Menelaah karya sastra yang begitu “memukau”
di atas, mungkin akan muncul komentar-komentar berikut ini:
“Sungguh membosankan!”
“Baru baca tiga alenia (paragraf)
saja, saya sudah mengantuk.”
“Tidak realistis.”
“Karya sastra ngawur! Tak mengikuti
kaidah yang berlaku, tak ada klimaks, anti klimaks dan lainnya.”
“Too good to be true. Lebih
khayal dari dongeng anak-anak. Dongeng anak saja masih ada unsur usaha mengatasi
berbagai rintangan, tapi cerita tersebut tak tampak perjuangan sedikit pun.
Benar-benar cerita di alam mimpi.”
Mari merenung sejenak.
Mengapa tatkala membaca cerpen atau
novel yang pelaku-pelakunya tak ada konflik, tak ada yang menderita sakit, tak
mengalami kesedihan, tak harus bersusah payah meraih kesuksesan dan tak usah
berjuang menggapai harapan, kita malah protes?
Bukankah dalam kenyataan hidup kita
sedih mendapat cobaan?
Bukankah dalam kenyataan hidup kita
ingin jadi orang kaya, bukan orang miskin papa?
Bukankah dalam kenyataan hidup kita
ingin sehat selalu, bahkan flu saja kalau bisa tidak pernah?
Mengapa saat kita sendiri membuat
drama kehidupan dalam bentuk cerita, justru kita yang menginginkan sebagian
pelakunya mendapat ujian dan cobaan?
Mengapa justru kita yang membuat
sebagian pelakunya harus menderita, misalnya sakit parah, kecelakaan atau kehilangan
orang yang dicintai seperti ayah, ibu, anak atau istri?
Mengapa justru kita yang menjadikan
sebagian pelakunya harus berperan sebagai orang melarat?
Mengapa…?! Mengapa…?! Mengapa…?!
Kira-kira, apa jawaban kita
seandainya para pelaku cerita itu protes kepada kita karena peran yang
dimainkan tak mengenakkan? Apa kita akan menjawab sudah demikianlah sewajarnya
yang disebut cerita? Apa kita akan berargumen bahwa kehidupan memang berjalan
seperti itu?
Jika memang demikian adanya, bukankah itu berarti kita tidak perlu protes
kepada Allah bila mengalami kesulitan?
Jika memang demikian adanya, bukankah itu berarti kita tak boleh sedih
berkepanjangan tatkala mendapat cobaan?
Jika memang demikian adanya, bukankah sabar ketika mendapat musibah tidak
perlu lagi dipertanyakan?
Ada ungkapan salah kaprah yang kadang kita ucapkan ketika mendapat rintangan,
baik berupa kesulitan hidup, cemoohan, gangguan orang lain atau lainnya, “Sabar
itu ada batasnya. Sekarang saya sudah tidak bisa lagi bersabar lagi.”
Sebenarnya sabar itu tak terbatas dan tak bertepi, kita sendirilah yang
membatasi. Di kitab “Bahjatul Majâlis
wa-Ansul Majâlis” Imam Ibnu ‘Abdil Barr menulis:
قاَلَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ:
اَلصَّبْرُ
مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ،
وَلاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ
Sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
berkata, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi tubuh. Tidak sempurna
iman seseorang bila tidak punya kesabaran.”
Senada dengan nasihat tersebut, Ibnul Qayyim menuturkan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi
tubuh. Apabila kepala terpotong maka tak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”
Mencari
kata di kamus besar
Supaya
makna menjadi jelas
Pahamilah
hakikat sabar
Ia tak bertepi maupun berbatas
Lantas, bagaimana kiat agar bisa
bersabar? Sekian banyak tips dan trik telah dikemukakan. Salah satunya
sebagaimana nasihat bijak berikut ini,
“Masalah dalam hidup seperti garam.”
“Rasa ‘asin’ (pedih, stres, sakit, penat, pening,
lelah dsb.) yang dialami sangat tergantung dari besarnya kalbu yang menampung. Supaya
tidak terlalu menderita, janganlah jadi segelas air. Segelas air bila diberi
segenggam garam akan terasa sangat asin. Oleh karena itu, jadikan kalbu di dalam
dada sebesar danau. Berlapang dadalah, niscaya memanggul masalah apa pun tidak
akan terasa berat. ”
Inti nasihat tersebut yaitu semua hal tergantung kepada diri kita sendiri,
bukan pada masalah yang terjadi. Masalah sama akan berbeda hasilnya bila
disikapi dengan cara berbeda.
Tentang kesabaran, Al-Qur’an bahkan
dua kali berpesan agar menjadikan kesabaran (dan shalat) sebagai sarana untuk
memperoleh segala yang dikehendaki.
وَاسْتَعِْينُواْ
بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
Dan mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan (melalui) sabar dan (mengerjakan) shalat. (QS al-Baqarah [2] : 45)
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ
اسْتَعِْينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada
Allah) dengan (melalui) sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar. (QS
al-Baqarah [2]: 153)
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa
di ayat-ayat tersebut terlihat yang didahulukan adalah kesabaran, baru shalat.
Hal ini bukan saja karena shalat pun membutuhkan kesabaran, tetapi juga karena
syarat utama tercapainya yang dikehendaki adalah kesabaran dan ketabahan dalam
memperjuangkannya. Kebajikan dan
kedudukan tertinggi diperoleh seseorang karena kesabarannya.
وَجَعَلْنَا
مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا
Dan Kami jadikan di
antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar. (QS as-Sajadah
[32]: 24)
Orang sabar diberi keberkahan,
rahmat dan petunjuk. Ganjaran pahala bagi penyabar juga sangat besar. Sekian
banyak ayat berbicara tentang kemuliaan sifat sabar.
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قَالُوْا
إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ
مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ (157)
(yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji‘ûn (sesungguhnya kami milik Allah
dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali)”.
Mereka itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS al-Baqarah [2]: 156-157)
إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS az-Zumar [39]: 10)
Sabar biasanya pahit di awal, namun manis di akhir. Semoga Allah senantiasa
memberi rahmat dan menolong kita sehingga bisa menjadi penyabar, amin.
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi
Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan
Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit
Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment