Modal seorang hamba adalah waktunya. Ia dapat menguntungkan dan membahagiakan, dapat pula merugikan dan menyusahkan. Jika kita menggunakan waktu kepada sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menggunakan waktu untuk memperoleh pahala di akhirat, maka sungguh kita telah menyia-nyiakan modal kita.
Waktu laksana emas, jangan sampai hilang begitu saja. Sang waktu datang dan pergi setiap saat, dan dalam setiap tarikan nafas. Ia berada pada langkah manusia, pada setiap gerakan dan detak-detak nadi. Lenyapnya waktu berarti lenyap pula kesempatan. Tiada terasa saat sang waktu sedang bersama kita, dan tiada terasa pula ketika ia berangsur habis. Jangan sampai waktu yang didapatkan hanyalah ibarat air yang disiramkan ke atas pasir panas. Airnya menguap, sementara pasirnya tidak basah.
Ibnu Athaillah mengatakan, “Apa yang telah hilang dari usiamu tidak dapat diganti lagi. Apa yang telah engkau hasilkan dari usiamu haruslah hal yang tak ternilai harganya.”
Di buku “Membangun Dunia Baru Islam (Syuruth an-Nahdhah)”, Malik bin Nabi menulis, “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa; membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu—selain Tuhan—tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”
Ungkapan yang menunjukkan pentingnya waktu juga dicantumkan dalam sebuah pepatah Arab :
الْوَقْتُ كَالسَّـيْفِ إِنْ لَمْ تَقْطَـعْهُ قَطَعَكَ
“Waktu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya, niscaya ia memotongmu.”
Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu adalah kepastian. Dengan “sedang” atau “yang akan datang”, waktu mengalahkan.
Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika kita memperlakukannya secara lembut, kita akan selamat. Dan jika sebaliknya yang terjadi, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi kita yang patuh pada hukum waktu, maka kita akan selamat. Bagi kita yang menentangnya, maka waktu akan berbalik menjadi bumerang dan melemparkan pemiliknya. Janganlah kita mengisi waktu dengan hal-hal yang tiada guna.
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْـنِيْهِ
Diantara (tanda) baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat. (HR Tirmidzi)
Umar bin Khaththab ra. memberi nasihat, “Jangan lakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu, hindari musuhmu, hati-hati terhadap teman dari suatu golongan kecuali orang yang dipercaya, dan tidak ada yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Jangan berteman dengan orang jahat sehingga engkau belajar dari kejahatannya, jangan engkau beberkan rahasiamu kepadanya, dan bermusyawarahlah dengan orang-orang yang takut kepada Allah dalam segala urusanmu.”
Atha’ bin Abu Rabah berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu tidak menyukai berlebihan dalam berbicara. Adapun yang mereka anggap sebagai kata-kata berlebihan adalah selain Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah, amar ma‘ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), atau ucapan yang mesti dikatakan demi kebutuhan hidup.”
Apakah kita mengingkari adanya dua malaikat penjaga (Raqib dan ‘Atid) di sebelah kanan dan kiri yang menulis apa yang kita ucapkan dan lakukan? Apakah kita tidak malu jika kelak kebanyakan catatan yang ditulis dalam buku amal kita adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan agama dan dunia kita?
مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَـتِيْدٌ
Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS Qâf [50] : 18)
Sebagaimana lazimnya, kejahatan lebih cepat menular dibandingkan kebaikan. Itulah kecenderungan hawa nafsu. Jika teman-teman kita adalah orang-orang yang tidak memuliakan, mula-mula memang kita hanya jadi penonton. Berikutnya kita diajak tapi dalam hal yang ringan, misalnya membelikan minuman keras bila mereka suka mabuk, tapi kita tidak disuruh meminumnya. Selanjutnya kita akan diajak serta untuk mencicipinya. Jika kita menolak, yang dikuatirkan adalah mereka akan mengejek dan mencemooh kita karena tidak mengikuti kemauan mereka. Kita akan dikucilkan, dianggap pengecut, tidak gaul, kuno, katrok, ndeso, udik, sok suci, tidak setia kawan atau hasutan dan ancaman lainnya.
Biasanya, bila seseorang sudah disinggung ketidakmampuannya atau merasa tidak diterima keberadaannya, maka dia akan mengikuti apa pun syarat yang diajukan agar semua hinaan, cemoohan dan tuduhan terhadapnya terhapus. Hal itu terjadi karena timbul kekuatiran menjadi seperti sehelai daun kering yang jatuh dari pohon di seberang jalan, tak ada yang memperhatikan apalagi peduli; atau laksana secuil pecahan kaca di jalanan yang selalu dihindari bahkan disingkirkan orang. Ada ketakutan eksistensi diri dinafikan, seperti kata pepatah,
وُجُوْدُهُ كَعَدَمِهِ
“Keberadaanya sama dengan tidak ada.”
Nasi yang sudah menjadi bubur masih bisa dimakan, asalkan lauknya sesuai. Tetapi, jika kita sudah bergelimang dosa dan terjerumus dalam aktivitas yang tidak memuliakan, sanggupkah kita berjuang dengan semangat membara untuk keluar dari situasi itu? Padahal, ketika perjuangan masih ringan saja kita tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, mencegah harus tetap diutamakan. Mario Teguh menasihatkan bahwa tidak ada seorang kaisar pun yang cukup berkuasa untuk mengubah suatu kejadian atau peristiwa dalam rentang waktu yang disebut “tadi”.
Duhai jiwa!
Ayo bangkit dan siapkan dirimu tuk hari depan
Hindari nafsu yang membuatmu lupa daratan
Ayo bergegas menuju keselamatan
Ayo berjuang, berjuang, dan berjuang
Agar kau selamat dari azab yang membinasakan
Raih kemenangan hakiki di negeri keabadian
Selamatkan dirimu dari api yang menyengsarakan
(nasihat Ibnu Hazm)
Daftar Pustaka :
- Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
- M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment