Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 22, 2012

Agar (Tetap) Fasih Membaca Al-Qur’an (2 of 3)


Demi menjaga agar bacaan Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw., setiap muslim wajib mempelajarinya. Sekian banyak TPQ berdiri guna mengajari anak-anak kecil membaca Al-Qur’an. Tak mau kalah, takmir mushalla/masjid juga mengadakan hal yang sama tapi untuk orang dewasa yang masih belum fasih membaca Al-Qur’an.
Bahkan, ada pesantren yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an, misalnya Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) SingosariMalang yang diasuh KH. Muhammad Basori Alwi Murtadho (nama beliau biasa disingkat KH. Basori Alwi). Begitu pula jurusan kuliah di IAIN/UIN.
Ada pertanyaan, “Bila sudah pernah mengaji di TPQ sampai khatam Al-Qur’an, masihkah perlu mengaji cara membaca Al-Qur’an dengan fasih kepada seorang guru (ustadz)? Bukankah cukup dengan rutin membaca Al-Qur’an sendirian di rumah? Toh sudah pernah berguru ketika mengaji di TPQ, jadi tak perlu guru lagi kan?”
Semasa mengaji di PP Amanatul Ummah Siwalankerto UtaraSurabaya, tiap sebulan sekali takmir Masjid Al-Hidayah dekat pesantren mengundang KH. Basori Alwi dalam rangka penataran bacaan imam shalat. Selain diikuti para imam berbagai masjid, para ustadz dan masyarakat, semua santri pondok wajib turut serta dalam rangka mengaji kepada seorang ulama besar.
Penataran imamah diawali dengan mengaji kitab “An-Nashâih ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah” karya Habib Abdullah Ba‘alawi al-Haddad. Setelah itu, KH. Basori Alwi mengajari cara membaca QS al-Fâtihah yang baik dan benar. Mengapa QS al-Fâtihah? Karena QS al-Fâtihah termasuk rukun shalat. Oleh karena itu, para imam shalat harus benar cara membacanya.
Tiap ayat beliau baca langsung diikuti jamaah yang hadir hingga ayat terakhir. Kemudian beliau mendengarkan dan memperbaiki/mengoreksi (tashih) bacaan QS al-Fâtihah bagi yang maju. Ternyata, sekian banyak imam termasuk para ustadz masih harus memperbaiki bacaan. Hal ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu tak boleh berhenti walau kita telah pernah mengaji Al-Qur’an hingga khatam.
Nah, kalau para imam shalat dan ustadz saja masih harus terus belajar, masa kita merasa diri tak perlu lagi belajar membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar?
Apa kita merasa sudah fasih? Jika ya, apa buktinya? Apa kita sudah minta ditashih oleh ulama yang telah diakui kefasihannya membaca Al-Qur’an? Jika sudah, apakah kita secara berkala minta ditashih?
Mungkin kita akan bertanya, “Haruskah kita secara berkala minta tashih baca Al-Qur’an? Apa tidak cukup sekali saja?
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa jika kita tidak bergerak khusus di bidang pengajaran Al-Qur’an, lama-kelamaan tingkat kefasihan berkurang. Ini berlaku umum, termasuk para ustadz yang telah lama mengaji di pesantren atau kuliah di UIN/IAIN.
Memang, yang menilai seharusnya bukan diri sendiri. Penilai harus orang lain, baru tampak kekurangannya. Itu pun dengan syarat sang penilai tidak rikuh atau sungkan dalam menilai. Misalnya sang penilai adalah teman sendiri yang sudah akrab. Walaupun sang penilai seorang ustadz, biasanya ada unsur kurang enak jika memperbaiki bacaan sesama teman. Namun, hal ini tetap tergantung pribadi masing-masing. Penulis sendiri berusaha untuk senantiasa minta tashih kepada yang lebih ahli dalam membaca Al-Qur’an.
Tashih berkala bisa diibaratkan seperti timbangan yang harus ditera rutin agar akurasinya tepat. Semasa penulis kuliah, sebelum praktikum dimulai, osiloskop—alat ukur untuk bidang elektro atau sejenis—harus dikalibrasi terlebih dahulu agar gambaran visual yang dihasilkan akurat.
Mungkin kita bertanya, “Apa ada bukti nyata di lapangan bahwa seorang yang sudah pernah mengaji bisa berkurang kefasihannya?”
Mari kita perhatikan shalat Jum’at atau shalat hari raya. Imam dianjurkan membaca QS al-Jumuah [62] saat rakaat pertama dan QS al-Munâfiqûn [63] kala rakaat kedua.  Bisa juga di rakaat pertama membaca QS al-A‘lâ [87] dan membaca QS al-Ghâsyiyah [88] di rakaat kedua.
Yang cukup banyak didapati, biasanya kita sebagai imam shalat Jum’at membaca QS al-A‘lâ [87] dan QS al-Ghâsyiyah [88]. Sebagai contoh, berikut ini lima ayat pertama QS al-Ghâsyiyah [88]:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ(1) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ(2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ(3) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً(4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ(5)
Jika kita berhenti (waqaf) di tiap ayat, maka huruf terakhir di-sukun, sehingga terbaca sebagai berikut:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةْ(1) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةْ(2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةْ(3) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةْ(4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةْ(5)
Salah satu peraturan membaca Al-Qur’an adalah, “Apabila kita berhenti (waqaf) di akhir ayat (penghabisan ayat atau ra’su âyah) seperti di atas, maka kita mengambil nafas.”
Ternyata, terkadang ketika menjadi imam shalat Jum’at, kita tidak mengambil nafas saat berhenti di akhir ayat, padahal cara membacanya dengan waqaf yaitu huruf terakhir ayat di-sukun.
Bila kita tidak mengambil nafas, hal ini disebut bacaan bersambung (washal). Untuk bacaan washal huruf terakhir tiap ayat tidak di-sukun, hanya di akhir ayat kita berhenti saja yang di-sukun. Misal kita membaca bersambung hingga ayat ke-5 (ayat ke-5 kita berhenti), maka cara membaca yang benar adalah:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةْ
Coba kita perhatikan. Huruf akhir ayat tetap berharakat, tidak di-sukun kecuali di akhir ayat tempat kita berhenti. Di akhir ayat tempat berhenti ini kita mengambil nafas. Berhenti (waqaf) di akhir ayat tanpa mengambil nafas adalah bukti turunnya kefasihan kita membaca Al-Qur’an.
Penjelasan lebih lanjut tentang waqaf  bisa dipelajari di buku-buku atau kitab-kitab tajwid. Penulis mengacu ke buku karya KH. Basori Alwi—Pengasuh Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Singosari, Malang—yang berjudul “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid” bab Waqof dan Ibtida’.

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Irena Handono, Hj, et al, Islam Dihujat—Menjawab Buku The Islamic Invation (Robert Morey)
M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
Muhammad Basori Alwi Murtadho, KH, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment