Berikut ini ada sebuah pertanyaan sederhana untuk menunjukkan bahwa pengetahuan tentang hukum alam berbeda-beda dan bertingkat-tingkat untuk setiap orang. Bisa juga terjadi, sebenarnya sudah tahu tentang sebuah hukum alam, tapi implementasinya kurang luas. Sebuah hukum alam pada dasarnya menjelaskan sebuah kasus inti, dan bisa diterapkan untuk banyak kasus yang serupa (pengembangan kasus utama). Pengetahuan dan pengalaman masing-masing oranglah yang membedakan kualitas pemahaman terhadap hukum alam tersebut.
Pertanyaan ini penulis ambil dari buku yang berjudul “Kalo Einstein Lagi Cukuran, Ngobrolin Apa Ya?”, terjemahan buku “What Einstein Told His Barber – More Scientific Answer to Everyday Questions”. Buku tersebut ditulis oleh Robert L. Wolke, guru besar kimia emeritus di University of Pittsburgh, Pennsylvania—Amerika Serikat.
Pertanyaannya adalah, “Saya tinggal di Miami, Florida sedangkan saudara kembar saya tinggal di Tucson, Arizona. Pada suatu hari, lewat telepon saya katakan padanya bahwa suhu di Miami 80 derajat Fahrenheit (26 derajat Celsius). Lalu ia dengan bercanda mengatakan bahwa di Tucson dua kali lebih panas. Andaikata sungguh demikian, berapakah temperatur di Tucson? Apakah 160 derajat F (71 derajatC)?”
Sebagai catatan, di Amerika memang digunakan skala Fahrenheit, sedangkan di Indonesia menggunakan Celsius. Adapun rumus konversi temperatur yang umum kita kenal yaitu: derajat C = (derajat F-32) / 1,8. Prof. Robert L. Wolke memberikan rumus konversi yang lebih mudah dihapal, yaitu:
Untuk mengubah Celsius ke Fahrenheit, tambahkan 40, kalikan dengan 1,8; kemudian kurangi dengan 40.
Untuk mengubah Fahrenheit ke Celsius, tambahkan 40, bagi dengan 1,8; kemudian kurangi dengan 40.
Sebelum melihat jawaban permasalahan di atas, marilah kita berpikir sejenak, mengerahkan kemampuan logika kita. Mari kita google (mencari sampai ke sub folder paling bawah) semua ilmu dan pengalaman tentang hukum alam di database yang ada di isi kepala kita. Barangkali semuanya sudah didata dengan baik, laksana sebuah database perbankan—yang menggunakan software database server, misalnya Microsoft SQL Server, MySQL, IBM/DB2, Informix, Oracle Database, PostgreSQL atau Sybase. Sedangkan bahasa pemrograman untuk mencarinya juga sudah canggih, yaitu Java, VB.NET, C#.NET, C++, Delphi, Power Builder, Perl, PHP with AJAX, Phyton, bahkan Ruby on Rail.
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Jawabannya bukan 160 derajat Fahrenheit (71 derajat Celsius). Hal ini bukan karena 160 derajat F terlalu panas; bahkan sebaliknya, tidak cukup panas. Temperatur yang “dua kali lebih panas” adalah 621 derajat F (sekitar 327 derajat C). Perlu diingat lagi bahwa di kasus ini sudut pandangnya adalah derajat Fahrenheit, baru kemudian dikonversi menjadi Celsius.
Ceritanya sebagai berikut.
Pertama, kita harus menyadari bahwa panas dan temperatur adalah dua makhluk berbeda. Coba kita ulang kalimat berikut ini, “Panas adalah energi, sedangkan temperatur adalah cara kita mengatakan kepada orang lain tentang seberapa padat konsentrasi panas dalam sebuah benda.”
Mari kita pelajari panas terlebih dahulu.
Jumlah energi panas dalam suatu benda dapat dihitung dalam kalori, sama seperti kita menghitung donat. Kalori adalah satuan untuk mengukur banyak atau kuantitas energi. Kita pasti berpendapat bahwa donat besar memiliki kalori lebih banyak daripada donat kecil, bukan? Baiklah. Ini sama dengan kandungan energi pada benda lain. Seliter air yang sedang mendidih memiliki energi panas dua kali lebih banyak dibanding setengah liter air mendidih, walaupun temperatur keduanya sama-sama 100 derajat C.
Sebuah contoh lain, energi panas dalam bak mandi yang penuh dengan air hangat jauh lebih banyak dibanding dalam segelas kecil berisi air dari bak mandi yang sama, semata-mata karena jumlah molekul air panas dalam bak mandi lebih banyak. Pendek kata, makin banyak zat yang kita miliki, makin banyak pula energi panas yang dikandungnya.
Masalah yang dihadapi saudara kembar tadi, entah disadari atau tidak, adalah membayangkan berapa banyak panas sesungguhnya yang terdapat di udara luar rumahnya, mungkin dalam satuan meter kubik (m^3). Selanjutnya jika panas di situ sungguh 2 kali lebih banyak (diukur dalam m^3) dibanding yang terdapat di Miami, barulah ia dapat mengatakan bahwa udara di Tucson “dua kali lebih panas”.
Bagaimana cara kita menentukan jumlah panas dalam sebuah benda? Mengukur temperaturnya tidak menghasilkan yang kita cari, sebab langkah ini tidak memperhitungkan besar benda yang dimaksud. Sebagaimana kita ketahui ketika bicara soal bak mandi, sebuah benda besar dengan panas berlimpah dapat memiliki temperatur sama dengan sebuah benda kecil dengan panas jauh lebih sedikit.
Terlebih lagi, temperatur—entah diungkapkan dengan Fahrenheit atau Celsius—tidak lebih dari angka-angka sembarang yang ditemukan dua orang yang kemudian dikenal lewat sistem pengukuran temperatur mereka. Keduanya semata-mata hanya label-label yang nyaman untuk dibicarakan—angka-angka yang disepakati oleh kebanyakan orang, atau diperlakukan seperti sebuah fatwa, “Manakala esmu meleleh, sebutlah temperaturnya 32 derajat F atau 0 derajat C. Dan, ketika airmu mendidih, sebutlah itu 212 derajat F atau 100 derajat C.” Jelas bahwa fatwa ini keluar dari mulut manusia, yaitu dari Eyang Gabriel Fahrenheit dan Eyang Anders Celsius.
Jumlah (banyaknya) panas yang terkandung dalam sebuah benda tidak dapat disebut dengan angka-angka sembarangan. Kita memerlukan sebuah cara yang mutlak untuk mengekspresikan kandungan panas setiap benda.
Permasalahan pokoknya adalah pada skala temperatur mana pun yang lazim kita pakai, temperatur 0 (nol) tidak mengandung arti bahwa kandungan panasnya 0 (nol). 0 derajat C misalnya, hanyalah temperatur ketika es meleleh. Apakah itu berarti tidak ada benda yang bisa lebih dingin daripada es yang meleleh? Tentu saja tidak.
Atau kita ambil pola pikir lain, “Bagaimana orang dapat menggunakan skala untuk mengukur sesuatu jika 0 (nol) di situ tidak sungguh-sungguh berarti nol?” Bayangkan meteran dengan tanda “NOL” di tengah, bukan di ujung sebelah kiri. Kita bisa bingung dibuatnya.
Maka jika kita ingin dapat mengukur banyak panas dalam sebuah benda, atau dalam hal ini di udara, kita harus mempunyai skala pengukuran dengan nol yang betul-betul berarti ketiadaan panas sama sekali. Ah, untung ada Tumenggung Kelvin, maksudnya, Lord Kelvin, seorang bangsawan Inggris yang juga ilmuwan (1824-1907). Nama panjangnya adalah William Thomson Kelvin, dan gelar kebangsawanannya Baron.
Kelvin menetapkan sebuah skala temperatur yang dimulai pada kondisi “tanpa panas sama sekali”—temperatur 0 (nol) mutlak, ketika segala sesuatu berada dalam keadaan sedingin-dinginnya, “NOL mutlak”. Selanjutnya ia meminjam ukuran derajat Uwak Celsius dan mulai menghitung ke atas dari situ. Apabila kita melakukannya, temperatur air membeku, 0 derajat C, ternyata sama dengan 273 derajat di atas 0 (nol) mutlak, sedangkan temperatur air mendidih (100 derajat C) sama dengan 373 derajat di atas 0 (nol) mutlak. Temperatur tubuh manusia (37 derajat C) ternyata adalah 310 derajat derajat pada skala mutlak. (Katakan ini kepada dokter kita ketika ia menanyakan suhu tubuh kita). Kita dapat melihat bahwa temperatur mutlak, yang diukur dalam Kelvin demi menghormati Lord Kelvin, adalah temperatur Celsius ditambah 273.
Sekarang kita siap untuk menjawab teka-teki saudara kembar tadi. Jika udara di Tucson mengandung panas dua kali lebih banyak per m^3 dibanding udara Miami, maka yang harus kita gandakan adalah temperatur mutlak udara di Miami. Pertama, karena orang Amerika terbiasa memakai skala Fahrenheit, maka kita harus mengubah 80 derajat F menjadi Celsius, kita mendapatkan 27 derajat C. Kalau kita tambahkan dengan 273, maka kita mendapatkan 300 Kelvin, yang tidak lain adalah ukuran sesungguhnya kandungan panas di udara.
Kalau kita gandakan untuk mendapatkan panas dua kali lipat, kita mendapatkan 600 Kelvin, yang setelah dikonversi menjadi 327 derajat C atau 621 derajat F. Dalam hal ini pastilah ada salah komunikasi. Yang dimaksud saudara kita di Tucson tentunya adalah bahwa temperatur di sana terasa dua kali lipat temperatur di Miami.
Dari pelajaran di atas, kita disadarkan akan keterbatasan logika kita dalam memahami sebuah peristiwa alam. Kita pun jadi sadar bahwa pengetahuan tentang sunnatullah bertingkat-tingkat, ada yang sudah tahu dan ada yang belum; ada yang mengerti dengan baik, namun ada juga yang sekadar tahu; dan ada yang sudah ditemukan, juga ada yang belum.
Daftar Pustaka :
- Robert L. Wolke, Prof, “Kalo Einstein Lagi Cukuran Ngobrolin Apa Ya? (What Einstein Told His Barber – More Scientific Answer to Everyday Questions)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Agustus 2004
Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (4 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (6 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment