Mencari Data di Blog Ini :

Friday, December 31, 2010

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)

Sebaliknya, jika kita senantiasa di jalan-Nya dalam kehidupan ini, insya Allah kita akan siap ketika ajal menjemput. Adz-Dzahabi mengisahkan bahwa ketika Abu Zar‘ah dalam keadaan sakaratul maut, tiba-tiba Abu Zar‘ah pingsan. Murid-muridnya ingin mentalqinnya dengan kalimat “Lâ ilâha illallâh,” namun mereka tidak tahu bahwa gurunya pingsan. Mereka ternyata juga malu untuk mentalqin gurunya, karena Abu Zar‘ah adalah seorang syaikh imam muslimin. Akhirnya mereka menemukan cara. Mereka berkata,


“Kami ingat sanad (susunan periwayat) hadits tentang Lâ ilâha illallâh. Jika kami mengingatkannya pada sanad tersebut, maka guru kami akan mengingat isi hadits, karena beliau adalah orang yang meriwayatkan hadits dan merupakan bencana besar jika yang meriwayatkan hadits tidak tahu sanadnya.”


Maka, seorang di antara mereka berkata,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan.” Lalu dia diam. Yang lain berkata,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan dari Fulan,” lalu terpotong. Maka, berkatalah Abu Zar‘ah,


“Dikatakan kepada kami dari Fulan dari Fulan hingga lengkap sanadnya pada Muadz bahwa Rasulullah bersabda, ‘Siapa akhir ucapannya di dunia Lâ ilâha illallâh, maka dia masuk surga’.”


Kemudian, Abu Zar‘ah pun meninggal dunia. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita sehingga kita bisa seperti Syaikh Abu Zar‘ah, amin.


Dari cerita di atas, apakah kita sudah menyiapkan diri kita untuk menghadapi tamu kita yang pasti datang, yaitu Malaikat maut? Sudahkah kita membiasakan diri dengan hal-hal baik? Apa kita juga sudah bersiap-siap untuk menolak tawaran Iblis, tatkala rasa haus begitu mendera? Juga mengingkari perintahnya walaupun ia menyerupai orang yang kita segani?


Kita memang bertabiat sering GR (Gede Rasa). Ketika ada pembahasan tentang kebaikan, entah dari guru, ustadz, kyai, da‘i atau buku, kita merasa diri kita sudah melakukan itu semua.
Kita merasa sudah melaksanakan semua jenis shalat selain lima waktu, yaitu Dhuha delapan rakaat, Hajat, Rawatib (Qabliyah dan Ba‘diyah), Ba‘dal Wudhu, Tahajud, Tahiyyatul Masjid, Taubat, Tasbih, Witir dan shalat Mutlak yang tak ada batasan jumlah rakaatnya.


Kita merasa sudah banyak bersedekah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.


Kita merasa sudah banyak menolong orang secara non materi, bantuan moril, dukungan atau nasihat.


Kita merasa sudah baik dalam pergaulan dengan orang lain, karena kita menerapkan prinsip simpati dan empati dalam keseharian.


Kita merasa sudah sering berpuasa sunnah, misalnya Senin-Kamis, yawm al-bîdh (tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariyah), enam hari di bulan Syawal, Tasu‘a (9 Muharram), ‘Asyura (10 Muharram) dan ‘Arafah (9 Dzulhijjah).


Kita merasa sudah menjalankan puasa Ramadhan dengan sangat baik, bahkan khatam Al-Qur’an minimal sekali dalam bulan itu.


Kita merasa sudah mendapatkan lailatul qadar karena kita i‘tikaf di sepuluh hari terakhir pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhan.


Kita merasa sudah banyak berdzikir menyebut asma Allah. Bahkan, karena bilangan dzikir kita sudah mencapai ribuan, maka kita mengganti tasbih dengan alat hitung yang bisa mencapai angka 9999.


Kita merasa sudah melaksanakan umrah berkali-kali bahkan haji juga lebih dari sekali, sehingga kita merasa haji kita adalah haji mabrur.


Kita merasa yakin bahwa hidup kita sudah baik, benar dan pasti masuk surga.


Sebaliknya, tatkala ketidakbaikan diceritakan, serta merta kita berkata pada diri sendiri bahwa pelaku ketidakbaikan itu bukanlah diri kita. Malah, kita sibuk mencari siapa yang melakukan ketidakbaikan itu. Sungguh, kita memang mudah terjangkit penyakit ‘ujub (membangga-banggakan amal ibadah sendiri). Na‘ûdzubillâh.


Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Kita sering membawa tasbih atau sejenisnya, untuk menghitung berapa banyak dzikir yang sudah kita ucapkan. Pernahkah dengan tasbih itu, kita menghitung berapa banyak kata-kata yang tidak berguna apalagi sia-sia yang telah kita katakan?”


Sebuah nasihat yang lain berbunyi, “Kita ini memang kapitalis sejati. Kalau kita menuduh negara-negara lain sebagai kapitalis, maka yang lebih pantas mendapat menyandang gelar ‘Kapitalis Sejati’ adalah diri kita sendiri. Kita selalu hitung-hitungan dengan Allah. Kita sering sekali menghitung balasan yang akan kita dapatkan dari ibadah kita. Kalau kita membaca shalawat, berapa banyak rahmat yang akan kita peroleh? Kalau kita membaca Al-Qur’an, dosa-dosa kita sudah terhapus berapa banyak? Berapa derajat yang kita peroleh dengan melakukan shalat berjamaah? Tidakkah cukup dikatakan bahwa karena kita adalah hamba, maka kita seharusnya tunduk, patuh dan pasrah kepada Sang Pemilik hamba? Kurang ilmiahkah jika alasan kita melakukan semuanya adalah karena rasa syukur dan cinta kita kepada Dzat yang telah menciptakan kita dengan begitu sempurna? Kurangkah anugerah, karunia dan rahmat yang dicurahkan oleh Yang Memiliki Kehidupan kepada kita, hamba-Nya? Bukankah itu berarti kita berperi laku ‘kurang sopan’ terhadap Yang Memiliki kita, Allah SWT?”


Pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri sendiri adalah, “Apakah kita lupa bahwa iman itu bisa bertambah, namun juga bisa berkurang (al-îmânu yazîdu wa yanqush)? Bukankah iman itu mengalami pasang surut, tergantung situasi dan adanya sebab-musabab? Apa kita yakin bahwa ibadah kita diterima Allah 100%, tidak kurang dari itu? Yakinkah kita bahwa dosa-dosa kita telah lebur 100%, tidak ada yang tersisa; ataupun bila tersisa, itu hanya sedikit saja? Lupakah kita bahwa kualitas amal dan ibadah itu diperhitungkan? Sudah yakinkah kita bahwa kualitas ibadah kita sudah baik?”


Ibnu Athaillah berpesan, “Ketaatan kepada Allah bukanlah suatu amal yang harus dibangga-banggakan, dipamerkan atau semisalnya. Ketaatan adalah hiasan jiwa yang bertahtakan ketulusan di dalamnya. Ketaatan itu sendiri belum menjadi jaminan seseorang untuk masuk surga, karena hal ini memerlukan ujian yang sangat istimewa. Pada dasarnya ketaatan adalah karunia yang sangat mahal harganya bagi hamba Allah yang perlu mendapatkan penjagaan terus-menerus sepanjang hayatnya. Setiap karunia yang menjadi anugerah Allah berupa apa pun, terutama jiwa yang taat merupakan hidayah dari Allah.”



Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”


Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (2 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (4 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment