Ibnu Athaillah menasihatkan, “Janganlah menjadikan seseorang ragu terhadap janji Allah sebab belum terpenuhinya janji, walaupun pada saat yang sangat diperlukan. Karena meragukan janji Allah, akan menjadi sebab si hamba menjadi redup iman dan penglihatan mata hatinya, dan memadamkan cahaya jiwanya.”
Apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada manusia tidak perlu diragukan. Hati yang ragu akan membawa akibat rusaknya iman dan lenyapnya cahaya Allah dari hati kita. Oleh sebab itu maka seorang mukmin hendaklah meyakini dengan sepenuh hati bahwa yang telah dijanjikan Allah pasti akan diterima oleh hamba.
Allah adalah Al-Khâliq Yang Maha Kuasa. Allah mengetahui kapan dan bilamana permintaan seorang hamba akan diberikan. Seorang hamba berhadapan dengan janji Allah wajib bersifat tenang dan istiqamah, artinya tidak selalu bimbang dan ragu, karena perasaan seperti ini menunjukkan kelemahan iman.
Dinasihatkan bahwa hidup ini ibarat kapal berlayar. Layarkanlah kapal kita di atas lautan kehidupan dengan jiwa pasrah dan memohon perlindungan Allah. Ketika angin bertiup lembut, kapal berlayar dengan tenang dan laju, janganlah kita hanyut dalam kegembiraan dan lupa daratan. Ketika angin berhembus kencang, badai memukul layar hingga sobek, ombak dan gelombang laut membocorkan kapal, maka janganlah kita tenggelam dalam kesusahan lalu berputus asa. Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. mengatakan:
Semoga jalan keluar terbuka, semoga
Kita bisa mengobati jiwa kita dengan doa
Janganlah engkau berputus asa manakala
Kecemasan yang menggenggam jiwa menimpa
Saat paling dekat dengan jalan keluar adalah
Ketika telah terbentur pada putus asa
Ketulusan, prasangka baik pada Ilahi, percaya penuh pada-Nya, istiqamah, serta keyakinan tentang kebenaran janji-janji-Nya merupakan kunci-kunci perkenan-Nya. Prasangka baik (husnuzh zhan) kepada Allah bisa dikarenakan kebaikan sifat-sifat-Nya atau karena nikmat dan rahmat yang telah kita terima selama ini. Jangankan seorang mukmin yang tulus, Iblis pun doanya dikabulkan Allah ketika dia memohon untuk dipanjangkan usianya hingga hari kebangkitan, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an.
Iblis menjawab, “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.”
Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.”
(QS al-A‘râf [7]: 14-15)
Rasulullah saw. juga bersabda:
يُسْتَجَابُ ِلأَحَدِكُمْ مَالَمْ يَعْجَلْ، يَقُوْلُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِيْ
Pasti diterima doa tiap orang, selama ia tidak keburu, yaitu berkata, “Aku telah berdoa tapi tidak diterima.” (HR Bukhari dan Muslim)
Adapun di antara tata cara berdoa selain membaca kalimat hamdalah adalah bershalawat kepada Rasulullah Muhammad saw. dan menutup doa dengan kalimat:
سُبْحٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلاَمٌ عَلَى ٱلْمُرْسَلِيْنَ. وَٱلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعٰٰـلَمِيْنَ
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan.
Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul.
Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.
(QS ash-Shaâffât [37]: 180-182)
Adab berdoa juga dijelaskan dalam firman Allah yang terjemahnya,
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampau batas.” (QS al-A‘râf [7]: 55)
Dengan demikian, dalam berdoa disyaratkan bahwa kita harus mempunyai adab yang bagus dan indah.
Adab yang bagus dan indah itu adalah kelembutan kita ketika menyampaikan dan mengucapkan permintaan, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Halus, Maha Lembut, lagi Maha Mengetahui hal-hal yang sangat dalam dan tersembuyi (Allâhu Lathîfun Khabîr).
Adab yang bagus dan indah itu adalah sopan santun yang bergerak dalam hati kita (konsentrasi jiwa). Adalah sangat tidak sopan apabila kita memohon kepada Al-Khâliq, namun hati kita kosong dan tidak hadir dalam pertemuan dengan Allah.
إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَسْـتَجِيْبُ دُعَاءَ عَبْـدٍ مِنْ قَلْبٍ لاَهٍ
Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa seorang hamba yang lalai hatinya. (HR Thabrani)
Adab yang bagus dan indah itu adalah bersungguh-sungguh dalam berdoa. Kita tidak boleh berdoa, “Ya Allah, kabulkanlah doa hamba, jika Engkau berkenan.” Hal ini menunjukkan kita tidak serius dan menganggap doa cuma sebuah permainan. Dari Anas ra., Rasulullah bersabda:
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْـئَلَةَ وَلاَ يَقُوْلَنَّ: اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ. فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ
Jika seseorang berdoa, harus minta dengan sungguh-sungguh. Janganlah berkata, “Ya Allah, jika Engkau berkenan maka berilah hamba.” Sesungguhnya Allah tidak dapat dipaksa. (HR Bukhari dan Muslim)
Seseorang bertanya pada Imam Ja‘far ash-Shadiq,
“Apa salah saya? Saya selalu berdoa, tetapi tidak juga dikabulkan.”
“Karena kamu berdoa kepada Tuhan yang tidak kamu ketahui,” jawab Ja‘far ash-Shadiq.
Seorang hamba yang berbudi pekerti baik dalam berdoa, juga tidak akan memaksa Allah dalam doanya. Ia menyerahkan seluruh permohonan kepada Allah semata, karena Allah-lah yang memberi dan mengatur pemberian-Nya untuk para hamba.
Seorang ulama, Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Manshur pernah ditanya,
“Mengapa doa kita tidak dikabulkan padahal Allah berfirman yang terjemahnya, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagimu’ (QS al-Mu’min [40]: 60) ?”
“Karena hati kalian sudah mati,” jawab Ibrahim bin Adham.
”Apa yang telah mematikannya?”
Ia menjelaskan bahwa ada delapan hal yang menyebabkan matinya hati kita, yaitu:
- Mengetahui hak Allah tetapi tidak melaksanakan hak-Nya.
- Membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengamalkan hukum-hukumnya.
- Berkata, “Kami cinta kepada Rasulullah,” tetapi tidak mengamalkan sunnah beliau.
- Mengucapkan, “Kami takut mati,” tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
- Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu)” (QS Fâthir [35]: 6), tetapi kita menyetujui mereka dalam hal kemaksiatan.
- Mengatakan, “Kami takut neraka,” tapi malah mencampakkan tubuh ke dalamnya
- Berkata, “Kami cinta surga,” tapi tidak berusaha meraihnya
- Kita melemparkan aib-aib sendiri di belakang punggung, namun menggelar aib-aib orang lain di depan kita.
Daftar Pustaka :
- Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
- M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
- Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414
Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (9 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (11 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment