a. Persaudaraan
Persaudaraan dalam agama yang dimaksud adalah persaudaraan Islam (al-ukhuwwah al-Islâmiyyah), dan ini
bentuk persaudaraan khusus.
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang
mukmin bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS al-Hujurât [49]: 10)
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ
Seorang muslim adalah saudara muslim
lainnya, tidak menzhaliminya, tidak membiarkannya (saat butuh pertolongan) dan
tidak menghinakannya. (HR Ahmad,
Baihaqi dan Muslim)
Adapun persaudaraan umum adalah persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwwah
al-wathaniyyah), yaitu berkumpulnya orang-orang muslim dan non muslim agar dapat hidup
bersama atas prinsip persaudaraan kemanusiaan umum (al-ukhuwwah al-insâniyyah atau
al-ukhuwwah al-basyariyyah). Persaudaraan ini dalam bingkai kasih sayang dan
tolong-menolong di bawah panji norma-norma syariat Islam umum, yang seluruhnya
tunduk terhadapnya dari segi hak dan kewajiban.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. (QS al-Hujurât [49]: 13)
أَنْتُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
Kalian
adalah keturunan Nabi Adam dan Nabi Adam berasal dari tanah. (HR Abu
Daud dan Tirmidzi)
KH.
Achmad Shiddiq rahimahullâh, mantan Rais ‘Am PBNU, menyebut konsep al-ukhuwwah
al-Islâmiyyah, al-ukhuwwah
al-wathaniyyah dan al-ukhuwwah al-basyariyyah dengan istilah
trilogi persaudaraan.
b. Anti Diskriminasi
Syariat Islam tidak mengenal sistem kasta atau strata sosial dalam
kehidupan. Tingkat keutamaan dan kemuliaan ditetapkan berdasarkan keimanan,
ketakwaan serta amal shaleh bagi diri dan masyarakat.
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya
Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta benda kalian, tapi Dia melihat hati
dan amal kalian. (HR Muslim)
Syariat Islam mencegah efek pangkat dan kekuasaan yang mengarah pada
terciptanya pengkotak-kotakan masyarakat dalam berbagai tingkat sosial. Para
pemimpin Islam generasi awal dari masa keemasan Islam dulu melaksanakan roda
pemerintahan atas dasar realisasi prinsip ini dengan penuh amanah dan
keikhlasan.
c. Mendekatkan Si Kaya dan Si
Miskin
Kaya dan miskin adalah fakta empiris kehidupan dalam setiap komunitas.
Perbedaan tingkat ekonomi merupakan keniscayaan. Perbedaan tersebut mencakup
kemampuan intelektualitas, materi, penghasilan, jabatan dan tugas sosial.
Atas dasar tersebut, syariat Islam berusaha mengatasi kemiskinan dengan
mengeliminir faktor-faktor penyebabnya sehingga dapat semaksimal mungkin
mempersempit jurang pemisah antara si kaya dan si miskin melalui berbagai
sarana, di antaranya:
- Syariat menolak tegas dan mengecam orang yang
mampu dan kuat secara fisik namun enggan berusaha. Syariat memberi
penghormatan terhadap hasil kerja keras.
مَا أَكَلَ أَحَدٌ
طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tidaklah seseorang makan makanan
yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam
juga makan dari hasil usahanya sendiri. (HR Baihaqi, Bukhari
dan Thabrani. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Bukhari)
- Pemenuhan nadzar. Misal ada siswa berkata,
“Jika aku diterima di sekolah/perguruan tinggi X, aku akan sedekah kepada 100
fakir-miskin.” Nadzar ini wajib ditepati karena termasuk janji/komitmen
terhadap Allah.
وَلْيُوفُوا
نُذُورَهُمْ
hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (QS
al-Hajj [22]: 29)
مَنْ نَذَرَ أَنْ
يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Siapa bernadzar untuk menaati Allah
maka laksanakanlah. Siapa bernadzar untuk maksiat kepada Allah maka janganlah
dilakukan. (HR Abu Daud, Ahmad, Baihaqi, Bukhari, Darimi, Ibnu
Abi Syaibah, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah, Malik, Nasa’i, Syafi’i,
Thabrani dan Tirmidzi)
- Pelaksanaan kaffârah. Sebagai contoh kaffârah sumpah, yaitu memberi makan 10 orang miskin, atau memberi
pakaian 10 orang miskin, atau membebaskan seorang budak. Kalau tidak mampu
salah satu dari tiga itu maka dengan berpuasa tiga hari berturut-turut.
لَا
يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ
الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ
أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا
أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya). (QS al-Mâidah [5]: 89)
Daftar Pustaka
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,
Prof, “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal
fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ
fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)”, AMZAH,
Cetakan pertama : Februari 2009
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Tulisan ini berlanjut ke : Setia Kawan Janganlah Menabrak Tatanan (3
of 3)
0 comments:
Post a Comment