Mencari Data di Blog Ini :

Friday, March 23, 2012

Setiap Kita Penyabar (Ketika Belum Ada Masalah) (1 of 3)

Ketika musim hujan, di suatu Senin sore mendung tebal memayungi sebagian wilayah Surabaya. Sunnatullah pun berlaku, hujan akhirnya turun begitu lebat, bak ribuan anak kecil berkejar-kejaran dengan riangnya. Alhamdulillâh, saat pulang kerja curah hujan berkurang, hanya rintik-rintik sehingga hawa sejuk menyelimuti tubuh. Demi melindungi pakaian, penulis berkendara menggunakan jas hujan model lowo yang terbuka di kedua sisinya.
Ketika penulis melewati area Rungkut Industri, air menggenang di tepi sungai yang memisahkan jalur ke arah Rungkut Kidul dan Kutisari. Melihat air tergenang cukup banyak, penulis naik motor perlahan-lahan serta senantiasa berada di sisi kiri menuju Rungkut Kidul.
Tak disangka, sebuah taxi melaju cukup kencang. Byor..., sekawanan air merangkul penulis tanpa permisi. Pakaian basah di sisi kanan. “Yok opo, rek… Pelan-pelan po’o…,” gumam penulis perlahan. Bibir tersenyum kecut dibuatnya, tapi bagaimana pun semua t'lah terjadi. Ternyata, bersabar membutuhkan latihan secara konsisten dan persisten.

*******#######*******

Dalam keseharian, biasanya tutur kata kita mencerminkan bahwa kita seorang penyabar, apalagi ditunjang “keahlian” kita menasihati orang lain. Sayang beribu sayang, sifat dan sikap tersebut kita miliki hanya ketika kita sendiri belum mengalami masalah.
Bagaimana diri kita sebenarnya tercermin tatkala bertemu masalah. Saat muncul masalah, maka masalah itulah yang akan memisahkan dan menggolongkan tingkatan kita—apakah kita berada di level TK, SD, SMP, SMA atau yang lain.
Manusia secara alami memang mempunyai kemampuan bersabar. Hal ini telah diakui oleh para pakar ilmu jiwa. Freud berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan memikul sesuatu yang tidak disenangi.
Lalu, bilamana kita bisa disebut penyabar? Penilaian sabar atau tidak dilakukan saat kita pertama kali menerima masalah. Jadi ketika ada masalah, reaksi pertama kitalah sebagai penentu sabar/tidaknya kita.
إنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُوْلىَ
Sesungguhnya sabaryang sangat terpujiitu pada pukulan pertama (di kala mendadaknya kedatangan musibah). (Muttafaq ‘alayh)
Bila setelah beberapa lama kemudian baru kita berkata, “Aku sekarang sudah bersabar tertimpa musibah”, maka kita belum bisa disebut seorang penyabar. Namun demikian, untuk pembelajaran, hal ini tetaplah baik. Intinya semakin cepat kita menguasai diri semakin baik. Seterusnya kita berlatih agar bisa bersabar pada saat pertama kali mengalami peristiwa apa pun.
Lawan sifat sabar adalah keluh kesah (jaza‘) yang merupakan perbuatan tercela dan kufur yang akan membawa kepada kehancuran. Tidak ada pilihan bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupan ini kecuali harus bersabar. Hal yang tidak terpisahkan dari sifat sabar adalah berserah diri (taslîm) dan ridha kepada takdir Allah.
Telah sering dijelaskan pula oleh para ulama bahwa kesabaran itu dalam tiga kondisi, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah (shabrun ‘alâ ath-thâ‘ah), sabar dalam meninggalkan maksiat (shabrun ‘an al-ma‘shiyah) dan sabar ketika mendapat cobaan (shabrun ‘alâ al-balâ’).
Semua itu (ketaatan, kemaksiatan dan cobaan) merupakan gambaran sebuah kehidupan. Oleh karenanya, sabar adalah separuh keimanan karena setiap cabang iman memerlukan sifat sabar.

a. Sabar dalam Ketaatan

Mari kita lihat apakah kita sabar dalam ketaatan. Asumsikan saja bahwa kita senantiasa shalat Dhuha dan membaca Al-Qur’an dalam keseharian. Suatu ketika perusahaan tempat kita bekerja mengadakan rekreasi ke luar kota untuk seluruh karyawan dan keluarga. Berangkat rekreasi hari Jum’at malam dan pulang Minggu malam.
Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri yaitu, “Apakah kita tetap shalat Dhuha dan membaca Al-Qur’an di hotel/penginapan?” Ataukah kita akan berkata, “Sekali-sekali ngga apa-apalah ngga shalat Dhuha dan baca Al-Qur’an. Toh cuma dua hari saja.” Nah, manakah yang kita pilih?
Kemungkinan besar kita akan enggan melaksanakannya karena keadaan yang menurut kita kurang memungkinkan. Argumentasi kita karena acara yang disusun panitia cukup padat dan menarik, selain itu disertai door prize sehingga kita merasa rugi besar bila melewatkan setiap event.
Mari merenung sejenak. Untuk contoh sederhana begitu saja, kita sudah dikalahkan oleh situasi dan kondisi. Entah apa yang kita lakukan bila yang kita alami lebih rumit. Entah apa pula yang akan kita lakukan bila kita sedang berada di puncak bukit kesedihan atau di dasar lembah kegalauan. Mungkin saja kita akan meninggalkan semua ibadah sunnah dan hanya mengerjakan yang fardhu, itu pun demi menggugurkan kewajiban sajalamcing (habis salam, langsung plencing). Semoga Allah senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita agar bisa sabar dan istiqamah dalam beribadah, amin.
Tentang kesabaran dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, di buku “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin” Syaikh Sa‘id Hawwa menjelaskan diperlukan tiga hal berikut ini:
  • Sebelum melaksanakan ketaatan
Kita harus meluruskan niat, ikhlas dan menghindari hal-hal berbau riya’. Ini merupakan kesabaran yang berat bagi yang mengerti hakikat niat dan ikhlas serta bahaya riya’.
  • Ketika melakukan ketaatan
Kita tidak boleh lalai kepada Allah di tengah ibadah yang dilakukan dan tidak boleh malas-malasan menyempurnakan adab dan sunnah ibadah serta menjaganya hingga selesai. Dengan kata lain kita harus sabar mendapatkan kesempurnaan dalam beribadah.
  • Setelah mengerjakan ketaatan
Kita harus tetap sabar menghindari timbulnya riya’ dan sum’ah (ingin dipuji) setelah mengerjakan ibadah. ’Ujub (bangga terhadap diri sendiri karena telah beribadah) juga harus dihindari karena dapat menggugurkan pahala ibadah. Dalam bersedekah misalnya, tidak boleh disebut-sebut atau diungkit-ungkit (manna), juga dilarang menyakiti perasaan penerima dengan perkataan (adza).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Baqarah [2]: 264)

 Daftar Pustaka

Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
M. Quraish Shihab,Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

1 comment:

  1. hmhmhmmm... mentertawakan diri sendiri. Utk muhasabah. Trimakasih..

    ReplyDelete