d. Solidaritas Sosial
Solidaritas sosial yang ditetapkan syariat Islam berupaya membentuk
tatanan sosial sehingga terdapat saling ketergantungan setiap individu di
dalamnya terhadap ketetapan prinsip ini.
Wajib kifâyah adalah bentuk
kewajiban sosial yang dibebankan kepada masyarakat, di mana bila dipenuhi oleh
sebagian saja, maka gugur kewajiban. Orang yang tidak ikut memenuhi kewajiban
ini tidak dikenakan sangsi. Namun, bila tidak ada satu pun yang
melaksanakannya, maka setiap individu berdosa. Contoh yang paling masyhur
adalah shalat jenazah. Contoh lain yaitu harus ada orang yang mengerti
pengobatan karena masyarakat membutuhkan hal ini.
Pada
kehidupan bermasyarakat, syariat menetapkan kewajiban yang bermaslahat untuk
kehidupan bertetangga. Tidak satu pun ayat yang menyebut tentang perbuatan baik
terhadap orang-orang terdekat kecuali disertai pula ketetapan untuk bersikap
baik terhadap tetangga. Syariat juga memerintahkan kita memuliakan tamu.
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ
ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ
وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. (QS an-Nisâ’ [4]: 36)
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Siapa beriman kepada Allah dan hari
kemudian, maka hendaklan ia menghormati tamunya. (Muttafaq ‘alayh)
Prof. Dr. Nashr Farid
Muhammad Washil dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam memasukkan kewajiban
zakat dalam bahasan “Solidaritas
Sosial”, meski penulis lebih
cenderung memasukkannya bersama infak dan sedekah ke bahasan “Mendekatkan Si Kaya dan Si Miskin”. Wallâhu a‘lam.
Dalam ruang lingkup umat
secara keseluruhan, Asy-Syâri‘
(Allah SWT) telah mewajibkan zakat dengan syarat-syarat tertentu untuk
kemaslahatan fakir-miskin yang membutuhkan.
Definisi fakir adalah orang
yang penghasilannya kurang dari separuh kebutuhan, misalnya dia butuh 10 tapi
punya 3. Adapun miskin adalah orang yang penghasilannya lebih dari separuh kebutuhan
tapi masih kurang, misalnya dia butuh 10 tapi punya 7.
e. Solidaritas dalam Tanggung
Jawab
Rasa tanggung jawab ini direalisasikan dalam bentuk kewajiban-kewajiban
atas individu masyarakat berupa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Âli ‘Imrân [3]: 104)
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ
عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang
yang bodoh. (QS al-A‘râf [7]: 199)
Apa yang dimaksud ma’ruf?
Di buku “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat” Prof. M.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ‘urf dan ma‘rûf pada
ayat-ayat tersebut mengacu
kepada kebiasaan dan adat
istiadat yang tidak bertentangan
dengan al-khayr, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam.
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat
beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat.
Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan
masyarakat lain. Apabila rincian maupun
penjabaran itu tidak
bertentangan dengan prinsip
ajaran agama, maka itulah yang dinamai ‘urf/ma’ruf.
f. Pemanfaatan Kekayaan untuk
Kesejahteraan Sosial
Syariat Islam
mewajibkan pemilik kekayaan agar selalu memanfaatkan hartanya untuk hal-hal
yang mendatangkan kebaikan bagi diri dan masyarakat. Asy-Syâri‘ juga memberi peringatan keras atas berbagai
tindakan atau praktikyang mengancam keutuhan prinsip ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا
مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ
يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ
وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
(35)
Hai orang-orang beriman,
sesungguhnya sebahagian besar orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
pada hari dipanaskan
emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka,
lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat
dari) apa yang kamu simpan itu.”
(QS
at-Taubah [9]: 34-35)
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i
atas Pelbagai Persoalan Umat”,
Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,
Prof, “Qawa’id Fiqhiyyah (Al-Madkhal
fil Qâwa‘idil Fiqhiyyah wa-Atsaruhâ
fil Ahkâmi asy-Syar‘iyyah)”, AMZAH,
Cetakan pertama : Februari 2009
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment