Mencari Data di Blog Ini :

Friday, September 11, 2009

Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (3 of 3)

b. Shalat Tarawih Berpindah-pindah Masjid


Tabiat manusia memang mudah bosan—dan itu wajar—namun harus dicari solusinya, tidak berdiam diri. Barangkali karena setiap hari melaksanakan shalat Tarawih di tempat sama, maka semangat untuk mengerjakannya tidak seperti saat awal Ramadhan. Shalat Tarawih seolah menjadi sebuah ritual dan rutinitas tanpa ruh. Salah satu cara untuk tetap menjaga semangat dalam menjalankan shalat Tarawih dengan baik adalah dengan berpindah-pindah masjid.

Kita bisa melakukan wisata religi dengan pergi ke masjid-masjid lain. Kalau di Surabaya, kita bisa melakukan shalat Tarawih di Masjid Agung Sunan Ampel, Masjid Al-Akbar yang merupakan salah satu masjid terbesar di Indonesia dengan daya tampung 30.000 jamaah, Masjid Al-Falah, Masjid Kemayoran, Masjid Muhammad Cheng Hoo, masjid-masjid kampus atau masjid mana pun, demi mendapatkan suasana dan pengalaman baru.


Lebih mengasyikkan lagi jika kita ikut buka bersama di masjid yang dituju. Kebersamaan dalam menikmati takjil, shalat Maghrib dan makan bersama dengan menu seadanya, sungguh tak terperikan. Betapa kerukunan dan kekompakan yang terjalin bisa menjadi kenangan terindah bagi memori kita. Setelah itu dilanjutkan dengan shalat Isya’ dan Tarawih berjamaah. Selain tujuan tersebut, kita bisa mempelajari keunikan (ciri khas), arsitektur, arti filosofis bangunan, sejarah dan hal-hal lain yang ada di masjid yang sedang kita kunjungi, misalnya ziarah ke makam Sunan Ampel bila kita di Masjid Ampel.

Biasanya, para pelajar dan mahasiswa senang sekali melakukan wisata religi ini. Tujuan utama tetaplah ibadah. Barakah dari ibadahlah yang menyebabkan bisa buka bersama secara gratis, tiap hari pula. Uang saku pun tidak banyak berkurang :-).


c. Shalat Tarawih Hanya Untuk Hari itu


Rasa malas untuk melaksanakan shalat Tarawih, apalagi harus sendirian, biasanya muncul karena adanya anggapan bahwa kemarin kita sudah melaksanakannya, dan esok pun masih ada. Bahkan, sering kita berkata pada diri sendiri, “Tahun depan kan masih ada Tarawih, jadi tidak perlu bersusah-payah. Apalagi saat ini tugas menumpuk.” Dengan persepsi seperti ini, kita telah memperkenankan diri kita untuk membuat berbagai alasan (excuse) supaya tidak shalat Tarawih.


Bila pikiran itu mendera kita, maka solusinya adalah melupakan bahwa kita pernah Tarawih dan masih ada kesempatan lagi esoknya. Anggaplah bahwa kita hanya hidup di hari itu. Anggaplah bahwa hari itu adalah hari di mana kita shalat Tarawih pertama dan/atau terakhir kali, dan esok sudah tidak ada lagi Tarawih. Isilah hari itu dengan kebaikan apa pun yang bisa dilakukan. Dengannya, kita akan mempunyai semangat untuk melaksanakan shalat Tarawih, bagaimana pun kondisinya.

Biasanya, nasihat “Hiduplah hari ini. Lupakan kemarin dan esok”, diberikan oleh seorang motivator untuk orang-orang yang takut akan masa depan dan trauma dengan masa lalunya. Namun, nasihat ini juga bisa digunakan untuk senantiasa memperbaiki ibadah kita dalam keseharian. Kita lupakan bahwa kita pernah beribadah, dan jangan berpikir bahwa kita bisa beribadah esok hari.

‘Aidh al-Qarni berpesan, “Harimu adalah hari ini. Umur Anda, mungkin tinggal hari ini. Maka, anggaplah masa hidup Anda hanya hari ini, atau seakan-akan Anda dilahirkan hari ini dan akan mati hari ini juga. Pada hari ini pula, sebaiknya Anda mencurahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja keras. Pada hari inilah, Anda harus bertekad mempersembahkan kualitas shalat yang paling khusyu‘, bacaan Al-Qur’an yang sarat tadabbur (penghayatan), dzikir dengan sepenuh hati, keseimbangan dalam segala hal, keindahan dalam akhlak, kerelaan dengan semua yang Allah berikan, perhatian terhadap keadaan sekitar, perhatian terhadap kesehatan jiwa dan raga, serta perbuatan baik terhadap sesama.”

Dalam keberagamaan, kita sering mendapat nasihat agar berbuat untuk akhirat seolah-olah esok kita telah tiada.
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ ِلآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Berbuatlah untuk duniamu, seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah engkau mati esok pagi.
Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub dan al-Albani, kalimat di atas bukan hadits marfu’ (ucapan Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wasallam) dan berstatus dha‘if. Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab “Gharîb al-Hadîts” dengan sanad mauquf (terhenti pada sahabat). Ibnu Mubarak dalam kitab “Az-Zuhud” juga meriwayatkannya dengan sanad lain yang mauquf dan munqathi’ (apabila di tengah rangkaian sanad ada keterputusan; baik satu tempat atau lebih selama tidak terputus secara berturut-turut pada generasi di bawah tingkatan shahabat).

Saat mengaji di pesantren kyai kami, KH. Asep Saifuddin Chalim menerangkan maksud nasihat ini adalah bila kita mengerjakan sesuatu yang bersifat duniawi—tidak berhubungan dengan akhirat—maka kerjakan sewajarnya saja karena seolah-olah kita hidup selamanya, berarti masih ada hari esok. Namun bila berhubungan dengan akhirat, kita harus bersungguh-sungguh karena seolah-olah esok telah tiada. Hal ini sesuai dengan ayat,

َوَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi  (QS al-Qhashas [28]: 77)

Ayat ini menerangkan agar kita mencari kebahagiaan akhirat, sedangkan untuk urusan dunia dipesan “jangan lupa”. Ini berarti penekanan ada di akhirat atau bisa juga bermakna urusan dunia pun harus untuk bekal di akhirat. Wallâhu a‘lam.

Al-Ghazali menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat—misalnya selesai shalat Subuh—untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah). Pada kondisi itu, katakanlah kepada jiwa,

“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.

Seandainya aku diwafatkan oleh-Nya, niscaya aku berharap untuk dikembalikan ke dunia satu hari saja sehingga aku bisa beramal shaleh. Anggaplah wahai jiwa, bahwa engkau telah wafat, kemudian engkau dikembalikan ke dunia lagi, maka jangan sampai engkau menyia-yiakan hari ini karena setiap nafas merupakan mutiara yang sangat berharga.

Ketahuilah wahai jiwa bahwa sehari-semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah pada hari ini untuk mengisi lemarimu. Jangan kau biarkan dia kosong tanpa barang-barang simpanan. Janganlah engkau cenderung kepada kemalasan, kelesuan dan kesantaian sehingga engkau tidak dapat meraih derajat tinggi (‘illiyyîn) yang dapat diraih orang lain, lalu engkau penuh sesal.”

Semoga Allah senantiasa menolong kita untuk bisa mengabdi kepada-Nya, dan memberikan maaf serta ampunan-Nya kepada kita, amin. Marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :
َاللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا


Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia. Engkau menyukai sikap pemaaf, maka maafkanlah kami, amin.
Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

0 comments:

Post a Comment