b. Manusia Berdasarkan Sifat Marah
Berdasarkan kemarahan yang ada,
manusia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
- Tafrîth
Bila kita termasuk kelompok ini, maka kita tidak memiliki kemampuan dan
kekuatan untuk marah. Ini termasuk hal tercela. Kita termasuk orang yang tidak
dapat melindungi diri sendiri. Imam Syafi’i ra. berkata, “Barangsiapa yang
mengharuskan ia marah (seperti melihat kezhaliman) tapi ia tidak marah, maka ia
keledai. Barangsiapa yang telah kehilangan kemampuan untuk marah dan melindungi
dirinya, maka ia adalah orang yang memiliki banyak kekurangan.”
- Ifrâth
Jika kita berada di kelompok ini, kita marah berlebihan sehingga
melakukan perbuatan yang keluar dari akal sehat, bertentangan dengan syariat
dan ketaatan kepada Allah. Pada saat itu kita tidak dapat berpikir jernih dan
mengendalikan diri. Diri kita dikuasai kemarahan.
Kemarahan seperti ini disebabkan dua perkara, yaitu:
· Tabiat (gharîzah)
Kebiasaan membiarkan gejolak emosi dalam hati
tanpa ada upaya untuk meredam menjadikan kita memiliki tabiat pemarah. Karena
marah berasal dari api (panas), maka untuk melawannya adalah dengan kesejukan.
إِنَّ
الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ
الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ، وَإِنَّمَا
تُطْـفَأُ النَّارُ باِلْمَاءِ، فَإِذَا غَضَبَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya marah itu berasal dari setan, sedangkan setan diciptakan
dari api, dan api dipadamkan dengan air. Karena itu, apabila seseorang di
antara kalian marah, hendaklah ia berwudhu. (HR Abu Daud)
· Pergaulan (i‘tiyâdiyyah)
Penyebab kedua karena kita bergaul dengan
kelompok yang mudah melampiaskan amarah dan membiarkan hawa nafsu. Kita mengira
dengan begitu kita akan disebut pemberani dan kesatria.
Akibat pergaulan ini kita akan berkata, “Saya
adalah orang yang tidak bisa sabar apabila ada orang menyinggung saya. Saya
tidak dapat menahan amarah ini untuk keluar dari diri saya.”
Perkataan seperti ini sebenarnya berarti, “Saya
tidak mempunyai akal sehat dan sifat lemah lembut.” Tapi dengan kebodohan diri,
kita mengumbar emosi di depan orang.
Ketika amarah menguasai diri, kita tak dapat
berpikir jernih karena telah ditutupi kegelapan emosi. Kita juga tidak dapat
meredakan emosi karena diri kita telah dikuasainya. Kita membiarkan diri
melampiaskan emosi kepada apa/siapa yang dapat dilampiaskan, hingga tenaga
habis barulah kita tenang.
Keadaan seperti ini lebih berbahaya daripada
seseorang yang naik perahu di saat ombak besar. Pada saat itu masih ada orang
yang berusaha mengendalikan perahu hingga kembali tenang atau tidak termakan
ombak. Sedangkan bila amarah sudah menguasai hati, maka siapa yang dapat
mengendalikan hati, karena hati ibarat nahkoda perahu yang dapat melakukan apa
saja.
- I‘tidâl
Kemarahan yang terpuji adalah kemarahan yang
berkaitan dengan menegakkan ajaran agama. Kemarahan muncul ketika diperlukan
dan padam ketika harus mengambil sifat kasih sayang (hilmi). Kita harus selalu
berada dalam rel syariat (istiqâmah) yaitu
mengambil pertengahannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
خَيْرُ الأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
Sebaik-baik
perkara adalah pertengahannya. (HR Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
Kita tidak menghilangkan sifat marah dari dalam hati sehingga terperosok
dalam keadaan lemah dan hina. Kita juga tidak mengumbar amarah yang menyebabkan
melakukan perbuatan melanggar syariat dan bertentangan dengan akal sehat.
Kita memohon kepada Allah semoga
diberikan petunjuk yang Dia ridhai. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas apa yang
dikehendaki-Nya, amin.
c. Keutamaan Menahan Marah
Untuk lebih memantapkan hati, mari kita pelajari dan dalami lagi keutamaan
menahan amarah.
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ
مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رِضًى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa
dapat menahan amarah pada saat ia mampu melakukan pembalasan dan
melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari Kiamat.
(HR Ibnu Abi Dunya)
مَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ
مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa dapat menahan amarah pada saat ia mampu melakukan pembalasan
dan melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan pengharapan
(ampunan dan balasan baik) pada hari Kiamat. (HR Thabrani)
Siapakah yang tak ingin selamat di hari Kiamat nanti? Siapa yang tak
ingin ridha Allah di hari dimana tiada guna mobil mewah, tanah di mana-mana,
rumah di setiap sudut kota maupun uang melimpah ruah?
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak
berguna. (QS asy-Syu‘arâ’ [26]: 88)
Sahabat Umar bin Khaththab ra.
berkata, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, ia tidak akan melampiaskan
amarahnya. Barangsiapa takut kepada Allah, ia tidak akan melakukan semaunya
(mengikuti hawa nafsu). Kalau bukan karena adanya hari Kiamat (pembalasan),
maka akan terjadi sesuatu yang tidak kalian lihat (peperangan, pertengkaran dan
pembalasan dendam).”
Sufyan ats-Tsauri bercerita, “Suatu hari Abu Khuzaimah al-Yarbu’i
bertemu dengan Fudhail bin Iyadh untuk membahas masalah zuhud. Mereka sepakat
bahwa perbuatan paling baik adalah bermurah hati (al-hilmu)
ketika sedang marah dan sabar (tenang) ketika dalam keresahan.”
Mari bersama-sama meraih
pahala besar dari Allah dengan menahan marah (yang batil). Semoga Allah
mengelompokkan kita ke dalam hamba-hamba yang diridhai-Nya, amin.
مَا مِنْ جُرْعَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا عِنْدَ اللهِ مِنْ جُرْعَةِ
غَيْظٍ كَظَمَهَا عَبْدٌ اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ
Tidak ada
tegukan yang lebih besar pahalanya daripada orang yang meneguk kemarahan demi
mengharap ridha Allah. (HR Ibnu Majah)
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan
IV : November 2006
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment