Ketulusan adalah bahasa kalbu yang tertanam (ter-install) dalam fitrah manusia.
Ketulusan adalah bahasa universal yang dapat menembus batas gender, usia, suku dan wilayah.
Ketulusan adalah bahasa yang bisa dimengerti orang awam, dipahami cerdik cendekia, didengar si tuna rungu, dilihat sang tuna netra dan dirasakan setiap jiwa.
Ketulusan adalah hiasan indah, namun beribu sayang kita sering membuang serta mengabaikannya seolah sepatu usang.
Ketulusan tak kan lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, dan tak kan menua karena usia zaman.
Ketulusan itu sejernih tetes embun, sehangat dekapan ibu, seindah lukisan alam dan seharum wewangian surga.
Ketulusan adalah bahasa universal yang dapat menembus batas gender, usia, suku dan wilayah.
Ketulusan adalah bahasa yang bisa dimengerti orang awam, dipahami cerdik cendekia, didengar si tuna rungu, dilihat sang tuna netra dan dirasakan setiap jiwa.
Ketulusan adalah hiasan indah, namun beribu sayang kita sering membuang serta mengabaikannya seolah sepatu usang.
Ketulusan tak kan lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, dan tak kan menua karena usia zaman.
Ketulusan itu sejernih tetes embun, sehangat dekapan ibu, seindah lukisan alam dan seharum wewangian surga.
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوْرًا
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS al-Insân [76] : 9)
Tak peduli dengan jatuhnya gengsi, permintaan maaf harus kita haturkan bila memang kita bersalah, tanpa perlu berbelit-belit membuat argumentasi pembenaran perilaku diri.
Tak peduli apa pun sikap orang lain—apakah mereka minta maaf atau tidak—pemberian maaf seharusnya kita curahkan kepada siapa pun. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa sepanjang penelitiannya, beliau tidak pernah menemukan dalam Al-Qur’an perintah meminta maaf. Ayat-ayat yang ditemukan adalah perintah atau permohonan agar memberikan maaf.
Tak peduli dengan jatuhnya gengsi, permintaan maaf harus kita haturkan bila memang kita bersalah, tanpa perlu berbelit-belit membuat argumentasi pembenaran perilaku diri.
Tak peduli apa pun sikap orang lain—apakah mereka minta maaf atau tidak—pemberian maaf seharusnya kita curahkan kepada siapa pun. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa sepanjang penelitiannya, beliau tidak pernah menemukan dalam Al-Qur’an perintah meminta maaf. Ayat-ayat yang ditemukan adalah perintah atau permohonan agar memberikan maaf.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A‘râf [7]: 199)
Ketiadaan perintah meminta maaf, bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya, tetapi yang lebih perlu adalah menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air mukanya dengan suatu permintaan—walaupun permintaan itu adalah pemaafan.
Tak peduli apa pun perbuatan orang terhadap kita setelah lebaran, perbaikan diri harus kita lakukan dengan mengabaikan persepsi keliru yang berkembang di tengah masyarakat, yaitu “Setelah meminta dan memberi maaf berarti 0-0 sehingga sesudah Idul Fitri saatnya berbuat dosa lagi. ”
Idul Fitri hakekatnya sebuah rangkaian peristiwa dan waktu dalam perjalanan kita menuju Allah. Adakah kita hendak mengisi perjalanan tersebut dengan permainan-permainan (sesuatu) yang tidak diridhai Allah?
Idul Fitri hakekatnya sebuah momen bagi setiap muslim untuk meningkatkan amal dan ibadah, bukan malah bersantai-santai dengan dalih menikmati masa rehat setelah berbagai aktivitas ibadah Ramadhan. Hal ini selaras dengan nama bulan saat Idul Fitri, yaitu Syawal (dalam bahasa Arab disebut Syawwâl).
Syawwâl (شَوَّالْ) berasal dari kata syawala (شَوَلَ). Menurut ilmu sharaf, syawala termasuk Binâ’ Ajwaf Wâwi karena ‘ain fi‘il berupa wawu (salah satu dari tiga huruf ‘illat, yakni wawu, alif dan ya’). Pada Binâ’ Ajwaf, huruf alif selalu digunakan sebagai pengganti huruf wawu bila Binâ’ Ajwaf Wâwi dan pengganti huruf ya’ bila Binâ’ Ajwaf Yâ’i. Dengan demikian syawala (شَوَلَ) berubah menjadi syâla (شَالَ).
Untuk mempermudah pemahaman, penulis sajikan dua contoh lain Binâ’ Ajwaf Wâwi yang lazim kita dengar, yaitu kata qawala (قَوَلَ) berubah menjadi qâla (قَالَ) dan kata shawama (صَوَمَ) berubah menjadi shâma (صَامَ).
Di Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia, syâla berarti naik, oleh karena itu syawwâl berarti peningkatan. Jadi bulan Syawal adalah bulan peningkatan amal kebajikan, baik kuantitas maupun kualitas.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah ucapan indah yang setiap orang bisa melafalkannya.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah kalimat sarat makna yang setiap pelajar dapat menuliskannya.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah retorika bermutu tinggi yang setiap insan dapat meneriakkannya.
Namun,
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” hanyalah sebuah slogan kampanye bila kita tidak terus memonitor ibadah harian diri.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” hanyalah sebuah janji politik kita terhadap diri sendiri bila tanpa bukti nyata. Anehnya, mengapa kita tidak menagih janji itu ketika kita malas dalam beribadah? Mengapa kita rajin menuntut orang lain memenuhi janjinya tapi enggan menuntut diri sendiri?
Sebagai penutup, mari kita tanamkan benar-benar sebuah cambuk jiwa, pelecut asa dan penguat semangat berikut ini :
Ketiadaan perintah meminta maaf, bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya, tetapi yang lebih perlu adalah menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air mukanya dengan suatu permintaan—walaupun permintaan itu adalah pemaafan.
Tak peduli apa pun perbuatan orang terhadap kita setelah lebaran, perbaikan diri harus kita lakukan dengan mengabaikan persepsi keliru yang berkembang di tengah masyarakat, yaitu “Setelah meminta dan memberi maaf berarti 0-0 sehingga sesudah Idul Fitri saatnya berbuat dosa lagi. ”
Idul Fitri hakekatnya sebuah rangkaian peristiwa dan waktu dalam perjalanan kita menuju Allah. Adakah kita hendak mengisi perjalanan tersebut dengan permainan-permainan (sesuatu) yang tidak diridhai Allah?
Idul Fitri hakekatnya sebuah momen bagi setiap muslim untuk meningkatkan amal dan ibadah, bukan malah bersantai-santai dengan dalih menikmati masa rehat setelah berbagai aktivitas ibadah Ramadhan. Hal ini selaras dengan nama bulan saat Idul Fitri, yaitu Syawal (dalam bahasa Arab disebut Syawwâl).
Syawwâl (شَوَّالْ) berasal dari kata syawala (شَوَلَ). Menurut ilmu sharaf, syawala termasuk Binâ’ Ajwaf Wâwi karena ‘ain fi‘il berupa wawu (salah satu dari tiga huruf ‘illat, yakni wawu, alif dan ya’). Pada Binâ’ Ajwaf, huruf alif selalu digunakan sebagai pengganti huruf wawu bila Binâ’ Ajwaf Wâwi dan pengganti huruf ya’ bila Binâ’ Ajwaf Yâ’i. Dengan demikian syawala (شَوَلَ) berubah menjadi syâla (شَالَ).
Untuk mempermudah pemahaman, penulis sajikan dua contoh lain Binâ’ Ajwaf Wâwi yang lazim kita dengar, yaitu kata qawala (قَوَلَ) berubah menjadi qâla (قَالَ) dan kata shawama (صَوَمَ) berubah menjadi shâma (صَامَ).
Di Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia, syâla berarti naik, oleh karena itu syawwâl berarti peningkatan. Jadi bulan Syawal adalah bulan peningkatan amal kebajikan, baik kuantitas maupun kualitas.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah ucapan indah yang setiap orang bisa melafalkannya.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah kalimat sarat makna yang setiap pelajar dapat menuliskannya.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” adalah retorika bermutu tinggi yang setiap insan dapat meneriakkannya.
Namun,
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” hanyalah sebuah slogan kampanye bila kita tidak terus memonitor ibadah harian diri.
“Meningkatkan amal ibadah baik kuantitas maupun kualitas,” hanyalah sebuah janji politik kita terhadap diri sendiri bila tanpa bukti nyata. Anehnya, mengapa kita tidak menagih janji itu ketika kita malas dalam beribadah? Mengapa kita rajin menuntut orang lain memenuhi janjinya tapi enggan menuntut diri sendiri?
Sebagai penutup, mari kita tanamkan benar-benar sebuah cambuk jiwa, pelecut asa dan penguat semangat berikut ini :
مَنْ كاَنَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْـبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرّاً مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
Siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin maka ia orang beruntung. Siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia tertipu dan siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin maka ia orang terlaknat.
Daftar Pustaka :
Daftar Pustaka :
- Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat belas 1997
- M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
- M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Renungan Idul Fitri : Antara Ketulusan, Tradisi dan Basa-Basi (1 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
Ulasan yang jelas. Alhamdulillah
ReplyDeletesemoga kita kembali fitrah, minal aidin wal faizin....
ReplyDeletemas saya mohon iji copas tak pate di blog saya dengan menmpilka blog anda di http://katim-design.blogspot.com
ReplyDelete