohonkan secara berkesinambungan (istiqamah), tidak boleh berhenti dengan alasan apa pun. Janganlah kita berdoa kepada Allah, lalu merasa bahwa yang kita sampaikan dan mohonkan sudah terlalu banyak, kemudian berhenti berdoa dengan dalih menunggu hasil doa tersebut. Sementara itu kita tidak memperbagus ibadah, bahkan bertambah susut dari hari ke hari, dan beberapa perbuatan dosa serta pelanggaran perintah Allah sempat kita terjang. Mustahil doa yang kita panjatkan akan diterima oleh Allah dengan cara demikian. Allah bukanlah lembaga pemerintah atau swasta tempat kita melamar pekerjaan, kemudian menunggu balasan lamaran itu—apakah diterima atau ditolak.


Kita juga sering mengabaikan doa dari orang lain untuk kita. Kita hanya mengandalkan doa kita saja. Padahal, Rasulullah saja memerintahkan para sahabat termasuk Umar bin Khaththab ra. untuk meminta doa dari Uwais al-Qarni.


Nama “Uwais” sebenarnya cemoohan orang, yang artinya sejenis serigala. Ia seorang pria miskin, yang tidak dikenal oleh siapa pun, bahkan dilecehkan. Meskipun demikian, Rasulullah memberi kabar gembira untuknya. Sebab, Allah hanya menilai hati dan perbuatan manusia.


Umar lebih tua, lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan Uwais. Namun, Umar selalu bertanya tentangnya apabila dikunjungi oleh sekelompok orang Yaman, “Apakah di antara kalian ada ‘Uwais’?” Setelah bertemu dengannya, Umar pun meminta doa padanya, sebagaimana perintah Rasulullah Muhammad saw.,


إِنَّ رَجُلاً يَأْتِيْكُمْ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٍ لاَ يَدْعُ بِالْيَمَنِ غَيْرَ أُمٍّ لَهُ قَدْ كَانَ فِيْهِ بَـيَاضٌ فَدَعَا اللهَ لَهُ فَأَذْهَبَ عَنْهُ إِلاَّ مَوَاضِيْعَ الدِّيْناَرِ أَوِ الدِّرْهَمِ فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَلْيَسْـتَغْفِرْ لَكُمْ

“Sesungguhnya seorang laki-laki akan datang kepadamu dari penduduk Yaman. Ia dinamakan Uwais. Ia tidak meninggalkan Yaman kecuali karena ibunya. Benar-benar ada pada dirinya panu. Ia kemudian berdoa kepada Allah, maka Allah menghilangkan (panu itu) darinya, kecuali sebesar dinar atau dirham. Siapa yang menemuinya di antara kamu, mintalah ia agar meminta ampunan untukmu.” (HR Muslim)


Rasulullah juga minta didoakan oleh sahabat beliau, Umar bin Khaththab ra. Umar bercerita:


اِِسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فىِ الْعُمْرَةِ، فَأَذِنَ لِيْ وَقَالَ: لاَ تَنْسَـنَا ياَ أُخَيُّ مِنْ دُعَائِكَ، فَقَالَ: كَلِمَةٌ مَا يَسُـرُّنِيْ أَنَّ لِيْ بِهَا الدُّنْيَا

Aku meminta ijin kepada Nabi saw. untuk melakukan ibadah umrah, lalu beliau memberikan ijin kepadaku dan bersabda, “Janganlah engkau lupakan aku dalam doamu, wahai saudaraku.” Umar ra. berkata, “Hal ini merupakan suatu kalimat yang lebih berharga bagiku daripada dunia (dan seisinya).” (HR Tirmidzi dan Abu Daud)


Satu hal lagi yang sering kita lupakan, yaitu mendoakan orang lain. Doa kita kepada saudara kita tidaklah berarti hanya untuknya, tapi doa itu juga berlaku untuk diri kita.

Sebagai contoh, jika kita ingin rezeki berupa harta (pendapatan) mencukupi, maka hendaknya kita mendoakan orang-orang yang kita temui agar diberi keluasan rezeki oleh Allah. Saat kita berjumpa dengan pedagang di pinggir jalan, kita berdoa agar dagangannya laris. Ketika bertemu dengan orang yang sedang melamar pekerjaan, kita doakan agar segera mendapat pekerjaan sesuai yang diidamkan.


Begitu juga bila kita menginginkan anak kita menjadi anak sholeh/sholehah, maka mendoakan anak orang lain agar menjadi generasi sholeh/sholehah sangat dianjurkan. Jadi, dalam berdoa, kita tidak hanya disibukkan mendoakan diri sendiri.


دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ِلأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ، كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْن وَلَكَ بِمِثْلٍ

Doa seorang muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuan yang bersangkutan akan dikabulkan, pada kepalanya terdapat malaikat yang ditugaskan kepadanya. Manakala ia mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, maka malaikat yang ditugaskan kepadanya mengatakan, “Amin, dan bagimu hal yang semisal.” (HR Muslim)


Ada sebuah peryataan, “Di dalam doa, kita menggunakan fi‘il amr (kata kerja bentuk perintah). Secara logika (manthiq), berarti kita memerintah Allah, hanya saja dibungkus dengan ungkapan yang lebih halus sehingga disebut doa. Padahal, hakikatnya tetap saja kita memerintah Allah. Apakah sopan kalau kita memerintah Allah? Bukankah lebih baik kita menggunakan karunia Allah berupa otak untuk menyelesaikan semua masalah? Bukankah otak kita diciptakan luar biasa? Masak, sedikit-sedikit kok berdoa. Di Al-Qur’an pun tidak ada perintah untuk memperbanyak doa. Yang ada yaitu memperbanyak dzikir, bukan doa.”


Karena kita membahas masalah agama, mari kita buka buku/kitab Ushul Fiqh. Di buku/kitab Ushul Fiqh terdapat definisi (ta‘rîf) tentang al-amru (perintah). Al-amru (perintah) adalah:


قَوْلٌ يَتَضَمَّنُ طَلَبَ الْفِعْلِ عَلَى وَجْهِ اْلإِسْتِعْلاَءِ

Perkataan yang mengandung permintaan untuk dilakukannya suatu perbuatan dalam bentuk al-isti‘la’ (dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah)


Iltimas adalah permintaan dari seseorang kepada sesama tingkatannya. Doa adalah permintaan dari yang lebih rendah tingkatannya kepada yang lebih tinggi. Dengan demikian iltimas dan doa tidak termasuk dalam definisi al-amru (perintah).


Al-amru (perintah) juga tidak selalu menggunakan fi‘il amr. Bentuk perintah ada empat, yaitu:

1. Fi‘il amr, contoh:

اتْلُ مَآ أُوْحِيَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَابِ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) (QS al-‘Ankabût [29]: 45)

2. Fi‘il mudhâri‘ yang diberi lam amr, contoh:


وَلْيَطَّوَّفُوْا بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيْقِ

dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah) (QS al-Hajj [22]: 29)

3. Isim fi‘il amr, contoh:


عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا ٱهْـتَدَيْتُمْ

jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk (QS al-Mâidah [5]: 105)

4. Mashdar sebagai pengganti fi‘il amr, contoh:


وَبِٱلْوَالِدَيْنِ إِحْسَـانًا

dan berbuat baiklah kepada ibu bapak (QS al-Baqarah [2]: 83)

Daftar Pustaka :

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • A. Hanafi, MA, “Usul Fiqh”, Penerbit Widjaya Jakarta, Cetakan kesebelas, 1989
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh, “Al-Ushûl min ‘Ilmil Ushûl”
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414


Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (10 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (12 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#