Demi menjaga agar bacaan Al-Qur’an sesuai dengan
yang diajarkan Rasulullah saw., setiap muslim wajib mempelajarinya. Sekian
banyak TPQ berdiri guna mengajari anak-anak kecil membaca Al-Qur’an. Tak mau
kalah, takmir mushalla/masjid juga mengadakan hal yang sama tapi untuk orang dewasa
yang masih belum fasih membaca Al-Qur’an.
Bahkan, ada pesantren yang secara khusus mendalami
ilmu-ilmu Al-Qur’an, misalnya Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Singosari—Malang yang diasuh KH. Muhammad Basori
Alwi Murtadho (nama beliau biasa disingkat KH. Basori Alwi). Begitu pula
jurusan kuliah di IAIN/UIN.
Ada pertanyaan, “Bila sudah pernah mengaji di TPQ
sampai khatam Al-Qur’an, masihkah perlu mengaji cara membaca Al-Qur’an dengan
fasih kepada seorang guru (ustadz)? Bukankah cukup dengan rutin membaca
Al-Qur’an sendirian di rumah? Toh sudah pernah berguru ketika mengaji di TPQ,
jadi tak perlu guru lagi kan?”
Semasa mengaji di PP Amanatul Ummah Siwalankerto
Utara—Surabaya, tiap sebulan
sekali takmir Masjid Al-Hidayah dekat pesantren mengundang KH. Basori Alwi
dalam rangka penataran bacaan imam shalat. Selain diikuti para imam berbagai
masjid, para ustadz dan masyarakat, semua santri pondok wajib turut serta dalam
rangka mengaji kepada seorang ulama besar.
Penataran
imamah diawali dengan mengaji kitab “An-Nashâih
ad-Dîniyyah wal-Washâyâ al-Îmâniyyah” karya Habib Abdullah Ba‘alawi
al-Haddad. Setelah itu, KH. Basori Alwi mengajari cara membaca QS al-Fâtihah yang baik dan benar. Mengapa QS
al-Fâtihah? Karena QS
al-Fâtihah termasuk
rukun shalat. Oleh karena itu, para imam shalat harus benar cara membacanya.
Tiap ayat beliau baca langsung diikuti jamaah yang
hadir hingga ayat terakhir. Kemudian beliau mendengarkan dan memperbaiki/mengoreksi (tashih) bacaan QS al-Fâtihah
bagi yang maju. Ternyata, sekian banyak imam termasuk para ustadz masih harus
memperbaiki bacaan. Hal ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu tak boleh berhenti
walau kita telah pernah mengaji Al-Qur’an hingga khatam.
Nah, kalau para imam shalat dan ustadz saja masih
harus terus belajar, masa kita merasa diri tak perlu lagi belajar membaca Al-Qur’an
dengan baik dan benar?
Apa kita merasa sudah fasih? Jika ya, apa buktinya?
Apa kita sudah minta ditashih oleh ulama yang telah diakui kefasihannya membaca
Al-Qur’an? Jika sudah, apakah kita secara berkala minta ditashih?
Mungkin kita akan bertanya, “Haruskah kita secara
berkala minta tashih baca Al-Qur’an? Apa tidak
cukup sekali saja?”
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa jika kita
tidak bergerak khusus di bidang pengajaran Al-Qur’an, lama-kelamaan tingkat
kefasihan berkurang. Ini berlaku umum, termasuk para ustadz yang telah lama mengaji
di pesantren atau kuliah di UIN/IAIN.
Memang, yang menilai seharusnya bukan diri sendiri.
Penilai harus orang lain, baru tampak kekurangannya. Itu pun dengan syarat sang
penilai tidak rikuh atau sungkan dalam menilai. Misalnya sang penilai adalah teman
sendiri yang sudah akrab. Walaupun sang penilai seorang ustadz, biasanya ada
unsur kurang enak jika memperbaiki bacaan sesama teman. Namun, hal ini tetap tergantung
pribadi masing-masing. Penulis sendiri berusaha untuk senantiasa minta tashih kepada
yang lebih ahli dalam membaca Al-Qur’an.
Tashih berkala bisa diibaratkan seperti timbangan yang
harus ditera rutin agar akurasinya tepat. Semasa penulis kuliah, sebelum
praktikum dimulai, osiloskop—alat
ukur untuk bidang elektro atau sejenis—harus dikalibrasi terlebih dahulu
agar gambaran visual yang dihasilkan akurat.
Mungkin kita bertanya, “Apa ada bukti nyata di
lapangan bahwa seorang yang sudah pernah mengaji bisa berkurang kefasihannya?”
Mari kita perhatikan shalat Jum’at atau shalat hari
raya. Imam dianjurkan membaca QS
al-Jumu‘ah [62] saat rakaat
pertama dan QS al-Munâfiqûn [63] kala rakaat kedua. Bisa
juga di rakaat pertama membaca QS al-A‘lâ [87] dan membaca QS al-Ghâsyiyah [88] di rakaat kedua.
Yang
cukup banyak didapati, biasanya kita sebagai imam shalat Jum’at membaca QS
al-A‘lâ [87] dan QS al-Ghâsyiyah [88]. Sebagai contoh, berikut ini lima ayat pertama
QS al-Ghâsyiyah [88]:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ(1) وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ(2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ(3) تَصْلَى
نَارًا حَامِيَةً(4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ(5)
Jika kita
berhenti (waqaf) di tiap ayat, maka huruf terakhir di-sukun, sehingga terbaca sebagai berikut:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةْ(1) وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةْ(2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةْ(3) تَصْلَى
نَارًا حَامِيَةْ(4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةْ(5)
Salah satu
peraturan membaca Al-Qur’an adalah, “Apabila kita berhenti (waqaf) di akhir ayat (penghabisan ayat atau ra’su âyah) seperti di atas, maka kita mengambil nafas.”
Ternyata, terkadang
ketika menjadi imam shalat Jum’at, kita tidak mengambil nafas saat berhenti di
akhir ayat, padahal cara membacanya dengan waqaf yaitu huruf terakhir
ayat di-sukun.
Bila kita
tidak mengambil nafas, hal ini disebut bacaan bersambung (washal). Untuk bacaan washal huruf terakhir tiap ayat tidak di-sukun, hanya di akhir ayat kita berhenti saja yang di-sukun. Misal kita membaca bersambung hingga ayat ke-5 (ayat ke-5 kita
berhenti), maka cara membaca yang benar adalah:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ
آنِيَةْ
Coba kita
perhatikan. Huruf akhir ayat tetap berharakat, tidak di-sukun kecuali di akhir ayat tempat kita berhenti. Di akhir ayat tempat
berhenti ini kita mengambil nafas. Berhenti (waqaf) di akhir ayat tanpa
mengambil nafas adalah bukti turunnya kefasihan kita membaca Al-Qur’an.
Penjelasan lebih lanjut tentang waqaf bisa dipelajari di buku-buku atau kitab-kitab
tajwid. Penulis mengacu ke buku karya KH. Basori Alwi—Pengasuh Pesantren
Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Singosari, Malang—yang berjudul “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid” bab Waqof dan Ibtida’.
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Irena Handono, Hj, et
al, “Islam Dihujat—Menjawab
Buku The Islamic Invation (Robert Morey)”
M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon,
Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
Muhammad Basori Alwi Murtadho, KH,
“Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII
: September 1993
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Tulisan ini lanjutan dari: Agar (Tetap) Fasih Membaca
Al-Qur’an (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Agar (Tetap) Fasih Membaca Al-Qur’an (3 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Agar (Tetap) Fasih Membaca Al-Qur’an (3 of 3)
#Semoga Allah menyatukan
dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment