Mencari Data di Blog Ini :

Friday, September 3, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (11 of 12)

Doa harus dimohonkan secara berkesinambungan (istiqamah), tidak boleh berhenti dengan alasan apa pun. Janganlah kita berdoa kepada Allah, lalu merasa bahwa yang kita sampaikan dan mohonkan sudah terlalu banyak, kemudian berhenti berdoa dengan dalih menunggu hasil doa tersebut. Sementara itu kita tidak memperbagus ibadah, bahkan bertambah susut dari hari ke hari, dan beberapa perbuatan dosa serta pelanggaran perintah Allah sempat kita terjang. Mustahil doa yang kita panjatkan akan diterima oleh Allah dengan cara demikian. Allah bukanlah lembaga pemerintah atau swasta tempat kita melamar pekerjaan, kemudian menunggu balasan lamaran itu—apakah diterima atau ditolak.


Kita juga sering mengabaikan doa dari orang lain untuk kita. Kita hanya mengandalkan doa kita saja. Padahal, Rasulullah saja memerintahkan para sahabat termasuk Umar bin Khaththab ra. untuk meminta doa dari Uwais al-Qarni.


Nama “Uwais” sebenarnya cemoohan orang, yang artinya sejenis serigala. Ia seorang pria miskin, yang tidak dikenal oleh siapa pun, bahkan dilecehkan. Meskipun demikian, Rasulullah memberi kabar gembira untuknya. Sebab, Allah hanya menilai hati dan perbuatan manusia.


Umar lebih tua, lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan Uwais. Namun, Umar selalu bertanya tentangnya apabila dikunjungi oleh sekelompok orang Yaman, “Apakah di antara kalian ada ‘Uwais’?” Setelah bertemu dengannya, Umar pun meminta doa padanya, sebagaimana perintah Rasulullah Muhammad saw.,


إِنَّ رَجُلاً يَأْتِيْكُمْ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٍ لاَ يَدْعُ بِالْيَمَنِ غَيْرَ أُمٍّ لَهُ قَدْ كَانَ فِيْهِ بَـيَاضٌ فَدَعَا اللهَ لَهُ فَأَذْهَبَ عَنْهُ إِلاَّ مَوَاضِيْعَ الدِّيْناَرِ أَوِ الدِّرْهَمِ فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَلْيَسْـتَغْفِرْ لَكُمْ

“Sesungguhnya seorang laki-laki akan datang kepadamu dari penduduk Yaman. Ia dinamakan Uwais. Ia tidak meninggalkan Yaman kecuali karena ibunya. Benar-benar ada pada dirinya panu. Ia kemudian berdoa kepada Allah, maka Allah menghilangkan (panu itu) darinya, kecuali sebesar dinar atau dirham. Siapa yang menemuinya di antara kamu, mintalah ia agar meminta ampunan untukmu.” (HR Muslim)


Rasulullah juga minta didoakan oleh sahabat beliau, Umar bin Khaththab ra. Umar bercerita:


اِِسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فىِ الْعُمْرَةِ، فَأَذِنَ لِيْ وَقَالَ: لاَ تَنْسَـنَا ياَ أُخَيُّ مِنْ دُعَائِكَ، فَقَالَ: كَلِمَةٌ مَا يَسُـرُّنِيْ أَنَّ لِيْ بِهَا الدُّنْيَا

Aku meminta ijin kepada Nabi saw. untuk melakukan ibadah umrah, lalu beliau memberikan ijin kepadaku dan bersabda, “Janganlah engkau lupakan aku dalam doamu, wahai saudaraku.” Umar ra. berkata, “Hal ini merupakan suatu kalimat yang lebih berharga bagiku daripada dunia (dan seisinya).” (HR Tirmidzi dan Abu Daud)


Satu hal lagi yang sering kita lupakan, yaitu mendoakan orang lain. Doa kita kepada saudara kita tidaklah berarti hanya untuknya, tapi doa itu juga berlaku untuk diri kita.

Sebagai contoh, jika kita ingin rezeki berupa harta (pendapatan) mencukupi, maka hendaknya kita mendoakan orang-orang yang kita temui agar diberi keluasan rezeki oleh Allah. Saat kita berjumpa dengan pedagang di pinggir jalan, kita berdoa agar dagangannya laris. Ketika bertemu dengan orang yang sedang melamar pekerjaan, kita doakan agar segera mendapat pekerjaan sesuai yang diidamkan.


Begitu juga bila kita menginginkan anak kita menjadi anak sholeh/sholehah, maka mendoakan anak orang lain agar menjadi generasi sholeh/sholehah sangat dianjurkan. Jadi, dalam berdoa, kita tidak hanya disibukkan mendoakan diri sendiri.


دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ِلأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ، كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْن وَلَكَ بِمِثْلٍ

Doa seorang muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuan yang bersangkutan akan dikabulkan, pada kepalanya terdapat malaikat yang ditugaskan kepadanya. Manakala ia mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, maka malaikat yang ditugaskan kepadanya mengatakan, “Amin, dan bagimu hal yang semisal.” (HR Muslim)


Ada sebuah peryataan, “Di dalam doa, kita menggunakan fi‘il amr (kata kerja bentuk perintah). Secara logika (manthiq), berarti kita memerintah Allah, hanya saja dibungkus dengan ungkapan yang lebih halus sehingga disebut doa. Padahal, hakikatnya tetap saja kita memerintah Allah. Apakah sopan kalau kita memerintah Allah? Bukankah lebih baik kita menggunakan karunia Allah berupa otak untuk menyelesaikan semua masalah? Bukankah otak kita diciptakan luar biasa? Masak, sedikit-sedikit kok berdoa. Di Al-Qur’an pun tidak ada perintah untuk memperbanyak doa. Yang ada yaitu memperbanyak dzikir, bukan doa.”


Karena kita membahas masalah agama, mari kita buka buku/kitab Ushul Fiqh. Di buku/kitab Ushul Fiqh terdapat definisi (ta‘rîf) tentang al-amru (perintah). Al-amru (perintah) adalah:


قَوْلٌ يَتَضَمَّنُ طَلَبَ الْفِعْلِ عَلَى وَجْهِ اْلإِسْتِعْلاَءِ

Perkataan yang mengandung permintaan untuk dilakukannya suatu perbuatan dalam bentuk al-isti‘la’ (dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah)


Iltimas adalah permintaan dari seseorang kepada sesama tingkatannya. Doa adalah permintaan dari yang lebih rendah tingkatannya kepada yang lebih tinggi. Dengan demikian iltimas dan doa tidak termasuk dalam definisi al-amru (perintah).


Al-amru (perintah) juga tidak selalu menggunakan fi‘il amr. Bentuk perintah ada empat, yaitu:

1. Fi‘il amr, contoh:

اتْلُ مَآ أُوْحِيَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَابِ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) (QS al-‘Ankabût [29]: 45)

2. Fi‘il mudhâri‘ yang diberi lam amr, contoh:


وَلْيَطَّوَّفُوْا بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيْقِ

dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah) (QS al-Hajj [22]: 29)

3. Isim fi‘il amr, contoh:


عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا ٱهْـتَدَيْتُمْ

jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk (QS al-Mâidah [5]: 105)

4. Mashdar sebagai pengganti fi‘il amr, contoh:


وَبِٱلْوَالِدَيْنِ إِحْسَـانًا

dan berbuat baiklah kepada ibu bapak (QS al-Baqarah [2]: 83)

Daftar Pustaka :

  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • A. Hanafi, MA, “Usul Fiqh”, Penerbit Widjaya Jakarta, Cetakan kesebelas, 1989
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh, “Al-Ushûl min ‘Ilmil Ushûl”
  • Zeid Husein Alhamid, “Terjemah Al-Adzkar Annawawi (Intisari Ibadah dan Amal)”, Cetakan Pertama : Pebruari 1994/Sya‘ban 1414


Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (10 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (12 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment