Setia dan sigap membela kawan,
kolega atau sahabat termasuk sikap dan tindakan terpuji. Namun semua itu harus
sesuai koridor. Dalam hal ini norma adat (kemasyarakatan), hukum negara dan
agama wajib menjadi pertimbangan utama.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran/ permusuhan. (QS al-Mâidah [5]: 2)
Sebenarnya, prinsip di atas
sudah kita ketahui dan pahami. Sayang beribu sayang, entah mengapa praktik
kehidupan sehari-hari berbeda dari seharusnya. Cukup banyak kasus wujud
kesetiakawanan malah menabrak tatanan.
Mungkin kita merasa sudah cukup
dengan kondisi yang penting canggih berteori, berpidato, berdalih, berdebat dan
berargumen. Tujuan pokok kita agar orang lain tahu kita pandai dan hebat.
Titik!
Mungkin kita merasa sudah cukup
dengan posisi diri dianggap “pahlawan” oleh sobat kita meski hukum tak merestui
tindakan kita. “Saya tidak mau dianggap pecundang,” dalih kita.
Mungkin kita merasa yang
penting diterima dalam pergaulan daripada dianggap angin lalu oleh kawan.
“Siapa sih yang tak ingin diakui keberadaannya oleh lingkungan pergaulan?”
alasan kita.
Jika seperti itu alasan
kita, apa kita lupa bahwa orang baik akan diterima oleh siapa pun termasuk oleh
orang kurang baik?
Apa kita lupa bahwa seorang
pembunuh sekalipun tak ingin menikahkan putrinya dengan pembunuh?
Apa kita lupa bahwa seorang
perampok tetap menginginkan orang jujur untuk mengelola keuangannya?
Apa kita lupa bahwa orang
terkasar pun tetap senang bila ada orang yang berbicara dengannya penuh
sopan-santun?
Hal ini berarti bila kita
bergaul dengan sobat yang kurang santun, kita harus tetap sopan, dengan harapan
bisa memberi pengaruh positif kepada lingkungan.
Jika kita punya teman
pemabuk, janganlah ikut-ikutan, kita harus tetap taat beribadah dan baik
kepadanya. Dakwah dengan contoh bisa lebih efektif dibanding kata-kata.
Jika sahabat kita berkelahi
dengan orang lain karena kesalahpahaman, kita jangan malah menjadi bensin bagi
api yang sedang membara sehingga terjadi tawuran. Kesabaran dan kebijaksanaan
harus dimiliki supaya setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan baik.
Bukankah hidup terasa nikmat bila rukun?
Tidak ada ruginya menjadi
orang baik. Tapi entah mengapa kok sepertinya kita kurang semangat menjadi
orang baik.
Mungkin ada yang bertanya, “Apa
definisi orang baik atau dalam bahasa agama disebut orang shaleh?”
Penulis tak hendak berbelit-belit atau berputar-putar pada definisi.
Bila hendak bicara definisi, bisa dibaca di kamus misalnya Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kamus bahasa Arab al-Mu‘jam
al-Wasîth, al-Qâmûs al-Muhîth
dan
Lisânul ‘Arab. Intinya, orang baik itu taat norma kemasyarakatan,
hukum negara dan ajaran agama. Sederhana, bukan?
Perlu kita renungkan lagi bahwa hidup ini antara kita dan Allah. Teman,
kolega atau sahabat bersifat sementara karena kita bisa berpisah dengannya. Adakalanya
perpisahan disebabkan karena pindah sekolah, tempat kerja atau tempat tinggal,
adakalanya memang dipisahkan oleh kehidupan, salah satu ada yang berpulang ke
hadirat Ilahi.
Dari kenyataan yang ada, ke
mana lagi kita akan kembali kalau bukan kepada Allah? Apa kita akan tetap
hendak menabrak tatanan dengan dalih setia kawan? Apa kawan kita akan membela
kita di Hari Penghitungan nanti? Apa kawan kita juga siap dan sigap menyelamatkan
kita bila ternyata kita disiksa dahsyatnya api neraka?
Hati-hati bawa belati
Salah pakai bisa cedera
Kalau memang kawan sejati
Dia kan ajak kita ke surga
Kiranya perlu kita pahami
lagi bahwa ajaran agama mendukung penuh persahabatan, baik sesama muslim maupun
non muslim, tapi harus tetap dalam batas tatanan. Sebagai bahan kajian yang
sedikit lebih mendalam, mari kita pelajari prinsip-prinsip terpenting yang
mengatur masyarakat dalam bingkai kaidah syara’.
Uraian berikut ini penulis rangkum
dari buku “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ fil Ahkâmi
asy-Syar‘iyyah)” karya Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washil dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam. Penulis juga menambah keterangan seperlunya.
Ada sejumlah prinsip yang
dijaga dan diperhatikan Pembuat hukum syara’ (Al-Musyarri‘)
ketika membangun norma-norma penetapan hukum Islam, karena prinsip-prinsip
inilah yang menimbulkan efek langsung bagi tiap individu dari segi kepuasan,
implementasi dan kemudahan penerapan nash-nash ketentutan hukum.
Prinsip-prinsip
tersebut adalah persaudaraan, anti diskriminasi, mendekatkan si kaya dan si
miskin, solidaritas sosial, solidaritas dalam tanggung jawab dan pemanfaatan
kekayaan untuk kesejahteraan sosial.
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,
Prof, “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal
fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ
fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)”, AMZAH,
Cetakan pertama : Februari 2009
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Tulisan ini berlanjut ke : Setia Kawan Janganlah Menabrak Tatanan (2
of 3)
0 comments:
Post a Comment