“Saat ini kita sering membaca doa, tapi sebenarnya kita tidak berdoa. Oleh karena itu, terkabulnya doa kita juga susah, karena memang kita tidak pernah berdoa.” Itulah pesan seorang Ibu Nyai dari Gresik dalam salah satu mau‘izhah (ceramah)-nya.
Ya, memang itulah kenyataan yang terjadi. Jika doa yang akan kita panjatkan berbahasa Arab, maka kita hanya terpaku pada bagaimana membacanya dengan baik dan benar sesuai tajwid, serta lagu yang indah. Sedangkan hati kita amat jauh dari syarat seorang hamba berdoa kepada Tuhannya. Begitu pun jika kita berdoa dalam bahasa Indonesia. Seharusnya kita bisa lebih menghayatinya, namun kita sering tergesa-gesa untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, doa hanyalah sebagai syarat saja, dan hakikatnya memang kita tidak berdoa, tapi membaca doa.
Kita juga sering memandang doa dengan kurang tepat. Kita menganalogikan doa seorang hamba kepada Allah seperti permintaan seorang anak kepada orang tuanya. Apakah berbeda? Ya. Sebelum kita bahas lebih detail tentang hakikat doa, marilah kita perhatikan bagaimana seorang anak meminta sesuatu kepada orang tuanya.
Seorang anak akan malu kalau sering meminta kepada orang tuanya. Ada pula yang merasa diri sudah mandiri, karena itu merasa tidak perlu bahkan tidak pantas kalau masih meminta. Jika ada anak meminta pada orang tua, setelah berkali-kali meminta namun tidak diberi, maka biasanya ada tiga kemungkinan sikap yang akan diambil sang anak.
Sikap pertama, dia jadi tidak bersemangat lagi meminta karena dianggap tidak ada gunanya. Bisa jadi akhirnya dia tidak pernah lagi meminta karena trauma dengan kondisi sebelumnya. Sikap kedua, dia marah pada orang tuanya karena sudah berulang kali meminta namun tidak dikasih juga. Karena marahnya, dia bisa melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang tuanya. Sikap terakhir yaitu masa bodoh. Dia kadang meminta, kadang juga tidak. Kalau meminta, dia juga tidak terlalu berharap akan dikabulkan karena dia tahu bahwa orang tuanya tidak mempunyai sikap yang jelas.
Kedudukan doa tidak bisa disamakan dengan permintaan seorang anak kepada orang tuanya. Oleh karena itu, marilah kita pelajari bersama-sama kedudukan dan hakikat doa. Dengannya, semoga kita menjadi hamba yang ridha dan diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, amin.
a. Doa adalah ibadah
Doa dalam Islam termasuk ibadah. Bacaan-bacaan shalat mengandung banyak sekali doa. Doa juga dibaca saat akan makan dan sesudahnya, sebelum tidur dan setelah bangun, ketika mau masuk kamar kecil dan tatkala keluar darinya, serta masih banyak lagi.
Di kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” terdapat hadits ke-1576 yang menerangkan tentang doa. Dari Nu‘man bin Basyir, Nabi Muhammad saw. bersabda,
إِنَّ الدُّعَـاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Sesungguhnya doa adalah ibadah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
Bahkan, doa adalah saripati ibadah (mukh al-‘ibâdah), sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
الدُّعَـاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
Doa adalah intisari/saripati/otak ibadah. (HR Tirmidzi)
Dengan demikian, doa bukan hanya permintaan kita kepada Allah, namun perintah kepada umat Islam. Dengannya, kita memenuhi perintah Allah dan rasul-Nya, dan yang pasti berpahala jika mengerjakannya.
Katakanlah! Tuhanku tidak menghiraukan kamu seandainya tidak ada doamu. (QS al-Furqân [25]: 77)
Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku niscaya Kuperkenankan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS al-Mu’min [40]: 60)
Karena doa adalah ibadah, bahkan intisarinya, maka memperbanyak doa berarti memperbanyak ibadah. Semakin banyak berdoa bukanlah berarti kita tidak mandiri, justru Allah akan senang sekali jika kita banyak memohon. Itu menunjukkan kehambaan kita kepada Allah. Jika memang berdoa layaknya permintaan seseorang kepada seseorang yang lain, mengapakah Rasulullah mengajarkan doa untuk setiap hal atau kegiatan? Kenapa di dalam shalat terdapat begitu banyak doa? Bukankah seseorang akan jengah jika terus-menerus dimintai bantuan? Hal ini tidaklah sama dengan Allah Yang Maha Kaya (Al-Ghaniyy).
Memang, kaum sufi rata-rata malu berdoa. Namun, itu hanya doa-doa yang berhubungan dengan hajat keduniaan. Mereka merasa sudah cukup, bersyukur, ridha terhadap apa pun pemberian Allah Yang Maha Pemberi Rejeki (Ar-Razzâq) kepada mereka. Sedangkan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. tetaplah mereka lakukan. Sebagian di antara mereka tetap berdoa, apa pun isi doanya, karena mereka mengetahui bahwa itu diperintahkan—dan itu berarti mereka melakukan ibadah, untuk menjalankan ajaran Rasulullah dan mengabdi kepada Allah Yang Maha Pencipta (Al-Khâliq).
Di antara rasa malu karena takut dianggap tidak bersyukur serta tidak ridha atas karunia yang diterima dan kewajiban berdoa karena diperintahkan, akhirnya diambil jalan tengah oleh para sufi. Jika dalam suatu kondisi, dengan berdoa dirasa lebih utama, maka mereka berdoa. Hal ini tidak menggugurkan maqam ridha. Namun, apabila berada di situasi yang dianggap diam lebih baik, maka mereka berdiam diri, bersyukur dan ridha atas apa pun yang dianugerahkan oleh Allah. Ini berarti, mereka tetaplah berdoa kepada Allah, karena doa adalah ibadah.
Doa adalah cara seorang hamba melahirkan isi hatinya di hadapan Allah, karena si hamba memerlukan Allah dan tahu akan kekurangan serta kelemahannya. Di sini hamba menempatkan dirinya sebagai ‘âbid (penyembah) di hadapan Ma‘bûd (Yang disembah). Si hamba mengadukan persoalannya dan menuturkan ketidakmampuannya.
Ibnu Athaillah berpesan, “Jangan sampai permohonanmu kepada Allah hanya sebagai alat untuk mendapatkan pemberian-Nya, karena perbuatan seperti itu berarti engkau tidak memahami kedudukanmu terhadap-Nya. Bermohonlah dengan melahirkan dirimu sebagai hamba, karena kewajibanmu terhadap Tuhanmu.”
Abu Nasr as-Saraji menuturkan bahwa ia telah menanyakan kepada para Syaikh tentang orang berdoa dengan seluruh penyerahan diri kepada Allah. Mereka menjawab, “Berdoa kepada Allah ada dua maksud. Pertama sebagai hiasan lahiriah si hamba dengan doa yang dikehendakinya, karena doa adalah tanda khidmatnya hamba kepada Tuhannya. Sebab khidmat itu, si hamba berkehendak agar seluruh anggota lahirnya terhias. Kedua, bahwasanya doa itu adalah perintah Allah, dan si hamba menaati perintah itu.” Dalam hal ini ada seorang penyair yang mengatakan:
Jika air Nil tidak lagi mengalir,
aku tidak akan memohonnya dari uluran telapak tangan-Mu,
kalau saja Engkau tidak mengajariku berdoa
Abu Hasan menjelaskan, “Jangan sampai yang menjadi tujuan doamu itu hanya tercapainya permintaan dan hajatmu. Sebab, apabila cara itu yang engkau lakukan, maka terhijablah (terpisah oleh ”tirai” penutup) engkau dengan Allah. Yang benar, jadikanlah doa-doamu itu munajat (bisikan jiwa) antara engkau dengan Tuhanmu.”
Ibnul Qayyim menerangkan:
إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ ذِكْرٌ لِلْمَدْعُوْ سُبْحَانَهُ
Sesungguhnya doa adalah dzikir kepada Yang dimohon, yaitu Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ.
Oleh karena doa adalah ibadah dan doa juga bisa dikategorikan sebagai dzikir untuk mengingat Allah, maka tidak ada alasan untuk malas berdoa, marah karena doa belum dikabulkan, acuh tak acuh terhadap doa dan hal-hal lain yang membuat kita enggan berdoa. Apa pun yang terjadi, doa harus tetap dipanjatkan dengan penuh keyakinan pada Allah Jalla Jalâluh.
Allah senang jika engkau memohon pada-Nya
Sedangkan engkau melihat manusia marah jika ia dipinta
Jangan pernah memohon pada sesama manusia sesuatu pun kebutuhan
Tapi mohonlah pada Yang pintu-Nya tak pernah terhalang
(buah karya ‘Aidh al-Qarni)
Sebagai bukti bahwa Allah senang terhadap para hamba yang memohon kepada-Nya, di dalam Al-Qur’an, Allah memuji sebagian hamba-Nya yang berdoa.
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‘ kepada Kami. (QS al-Anbiyâ’ [21]: 90)
Di kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” tercantum hadits ke-1578 yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia merafa‘kannya.
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَـاءِ
Tidak ada satupun (amal hati) yang lebih mulia dalam pandangan Allah dibandingkan doa. (HR Ibnu Hibban dan Hakim)
Daftar Pustaka :
- A. Hassan, “Tarjamah Bulughul Maram”, Penerbit Diponegoro, Cetakan XXIII, Oktober 1999
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm”
- Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (2 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
Assalamualaikum..
ReplyDeleteDitunggu kelanjutan dari artikel ini..
jazakallahu khairan..
Wassalammualaikum
Assalamualaikum, afuan ana minta izin baca tulisan ente. Semoga amal ilmu ente diterima Allah SWT.
ReplyDelete