Katanya sih, masa muda memang mudah naik darah.
Katanya
sih, masa muda mudah melampiaskan amarah.
Katanya
sih, masa muda sah-sah saja melancarkan bogem mentah.
Katanya
sih, masa muda wajar-wajar saja meluncurkan tendangan ke arah muka.
Katanya
sih, masa muda dimaklumi sebagai masa kesetiakawanan dalam perkelahian antar
sekolah.
Katanya
sih, masa muda adalah masa mencari jati diri, sehingga semua orang diwajibkan
memaklumi, mengerti dan memahaminya. Adapun yang sedang menjalani masa muda
boleh-boleh saja tak memahami orang lain. “Toh masih muda, Wajar dong!” Itu
alasannya.
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ
إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah
orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang
dapat menguasai dirinya ketika marah. (Muttafaq ‘alayh: Bukhari-Muslim)
Penulis
yakin kita telah sering mendengar hadits di atas. Sabda Rasul saw tersebut
ditujukan untuk kita semua, bukan hanya para pelajar atau pemuda. Kehebatan,
kekuatan dan keperkasaan bukanlah diukur dari berapa banyak perkelahian fisik
yang dimenangkan, tapi dari penguasaan diri atas amarah yang sedang menyala.
Namun,
entah mengapa, nasihat Rasulullah saw itu tak kita indahkan, seolah tak pernah
kita ketahui bahwa ada nasihat seperti itu.
Kita
masih sering marah-marah karena alasan yang tidak prinsip, bahkan cenderung
sepele dan remeh-temeh.
Kita
masih mudah tersinggung hanya karena guyonan, gojlokan, ejekan atau dipanas-panasi
sedikit.
Kita
masih sering menganggap simbol keberanian adalah dengan pertarungan fisik.
Mungkin karena asumsi inilah sering terjadi perkelahian, baik satu lawan satu,
banyak lawan satu atau banyak lawan banyak (tawuran).
Kita
masih memiliki rasa bangga bila bisa mengalahkan lawan, menonjok hidung,
menendang perut, memukul muka atau menginjak-injak orang lain. Na‘ûdzubillâh.
Apa kita tidak tahu bahwa yang kita sakiti itu orang hidup, bukan
boneka kayu? Apa kita mengira sedang bermain Play Station atau game persilatan?
Tak
mau kalah dengan pelajar, mahasiswa dan yang sudah berkeluarga pun ada yang terlibat
perkelahian. Lantas, kesalahan siapakah ini? Tak perlu kita menuding
orang/pihak lain. Mari kita introspeksi dan perbaiki diri sendiri terlebih
dahulu.
Bila
kita termasuk yang terlibat perkelahian/tawuran, mari kita tanyakan diri
sendiri, “Buat apakah saya berkelahi? Apa manfaat dunia-akhirat yang saya
dapat?”
Jika
kita guru, dosen atau praktisi pendidikan, mari kita perbaiki lagi cara
mengajar dan mendidik. Mungkin selama ini terlalu banyak teori yang kita
sampaikan tapi kurang penanaman nilai-nilai luhur. Mungkin pula ajaran kebaikan
hanya sebatas transfer ilmu tanpa implementasi nyata.
Kalau
kita orang tua, mari kita perhatikan lagi peran kita dalam pendidikan keluarga.
Apakah kita sepenuhnya hanya menyerahkan pendidikan anak ke guru sekolah, guru
les dan pelatih ekstrakulikuler, sementara kita sibuk sendiri dengan urusan
menambah pundi-pundi uang? Ataukah kita juga tetap memegang kendali pendidikan
anak dengan prinsip tanggung jawab anak sepenuhnya di tangan orang tua, karena
anak adalah amanah Allah?
Jikalau
kita tokoh masyarakat, tokoh agama atau pejabat pemerintahan, mari kita cari
solusi bersama agar tak terulang lagi.
Pergi
ke pasar membeli kain
Kain
batik kebanggaan bangsa
Daripada
menyalahkan orang lain
Menilik diri itu yang utama
Di
tulisan ini, dibahas jika kita adalah pihak yang terlibat perkelahian atau
tawuran. Mari kita telaah lagi, apakah tindakan kita bisa dibenarkan, baik dari
sudut pandang norma masyarakat, norma hukum apalagi norma agama?
Ibnul
Mubarak mengatakan, “Seorang mukmin menuntut adanya saling pengertian,
sedangkan orang munafik menghendaki seseorang untuk terjerumus dalam
kesesatan.”
Al-Fudhail
bin Iyadh berkata, “Memaafkan kesalahan saudara menunjukkan keluhuran budi
seseorang.”
a. Kekuatan adalah Anugerah
Allah
Perlu
kita renungkan lagi bahwa kekuatan yang kita miliki adalah anugerah Allah SWT. Kekuatan
bukan untuk menganiaya orang lain. Di buku “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa Allah Al-Qawiyy adalah Dia yang sempurna
kekuatan-Nya. Dalam genggaman kekuasaan-Nya segala kekuatan. Dia pula yang
menganugerahkan kekuatan kepada makhluk-makhluk-Nya dalam tingkat berbeda-beda.
Kekuatan yang kita miliki tidaklah langgeng.
Adakalanya juga melemah dan pada kesempatan lain kuat kembali, kemudian lemah
lagi.
اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ
جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Allah, Dialah yang
menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan
Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.
(QS ar-Rûm [30]: 54)
Ada
baiknya kita camkan bagaimana Al-Qur’an menyifati makhluk yang terpuji,
manusia, jin dan malaikat ketika memiliki kekuatan. Berikut ini contoh ayat
yang menggunakan kata qawiyy yang menyifati makhluk:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari
kedua wanita itu berkata, “Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26)
قَالَ عِفْرِيتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ
بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
Berkata 'Ifrit
(yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya
aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". (QS an-Naml [27]: 39)
Kekuatan
makhluk baru terpuji bila disertai oleh sifat amanah (terpercaya). Tanpa sifat
ini, kekuatan dan kekuasaan daat digunakan untuk menganiaya dan menindas orang
lain. Kita harus menyadari bahwa sumber kekuatan adalah Allah. Kekuatan yang
menyertai kita hanya sekelumit anugerah Allah.
Seorang
arif memberi nasihat, “Jika kekuatan Anda mengundang Anda menganiaya orang
lain, maka ingatlah Allah yang menganugerahkannya kepada Anda. Ingat pula
kekuatan Allah terhadap diri Anda.”
Mari
kita resapi juga nasihat yang disampaikan oleh seorang motivator dan inspirator, Mario
Teguh, “Betapapun Anda menyukai permainan, janganlah bermain-main dengan hidup
Anda.”
“Ingatlah
bahwa Anda hanya sepenting yang Anda kerjakan.”
“Bila
Anda ingin mengenal apa yang Anda lakukan di masa lalu, kenalilah keadaan Anda
sekarang. Bila Anda ingin mengetahui masa depan Anda, perhatikanlah yang sedang
Anda kerjakan sekarang.”
“Orang-orang
yang bersifat beruntung adalah orang-orang yang ikhlas memperbaiki kemampuan,
sikap dan cara-cara mereka dari waktu ke waktu. Tetapi sebagaian besar orang
adalah makhluk kebiasaan yang tidak memperbaiki cara-cara mereka dalam
menggunakan waktu. Itu sebabnya sebagian besar dari kita adala orang-orang yang
sedang merugi.” Demikian nasihatnya. Hal ini selaras dengan firman Allah:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ
خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Demi masa.
Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati
kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
(QS al-‘Ashr [103]:
1-3)
Prof.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa di ayat kedua digunakan lafazh فِيْ
(di dalam). Sebagaimana kalimat, “Baju itu di dalam almari,” berarti
keseluruhan bagian baju ditutupi oleh almari. Maka, diri kita berada di dalam
“almari” kerugian.
Bagaimana
supaya tidak berada di dalam “almari” kerugian? Ayat selanjutnya menjelaskan
dengan sangat gamblang. Di ayat terakhir dijelaskan tentang kesabaran. Nah,
bukankah kita iman kepada Al-Qur’an? Lalu, mengapa tak kita laksanakan?
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi
Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Mario Teguh,
“One Million 2nd Chances [Personal Excellence Series]”, Penerbit
Progressio, November 2006
M. Quraish Shihab, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ
dalam Perspektif Al-Qur’an”,
Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Web
site:
I think your blog is good and very useful for readers
ReplyDeletehttp://www.sanadomino.com/