Di buku “‘Menyingkap ’Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa di beberapa kamus dinyatakan pada dasarnya kata ‘afwu berarti menghapus (habis tiada berbekas), membinasakan dan mencabut akar sesuatu.
Allah adalah Al-‘Afuww, yakni Dia yang menghapus kesalahan hamba-hamba-Nya, serta memaafkan pelanggaran-pelanggaran mereka.
Sifat ini mirip dengan sifat Al-Ghafûr, hanya saja menurut Imam Ghazali, pemaafan Allah lebih tinggi nilainya dari maghfirah. Bukankah kata ‘afwu mengandung makna menghapus, mencabut akar sesuatu, membinasakan dan sebagainya, sedang kata ghafûr terambil dari akar kata yang berarti menutup?
Sesuatu yang ditutup pada hakikatnya tetap wujud hanya tidak terlihat, sedangkan yang dihapus, hilang, kalau pun ada tersisa, paling hanya bekas-bekasnya.
Selain ghafara dan ‘afwu, terdapat kata ash-shafh. Pakar bahasa Al-Qur’an, ar-Raghib al-Asfahani, menulis dalam Mufradât-nya bahwa apa yang dinamai ash-shafh, yang antara lain berarti “lembaran yang terhampar” memberi kesan bahwa yang melakukannya membuka lembaran baru—putih bersih—belum pernah dipakai, apalagi dinodai oleh sesuatu yang dihapus. Dengan demikian, ash-shafh lebih dalam maknanya dibandingkan ghafara dan ‘afwu.
Sedikit menyimpang dari tema pokok, jabat tangan (مُصَافَحَة) yang bentuk dasarnya (ثُلاَثِيْ مُجَرَّدْ) adalah shafaha (صفح) dianjurkan dalam agama. Di sebuah hadits disebutkan:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hasan al-Bashri menuturkan, “Berjabat tangan dapat menambah kasih sayang.”
Penulis pernah ditanya, “Istighfar mempunyai bentuk dasar ghafara. Jika ghafara bermakna menutup, lalu bagaimana cara memohon ash-shafhu kepada Allah, agar catatan amal jelek kita dibuang dan diganti lembaran baru yang putih bersih?”
Di kitab Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn Bab Taubat—Hadits ke-1/13 (Hadits ke-1 Bab Taubat/Hadits ke-13 Kitab Riyadhush Shalihin) diuraikan:
Kalimat “astaghfiru” artinya hamba mencari (memohon) maghfirah, dengan maksud ash-shafhu dari dosa (agar catatan ketidakbaikan dibuang dan diganti lembaran baru yang putih bersih)
Jadi, bila kita ber-istighfar, misalnya dengan kalimat أَسْتَغْفِرُ الله, hal itu berarti kita memohon, “Ya Allah, buanglah catatan amal tidak baik hamba dan gantilah dengan lembaran baru yang putih bersih.”
Ibnul ‘Arabi berpendapat bahwa kalimat اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ juga dipahami dalam arti, “Ya Allah, perbaikilah keadaan hamba.”
Dengan pengertian istighfar ini, para ulama menasihatkan agar kita tidak merasa diri lebih baik dibandingkan orang lain. Bahkan terhadap orang yang berbuat dosa besar pun, kita dilarang. Siapa tahu dia bertaubat dan Allah menerima taubatnya, sehingga kondisinya seperti orang yang tidak pernah punya kesalahan karena telah dibuang catatan kesalahannya serta dibuka lembaran baru (ash-shafhu).
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ، وَإِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا لمَ ْيَضُرُّهُ ذَنْبٌ
“Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya.” (HR Ibnu Majah)
Abu Hamid al-Ghazali memberi saran agar kita senantiasa rendah hati terhadap siapa pun. Jika kita bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah di dalam hati, “Orang ini lebih tua dari saya, pastilah amal ibadahnya lebih banyak dari saya. Allah jelas lebih memuliakan orang tua ini dibandingkan saya.”
Bila kita menjumpai orang yang lebih muda, maka kita dinasihati untuk berkata dalam hati, “Usia orang ini lebih muda dari saya, tentunya kemaksiatan dan dosa yang diperbuat lebih sedikit dari saya. Sungguh, dia lebih terhormat di sisi Allah daripada saya.”
Yang terakhir, tatkala kita melihat anak kecil yang belum baligh, maka berucaplah, “Anak ini belum punya dosa. Dia mendapat jaminan surga. Bagaimana dengan saya?”
Daftar Pustaka:
- Mushthafa Sa‘id al-Khin, Mushthafa al-Bugha, Muhyiddin Mustu, ‘Ali asy-Syarbaji dan Muhammad Amin Luthfi, asy-Syaikh, “Nuzhatul Muttaqîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn”
- M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
- M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Tulisan ini lanjutan dari: Memahami Makna Istighfar (1 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment