Mencari Data di Blog Ini :

Friday, April 13, 2012

Setia Kawan Janganlah Menabrak Tatanan (1 of 3)

Setia dan sigap membela kawan, kolega atau sahabat termasuk sikap dan tindakan terpuji. Namun semua itu harus sesuai koridor. Dalam hal ini norma adat (kemasyarakatan), hukum negara dan agama wajib menjadi pertimbangan utama.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/ permusuhan. (QS al-Mâidah [5]: 2)
Sebenarnya, prinsip di atas sudah kita ketahui dan pahami. Sayang beribu sayang, entah mengapa praktik kehidupan sehari-hari berbeda dari seharusnya. Cukup banyak kasus wujud kesetiakawanan malah menabrak tatanan.
Mungkin kita merasa sudah cukup dengan kondisi yang penting canggih berteori, berpidato, berdalih, berdebat dan berargumen. Tujuan pokok kita agar orang lain tahu kita pandai dan hebat. Titik!
Mungkin kita merasa sudah cukup dengan posisi diri dianggap “pahlawan” oleh sobat kita meski hukum tak merestui tindakan kita. “Saya tidak mau dianggap pecundang,” dalih kita.
Mungkin kita merasa yang penting diterima dalam pergaulan daripada dianggap angin lalu oleh kawan. “Siapa sih yang tak ingin diakui keberadaannya oleh lingkungan pergaulan?” alasan kita.

Jika seperti itu alasan kita, apa kita lupa bahwa orang baik akan diterima oleh siapa pun termasuk oleh orang kurang baik?
Apa kita lupa bahwa seorang pembunuh sekalipun tak ingin menikahkan putrinya dengan pembunuh?
Apa kita lupa bahwa seorang perampok tetap menginginkan orang jujur untuk mengelola keuangannya?
Apa kita lupa bahwa orang terkasar pun tetap senang bila ada orang yang berbicara dengannya penuh sopan-santun?
Hal ini berarti bila kita bergaul dengan sobat yang kurang santun, kita harus tetap sopan, dengan harapan bisa memberi pengaruh positif kepada lingkungan.
Jika kita punya teman pemabuk, janganlah ikut-ikutan, kita harus tetap taat beribadah dan baik kepadanya. Dakwah dengan contoh bisa lebih efektif dibanding kata-kata.
Jika sahabat kita berkelahi dengan orang lain karena kesalahpahaman, kita jangan malah menjadi bensin bagi api yang sedang membara sehingga terjadi tawuran. Kesabaran dan kebijaksanaan harus dimiliki supaya setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan baik. Bukankah hidup terasa nikmat bila rukun?
Tidak ada ruginya menjadi orang baik. Tapi entah mengapa kok sepertinya kita kurang semangat menjadi orang baik.
Mungkin ada yang bertanya, “Apa definisi orang baik atau dalam bahasa agama disebut orang shaleh?”
Penulis tak hendak berbelit-belit atau berputar-putar pada definisi. Bila hendak bicara definisi, bisa dibaca di kamus misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab al-Mu‘jam al-Wasîth, al-Qâmûs al-Muhîth dan Lisânul ‘Arab. Intinya, orang baik itu taat norma kemasyarakatan, hukum negara dan ajaran agama. Sederhana, bukan?
Perlu kita renungkan lagi bahwa hidup ini antara kita dan Allah. Teman, kolega atau sahabat bersifat sementara karena kita bisa berpisah dengannya. Adakalanya perpisahan disebabkan karena pindah sekolah, tempat kerja atau tempat tinggal, adakalanya memang dipisahkan oleh kehidupan, salah satu ada yang berpulang ke hadirat Ilahi.
Dari kenyataan yang ada, ke mana lagi kita akan kembali kalau bukan kepada Allah? Apa kita akan tetap hendak menabrak tatanan dengan dalih setia kawan? Apa kawan kita akan membela kita di Hari Penghitungan nanti? Apa kawan kita juga siap dan sigap menyelamatkan kita bila ternyata kita disiksa dahsyatnya api neraka?


Hati-hati bawa belati
Salah pakai bisa cedera
Kalau memang kawan sejati
Dia kan ajak kita ke surga
Kiranya perlu kita pahami lagi bahwa ajaran agama mendukung penuh persahabatan, baik sesama muslim maupun non muslim, tapi harus tetap dalam batas tatanan. Sebagai bahan kajian yang sedikit lebih mendalam, mari kita pelajari prinsip-prinsip terpenting yang mengatur masyarakat dalam bingkai kaidah syara’.
Uraian berikut ini penulis rangkum dari buku “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)” karya Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washil dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam. Penulis juga menambah keterangan seperlunya.
Ada sejumlah prinsip yang dijaga dan diperhatikan Pembuat hukum syara’ (Al-Musyarri‘) ketika membangun norma-norma penetapan hukum Islam, karena prinsip-prinsip inilah yang menimbulkan efek langsung bagi tiap individu dari segi kepuasan, implementasi dan kemudahan penerapan nash-nash ketentutan hukum.
Prinsip-prinsip tersebut adalah persaudaraan, anti diskriminasi, mendekatkan si kaya dan si miskin, solidaritas sosial, solidaritas dalam tanggung jawab dan pemanfaatan kekayaan untuk kesejahteraan sosial.

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof, “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)”, AMZAH, Cetakan pertama : Februari 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

0 comments:

Post a Comment