Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 15, 2012

Agar (Tetap) Fasih Membaca Al-Qur’an (1 of 3)

Membaca Al-Qur’an dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hija’iyah dari mulut atau tenggorokan) yang benar serta sesuai tajwid diperintahkan oleh ajaran agama.
Mengapa demikian? Kita diwajibkan membaca Al-Qur’an sama seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu ulama-ulama yang mendalami Al-Qur’an memperoleh sanad (mata rantai) qira’ah Al-Qur’an yang bersambung ke Rasulullah saw.
Sebagai contoh di Indonesia. Bacaan Al-Qur’an yang diajarkan oleh guru-guru kita adalah qira’ah Imam ‘Ashim dari riwayat Imam Hafsh bin Sulaiman. Berikut ini contoh sanad qiraah yang dimiliki pengasuh PP Al-Munawwariyyah Sudimoro-Bululawang-Malang, KH. Muhammad Maftuh Sa’id. Sanad qira’ah ini penulis ambil dari buku karya Hj. Irena Handono, et al, yang berjudul Islam Dihujat—Menjawab Buku The Islamic Invation (Robert Morey)”.
  1. KH. Muhammad Maftuh Sa’id Malang.
  2. Dari Ayahnya H. Muhammad Sa’id Mu’in Gresik.
  3. Dari Gurunya Kyai Munawwar Sedayu Gresik.
  4. Dari Syekh Abdul Karim bin Umar al-Bari al-Dimyathy.
  5. Dari Syekh Ismail.
  6. Dari Syekh Ahmad Rasyidi.
  7. Dari Syekh Mushthafa al-Azmiry.
  8. Dari Syekh Hijazy.
  9. Dari Syekh Ali bin Sulaiman al-Manshury.
  10. Dari Syekh Shulthon al-Mazhy.
  11. Dari Syekh Saifuddin bin Atho'illah al-Fudloily.
  12. Dari Syekh Syahadzah al Yamany.
  13. Dari Syekh Nashiruddin al-Thoblawy.
  14. Dari Syekh Zakaria al-Anshory.
  15. Dari Syekh Ahmad as-Shuyuthy.
  16. Dari Syekh Muhammad al-Jazry.
  17. Dari Syekh al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mashri as-Syafi’i
  18. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan bin Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-Abbas al-Mashry.
  19. Dari Syekh al-Imam Abi al-Qashim as-Syathiby.
  20. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan bin Hudzail.
  21. Dari Syekh al-Imam bin Daud bin Sulaiman bin Naijah.
  22. Dari Syekh al-Imam al-Hafidz Abi Umar al-Dany.
  23. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan al-Ashnany.
  24. Dari Syekh al-Imam Ubaidillah as-Sibagh.
  25. Dari Syekh al-Imam Hafsh.
  26. Dari Syekh al-Imam Ashim.
  27. Dari Syekh al-Imam Abdurrahman as-Sullamy.
  28. Dari Shahabat Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan, Ubay bin Kaab ra.
  29. Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hj. Irena menjelaskan bahwa dibandingkan dengan sanad lain yang dikumpulkan, sanad ini paling ringkas jalurnya, di mana nama-nama Qurra’ asal Indonesia hanya tiga di depan.
Perlu penulis garis bawahi bahwa sanad keguruan seperti ini cuma ada dalam literatur ulama-ulama Islam. Tak hanya bidang qira’ah Al-Qur’an, ilmu hadits, aqidah, nahwu dan lainnya juga memiliki sanad. Hal ini termasuk jaminan ilmiah bahwa ilmu yang didapat sesuai dengan yang diajarkan guru sang ulama hingga seterusnya. Adanya sanad termasuk salah satu kehebatan para ulama dalam menjaga keautentikan ilmu. Subhânallâh.
Benarkah “tradisi” sanad hanya ada pada ulama-ulama Islam? Penulis belum pernah tahu (mungkin karena tidak ada) sanad keilmuan/keguruan di bidang lain. Bila ada yang kurang percaya, coba kita jawab pertanyaan ini, “Guru-guru Matematika telah mengajarkan rumus Pitagoras, c2=a2+b2. Apakah ada seorang guru saja yang bisa menunjukkan mata rantai keilmuan rumus Pitagoras ini sampai ke penemunya? Misal Pak Guru Ali belajar rumus Pitagoras dari guru beliau yaitu Pak Guru Amir. Pak Guru Amir mendapat rumus Pitagoras dari guru beliau yaitu Bu Guru Ani. Bu Guru Ani dari Bu Guru Ati dari Pak Guru Budi dan seterusnya sampai ke Pitagoras. Adakah Guru Matematika yang bisa menunjukkan bukti tertulis mata rantai keilmuan seperti ini?”
Kesalahan membaca Al-Qur’an juga dapat menyebabkan perbedaan makna. Misal huruf ش (syin) yang seharusnya dibaca tebal, tapi karena kurang belajar sehingga dibaca tipis seperti huruf “S” dalam bahasa Indonesia akan membuat makna kata berubah.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku).(QS Ibrâhîm [14]: 7)
Kata شَكَرَ (syakara) mempunyai arti “bersyukur”. Bila tidak bisa membaca “syin” (tebal), lalu dibaca seperti huruf “S” dalam bahasa Indonesia, maka kata tersebut berubah menjadi سَكَرَ (sakara) yang berarti “mabuk”. Bukankah jauh berbeda maknanya?
Contoh lain kata عَلِيْمٌ (‘alîm) yang bermakna “Maha Mengetahui”. Jika tidak bisa membaca huruf ع (‘ayn) lalu dibaca seperti huruf “A” dalam bahasa Indonesia, maka kata tadi berubah menjadi اَلِيْمٌ (alîm) yang berarti “sangat pedih”. Perubahan makna seperti ini tidak bisa dianggap sepele.
Bagaimana dengan bacaan panjang (mad) dan pendek? Apakah membaca panjang/pendek bila tidak sesuai yang tertulis dapat menyebabkan perubahan makna juga? Mari perhatikan penggalan ayat berikut ini:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. (QS Âli ‘Imrân [3]: 123)
Lafazh نَصَرَ (nashara) tidak ada yang dibaca panjang. Lafazh ini berarti “Satu pelaku telah menolong”. Di ayat tersebut, yang dimaksud satu pelaku adalah Allah SWT.
Jika karena kita tidak tekun mengaji, lalu ketika membaca lafazh tersebut ada bagian yang dibaca panjang, maka arti akan berubah. Berikut ini beberapa kemungkinan yang akan terjadi:
  • رَ (ra) terbaca panjang menjadi رَا (râ). Hal ini berarti lafazh نَصَرَ berubah menjadi نَصَرَا (nasharâ) yang bermakna “Dua pelaku telah menolong”. Coba kita perhatikan, di ayat tersebut yang dikehendaki adalah satu pelaku (yakni Allah SWT), tapi karena kita salah baca, maka makna yang ditimbulkan menjadi dua pelaku. Lantas, siapakah pelaku kedua? Tentu tidak ada, dan ini berarti bacaan kita harus diperbaiki.
  • صَ (sha) dan رَ (ra) terbaca panjang menjadi صَارَا (shârâ). Dengan cara membaca sepert ini maka lafazh نَصَرَ berubah menjadi نَصَارَا yang secara bacaan sama dengan tulisan  نَصَارٰى. Lafazh ini mempunyai arti Orang-orang Nasrani. Bukankah sungguh jauh perubahan makna yang dikandung ayat dengan makna hasil kesalahan bacaan kita?
  • نَ (na) saja yang terbaca panjang menjadi ناَصَرَ (nâshara). Menurut ilmu Sharaf, lafazh  ناَصَرَ mengikuti pola (wazan)  فاَعَلَyang dalam kasus ini berfaidah Musyârakah yaitu persekutuan antara dua pihak dalam melakukan asal fi’il. Dengan kata lain, faidah Musyârakah mempunyai arti  Saling .....”. Oleh karena itu lafazh ناَصَرَ berarti Saling tolong (tolong-menolong)”. Nah, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menolong kaum muslimin ketika perang Badar. Di sini sudah tersurat dengan jelas bahwa Allah yang menolong, sedangkan kaum muslimin yang ditolong, jadi bukan tolong-menolong.
  • نَ (na) dan رَ (ra) terbaca panjang menjadi ناَصَرَا (nâsharâ). Lafazh ini berarti “Dua pelaku tolong menolong dengan lainnya.” Perubahan makna akibat kekeliruan pembacaan ini sungguh jauh menyimpang dari yang dikehendaki.
Dari beberapa kasus di atas, apa kita masih merasa kurang perlu mengaji Al-Qur’an dengan baik dan benar? Apa kita masih ada rasa malas dengan alasan usia sudah bukan anak-anak lagi, kesibukan mencari nafkah serta beribu dalih lainnya?
Jangan buang sampah di sungai
Biar lingkungan asri dan bersih
Hati siapa yang tak damai

Mendengar Al-Qur’an dibaca fasih

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Irena Handono, Hj, et al, Islam Dihujat—Menjawab Buku The Islamic Invation (Robert Morey)
M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
Muhammad Basori Alwi Murtadho, KH, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment