Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa yang tidak mengetahui begitu berharganya nikmat ketika kenikmatan itu besertanya, maka ia akan menyadari betapa berartinya nikmat itu setelah pergi meninggalkannya.”
As-Saqaty menerangkan, “Siapa yang tidak dapat menghargai nikmat, maka akan dicabutlah nikmat itu oleh Allah dalam keadaan tidak diketahuinya.”
Al-Fudhail mengingatkan, “Tetaplah kamu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Sebab, apabila nikmat itu telah hilang, tidak mungkin ia kembali. Sesungguhnya hanya orang-orang yang haus akan nikmat Allah sajalah yang lebih mengetahui akan nikmat yang ada di tangannya.” Seperti dikisahkan, hanya orang haus sajalah yang memahami nikmat air, hanya orang lapar sajalah yang mengetahui nikmat makan, serta hanya orang sakit yang memahami nikmat sehat.
Menurut asy-Syibli, yang dimaksud syukur adalah memperhatikan Dzat Yang memberi kenikmatan, bukan pada kenikmatan-Nya. Misalnya kita diberi hadiah oleh Presiden, ternyata kita malah sibuk dengan hadiahnya dan tidak memedulikan Presiden, sang pemberi hadiah. Bukankah hal itu sungguh aneh?
Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur terdiri atas ilmu, hâl (kondisi spiritual) dan amal perbuatan.
- Ilmu
Mengetahui tiga hal, yaitu nikmat itu sendiri, segi keberadaannya sebagai nikmat baginya dan Dzat yang memberikan nikmat serta sifat-sifat-Nya. Maka, syukur dapat terlaksana apabila menyadari adanya nikmat, Pemberi nikmat dan penerima nikmat. - Hâl (kondisi spiritual)
Kegembiraan kepada Pemberi nikmat (Allah) yang disertai kepatuhan dan tawadhu‘. - Amal perbuatan
Ungkapan kegembiraan atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah, Sang Pemberi Nikmat, kepadanya. Amal perbuatan ini mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota badan
Ibnu Athaillah menerangkan, “Kapan saja kalian diberi (kenikmatan), kalian bergembira dengan pemberian itu. Ketika kalian mendapat penolakan, kalian merasa sedih karena ditolak. Ketahuilah, sifat seperti itu menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang masih melekat padamu, dan tidak sungguh-sungguh engkau menghambakan diri kepada Allah.”
Sifat kekanak-kanakan adalah sifat tidak bersyukur dan merasa tidak pernah menerima, walaupun kita sudah banyak mendapat kenikmatan dari Allah. Tanpa diminta pun, Allah sudah menyediakan oksigen gratis untuk kita hirup, sinar matahari yang tanpa bayar, hidung bisa mencium bau harum pakaian dan lezatnya masakan, dan masih banyak lagi nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita, yang kalau dihitung niscaya kita tidak akan sanggup. Yang paling besar dan utama dari semua nikmat Allah adalah nikmat iman dan Islam. Sebagai renungan ringan, tidakkah kita perhatikan bagaimana orang-orang yang sedang sakit harus membeli oksigen untuk membantu pernafasannya?
Nabi Daud as. pernah berdoa, “Ya Allah, bagaimana hamba bersyukur kepada-Mu, sedangkan bersyukur itu sendiri adalah karunia dari-Mu?” Allah SWT menurunkan wahyu kepada beliau, “Dengan pengakuanmu itu, engkau telah bersyukur kepada-Ku.”
Menurut satu pendapat, yang dimaksud syâkir (orang yang bersyukur) adalah orang yang mensyukuri sesuatu yang ada. Sedangkan yang dimaksud dengan syakûr (orang yang ahli bersyukur) adalah orang yang mensyukuri sesuatu yang tidak ada. Berdasarkan pendapat yang lain, syâkir adalah orang yang mensyukuri pemberian atau kemurahan, sedang syakûr adalah orang yang mensyukuri penolakan atau penangguhan.
Allah adalah Asy-Syakûr (Yang Maha Menerima Syukur). Abu Hamid al-Ghazali mengartikan Asy-Syakûr sebagai: “Dia yang memberi balasan banyak terhadap pelaku kebaikan atau ketaatan yang sedikit. Dia menganugerahkan kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amalan-amalan yang terhitung dengan hari-hari tertentu yang terbatas.”
Selain pujian dan bersyukur kepada-Nya, dalam berdoa, kita harus yakin bahwa doa kita pasti dikabulkan oleh Allah. Menurut Imam Ghazali, Al-Mujîb adalah yang menyambut permintaan para peminta dengan memberinya bantuan, doa yang berdoa dengan mengabulkannya, permohonan yang terpaksa dengan kecukupan, bahkan memberi sebelum diminta dan melimpahkan anugerah sebelum memohon. Ini dapat dilakukan oleh Allah karena hanya Beliau-lah yang mengetahui kebutuhan dan hajat setiap makhluk sebelum permohonan mereka.
Di buku “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab menjelaskan tentang firman Allah yang berkenaan dengan doa, yaitu,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْـتَجِيْـبُوْالِيْ وَٱلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku, (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku perkenankan doa seorang yang berdoa apabila dia berdoa, maka hendaklah dia memperkenankan (panggilan)-Ku dan percaya pada-Ku” (QS al-Baqarah [2]: 186)
Di ayat ini, di samping menegaskan perkenan Allah, juga mengisyaratkan cara berdoa serta syaratnya. Dalam terjemahan di atas, kata “(jawablah)” tidak ada di teks ayat. Itu dicantumkan dalam terjemahan hanya untuk memudahkan pengertian kita. Kata itu sengaja Tuhan tiadakan, tidak seperti jawaban-jawaban-Nya atas pertanyaan-pertanyaan yang lain, yang selalu dibarengi dengan kata “qul” (jawablah). Kata ”(jawablah)” ditiadakan dari teks ayat untuk mengisyaratkan bahwa kita dapat langsung berdoa kepada-Nya. Para ulama mengemukakan bahwa Allah tidak berfirman, “Katakan kepada mereka Aku dekat,” sehingga terasa jauh antara yang diminta dan yang meminta. Tetapi Allah berfirman, “Aku dekat”.
Wahai Yang Satu! Aku berserah diri pada-Mu
Hamba ini adalah dari-Mu dan dia papa
Jika Engkau pelihara kedua mataku dari melihat-Mu
Maka telah kusediakan hati ini sebagai rumah-Mu
Jika meminta-minta itu suatu kehinaan
Tetapi meminta pada-Mu adalah kemuliaanku
(doa oleh ‘Aidh al-Qarni)
Kalimat “seorang yang berdoa apabila dia berdoa” menunjukkan bahwa boleh jadi ada seseorang yang bermohon kepada-Nya tetapi dia belum lagi dinilai-Nya berdoa. Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa yang pertama dan utama dituntut dari setiap yang berdoa adalah memperkenankan panggilan Allah (melaksanakan ajaran agama).
Karena itu pula ada sebuah hadits Nabi saw. yang menguraikan keadaan seseorang yang menengadah ke langit sambil berseru, “Tuhanku, Tuhanku! (Perkenankan doaku), tetapi makanan yang dimakannya haram, pakaian yang dikenakannya haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?”
Selanjutnya ayat di atas memerintahkan agar percaya kepada-Nya. Ini bukan saja dalam arti mengakui keesaan-Nya, tetapi juga percaya bahwa Beliau (Allah) akan memilih yang terbaik untuk pemohon. Beliau tidak akan menyia-nyiakan doa itu. Boleh jadi Allah sesekali memberi sesuai permintaannya, di kali lain diberi-Nya yang lain dan yang lebih baik dari yang diminta, tetapi tidak jarang pula Allah menolak permintaan namun memberinya sesuatu yang lebih baik di masa mendatang. Kalau tidak di dunia, maka di akhirat kelak.
Daftar Pustaka :
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
- M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (8 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (10 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment