Kala kegiatan begitu menumpuk, misalnya belajar ketika ada ujian bagi pelajar atau mahasiswa, kursus atau kuliah sore, kerja lembur, shift sore, tugas di posko, sedang di perjalanan atau yang lain, maka shalat Tarawih sendirian memang terasa begitu berat. Terkadang ada juga yang mengalami kejenuhan karena shalat Tarawih dilakukan setiap hari. Ibarat makanan, hari pertama sangat berselera, tapi setelah beberapa hari, selera pun menurun.
Memang, agama itu mudah, tapi jangan diremehkan. Itulah maksud sebenarnya. Semangat untuk tetap Tarawih harus tetap dipupuk. Apa pun alasannya kita harus berusaha sekuat-kuatnya untuk melaksanakan Tarawih, karena kelak di hari akhir, kita akan dihadapkan kepada diri sendiri guna mempertanggungjawabkan perbuatan di dunia ini.
اِقْرَأْ كِتٰـبَكَ كَفٰى بِنَفْسِكَ ٱلْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْـبًا
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS al-Isrâ’ [17] : 14)
Selain itu, mari kita pahami penggalan ayat berikut ini:
لَهَا مَا كَسَـبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَـبَتْ
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah [2] : 286)
Perbuatan-perbuatan buruk manusia dinyatakan dengan “iktasabat”, sedangkan perbuatan baik dengan “kasabat”. M. Quraish Shihab mengutip ulasan Muhammad Abduh di tafsir “Al-Manâr” menjelaskan bahwa kata “iktasabat” dan semua kata yang berpatron demikian, memberi arti adanya upaya sungguh-sungguh dari pelaku; sedangkan kata “kasabat” berarti dilakukan dengan mudah.
Di buku “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi” juga diuraikan bahwa salah satu faedah pola (wazan) “ifta‘ala — yafta‘ilu” yaitu menunjukkan arti bertambah bobotnya makna fi‘il. Adapun contoh faedah ini sebagai berikut:
اِكْتَسَبَ زَيْدٌ
Zaid bekerja keras (Zaid bersungguh-sungguh dalam bekerja).
Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan.
Dari penjelasan di atas, marilah kita bahas hal-hal yang bisa meringankan pikiran kita, sehingga apa pun yang terjadi, kita tetap mempunyai keinginan kuat (‘azam) untuk melaksanakan shalat Tarawih, baik berjamaah maupun sendirian.
a. Pahala Shalat Tarawih Tak Terkira
Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan.
Dari penjelasan di atas, marilah kita bahas hal-hal yang bisa meringankan pikiran kita, sehingga apa pun yang terjadi, kita tetap mempunyai keinginan kuat (‘azam) untuk melaksanakan shalat Tarawih, baik berjamaah maupun sendirian.
a. Pahala Shalat Tarawih Tak Terkira
Tentang ganjaran shalat malam di bulan Ramadhan (Tarawih), Rasulullah Muhammad saw. bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang bangun (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh)
Sebagaimana kita ketahui bersama dari penjelasan para ulama bahwa di bulan Ramadhan, Allah mencurahkan semua rahmat dan melipatgandakan pahala, jauh melebihi selain Ramadhan. Bahkan, dalam sebuah nasihat (bukan hadits Nabi) dituturkan bahwa tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah ibadah. Tentunya hal ini bila dibandingkan dengan melakukan kemaksiatan atau berkata yang tidak bermanfaat, seperti menggunjing.
Dengan adanya keutamaan ini, janganlah kita menganggap bahwa shalat Tarawih “hanyalah” shalat sunnah. Dengan anggapan seperti ini, maka kita sudah memerintahkan otak dan diri kita, bahwa melaksanakannya akan mendapat pahala, dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Dengannya, kita akan tenang-tenang saja walau tidak pernah Tarawih. Kita tidak akan merasa kehilangan apalagi menyesal.
Kita harus meyakini bahwa shalat Tarawih bukan sekadar shalat sunnah. Shalat Tarawih nilainya begitu besar, bahkan dalam kitab “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah” dijelaskan bahwa pahala shalat sunnah di bulan Ramadhan sama dengan shalat fardhu di luar Ramadhan. Adapun shalat wajib di bulan Ramadhan setara dengan tujuh puluh shalat fardhu selain Ramadhan. Betapa agung karunia Allah di bulan mulia ini, bulan Ramadhan.
Dengan keyakinan tersebut, maka kita akan bersemangat dalam menjalankan Tarawih, meskipun badan lelah setelah bertugas, waktu terbatas dan mengerjakannya pun harus sendirian. Ini juga berarti, kita telah menabung dengan nilai yang sangat besar untuk kehidupan di akhirat nanti. Mengabaikan Ramadhan berarti menyia-nyiakan masa depan. Bukankah kita akan menanamkan modal di tempat teraman dengan hasil investasi berlipat ganda? Ramadhan adalah investasi teraman dengan hasil luar biasa, bahkan hanya Allah Yang Maha Tahu tentang besar balasan yang diberikan kepada kita. Dan, shalat Tarawih adalah salah satu jenis investasinya, laksana saham yang tak akan membuat kita rugi.
‘Aidh al-Qarni berkata, “Jika seorang hamba dikaruniai semangat besar, maka dia akan berjalan di atas jalan keutamaan dan akan menaiki tangga derajat yang tinggi. Dan, itu adalah salah satu ciri Islam.”
Semangat adalah pusat penggerak yang membentuk kepribadian dan mengawasi organ-organ tubuh.
Semangat adalah bahan bakar jiwa dan kekuatan berkobar-kobar, yang akan menggerakkan pemiliknya untuk melompat cukup tinggi dan memburu nilai-nilai kemuliaan.
Semangat besar akan mendatangkan—dengan izin Allah—kebaikan tak terhingga. Dengan begitu kita bisa naik pada tangga kesempurnaan, urat nadi kita teraliri darah ksatria, dan kita terdorong ke wilayah ilmu dan amal.
Semangat besar membuat kita berdiri di semua pintu kemuliaan dan terlibat dalam perburuan bersama mereka yang juga memburu nilai-nilai keutamaan.
Semangat besar membuat kita tidak pernah puas dengan tingkatan rendah, tidak pernah berhenti meski telah sampai batas dan tidak pernah puas dengan yang sedikit.
Misalnya ada seorang pengusaha berkata kepada para karyawannya, “Bulan ini adalah bulan kelahiran saya. Saya ingin memberi bonus besar-besaran kepada Anda semua. Saya tahu uang transport Anda setiap hari sebesar Rp 33.000,-. Sedangkan untuk makan siang sudah tersedia di kantin. Khusus bulan ini, siapa yang masuk kantor setiap hari—tidak ada ijin—maka saya akan memberinya bonus 700 kali uang transport setiap hari, bahkan lebih bila dia dinilai baik. Di akhir bulan, saya bayar dia sebesar 1000 kali gaji bulanan yang diterima selama ini.”
Jika kita adalah karyawan di perusahaan tersebut, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita tidak terpengaruh dengan bonus itu? Mungkin ada di antara teman kita berkata, “Ah, santai saja. Toh, saya tetap dapat uang transport setiap hari. Walaupun nilainya biasa-biasa saja, tidak apa-apa. Cukuplah uang harian seperti yang saya terima di luar bulan ini. Gaji pun cukup seperti biasanya. Tak perlu berusaha keras untuk masuk terus dan bekerja dengan lebih baik di bulan ini.”
Apa pendapat kita tentang teman kita tadi? Setujukah kita dengannya, dan kita pun akan berbuat yang sama? Ataukah dengan semangat membara kita rajin masuk dan memperbaiki kinerja, demi mendapatkan bonus dan masa depan yang lebih baik?
Abu Hamid al-Ghazali menyatakan,
“Apabila seseorang sudah tidak memiliki perhatian terhadap suatu perkara, ia akan melihat perkara itu besar dan caranya sangat sulit. Akan tetapi, jika ia memiliki perhatian besar, semangat tinggi dan kemauan yang kuat pula, maka ia akan menemukan berbagai jalan yang dapat ditempuh untuk sampai kepada tujuannya.
Bahkan, dengan kemauan kuat dan kemampuan tinggi, ia akan dapat menangkap burung yang terbang di udara, mendapatkan ikan yang berenang di dasar laut, mengeluarkan emas dan perak dari dasar gunung, berburu binatang liar di hutan atau padang pasir, menjinakkan binatang buas, menangkap ular berbisa dan mengambil bisa dari mulutnya, membuat sutra, menghitung jarak antar galaksi, melatih kuda untuk ditunggangi, anjing untuk berburu, elang untuk menangkap burung dan lain-lain.
Semua itu dapat dilakukan bila seseorang memiliki kemauan kuat, semangat tinggi dan kemampuan memadai.”
Daftar Pustaka :
- Abdullah Ba‘alawi Al-Haddad, asy-Syaikh, “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah”
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
- Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
- M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (3 of 3)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#
Tulisan ini berlanjut ke : Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (3 of 3)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#
0 comments:
Post a Comment