Dalam Asmaul Husna, Allah adalah Al-Muqît, Yang Maha Pemelihara dan Maha Kuasa untuk memberi rejeki yang mencukupi seluruh makhluk-Nya. Pada makna sifat Al-Muqît terdapat penekanan dalam sisi jaminan rejeki, banyak atau sedikit. Allah juga Ar-Razzâq (Maha Pemberi Rejeki), yang mengandung maksud bahwa Allah berulang-ulang dan banyak sekali memberi rejeki kepada semua makhluk-Nya.
Allah adalah Ar-Ra’ûf (Yang Maha Pelimpah Kasih). Kata ra’ûf terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ra’—hamzah—fa’, yang maknanya berkisar pada kelemahlembutan dan kasih sayang. Kata ini, menurut pakar bahasa az-Zajjaj sama dengan rahmat, hanya menurutnya, apabila rahmat sedemikian besar, maka ia dinamai ra’fat, dan pelakunya disebut Ra’ûf.
Mufassir al-Biqa‘i ketika menafsirkan ayat “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih (Ra’ûf) lagi Maha Penyayang (Rahîm) kepada manusia” QS al-Baqarah [2] : 143, menjelaskan bahwa ra’fat adalah rahmat yang dianugerahkan kepada yang menghubungkan diri dengan Allah melalui amal shaleh. Menurut pendapat al-Harrali, ra’fat adalah kasih sayang pengasih kepada siapa yang memiliki hubungan dengannya.
Ra’fat menggambarkan sekaligus menekankan melimpah ruahnya anugerah, karena yang ditekankan pada sifat Ar-Ra’ûf adalah Pelaku yang amat kasih, sehingga melimpah ruah kasihnya. Adapun yang ditekankan pada Ar-Rahîm adalah penerima dari besarnya kebutuhan.
Terjalinnya hubungan terhadap yang dikasihi dalam penggunaan kata ra’fat, membedakan kata ini dengan rahmat, karena rahmat digunakan untuk menggambarkan tercurahnya kasih, baik terhadap siapa yang memiliki hubungan dengan pengasih maupun tidak.
Ra’fat selalu melimpah ruah, bahkan melebihi kebutuhan, sedangkan rahmat sesuai dengan kebutuhan. Al-Qurthubi mengemukakan bahwa ra’fat digunakan untuk menggambarkan anugerah yang sepenuhnya menyenangkan, sedangkan rahmat boleh jadi pada awalnya menyakitkan, namun beberapa waktu kemudian akan menyenangkan.
Sambil berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hidup, janganlah kita melupakan sabda Rasulullah saw. :
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْـفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَلاَّ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Lihatlah orang yang lebih rendah (kenikmatannya) darimu dan janganlah melihat kepada yang lebih banyak (kenikmatannya) darimu agar kamu tidak mencela nikmat yang Allah anugerahkan kepadamu. (HR Muslim dan Tirmidzi)
Ibnu Athaillah menasihatkan, “Terkadang Allah memberimu, tapi sebenarnya menahan anugerah untukmu. Adakalanya Allah mencegah pemberian untukmu, meskipun sebenarnya Allah telah memberi anugerah untukmu.”
Kadang-kadang Allah memberi kekayaan kepada manusia beserta kesenangannya, akan tetapi Allah tidak memberi taufik dan hidayah-Nya. Sebaliknya, terkadang Allah tidak memberi anugerah kekayaan dunia, akan tetapi menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Allah menahan rejeki manusia, adakalanya untuk memberi kesempatan baginya mencari taat, dan menghindarkannya dari maksiat; atau memberinya kekayaan, tapi tidak memberinya ketaatan dan keshalehan.
“Allah memberi kamu kelapangan agar kamu tidak selalu dalam kesempitan. Allah memberi kesempitan kepadamu agar kamu tidak hanyut di waktu lapang. Allah melepaskan kamu dari kedua-duanya agar kamu tidak menggantungkan diri kecuali kepada-Nya semata,” pesan Ibnu Athaillah berikutnya.
Di samping terus bekerja keras, bila orang yang beriman masih tetap miskin, maka itu adalah ujian dari Allah. Dr. Raghib as-Sirjani dalam bukunya “Misteri Shalat Subuh (Kayfa Nuhâfizhu ‘alâ Shalâtil Fajri)” berpesan,
“Ujian merupakan sunnah Ilahiah yang berlaku sejak zaman dahulu. Allah menjadikan ujian agar menjadi pembeda antara orang munafik dan orang mukmin. Allah menjadikan ujian agar menjadi standar bagi semua manusia tanpa kecuali, semenjak diciptakan Nabi Adam as. hingga hari Kiamat kelak.
Ujian memiliki ciri-ciri khusus.
Pertama, ujian haruslah sulit. Kalau ujian tidak sulit atau bahkan sangat mudah, maka semuanya akan lulus, baik mukmin maupun munafik. Bila ujian seperti ini, maka pada akhirnya tidak bisa dibedakan antara mukmin dan munafik.
Kedua, ujian tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil. Apabila ujian tersebut mustahil dilakukan, maka kedua-duanya akan gagal, baik mukmin maupun munafik.
Ketiga, ujian ini harus seimbang, artinya sulit bagi munafik untuk lulus dalam ujian itu. Namun bukan berarti pula mustahil dilakukan. Dengannya, terbuka kesempatan bagi mukmin untuk lulus dalam ujian tersebut.”
Itulah ciri-ciri ujian. Lebih lanjut, beliau berkata, “Ujian Allah untuk hamba-Nya tidak sedikit jumlahnya, dan berlaku terus-menerus sejak manusia mendapat beban syariat sampai datangnya kematian. Ujian memiliki variasi tingkat kesulitan. Seorang mukmin harus lulus dalam semua ujian itu untuk membuktikan kebenaran imannya, dan untuk menyelaraskan antara lisan dan hatinya.”
Melalui ikhtiar, kita kembalikan segala sesuatu kepada-Nya. Tidak perlu keluh kesah, tidak perlu hati menjadi keruh karena segala sesuatu telah diatur oleh Allah sendiri serta menempatkan setiap orang pada bagian dan proporsinya masing-masing.
Tanamkan optimisme pada diri kita akan masa depan yang cerah dan fajar kehidupan yang baru, karena Allah tidak memberi ujian dengan maksud menghancurkan kita. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya jatuh kepada kesengsaraan, selama kita masih tetap berada dalam hukum-hukum-Nya. Dengan ujian itu Allah berkehendak memberi cambuk kecil, membangkitkan diri kita dari kelalaian dengan sedikit perasaan menyesal. Allah bermaksud mengajarkan bahwa dengan kelaparan maka kita akan merasakan arti kenyang, dan dengan rasa lelah maka kita akan mengerti arti istirahat. Dengan ujian-ujian itu kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur dan berdzikir.
Daftar Pustaka :
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
- M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (2 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (4 of 8)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment